“Fakhri, kamu dari mana saja? Sampai lumutan aku menunggumu,” seru Robby menyambut Fakhri.
Fakhri tampak terkejut begitu masuk ke dalam rumah sudah melihat Robby di ruang tamu rumahnya. Matanya beredar sedang mencari Bu Rahma ke seluruh penjuru. Fakhri yakin kedatangan Robby kali ini berhubungan dengan pencarian terhadap anak kandungnya dan Fakhri belum mengatakan hal ini ke ibunya.
“Ibumu baru saja keluar. Jadi, kamu tenang saja. Beliau tidak akan tahu.”
Fakhri menghela napas panjang sambil mengurut dadanya, kemudian mengajak Robby ke ruang kerjanya. Di sana mereka lebih bebas untuk berbicara.
“Bagaimana? Apa ada info, Rob?”
Fakhri langsung bertanya to the point begitu mereka masuk ke ruang kerja. Robby tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Iya, aku minta beberapa temanku untuk membantu penyelidikan ini. Di hari yang sama saat itu memang ada beberapa kelahiran. Dua bayi perempuan dan empat bayi laki-laki, salah satunya putramu.”
Fa
“Kenapa … kenapa Zafran ngomong seperti itu?” tanya Aina.Dia tidak menduga Zafran akan berkata seperti ini. Bisa jadi selama ini, bocah itu tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Bisa juga dia paham tentang test DNA yang dilakukannya beberapa waktu lalu.Memang usia Zafran masih tujuh tahun lebih, baru empat bulan lagi dia menginjak delapan tahun. Namun, Zafran bukan anak bodoh. Dia sudah bisa mengakses internet apalagi di sekolahnya juga sering menggunakan media tekhnologi. Rasanya tidak akan kesulitan untuk menemukan apa saja di sana.“Zafran … kenapa Zafran tidak menjawab?”Aina kembali bertanya saat melihat Zafran hanya diam. Zafran mendongak, matanya kini menatap Aina. Aina terdiam mengamatinya. Mata Zafran sangat mirip mata Fakhri. Apa mungkin kalau dia bukan darah dagingnya? Hanya itu yang masih sulit diterima Aina hingga kini.“Zafran dengar saat Oma Tika ke sini, Bunda. Zafran dengar semuany
Seketika tawa renyah keluar dari bibir Wulan. Fakhri yang duduk di depannya tercengang melihat ulah Wulan. Sementara wanita cantik itu masih sibuk tertawa membuat beberapa pengunjung yang ada di ruangan tersebut menoleh ke arahnya.“Wulan!! Kamu pikir ini lucu?” Fakhri sudah berseru lagi.Dia sangat kesal melihat reaksi Wulan. Lagi-lagi dia merasa dipermainkan oleh mantan istrinya. Wulan menghentikan tawanya, menyeka air mata yang keluar dari wajahnya kemudian menatap Fakhri dengan sendu.“Apa Damar yang memberitahumu, Mas?”Fakhri mendengkus dengan mata yang tak lepas menatap Wulan. Dia tidak menjawab, tapi dari gestur tubuhnya, Wulan sudah tahu jika tebakannya tepat.Wulan tersenyum, menggelengkan kepala sambil menatap Fakhri dengan sinis.“Apa pentingnya aku sembunyikan anakmu? Tidak ada untungnya sama sekali buatku. Jadi kamu jangan asal tuduh!!”Fakhri geram. Matanya menyalang marah, tangannya
“APA!!!?” Fakhri tercengang kaget usai mendengar ucapan Wulan.Wulan tersenyum mengejek, masih berada di posisinya sambil menatap Fakhri.“Aku yakin kamu tidak akan mau melakukannya. Jadi, silakan kamu cari sendiri di mana anak itu berada, itu pun kalau dia masih hidup!!!”Wulan langsung membalikkan badan dan melenggang dengan iringan dua petugas polisi di kanan kirinya. Fakhri masih bergeming di posisinya menatap punggung Wulan yang sudah menjauh dari ruangan tersebut.Ada sakit yang tiba-tiba mengiris hatinya. Wulan tidak pernah menjadi seorang ibu, dia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak seperti yang dialami Fakhri kali ini.Dengan langkah gontai, Fakhri meninggalkan kantor polisi. Hatinya berkecamuk hebat, antara marah, benci dan kesal. Ia marah pada semua ulah Wulan yang membuat hidupnya berantakan. Ia benci pernah jatuh cinta pada wanita itu dan Fakhri kesal sejauh ini dia tidak membuat pergerakan bera
“Aku belum bisa pastikan, Fakhri,” jawab Robby.Fakhri terdiam, menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Kepalanya menunduk dengan jemari yang berulang mengetuk lututnya. Perlahan Fakhri menggeleng sambil bersuara lirih.“Gak mungkin yang meninggal itu anakku. Aku masih ingat saat dia lahir. Dia sangat sehat, tangisannya kencang. Kamu pasti salah, Rob.”Tidak ada jawaban dari bibir Robby. Pria bermata sipit itu terdiam sambil sesekali mengolah udara.“Apa kamu sudah bertemu perawat yang bertugas saat itu? Aku yakin dia tahu lebih banyak,” imbuh Fakhri.Robby menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan.“Perawat yang membawa bayimu dan membersihkannya saat itu sudah lama resign. Kata pihak rumah sakit, sebulan setelah itu, dia langsung resign. Padahal dia baru saja meneken kontrak kerja.”Fakhri mengernyitkan alis sambil menatap Robby penuh selidik.&ldqu
“Dari mana kamu tahu tentang itu, Rin?” tanya Aina.Aina sangat terkejut mendengar pertanyaan Rini kali ini. Dia belum memberitahu siapa pun mengenai hasil test DNA itu. Dia dan Fakhri sepakat menyembunyikannya, bahkan Bu Rahma saja tidak tahu. Kenapa kini Rini malah bertanya padanya?“Aku … aku membantu Pak Robby untuk mengumpulkan informasi tentang bayi yang lahir di waktu dan tempat yang sama dengan Zafran, Mbak.”Aina sontak terdiam. Bibirnya terkatup rapat saat mendengar penjelasan Rini. Aina ingat jika Rini bekerja di kantor Robby. Pastinya Fakhri akan meminta bantuan Robby mencari putra kandung mereka.“Memang Pak Robby tidak memberi tahu untuk apa aku mengumpulkan informasi itu. Namun, tadi siang, aku melihat Mas Fakhri datang ke kantor.”Aina langsung mendongak, menatap Rini dengan mata penuh tanya. Rini menghela napas sambil membalas tatapan kakaknya.“Aku tidak tahu apa yang mereka
“Apa Ibu yang mengundang Aina ke sini?” tanya Fakhri.Mereka sedang asyik menikmati sarapan dan Fakhri sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Bu Rahma langsung tersenyum dan menganggukkan kepala.“Iya, Ibu yang memintanya. Kamu pikir Aina datang ke sini karena ingin bertemu kamu?”Bu Rahma malah berkata seperti itu. Sontak wajah Fakhri memerah tanpa sebab. Ia buru-buru menunduk seraya mengumpat dalam hati. Aina yang duduk di sampingnya hanya mengulum senyum melihat reaksi Fakhri.“Nanti kamu antar Zafran!! Ibu mau bicara dengan Aina,” imbuh Bu Rahma.Fakhri mendongak dan langsung bertanya, “Mau bicara apa, Bu?”“Bukan urusanmu dan kamu tidak perlu tahu.”Lagi-lagi jawaban Bu Rahma seolah sedang mengejek Fakhri. Fakhri membisu, jakunnya bergerak menelan saliva sementara matanya sudah menatap jengkel ke Bu Rahma. Bu Rahma pura-pura tak melihat dan tentu saja ulahnya membuat F
“Menjelaskan apa, Bu?” Tiba-tiba suara Fakhri muncul dari luar rumah.Aina dan Bu Rahma menoleh ke arahnya. Pria tampan itu berjalan mendekat menghampiri. Memang jarak sekolah Zafran yang sekarang tidak jauh letaknya dari rumah Bu Rahma. Terlebih hari yang masih pagi membuat lalu lintas belum padat.Itu sebabnya tidak sampai setengah jam Fakhri sudah kembali ke rumah. Ia sengaja kembali pulang karena ada sesuatu yang ketinggalan di kamarnya. Tak disangka Fakhri malah mendengar pembicaraan Aina dengan ibunya.“Kamu itu mau tahu saja.” Bu Rahma langsung menyahut dan tampak cemberut.Fakhri mengulum senyum. Ia tidak segera menuju kamar untuk mengambil barangnya yang ketinggalan, tapi memilih duduk di ruang tamu bersebelahan dengan ibunya.Dengan perlahan Aina menghela napas lega. Tidak dia pungkiri pertanyaan Bu Rahma tadi membuat Aina kebingungan.Fakhri melihat Aina sekilas dan Aina membalas tatapan matanya. Dengan isyarat, Fakhri seakan sedang memberi tahu agar menghentikan pembicaraan
“Dasar tidak tahu malu. Sudah selingkuh malah sekarang minta balikan!!” imbuh wanita paruh baya yang tak lain Bu Vita, mantan mertua Fakhri.Aina terperangah kaget mendengar ucapannya. Ia tidak mengenal siapa wanita ini, tapi dia sudah menduga jika wanita yang berdiri di depannya adalah ibunya Wulan.“Saya harap Tante cabut ucapannya itu!! Tante salah menilai tentang saya!!”Aina sangat kesal dengannya. Bu Vita tidak tahu apa-apa, tapi malah sudah menjudge Aina lebih dulu. Andai saja Bu Vita tahu kalau penyebab keretakkan rumah tangga Wulan adalah putrinya sendiri.Bu Vita tampak kesal. Ia sudah melipat tangan sambil menatap Aina dengan sinis. Bibirnya yang merona merah sudah maju beberapa senti membuat penampilannya sangat aneh. Aina mengabaikannya dan tidak akan mengizinkan wanita itu masuk ke ruangan Fakhri.“Mana Fakhri?? Aku mau ketemu!!”Wanita itu kembali bersuara dengan nada ketus.“Ma
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
“Rumah sakit? Wulan?” gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.“Ma, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!”Fakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.“Tapi, Fakhri … Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.”Fakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene