“HEI!! Kamu jangan asal nuduh, Damar!!” seru Wulan.
Wajah Wulan langsung merah padam dengan mata menyalang menatap penuh amarah. Damar hanya diam memperhatikan. Tidak biasanya Wulan akan semarah ini. Biasanya wanita cantik itu terlihat santai menanggapi dugaannya. Damar semakin yakin kalau Wulan menyembunyikan sesuatu.
“Lagipula aku tidak ada di kota ini delapan tahun yang lalu. Mana mungkin aku menukar bayinya saat di rumah sakit.” Wulan menambahkan kalimatnya dengan nada suara yang lirih.
Damar mendengkus dengan mata penuh selidik menatap Wulan.
“Aku tidak bilang kamu menukarnya di rumah sakit dan kenapa kamu tahu kalau kejadiannya delapan tahun yang lalu?”
Sontak Wulan terperangah kaget. Wajahnya terlihat gusar dan buru-buru memalingkan wajah dari tatapan Damar. Damar hanya diam menekuk tangannya di atas meja dengan mata yang fokus ke arah Wulan.
“Eng … memangnya kamu tidak tahu kalau umur
“Beneran Zafran boleh pilih makanan apa saja malam ini, Ayah, Bunda?” tanya Zafran.Sesuai ucapan Fakhri, hari ini mereka bertiga memutuskan makan malam bersama di luar rumah. Selain untuk menghilangkan ketegangan usai menerima keputusan hasil test DNA tadi, Fakhri juga ingin menghabiskan waktu bersama Aina dan Zafran.“Iya, boleh. Namun, kalau sudah pesan makanan harus dihabiskan, ya?” jawab Fakhri.Zafran tersenyum lebar dengan mata kecilnya yang berbinar. Fakhri ikut tersenyum sambil meliriknya melalui kaca spion. Aina yang duduk di sebelah Fakhri hanya terdiam seraya memperhatikan interaksi mereka berdua.Sikap Fakhri tidak berubah pada Zafran. Meski dia tahu Zafran bukan anaknya, tak sedikit pun perubahan sikap yang ia lakukan. Harusnya Aina juga seperti itu, tapi entah mengapa benaknya sibuk memikirkan keberadaan anak kandungnya.“Kamu mau makan apa, Aina?”Pertanyaan Fakhri menginterupsi lamunan Ain
“Makasih ya, Mas,” ucap Aina.Mobil Fakhri baru saja berhenti di depan rumah Aina. Usai makan malam di luar tadi, Fakhri mengantar Aina dan Zafran pulang ke rumah. Fakhri hanya mengangguk sambil tersenyum. Zafran sudah turun lebih dulu usai berpamitan ke Fakhri. Tinggal Aina dan Fakhri saja yang di dalam mobil.“Aku turun dulu, Mas.”Aina bersiap membuka seat belt hendak turun, tapi tangan Fakhri tiba-tiba mencekal lengan Aina. Aina menoleh ke arahnya dengan mata bertanya.“Besok, aku akan mulai penyelidikan ke rumah sakit tempat kamu melahirkan dulu.”Aina terdiam sesaat, kemudian mengangguk dengan lirih. Fakhri tersenyum melihat reaksinya.“Jangan sedih!! Aku yakin bisa menemukannya.”Kembali kalimat Fakhri membuat Aina percaya jika mantan suaminya akan melakukan apa saja untuk putra kandung mereka.“Iya, Mas.”Aina tersenyum kemudian Fakhri melepas cekalannya dan mengizinkan Aina keluar dari mobil. Fakhri sengaja tidak turun, dia ingin langsung pulang, lagipula hari sudah larut mala
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bu Tika.Wanita itu terlihat cemas kali ini. Ada Bu Maya juga Pak Aldi yang menunggu di sana. Aina dan Fakhri yang baru saja datang segera bergabung bersama mereka. Mereka sudah berdiri mengerubungi dokter yang baru saja menolong Damar.“Sabar ya, Bu. Kami sedang melakukan yang terbaik,” jawab dokter itu dengan diplomatis.Fakhri tahu semua dokter akan menjawab seperti itu untuk menenangkan keluarga pasien. Kemudian Fakhri menarik lengan dokter tersebut sedikit menjauh dari keluarga Damar dan Aina.“Dok, apa yang sebenarnya terjadi? Apa sepupu saya baik-baik saja?” tanya Fakhri.Pria berpakaian serba putih itu terdiam sejenak, menatap Fakhri dengan sendu.“Saya sudah mengatakan akan melakukan yang terbaik, Tuan. Saya harap Tuan mau menunggu.”Fakhri berdecak sambil mengacak rambutnya dengan asal.“Memangnya dia luka parah, Dok?”
“Kritis?” tanya Aina.Bu Tika tidak menjawab, langsung menarik tangan Aina menuju ruangan Damar dirawat. Namun, seorang perawat menghalangi mereka masuk.“Dokter sedang berusaha menolong pasien. Harap tunggu di sini sebentar!!”Dengan terpaksa Aina dan Bu Tika menganggukkan kepala. Mereka memilih duduk di ruang tunggu saat ini. Ada Bu Maya dan Pak Aldi juga yang sedang menunggu di sana.“Semoga tidak terjadi apa-apa pada Damar,” gumam Bu Tika.Aina melihat wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya ini dengan sendu. Baru ini Aina melihat ekspresi sedih di wajahnya. Biasanya wanita paruh baya itu selalu tampil penuh percaya diri, sedikit arogan dan juga pemaksa.“Aina … .” Sebuah panggilan mengejutkan Aina.Bu Tika sudah mengulurkan tangan dan menyentuh tangan Aina. Aina mendongak membuat mata mereka bertemu. Ada sepasang mata berkabut sedang menatapnya, terlihat sebuah kesedihan d
“Aina, Fakhri, Damar sudah siuman dan ia ingin bicara dengan kalian,” ucap Bu Tika begitu keluar dari ruangan Damar.Aina dan Fakhri terdiam sesaat, mata mereka saling pandang dengan tanya yang sama.“Iya, Tante.”Keduanya langsung masuk, begitu Bu Maya dan Pak Aldi keluar. Aina terdiam saat melihat keadaan Damar yang terbaring tak berdaya di atas brankar. Sepertinya kecelakaan itu memang sangat parah sehingga membuat Damar seperti ini.“Kamu baik-baik saja, Damar?” sapa Aina.Damar tersenyum sambil mengangguk. Matanya tampak sayu dan redup seakan tidak ada kehidupan di sana. Fakhri berdiri di sebelah Aina dan tersenyum ke arah Damar.“Polisi masih mengusut siapa pelaku tabrak lari itu. Kamu tenang saja,” ucap Fakhri.Damar tersenyum masam sambil menggelengkan kepala.“Tanpa diusut pun aku tahu siapa dalangnya.”Fakhri dan Aina terkejut mendengar ucapan Damar. B
“Kamu terlalu sempurna sebagai lelaki, Fakhri,” jawab Damar.Fakhri terdiam, matanya sudah menatap tajam ke arah sepupunya. Tidak disangka Damar akan memberinya pujian seperti ini. Berangsur-angsur, Fakhri tersenyum bahkan sudah menggelengkan kepala sambil menepuk kasur tempat Damar terbaring.“Ternyata gara-gara kecelakaan, kamu jadi ngelantur ngomongnya,” ucap Fakhri.Damar menggeleng sambil tersenyum. “Aku gak ngelantur. Aku memang berkata jujur. Aku iri padamu, Fakhri.”Seketika Fakhri terdiam, matanya kini menatap tajam Damar. Aina yang duduk di samping Fakhri berdiri tidak berani berkomentar. Ia hanya memperhatikan interaksi mereka berdua.“Hidupmu begitu sempurna. Kamu tampan, kaya, pintar kemudian dilimpahi banyak kasih sayang dari keluargamu. Tidak hanya itu, banyak wanita yang tergila padamu. Berbanding terbalik dengan aku.”Damar menunduk, menjeda kalimatnya. Sekilas Aina melihat ada
“Siapa? Apa Wulan pelakunya?” sergah Fakhri.Matanya sudah menyalang penuh amarah bertanya ke Damar. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam sambil menatap pria itu tampak kedip.“Iya, Wulan pelakunya,” jawab Damar.“Tepat dugaanku,” geram Fakhri.Ia berkata sambil menggenggam tangan kanan dan memukulkan ke telapak tangan kiri.“Dia memang tidak mengaku, tapi aku sempat mengancamnya tempo hari. Sepertinya dia ketakutan dan menyuruh orang untuk menabrakku.”Fakhri dan Aina tercengang sambil menatap Damar.“Jadi Wulan juga yang menjadi dalang di balik kecelakaanmu ini?” tanya Aina.Damar mengangguk. “Iya. Aku sudah hapal permainannya dan ini adalah ulah Wulan.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala.“Kita harus menjebloskan dia ke penjara, kalau perlu seumur hidup!!” Fakhri berkata sambil menggigit giginya. Ia terlihat ger
“Fakhri, kamu dari mana saja? Sampai lumutan aku menunggumu,” seru Robby menyambut Fakhri.Fakhri tampak terkejut begitu masuk ke dalam rumah sudah melihat Robby di ruang tamu rumahnya. Matanya beredar sedang mencari Bu Rahma ke seluruh penjuru. Fakhri yakin kedatangan Robby kali ini berhubungan dengan pencarian terhadap anak kandungnya dan Fakhri belum mengatakan hal ini ke ibunya.“Ibumu baru saja keluar. Jadi, kamu tenang saja. Beliau tidak akan tahu.”Fakhri menghela napas panjang sambil mengurut dadanya, kemudian mengajak Robby ke ruang kerjanya. Di sana mereka lebih bebas untuk berbicara.“Bagaimana? Apa ada info, Rob?”Fakhri langsung bertanya to the point begitu mereka masuk ke ruang kerja. Robby tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, aku minta beberapa temanku untuk membantu penyelidikan ini. Di hari yang sama saat itu memang ada beberapa kelahiran. Dua bayi perempuan dan empat bayi laki-laki, salah satunya putramu.”Fa
“Aina!! Sayang …. ,” seru Fakhri.Fakhri langsung cemberut begitu Aina langsung mengakhiri kecupannya. Aina hanya tertawa melihat reaksinya. Kadang kala sikap Fakhri memang seperti anak kecil dan Aina suka menggodanya.“Kenapa kamu menciumku saat aku menyetir? Kalau nabrak gimana?”Aina kembali terkekeh. Ia pikir Fakhri akan marah, tapi malah bertanya seperti itu.“Maaf, habis kamu makin manis belakangan ini.”Sontak wajah Fakhri merah padam mendengar pujian Aina. Baru kali ini setelah mereka bersama lagi, Aina memujinya. Tentu saja membuat Fakhri tersipu malu. Hal yang sangat jarang melihat pria itu bereaksi begitu dan Aina senang melihatnya.Aina kembali tertawa dan jadi geli sendiri melihat reaksi Fakhri. Fakhri hanya diam sambil melihat Aina dengan sudut matanya.“Tunggu saja, Aina. Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu minta ampun di malam pernikahan kita nanti,” batin Fakhri
“Reza??” gumam Wulan.Reza tersenyum, berjalan mendekat kemudian duduk di kursi bersebelahan dengan brankar Wulan. Bu Vita buru-buru mundur dan berangsur keluar. Padahal Wulan sudah sebisa mungkin memberi isyarat ke mamanya agar tidak menyingkir.“Akhirnya … aku yang membantumu lagi, kan?” ucap Reza.Wulan terdiam, tapi matanya tampak menatap penuh kebencian ke Reza. Reza tersenyum membalas tatapan Wulan.“Aku selalu mencintaimu, Wulan. Aku juga yang selalu membantumu di saat terjepit.”Wulan tidak menjawab hanya diam sambil menundukkan kepala. Reza mengulum senyum, menyentuh tangan Wulan sekilas dan entah mengapa itu membuat Wulan secara spontan menarik tangannya.Reza menyeringai melihat reaksi Wulan.“Kamu masih saja sama. Selalu jijik jika melihatku. Apa aku sama sekali tidak berharga di matamu, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Wanita cantik itu malah memalingkan w
“Syukurlah, kalian segera datang. Tadinya aku hendak ke tempat kalian,” ujar Robby.Ia langsung menyambut Fakhri dan Aina yang baru datang dengan kalimat seperti itu. Fakhri dan Aina hanya mengangguk kemudian langsung masuk ke ruangan Robby.“Kami mau mendengar penjelasanmu mengenai kemarin. Apa benar yang kamu katakan jika putraku sudah meninggal?” tanya Fakhri.Robby terdiam sesaat sambil melirik Aina yang duduk di sebelah Fakhri. Wanita itu terlihat lebih tenang dari semalam. Bisa jadi Fakhri sudah memberi banyak penjelasan ke Aina.“Iya, berdasar rekam medis yang ditemukan seperti itu. Hanya saja ---”Robby menjeda kalimatnya. Fakhri dan Aina terdiam memperhatikan dengan saksama.“Kresna menemukan kejanggalan dan masih menyelidikinya. Semoga saja ia segera menemukan titik terang tentang putra kalian.”Aina terdiam menghela napas sambil menganggukkan kepala. Mungkin untuk sementara wa
“Kok Zafran ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” sahut Aina.Aina dan Fakhri sangat terkejut saat Zafran berkata seperti itu. Selama ini tidak ada yang memberitahu mengenai status Zafran sebenarnya. Bahkan mereka sengaja menyembunyikannya. Mengapa juga Zafran tiba-tiba tahu? Apa ia mendengar pembicaraan Aina dan Fakhri?Zafran tidak menjawab malah semakin menundukkan kepala. Fakhri menyentuh bahu Zafran dan mengelusnya perlahan. Kemudian duduk jongkok di depannya.“Zafran, siapa bilang Zafran bukan anak Ayah dan Bunda. Kamu itu selalu menjadi anak Ayah dan Bunda. Selamanya dan tidak pernah berubah.”Zafran termenung sambil menatap Fakhri yang sedang memandang ke arahnya. Fakhri tersenyum membalas tatapannya.“Bukannya semalam Ayah sudah bilang kalau kita akan kembali bersama seperti dulu lagi. Kenapa Zafran malah pergi pagi ini?”Zafran menganggukkan kepala. “Maafkan Zafran, Ayah, Bunda.”
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu