“Ssst!!!” sontak Aina meletakkan telunjuknya ke depan mulut meminta Zafran diam.
Zafran tertegun melihat reaksi ibunya. Namun, dia menurut dan sudah tak bersuara. Untung saja Damar masih asyik dengan kesibukannya dan mengabaikan ulah ibu anak itu.
Aina langsung menarik tangan Zafran menjauh dari jendela dan mendekatkan tubuhnya.
“Zafran jangan bilang apa-apa soal kemarin ke Om Damar, ya?” bisik Aina.
Zafran hanya diam. Matanya mengerjap berulang sambil menatap Aina dengan bingung. Aina tersenyum dan berharap Zafran mau bekerja sama dengannya. Setelah beberapa saat kemudian Zafran tersenyum sambil mengangguk.
“Ya udah, sekarang siap-siap dulu!!”
Zafran mengangguk kemudian berlari menuju kamarnya. Selang beberapa saat Damar kembali masuk menemui Aina. Untung saja Aina sudah duduk manis di sofa seperti tadi.
“Maaf, Aina. Tadi urusan kerjaan. Sepertinya mereka tidak sabar menunggu kedatanganku di
“Aina, aku serius. Kita ngapain di sini?” tanya Fakhri.Kini wajahnya terlihat tegang dengan mata menatap tajam ke Aina. Aina mendengkus, menghela napas panjang sambil merapikan rambutnya.Mereka sudah berada di dalam lift kali ini dan Aina sudah menekan angka 15 tadi. Dia sempat melihat angka yang tertera di lift saat Damar dan wanita itu masuk.“Jangan tanya dulu, Mas. Nanti pasti aku jelasin.”Fakhri berdecak, melirik jam di pergelangan tangannya kemudian beralih menatap Aina. Penampilan Aina saat ini sangat tidak cocok untuk masuk ke hotel bintang lima. Itu sebabnya dia butuh Fakhri untuk menemaninya. Aina takut ada petugas sekuriti yang menegurnya seperti tadi.TING!!Pintu lift sudah terbuka. Aina gegas keluar lebih dulu. Fakhri mengikutinya dengan bingung. Aina berjalan celinggukan sambil memperhatikan kamar-kamar yang tertutup rapat. Ia yakin kalau lift yang dinaiki Damar berhenti di lantai 15. Namun, kenapa d
“Eh-hem, maaf, Tuan.”Sebuah suara menginterupsi interaksi mereka. Perlahan Fakhri membuka mata dan menoleh ke arah suara tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Aina.Kini di samping mereka tampak seorang pria berpakaian sekuriti sedang menatap tajam ke arahnya. Aina buru-buru menurunkan tangan dari leher Fakhri dan mengurai pagutan mereka. Wajahnya sudah merah dan tampak malu. Aina hanya menunduk tanpa mau melihat ke sekuriti tersebut. Berbanding terbalik dengan Fakhri yang terlihat lebih tenang.“Iya, Pak,” jawab Fakhri.Sekuriti itu tersenyum sambil menatap Fakhri penuh hormat.“Jika Tuan tidak keberatan, mungkin bisa melanjutkannya di kamar. Kami takut banyak tamu hotel yang tidak nyaman karena ulah Anda.”Fakhri menelan saliva dengan gerak jakunnya naik turun. Ia tersenyum sambil mengangguk. Ia tidak menduga jika aksinya dengan Aina kali ini akan mendapat teguran dari pihak hotel.“Iya, t
“Seharian menemanimu?” ulang Aina.Fakhri mengangguk sambil tersenyum.“Iya, 24 jam menemaniku. Mau, gak?”Aina tidak menjawab, tapi matanya sudah menatap Fakhri penuh selidik. Aina curiga, mantan suaminya sedang merencanakan sesuatu untuknya. Fakhri seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Aina kali ini. Ia kembali membuka mulut.“Kamu jangan negative thinking dulu. Aku hanya ingin kamu menjadi asistenku. Susi besok cuti dan aku akan kerepotan kalau tanpa bantuannya.”Sontak Aina menghela napas lega usai mendengar penjelasan Fakhri. Sepertinya dia terlalu berprasangka buruk pada mantan suaminya.“Ya udah, kalau hanya menggantikan Susi. Aku bersedia.”“Tapi, 24 jam loh. Kamu harus menginap di rumah Ibu. Nanti akan aku sediakan kamar atau mau satu kamar denganku?”Seketika mata Aina membola menatap Fakhri. Sementara Fakhri tertawa melihat reaksinya.“Aku berc
Mata Aina langsung tertuju ke telunjuk Fakhri. Dalam keremangan cahaya dia melihat siluet pria yang sangat dikenalnya. Dia sedang berdiri sambil memeluk pinggang seorang wanita. Tangan kanannya memeluk wanita itu sementara tangan kirinya memegang gelas minuman. Sesekali wajahnya mendekat mengecup bahu polos wanita tersebut.“Damar? Itu Damar?” gumam Aina lirih.“Siapa lagi? Masa kamu tidak mengenalinya?” sahut Fakhri.Aina bergeming di tempatnya. Selama ini yang dia tahu Damar sangat baik, pendiam, sopan dan tidak seperti yang ia lihat saat ini. Ini bukan Damar yang ada dalam bayangannya.Musik kembali menghentak, memekakkan telinga Aina. Dia tidak tahan di tempat seperti ini, tapi kenapa yang ada di sini tampak menikmati. Bahkan Damar tampak sedang menggoyangkan tubuhnya, merapat ke wanita itu sambil memeluk erat pinggang rampingnya.“Udah, buruan samperin!! Apa kamu mau diam di sini saja?”Kembali suara Fakhri menginterupsi lamunan Aina. Aina diam membisu, bergeming di tempatnya. Dia
“Heh??? Apa maksudmu?” tanya Fakhri.Fakhri terkejut mendengar pertanyaan Aina. Biasanya mantan istrinya ini selalu malas membahas hal seperti ini. Namun, entah mengapa kali ini malah bertanya lebih dulu. Fakhri melambatkan mobilnya dan memilih berhenti di rest area terdekat. Sepertinya ada yang ingin mereka bicarakan kali ini.Aina yang tadinya terdiam menunggu jawaban Fakhri kini kembali menatap ke arahya. Fakhri menghela napas, melepas seat belt sambil menatap Aina dengan sendu.“Aku rasa kamu tahu jawabannya. Kenapa harus tanya?”Aina terdiam, menunduk dan memalingkan wajah dari Fakhri. Tangannya sibuk meremas satu sama lain dan Fakhri hanya diam memperhatikan.“Jangan, Mas. Tolong, jangan cintai aku!! Aku tidak mau dicintai oleh siapa pun.”Tentu saja ucapan Aina membuat Fakhri terkejut. Alisnya mengernyit menatap linglung ke Aina.“Kenapa kamu ngomong gitu, Aina?”Tanpa diminta air mata Aina sudah berhamburan turun membasahi pipinya. Ia sesenggukan dengan bahu naik turun mengolah
“APA!!!??” seru Bu Tika.Mata wanita paruh baya itu membola penuh menatap Aina dengan mimik terkejut. Aina hanya diam sambil menundukkan kepala. Ia tidak tahu kenapa keceplosan bicara. Padahal Aina ingin menyimpan semuanya usai mendapat hasil test DNA ulang.Namun, ulah Bu Tika benar-benar keterlaluan dan membuat Aina naik pinta. Bu Hani yang duduk di sebelah Aina tampak kaget dan melihat Aina dengan bingung. Memang Aina sengaja belum membicarakan hal itu dengan siapa pun.“Aina … kamu tidak berkata bohong, kan? Bukankah katamu Damar ayah Zafran. Kenapa sekarang jadi sebaliknya?” tanya Bu Hani.Aina menghela napas, bahunya naik turun dengan ritme teratur. Sesekali wanita cantik itu menyunggar rambutnya.“Kalau Tante dan Ibu ingin bukti lebih akurat, kita tunggu saja hasil test DNA-nya. Damar bukan ayah Zafran.”“OMONG KOSONG!!! Sudah kuduga kamu bukan wanita baik-baik. Pantas saja Fakhri mendu
“Apa!! Dia bilang gitu dan Mama percaya?” sergah Damar.Bu Tika tidak menjawab hanya diam sambil menatap tajam putranya. Wanita paruh baya itu sudah memundurkan tubuhnya, duduk di kursi depan meja kerja Damar sambil menatap tanpa kedip.“Apa kamu bisa membuktikan kalau ucapannya salah?”Bu Tika malah menantang Damar. Damar terdiam, jakunnya naik turun dengan tergesa. Kemudian tak lama hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.“Memangnya Mama ingin aku melakukan apa?”“Zafran. Mama ingin cucu Mama. Dia anakmu, bukan?”Damar belum menjawab hanya menelan ludah dengan gerak jakun yang makin cepat. Damar benar-benar terkejut dengan kedatangan mamanya ditambah pertanyaan dari Bu Tika tadi. Setelah beberapa saat akhirnya Damar mengangguk.“Iya, dia anakku. Memangnya kenapa? Mama mau apa dengan Zafran?” Damar tampak panik. Ia tahu sifat ibunya dan Bu Tika tipe orang yang tidak suka
Sabtu pagi, suara ketukan terdengar keras di pintu kamar Fakhri. Fakhri yang masih sembunyi di balik selimut, gegas bangkit. Matanya masih mengantuk, tapi suara ketukan itu terus mengusiknya.“Ada apa, Bu?” tanya Fakhri.Ia sudah membuka pintu dan tahu kalau pelaku yang mengusik akhir pekannya adalah sang Ibu.“Astaga!! Sampai jam berapa kamu tidur, Fakhri. Ini sudah siang.”Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Semalam dia pulang sangat larut. Robby sengaja mengajaknya hang out di pub. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasih Fakhri pada Robby karena sudah membantu Aina menemukan jejak kebohongan Damar.“Ini akhir pekan, Bu. Apa salahnya aku bangun lebih siang?”Bu Rahma berdecak, melipat tangan di depan dada sambil menggelengkan kepala menatap Fakhri.“Ini memang akhir pekan, tapi tidak seharusnya kamu bangun siang.”Fakhri hanya diam. Ia sudah membuka lebar pintu kam
“Aina!! Sayang …. ,” seru Fakhri.Fakhri langsung cemberut begitu Aina langsung mengakhiri kecupannya. Aina hanya tertawa melihat reaksinya. Kadang kala sikap Fakhri memang seperti anak kecil dan Aina suka menggodanya.“Kenapa kamu menciumku saat aku menyetir? Kalau nabrak gimana?”Aina kembali terkekeh. Ia pikir Fakhri akan marah, tapi malah bertanya seperti itu.“Maaf, habis kamu makin manis belakangan ini.”Sontak wajah Fakhri merah padam mendengar pujian Aina. Baru kali ini setelah mereka bersama lagi, Aina memujinya. Tentu saja membuat Fakhri tersipu malu. Hal yang sangat jarang melihat pria itu bereaksi begitu dan Aina senang melihatnya.Aina kembali tertawa dan jadi geli sendiri melihat reaksi Fakhri. Fakhri hanya diam sambil melihat Aina dengan sudut matanya.“Tunggu saja, Aina. Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu minta ampun di malam pernikahan kita nanti,” batin Fakhri
“Reza??” gumam Wulan.Reza tersenyum, berjalan mendekat kemudian duduk di kursi bersebelahan dengan brankar Wulan. Bu Vita buru-buru mundur dan berangsur keluar. Padahal Wulan sudah sebisa mungkin memberi isyarat ke mamanya agar tidak menyingkir.“Akhirnya … aku yang membantumu lagi, kan?” ucap Reza.Wulan terdiam, tapi matanya tampak menatap penuh kebencian ke Reza. Reza tersenyum membalas tatapan Wulan.“Aku selalu mencintaimu, Wulan. Aku juga yang selalu membantumu di saat terjepit.”Wulan tidak menjawab hanya diam sambil menundukkan kepala. Reza mengulum senyum, menyentuh tangan Wulan sekilas dan entah mengapa itu membuat Wulan secara spontan menarik tangannya.Reza menyeringai melihat reaksi Wulan.“Kamu masih saja sama. Selalu jijik jika melihatku. Apa aku sama sekali tidak berharga di matamu, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Wanita cantik itu malah memalingkan w
“Syukurlah, kalian segera datang. Tadinya aku hendak ke tempat kalian,” ujar Robby.Ia langsung menyambut Fakhri dan Aina yang baru datang dengan kalimat seperti itu. Fakhri dan Aina hanya mengangguk kemudian langsung masuk ke ruangan Robby.“Kami mau mendengar penjelasanmu mengenai kemarin. Apa benar yang kamu katakan jika putraku sudah meninggal?” tanya Fakhri.Robby terdiam sesaat sambil melirik Aina yang duduk di sebelah Fakhri. Wanita itu terlihat lebih tenang dari semalam. Bisa jadi Fakhri sudah memberi banyak penjelasan ke Aina.“Iya, berdasar rekam medis yang ditemukan seperti itu. Hanya saja ---”Robby menjeda kalimatnya. Fakhri dan Aina terdiam memperhatikan dengan saksama.“Kresna menemukan kejanggalan dan masih menyelidikinya. Semoga saja ia segera menemukan titik terang tentang putra kalian.”Aina terdiam menghela napas sambil menganggukkan kepala. Mungkin untuk sementara wa
“Kok Zafran ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” sahut Aina.Aina dan Fakhri sangat terkejut saat Zafran berkata seperti itu. Selama ini tidak ada yang memberitahu mengenai status Zafran sebenarnya. Bahkan mereka sengaja menyembunyikannya. Mengapa juga Zafran tiba-tiba tahu? Apa ia mendengar pembicaraan Aina dan Fakhri?Zafran tidak menjawab malah semakin menundukkan kepala. Fakhri menyentuh bahu Zafran dan mengelusnya perlahan. Kemudian duduk jongkok di depannya.“Zafran, siapa bilang Zafran bukan anak Ayah dan Bunda. Kamu itu selalu menjadi anak Ayah dan Bunda. Selamanya dan tidak pernah berubah.”Zafran termenung sambil menatap Fakhri yang sedang memandang ke arahnya. Fakhri tersenyum membalas tatapannya.“Bukannya semalam Ayah sudah bilang kalau kita akan kembali bersama seperti dulu lagi. Kenapa Zafran malah pergi pagi ini?”Zafran menganggukkan kepala. “Maafkan Zafran, Ayah, Bunda.”
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu