Sabtu pagi, suara ketukan terdengar keras di pintu kamar Fakhri. Fakhri yang masih sembunyi di balik selimut, gegas bangkit. Matanya masih mengantuk, tapi suara ketukan itu terus mengusiknya.
“Ada apa, Bu?” tanya Fakhri.
Ia sudah membuka pintu dan tahu kalau pelaku yang mengusik akhir pekannya adalah sang Ibu.
“Astaga!! Sampai jam berapa kamu tidur, Fakhri. Ini sudah siang.”
Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Semalam dia pulang sangat larut. Robby sengaja mengajaknya hang out di pub. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasih Fakhri pada Robby karena sudah membantu Aina menemukan jejak kebohongan Damar.
“Ini akhir pekan, Bu. Apa salahnya aku bangun lebih siang?”
Bu Rahma berdecak, melipat tangan di depan dada sambil menggelengkan kepala menatap Fakhri.
“Ini memang akhir pekan, tapi tidak seharusnya kamu bangun siang.”
Fakhri hanya diam. Ia sudah membuka lebar pintu kam
“Tepat dugaanku, ternyata kamu lebih memilih Fakhri, Aina.”Belum sempat Aina menjawab permintaan Fakhri, tiba-tiba ia mendengar suara Damar dari arah pintu. Fakhri menoleh, matanya berkelebatan menatap penuh amarah ke Damar. Secara tidak langsung Damar sudah merusak momennya.Fakhri langsung bangkit, menyimpan kotak cincinnya dan berjalan menghampiri Damar.“Kalau iya, memangnya kenapa? Kamu sakit hati?” ucap Fakhri.Ia berkata dengan kata mengejek dan Aina bisa mendengar jelas ucapan ketus mantan suaminya. Damar mendengkus, tangannya mengepal dengan mata penuh amarah memandang Fakhri.“Jangan-jangan kalian sudah berhubungan lagi di belakangku dan kamu memanfaatkan kesempatan dengan baik. Bahkan kamu menjebakku saat aku sedang bersama Tiwi tempo hari.”Sontak Fakhri tergelak mendengar ucapan Damar.“Sekarang kamu malah menyalahkanku, Damar. Coba kamu ngaca!! Kamu yang berbuat ulah, aku yang k
“Ada apa, Rob? Kenapa tiba-tiba memanggilku ke sini?” tanya Fakhri pagi itu.Masih pukul tujuh pagi, tapi Fakhri sudah berada di rumah sakit bersama Robby. Tentu saja Fakhri penasaran dengan ulah sahabatnya. Tidak biasanya dia berangkat sepagi ini di hari senin. Semoga saja ada penjelasan lengkap dari Robby.“Sepertinya tepat dugaanmu, ada yang berusaha menyabotase hasil test DNA itu,” ujar Robby.Fakhri terperangah kaget mendengar penjelasan Robby.“Lalu apa yang terjadi?”“Ada yang membobol masuk lab, mereka mengobrak-abrik semua sample dan juga hasil lab. Untung aku sudah minta temanku untuk mengamankan hasil lab test DNA kalian.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Apa tidak ada sekuriti yang tahu?”“Sepertinya mereka memanfaatkan saat jam pergantian shift jaga. Sedangkan lab ini tidak buka 24 jam dan kamu tahu sendiri letaknya yang se
“Sepertinya semua sudah berkumpul di sini,” ucap pria berambut keriting yang tak lain teman Robby.Pukul dua siang, Aina, Fakhri, Damar dan juga Robby sudah berkumpul di salah satu ruangan dalam lab tersebut. Wajah mereka terlihat tegang, hanya Aina saja yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.“Iya, Dok. Semua sudah hadir.” Robby yang bersuara.Pria berambut keriting yang tak lain dokter yang bertugas di sini juga yang melakukan sendiri test DNA. Ia tersenyum menatap satu persatu orang yang hadir di dalam sana. Aina duduk di antara Fakhri dan Damar. Wajahnya terlihat tenang, tanpa ekspresi apa pun. Mungkin karena dia tidak mau mengambil pusing dengan hasil test kali ini.Berbanding terbalik dengan dua pria yang duduk di samping kanan dan kirinya. Fakhri terlihat tegang, bahkan wajahnya yang berkulit putih terlihat semakin pucat. Seakan tidak ada darah yang mengalir di sana.Hal yang sama juga ditunjukkan Damar. Hanya saja
“APA!!!??”Tidak hanya Fakhri yang berseru kaget, semua yang hadir di ruangan itu ikut berteriak. Bahkan Damar yang sedari tadi menunduk sontak mendongak dan menatap tak percaya dengan kenyataan ini.“Dok, Anda jangan main-main. Mana mungkin dia bukan anak saya? Saya yang mengandung sembilan bulan.”Kini Aina sontak bersuara. Ia sangat terkejut usai mendengar penjelasan ini. Fakhri yang duduk di sebelah Aina hanya diam sambil menatap tajam Dokter Jody.“Hasil test-nya pasti salah kan, Dok?” tanya Fakhri.Ia bahkan kini melirik ke arah Robby seolah meminta Robby membantunya. Robby segera bangkit dan menghampiri Dokter Jody.“Kamu yakin tidak melakukan kesalahan? Bagaimana mungkin Zafran bukan anak mereka?”Dokter Jody menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.“Semua test ini saya yang mengerjakan, tanpa campur tangan siapa pun. Dan saya bersumpah demi Tuhan, tidak ada r
“Kok bisa? Kok bisa Zafran bukan putra kandung mereka,” gumam Damar.Usai mengetahui hasil test DNA tadi, Damar masih belum percaya jika Zafran bukan anak kandung Fakhri dan Aina. Damar sudah kembali ke kantornya dan kini tampak diam melamun memikirkan hasil test tadi.“Apa ada seseorang yang berada di balik semua ini?”Kembali Damar bermonolog. Dia terdiam beberapa saat kemudian tersenyum menyeringai sambil menggelengkan kepala.“Wulan. Aku yakin Wulan pasti tahu mengenai hal ini. Apa mungkin sudah waktunya meminta dia membuat pengakuan?”Damar mendengkus kesal saat teringat berapa banyak rupiah yang telah dia habiskan ke Wulan dan kroninya. Namun, pada akhirnya dia urung bersatu dengan Aina.“Rasanya aku harus menjenguknya dalam waktu dekat ini. Awas saja kalau dia tidak mengaku!!!”Sementara itu Aina sudah tiba di rumah. Dia terpaksa menerima tawaran Fakhri untuk mengantarnya pulang.
“HEI!! Kamu jangan asal nuduh, Damar!!” seru Wulan.Wajah Wulan langsung merah padam dengan mata menyalang menatap penuh amarah. Damar hanya diam memperhatikan. Tidak biasanya Wulan akan semarah ini. Biasanya wanita cantik itu terlihat santai menanggapi dugaannya. Damar semakin yakin kalau Wulan menyembunyikan sesuatu.“Lagipula aku tidak ada di kota ini delapan tahun yang lalu. Mana mungkin aku menukar bayinya saat di rumah sakit.” Wulan menambahkan kalimatnya dengan nada suara yang lirih.Damar mendengkus dengan mata penuh selidik menatap Wulan.“Aku tidak bilang kamu menukarnya di rumah sakit dan kenapa kamu tahu kalau kejadiannya delapan tahun yang lalu?”Sontak Wulan terperangah kaget. Wajahnya terlihat gusar dan buru-buru memalingkan wajah dari tatapan Damar. Damar hanya diam menekuk tangannya di atas meja dengan mata yang fokus ke arah Wulan.“Eng … memangnya kamu tidak tahu kalau umur
“Beneran Zafran boleh pilih makanan apa saja malam ini, Ayah, Bunda?” tanya Zafran.Sesuai ucapan Fakhri, hari ini mereka bertiga memutuskan makan malam bersama di luar rumah. Selain untuk menghilangkan ketegangan usai menerima keputusan hasil test DNA tadi, Fakhri juga ingin menghabiskan waktu bersama Aina dan Zafran.“Iya, boleh. Namun, kalau sudah pesan makanan harus dihabiskan, ya?” jawab Fakhri.Zafran tersenyum lebar dengan mata kecilnya yang berbinar. Fakhri ikut tersenyum sambil meliriknya melalui kaca spion. Aina yang duduk di sebelah Fakhri hanya terdiam seraya memperhatikan interaksi mereka berdua.Sikap Fakhri tidak berubah pada Zafran. Meski dia tahu Zafran bukan anaknya, tak sedikit pun perubahan sikap yang ia lakukan. Harusnya Aina juga seperti itu, tapi entah mengapa benaknya sibuk memikirkan keberadaan anak kandungnya.“Kamu mau makan apa, Aina?”Pertanyaan Fakhri menginterupsi lamunan Ain
“Makasih ya, Mas,” ucap Aina.Mobil Fakhri baru saja berhenti di depan rumah Aina. Usai makan malam di luar tadi, Fakhri mengantar Aina dan Zafran pulang ke rumah. Fakhri hanya mengangguk sambil tersenyum. Zafran sudah turun lebih dulu usai berpamitan ke Fakhri. Tinggal Aina dan Fakhri saja yang di dalam mobil.“Aku turun dulu, Mas.”Aina bersiap membuka seat belt hendak turun, tapi tangan Fakhri tiba-tiba mencekal lengan Aina. Aina menoleh ke arahnya dengan mata bertanya.“Besok, aku akan mulai penyelidikan ke rumah sakit tempat kamu melahirkan dulu.”Aina terdiam sesaat, kemudian mengangguk dengan lirih. Fakhri tersenyum melihat reaksinya.“Jangan sedih!! Aku yakin bisa menemukannya.”Kembali kalimat Fakhri membuat Aina percaya jika mantan suaminya akan melakukan apa saja untuk putra kandung mereka.“Iya, Mas.”Aina tersenyum kemudian Fakhri melepas cekalannya dan mengizinkan Aina keluar dari mobil. Fakhri sengaja tidak turun, dia ingin langsung pulang, lagipula hari sudah larut mala
“Aina!! Sayang …. ,” seru Fakhri.Fakhri langsung cemberut begitu Aina langsung mengakhiri kecupannya. Aina hanya tertawa melihat reaksinya. Kadang kala sikap Fakhri memang seperti anak kecil dan Aina suka menggodanya.“Kenapa kamu menciumku saat aku menyetir? Kalau nabrak gimana?”Aina kembali terkekeh. Ia pikir Fakhri akan marah, tapi malah bertanya seperti itu.“Maaf, habis kamu makin manis belakangan ini.”Sontak wajah Fakhri merah padam mendengar pujian Aina. Baru kali ini setelah mereka bersama lagi, Aina memujinya. Tentu saja membuat Fakhri tersipu malu. Hal yang sangat jarang melihat pria itu bereaksi begitu dan Aina senang melihatnya.Aina kembali tertawa dan jadi geli sendiri melihat reaksi Fakhri. Fakhri hanya diam sambil melihat Aina dengan sudut matanya.“Tunggu saja, Aina. Tunggu pembalasanku. Akan kubuat kamu minta ampun di malam pernikahan kita nanti,” batin Fakhri
“Reza??” gumam Wulan.Reza tersenyum, berjalan mendekat kemudian duduk di kursi bersebelahan dengan brankar Wulan. Bu Vita buru-buru mundur dan berangsur keluar. Padahal Wulan sudah sebisa mungkin memberi isyarat ke mamanya agar tidak menyingkir.“Akhirnya … aku yang membantumu lagi, kan?” ucap Reza.Wulan terdiam, tapi matanya tampak menatap penuh kebencian ke Reza. Reza tersenyum membalas tatapan Wulan.“Aku selalu mencintaimu, Wulan. Aku juga yang selalu membantumu di saat terjepit.”Wulan tidak menjawab hanya diam sambil menundukkan kepala. Reza mengulum senyum, menyentuh tangan Wulan sekilas dan entah mengapa itu membuat Wulan secara spontan menarik tangannya.Reza menyeringai melihat reaksi Wulan.“Kamu masih saja sama. Selalu jijik jika melihatku. Apa aku sama sekali tidak berharga di matamu, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Wanita cantik itu malah memalingkan w
“Syukurlah, kalian segera datang. Tadinya aku hendak ke tempat kalian,” ujar Robby.Ia langsung menyambut Fakhri dan Aina yang baru datang dengan kalimat seperti itu. Fakhri dan Aina hanya mengangguk kemudian langsung masuk ke ruangan Robby.“Kami mau mendengar penjelasanmu mengenai kemarin. Apa benar yang kamu katakan jika putraku sudah meninggal?” tanya Fakhri.Robby terdiam sesaat sambil melirik Aina yang duduk di sebelah Fakhri. Wanita itu terlihat lebih tenang dari semalam. Bisa jadi Fakhri sudah memberi banyak penjelasan ke Aina.“Iya, berdasar rekam medis yang ditemukan seperti itu. Hanya saja ---”Robby menjeda kalimatnya. Fakhri dan Aina terdiam memperhatikan dengan saksama.“Kresna menemukan kejanggalan dan masih menyelidikinya. Semoga saja ia segera menemukan titik terang tentang putra kalian.”Aina terdiam menghela napas sambil menganggukkan kepala. Mungkin untuk sementara wa
“Kok Zafran ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” sahut Aina.Aina dan Fakhri sangat terkejut saat Zafran berkata seperti itu. Selama ini tidak ada yang memberitahu mengenai status Zafran sebenarnya. Bahkan mereka sengaja menyembunyikannya. Mengapa juga Zafran tiba-tiba tahu? Apa ia mendengar pembicaraan Aina dan Fakhri?Zafran tidak menjawab malah semakin menundukkan kepala. Fakhri menyentuh bahu Zafran dan mengelusnya perlahan. Kemudian duduk jongkok di depannya.“Zafran, siapa bilang Zafran bukan anak Ayah dan Bunda. Kamu itu selalu menjadi anak Ayah dan Bunda. Selamanya dan tidak pernah berubah.”Zafran termenung sambil menatap Fakhri yang sedang memandang ke arahnya. Fakhri tersenyum membalas tatapannya.“Bukannya semalam Ayah sudah bilang kalau kita akan kembali bersama seperti dulu lagi. Kenapa Zafran malah pergi pagi ini?”Zafran menganggukkan kepala. “Maafkan Zafran, Ayah, Bunda.”
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu