“Kita mau ke mana?” tanya Aina.
Ia sudah berada di dalam mobil bersama Fakhri. Aina terpaksa meminta Rini mengantar Zafran ke sekolah gara-gara ulah dadakan Fakhri kali ini.
Fakhri mendengkus sambil melirik ke Aina yang duduk di sampingnya.
“Bukannya kamu mau bukti tentang kebohongan Damar. Dan sekarang kita menuju ke sana.”
Aina terdiam, menelan saliva beberapa kali sambil sesekali melihat Fakhri. Pria tampan itu tampak fokus menatap lalu lintas di depannya. Pagi ini jalanan tampak semrawut. Suara klakson terdengar di mana-mana seolah tak sabar ingin melintas.
Aina memperhatikan jalan dan dia tahu akan ke mana mereka kali ini. Aina menoleh ke Fakhri secara bersamaan Fakhri melirik ke arahnya.
“Apa? Mau tanya apa lagi?” Suara Fakhri terdengar masih ketus. Bisa jadi dia masih marah dengan ucapan Aina tadi.
Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil mengalihkan pandangannya keluar jendela.<
“HAH!!! Apa katamu?” tanya Fakhri.Aina menghela napas panjang sambil menatap Fakhri dengan jengah. Ia terlihat semakin kesal kali ini. Sudah menunggu lama, malah kini Aina harus bertemu dengan Dokter Rendy yang dipikir dokternya Oma Maya.“Aku sudah pernah bertemu dengannya kemarin dan dia adalah dokter yang menangani Oma Maya.”Kini Fakhri tampak terbelalak kaget melihat ucapan Aina.“Memangnya siapa yang berkata seperti itu?”“Damar yang mengatakannya.”Sontak decakan kesal terdengar jelas keluar dari bibir Fakhri. Aina hanya diam sambil mengawasi pria tampan di sampingnya. Fakhri menggelengkan kepala sambil menepuk keningnya beberapa kali.“Kamu sudah dibohonginya, Aina. Ayo, ikut aku!!”Tanpa menunggu jawaban Aina, Fakhri langsung menarik tangan Aina. Mereka berjalan menghampiri Rendy. Tentu saja Rendy terkejut saat melihat Fakhri mendekatinya.“Fakhr
“Apa maksudmu, Damar?” tanya Aina.Tentu saja mendengar nama Damar disebut membuat Fakhri menoleh ke arah Aina. Pria tampan itu sudah menduga jika yang melakukan panggilan kali ini adalah Damar.“Gak usah banyak alasan. Buruan Turun!! Aku di belakangmu!!”Aina sontak terdiam, mematikan ponselnya dan segera melihat melalui kaca spion. Ia membisu saat melihat mobil Damar tepat berada di belakangnya. Fakhri mengawasinya dengan saksama.“Mobil Damar di belakang. Apa dia memintamu turun?” tebak Fakhri.Aina menghela napas sambil menganggukkan kepala. Fakhri tampak kesal, tapi dia berusaha menutupinya. Tak lama, Fakhri menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket. Mobil Damar di belakang ikut menepi.Setelahnya Damar keluar dari mobil. Wajahnya tampak merah, matanya menyalang menatap penuh amarah. Baru kali ini Fakhri melihat reaksi sepupunya semarah ini. Ia takut terjadi sesuatu pada Aina.Fakhri bergeg
Keesokan harinya, Fakhri sudah datang lebih dulu ke rumah sakit. Tak berapa lama menyusul Aina, Damar dan Zafran. Mereka tampak bersiap satu persatu melakukan pengambilan sample untuk test DNA.“Kapan hasilnya keluar?” tanya Damar.Ia baru saja usai lebih dulu melakukan pengambilan sample.“Dua minggu, Pak. Nanti kami hubungi,” jawab petugas lab tersebut.Damar hanya manggut-manggut. Namun, matanya tampak berkilatan menyimpan maksud tersembunyi. Ada Robby yang ikut hadir di sana memperhatikan.“Kalau sudah selesai, kita pulang, Aina!!” Kembali Damar bersuara kali ini sambil melihat Aina dan Zafran yang baru saja keluar dari ruang periksa.“Aku mau pulang sama Ayah saja, Bunda.” Tiba-tiba Zafran bersuara seperti itu.“Sayang … Zafran kan harus sekolah. Lagipula Ayah belum selesai dan juga harus kerja.”Zafran tampak cemberut, memajukan bibirnya beberapa senti ke
“Kamu bisa mengganti hasil test itu, kan?” ucap Damar di telepon.Dia tidak mau mengalami kegagalan lagi dalam test DNA kedua ini. Pernikahannya kurang enam bulan lagi. Dia dan keluarganya sudah melakukan banyak persiapan dan Damar tidak mau semuanya batal.“Tentu, Tuan. Namun, tentu saja bayarannya lebih tinggi dari yang kemarin.” Suara pria di seberang sana sudah terdengar.BRAK!!!Damar spontan memukul meja menimbulkan suara gaduh. Ia kesal karena harus berhadapan dengan orang mata duitan. Damar menghela napas, menahan amarahnya sambil mengepalkan tangan.“Berapa yang kamu minta?”Terdengar suara tawa dari seberang sana. Damar semakin kesal. Ia merasa dipermainkan. Namun, sebisa mungkin Damar menahan amarahnya. Dia masih membutuhkan pria ini dan sebisa mungkin mengambil hatinya.“Bagaimana jika nominalnya dua kali lipat dari kemarin?”Mata Damar membola, bibirnya terkatup denga
“Eng … bukan, Zafran. Itu bukan Om Damar,” seru Aina.Entah mengapa Aina malah menyangkal apa yang dikatakan Zafran kali ini. Zafran hanya diam tidak bersuara, tapi mata kecilnya sedang menatap Aina.Aina terdiam sesaat. Entah mengapa dia baik-baik saja saat melihat Damar berjalan mesra dengan wanita lain. Sangat berbanding terbalik saat Fakhri yang melakukannya. Apa memang tidak pernah ada cinta untuk Damar dari Aina? Namun, bagaimanapun Aina harus tahu siapa wanita itu.Aina gegas keluar mobil untuk mencari tahu keberadaan mereka. Dilihat dari tentengan di tangan wanita seksi itu, sepertinya mereka baru saja menghabiskan waktu belanja di salah satu tenant ternama di mall ini.Kepala Aina celinggukan sambil memperhatikan sekitar. Sosok yang mirip Damar itu sudah menghilang kali ini.“Bunda nyari siapa? Nyari Om Damar?”Tiba-tiba Zafran sudah keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya. Aina terjingkat sambil m
“Ssst!!!” sontak Aina meletakkan telunjuknya ke depan mulut meminta Zafran diam.Zafran tertegun melihat reaksi ibunya. Namun, dia menurut dan sudah tak bersuara. Untung saja Damar masih asyik dengan kesibukannya dan mengabaikan ulah ibu anak itu.Aina langsung menarik tangan Zafran menjauh dari jendela dan mendekatkan tubuhnya.“Zafran jangan bilang apa-apa soal kemarin ke Om Damar, ya?” bisik Aina.Zafran hanya diam. Matanya mengerjap berulang sambil menatap Aina dengan bingung. Aina tersenyum dan berharap Zafran mau bekerja sama dengannya. Setelah beberapa saat kemudian Zafran tersenyum sambil mengangguk.“Ya udah, sekarang siap-siap dulu!!”Zafran mengangguk kemudian berlari menuju kamarnya. Selang beberapa saat Damar kembali masuk menemui Aina. Untung saja Aina sudah duduk manis di sofa seperti tadi.“Maaf, Aina. Tadi urusan kerjaan. Sepertinya mereka tidak sabar menunggu kedatanganku di
“Aina, aku serius. Kita ngapain di sini?” tanya Fakhri.Kini wajahnya terlihat tegang dengan mata menatap tajam ke Aina. Aina mendengkus, menghela napas panjang sambil merapikan rambutnya.Mereka sudah berada di dalam lift kali ini dan Aina sudah menekan angka 15 tadi. Dia sempat melihat angka yang tertera di lift saat Damar dan wanita itu masuk.“Jangan tanya dulu, Mas. Nanti pasti aku jelasin.”Fakhri berdecak, melirik jam di pergelangan tangannya kemudian beralih menatap Aina. Penampilan Aina saat ini sangat tidak cocok untuk masuk ke hotel bintang lima. Itu sebabnya dia butuh Fakhri untuk menemaninya. Aina takut ada petugas sekuriti yang menegurnya seperti tadi.TING!!Pintu lift sudah terbuka. Aina gegas keluar lebih dulu. Fakhri mengikutinya dengan bingung. Aina berjalan celinggukan sambil memperhatikan kamar-kamar yang tertutup rapat. Ia yakin kalau lift yang dinaiki Damar berhenti di lantai 15. Namun, kenapa d
“Eh-hem, maaf, Tuan.”Sebuah suara menginterupsi interaksi mereka. Perlahan Fakhri membuka mata dan menoleh ke arah suara tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Aina.Kini di samping mereka tampak seorang pria berpakaian sekuriti sedang menatap tajam ke arahnya. Aina buru-buru menurunkan tangan dari leher Fakhri dan mengurai pagutan mereka. Wajahnya sudah merah dan tampak malu. Aina hanya menunduk tanpa mau melihat ke sekuriti tersebut. Berbanding terbalik dengan Fakhri yang terlihat lebih tenang.“Iya, Pak,” jawab Fakhri.Sekuriti itu tersenyum sambil menatap Fakhri penuh hormat.“Jika Tuan tidak keberatan, mungkin bisa melanjutkannya di kamar. Kami takut banyak tamu hotel yang tidak nyaman karena ulah Anda.”Fakhri menelan saliva dengan gerak jakunnya naik turun. Ia tersenyum sambil mengangguk. Ia tidak menduga jika aksinya dengan Aina kali ini akan mendapat teguran dari pihak hotel.“Iya, t
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,