Uang memang bisa diganti walau harus meminjam ke sana-kemari, tetapi malu dengan warga ini yang tidak bisa ditutupi. Alhasil, malam itu juga, Biru meninggalkan rumahnya. Rumah kontrakan yang sudah sangat lama ia tinggali, bahkan sebelum ia menikah dengan Hanun. Menggunakan sisa uang bekas menjual perhiasan Hanun, ibu, anak, dan sepupu itu mencari rumah kontrakan. Namun, mereka sulit menemukannya. “Ada-ada saja, bagaimana bisa Hanun hidup lagi? Pasti mereka itu tertipu arwah Hanun,” omel Bu Wati yang baru saja meletakkan bokongnya di atas kasur yang tidak begitu empuk. “Ada fotonya juga, Bu. Hanun beneran masih hidup. Saya yang salah paham. Saya kirain sudah benar meninggal. Padahal udah berharap sama Alani,” kata Biru yang tertunduk lesu. Rencananya menggelar predikat duda ternyata gagal dan kini malah menanggung malu. “Talak saja! dari awal kamu dan Hanun hanya menikah siri’kan? Lebih muda jika ingin menikah lagi, tetapi tidak perlu di
“Ada apa, Hanun? Kenapa kamu diam saja sejak tadi? Apa gak enak badan?” tanya Leon yang memperhatikan Hanun menyiapkan sarapan di atas meja. “Nggak papa, Om, saya baik-baik saja. Mungkin efek masih sedikit kepikiran yang kemarin di rumah, jadinya saya merasa seperti sangat lelah. Padahal sejak bangun tidur, saya gak ngapain,” jawab Hanun yang memaksakan senyumnya. Ia baru ke dapur untuk menata meja makan karena bibik melarangnya ke dapur. “Apa yang kamu pikirkan sehingga rasanya lelah sekali? Segitu bucinnya kamu pada Biru, sampai-sampai mengambil semua semangat kamu. Saya jadi iri. Coba saya jadi Biru!” ucapan Leon membuat Hanun merona. Ia tahu pria dewasa itu masih terus berusaha pendekatan padanya. Jika saja ia bisa mengabaikan keadaan diri dan hanya ingin mengejar uang, sudah barang tentu ia mau dinikahi oleh Leon, tetapi ada banyak hal yang ia pikirkan, termasuk keluarga Leon yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Semuanya pengusaha makan
POV HanunKlakson mobil Om Leon berbunyi dua kali. Aku yang tengah menonton televisi di kamar, bergegas keluar untuk membuka pagar. Ada orang lain di dalam mobil, tetapi samar. Aku tidak tahu siapa? Apakah adik perempuan Om Leon? Tumben sekali Om Leon tidak mengabariku jika ada tamu? Apa aku yang belum sempat lihat HP gara-gara nonton Drakor?Setelah mobil berhenti di garasi, aku pun kembali mengunci pagar. Aku menghampiri Om Leon dan juga wanita yang baru saja turun dari sisi kiri mobil. Posturnya tinggi dan juga berkulit putih. Wanita itu memakai terusan yang betisnya bisa kulihat dengan jelas. Bersih dan juga mulus. Siapakah wanita ini?"Hanun," sapa Om Leon sambil tersenyum."Ya, Om, eh, ya, Pak." Aku hampir saja keceplosan memanggil Om Leon dengan sebutan Om. Orang pasti akan menilai begitu aneh, saat ada majikan minta dipanggil Om. Beda hal dengan Bu Marissa yang sudah setuju anaknya dipanggil Om, oleh semua anak resto."Hanun, kenalkan ini Renata." Aku mengangguk sambil terseny
Aku hanya bisa menyaksikan kebisuan yang terjadi di ruang makan dari balik pilar, secara diam-diam. Om Leon asik dengan makanannya, sedangkan Bu Renata hanya mengaduk-ngaduk nasi di dalam piringnya. Tatapannya tak bersemangat dan sering kali menarik napas kesal. Gara-gara aku, Om Leon dan calon istrinya bertengkar. Aku merasa sangat bersyukur diperlakukan baik dan dibela tanpa malu di depan Bu Renata, tetapi aku sebagai wanita ikut merasakan betapa sedih dan kecewanya wanita itu. Betapa malu dan sakit hatinya Bu Renata."Besok saya balik naik kereta jam empat sore, Mas," kata Bu Renata. Aku masih setia menguping pembicaraan mereka sambil ngemil dodol duren."Oke, saya antar kamu habis Zuhur. Saya besok ke restoran yang di Palmerah. Jam satu saya udah di sini," jawab Om Leon santai."Tidak usah, saya balik naik taksi online saja. Ke sini juga naik taksi online," jawab Bu Renata menolak."Yakin?" Om Leon menatap wanita sekali lagi dan Bu Renata mengangguk pelan."Ya sudah kalau begitu,
Penulis"Hanun gak ada hubungi kamu?" tanya Bu Wati pada putranya. Biru menggelengkan kepala dengan mata yang masih fokus pada gadget-nya. "Gak perlu juga dia telepon saya, Bu. Dia yang mau pergi dari rumah. Ya, itu terserah dia saja," jawab Biru santai."Kalau gitu, kamu bisa mulai seriusin sama Alani. Uang makan kita sudah mau habis karena sewa rumah. Sewa rumah yang lengkap dengan perabotan ini cukup mahal. Memang sih lebih praktis, tetapi tetap saja menguras kantong kamu. Hari ini saja kita jadi harus makan telur lagi. Padahal baru seminggu merasakan makan ayam dan daging." Bu Wati bersungut di ujung kaki Biru. Wanita itu duduk bersandar di dinding dengan wajah lesu. "Saya mau mau kirim pesan duluan, Bu. Namanya dia orang kaya," kata Biru jujur. "Ya, kirim aja, sey helo tanya kabar." Biru menggeleng pelan."Kalau kamu lama bergerak, bisa-bisa kita kudu puasa selama setahun sampai kamu dapat duit! Ya, gak bisa, Ru! Udah, cepat WA Alani itu. Biar dia_"Kring! Kring!Ponsel Biru b
Biru tidak menceritakan tentang pertemuan yang nanti akan ia langsungkan di kamar hotel bersama Alani. Berdasarkan pengalaman yang pernah ia dengar dari temannya, bahwa banyak para wanita entah janda kaya, single tua belum menikah, atau istri pengusaha yang kesepian yang butuh kehangatan pria muda yang perkasa. Sebuah pesan yang membuat Xabiru kini berada di sebuah toko obat herbal. Ia membeli obat kuat sebagai persiapan pertarungan dengan Alani. "Dari mana kamu lama banget?" tanya Bu Wati pada putranya, saat pria itu memasukkan motornya ke dalam rumah."Tukang cukur pada antre, Bu." Biru membuka topinya."Bagus gak, Bu?" tanya Biru pada ibunya dan Bu Wati langsung terpana melihat potongan rambut putranya yang membuat pangling. "Ya ampun, ganteng banget anak gue! Begini kan cakep. Ibu yakin, Alani pasti jatuh cinta sama kamu dan mau melakukan apa saja untuk kamu. Semangat ya!" Bu Wati menepuk pundak Biru dengan begitu bangganya. "Aamiin. Ayo, Bu, kita harus buru-buru tidur biar be
Hanun membukakan pagar ketika mobil Leon mengeluarkan suara klakson. Mobil pun masuk perlahan. Leon menurunkan kaca mobil, lalu tersenyum pada Hanun yang masih berdiri di pagar. Setelah mobil benar-benar masuk pekarangan, barulah wanita itu menutup pintu pagar, lalu menggemboknya. "Buatkan saya kopi susu dingin ya, Hanun," pinta Leon. "Siap, Om." Hanun mengangguk dan berjalan masuk lewat samping. Hanun sedikit terheran karena wajah Leon masam. Tidak seperti biasanya. Pria itu baru balik dari mengantar Renata ke terminal, tetapi balik ke rumah, bukan ke restoran."Hanun, wajah bapak masam ya? Tadi saya papasan. Saya tegur bapak, tapi beliau diam saja," bisik bibik pada Hanun yang sedang merebus air untuk membuat kopi. "Iya, Bik, mungkin lagi banyak urusan. Sama saya pun gitu, senyum dikit aja, langsung masuk setelah minta dibuatkan kopi susu dingin," jawab Hanun. Bibik mengangguk paham."Oh, gitu, mungkin habis bertengkar dengan calon istrinya ya. Calon istri, tetapi rasa ibu tiri.
Seminggu berlalu, hubungan Leon dan Hanun semakin baik. Dalam artian, Hanun sudah mulai bisa menerima permintaan Leon tentang hubungan mereka. Hanya saja, Hanun menunggu sampai tiga bulan ke depan, sampai masa iddah habis. Meski sudah kurang lebih enam bulan ia tidak mendapatkan nafkah lahir dari Biru dan juga empat bulan nafkah batin. Untuk status talak secara jelas, ia belum mendengar langsung. Untuk itu Hanun meminta Leon bersabar sampai tiga bulan lamanya. Selama seminggu pula Leon bisa bekerja sama dengan baik dan sedikit menjaga jarak dengan Hanun, agar bibik dan mamanya tidak tahu keputusannya untuk memelih memtuskan perjodohan dengan Renata, lalu memilih Hanun. Kring! Kring! Leon melihat nama mamanya muncul di layar ponsel. Sudah sembilan hari sejak mamanya pergi ke Singapura, mamanya tidak ada kabar sama sekali. “Halo, Ma.” “Halo, Sayang, kamu apa kabar?” “Sehat, Mama apa kabar? Ma