Beranda / Romansa / Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai / Hatimu Terlalu Keras, Mas!

Share

Hatimu Terlalu Keras, Mas!

Penulis: ikan kodok
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 21:47:07

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)

***

Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya. 

Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.

Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan. 

Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?

Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati. 

Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku. 

“Mana kemejaku, hari ini aku ada meeting penting. Kamu siapkan jasnya juga, dan dasinya juga!” suruhnya, nada bicaranya terdengar sebuah perintah. Namun, tidak membuat seorang Bella Putri Sahpira meninggalkan kegiatannya. 

“Kamu dengar gak sih, Bell. Apa yang suamimu barusan bilang!” teriaknya, suaranya itu makin melengking tinggi.

“Suruh saja sana Clarissa yang siapkan,” jawabku enggan meliriknya. 

Aku bisa melihat wajah Mas Faiz padam dari pantulan kaca. Menahan senyum agar tidak melebar di sudut bibir, pura-pura tak terjadi apa pun di antara kami, itu hal yang melelahkan.

Percayalah, jika sebuah ikatan sudah di lumuri dengan noda, jangan harap rasanya akan sama. Pasti banyak perubahan, terutama sikap dan perilaku. 

“Loh, kenapa jadi Clarissa? Dia enggak ada di sini, lagian itu tugasmu sebagai seorang istri. Jangan mulai membangkang ya kamu, Bell!” ketusnya. 

Aku lantas memutar badan, berdiri di depannya. 

“Udah bisu kamu Bell, sampai gak bisa jawab omongan orang,” lanjutnya. 

Tidak bisa dipungkiri, Mas Faiz terlihat seperti sedang menahan emosi. Apa aku sebegitu menyebalkan dimatanya? Sampai ia harus menarik napas berkali-kali. 

“Bella, aku bisa main tangan kalau kamu gak nurut. Udah sana, buruan kamu siapkan kemejaku,” ujarnya lagi. 

Aku memainkan rambut, lalu menaikturunkan alisku. Tidak sama sekali mengidahkan perintahnya. 

“Bukan maksud aku jadi istri pembangkang, apalagi Istri yang durhaka, Mas. Bagaimana caramu memperlakukanku, itu lah yang kulakukan padamu.”

Mas Faiz cukup terkejut mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Prinsip hidup yang sederhana, perlakukan seseorang, seperti yang ia lakukan padamu.

“Bella, kamu ini kenapa sih? Dari kemarin Clarissa datang sampai hari ini, kamu cureng terus, mulutmu itu makin gak di filter. Aku cuman selingkuh, belum juga nikah!” sangkalnya. 

Ya Tuhan, cuman selingkuh, katanya. 

Aku menarik lengan Mas Faiz, memintanya menghadap kearah cermin yang kini ada di depan kami.

“Coba sekarang kamu ngaca, Mas. Paras seseorang itu bisa luntur dimakan usia. Harta bisa habis, yang tersisa cuman hati doang. Di dunia ini semua itu titipan, terus apa yang kamu banggakan sampai bisa sekejam ini?” tanyaku, netra Mas Faiz menatap lurus ke cermin. Syukur-syukur kalau ia segera sadar, kalau tidak. Wallahu a'lam ...

“Maksudmu itu apa Bella? Dosa apa yang aku lakukan, selingkuh itu bukan dosa?” Aku seketika tercengang mendengar pembelaannya. Mas Faiz sudah gila, selingkuh dibilang tidak berdosa. 

Terserah kamu lah, Mas. Percuma bicara pada orang yang hatinya sudah gelap. Nuraninya sudah tertutup oleh nafsu. 

“Ya Tuhan Mas, perbanyak istighfar. Terserah kamu lah, makin hari tampang kamu makin kelihatan, selingkuh itu nikmat sesaat, kalau selamanya itu bagian dari yang kamu tanam,” ujarku kemudian menyambar tas. Entah ia bisa menyerap kalimatku atau tidak. Itu urusannya. 

“Kamu itu yang harusnya tobat Bella. Kamu istri yang gak tahu diri, gimana aku tidak selingkuh, kamu udah gak becus urus aku. Clarissa itu segalanya, dia wanita baik, cantik, cerdas. Kamu sama dia gak ada apa-apanya, dia lebih sempurna dari kamu.”

Omong kosong, Mas ... Mas!

“Oya Mas? Kamu bisa bicara begitu karna kamu belum merasakan penyesalan. Nanti kalau kamu menyesal, ingat satu hal, yang pergi belum tentu kembali, yang kamu lepas, belum tentu jadi milikmu lagi. Tolong kamu ingat itu, bila perlu, catat di jidat!”

Aku langsung pergi meninggalkannya, menutup pintu kamar rada kencang, tidak kuperduli teriaknya memintaku berhenti. Dengan cepat, aku tetap menuruni tangga. 

“Bella, kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara!”

“Bella, stop, kamu setrika kemejaku dulu baru pergi!”

“Bella!”

“Arggh, sialan! Istri gak berguna!” Masih kudengar makiannya. 

Beruntung semalam aku telah berhasil mendapatkan surat-surat penting, dan kartu atm-nya. Sejumlah uang juga sudah kutranfer ke nomor rekeningku. 

Kini saatnya bersenang-senang, dan kembali lagi ke sini, jika membutuhkan tanda tangannya. 

“Terus lah lengah Mas, sampai semua yang kurencakan jadi kenyataan,” gumamku. 

Aku lekas masuk mobil, menjemput Isna di rumah Mama. Sebagian pakaian Isna sudah kukemasi, dan pakaianku juga. Tak lupa semua surat penting juga kubawa. 

Aku menyalakan mobil, sebelum roda empat milikku melaju, aku sempatkan sejenak membaca pesan yang masuk ke ponselku. 

Kak Fahmi. 

[Kamu jemput Isna, rencana akan dimulai hari ini. Saya sudah menyuruh orang untuk memata-matai Faiz. Suamimu itu memboking hotel untuk tiga hari berturut-turut. Kamu tahu kan? Apa yang harus kamu lakukan?] Aku menyeringai lebar, kalau begitu aku akan mengabari orang tuaku. 

Memboking hotel untuk tiga hari berturut-turut, itu artinya aku masih ada waktu mempersiapkan secara matang rencanaku. 

Saatnya bermain, sudah cukup pemanasannya. 

Aku akan membuatmu, dan gundikmu itu senam jantung. 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
Putri
ini baru cerita menarik.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Menjemput Isna

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Sakit Hati Boleh, Goblok, Jangan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kartu Atm Dibawa Bella

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (10)****POV Faiz.“Gimana ini Mas? Kamu bayar pakai apa? Aku mau dress itu, tas itu juga. Aku mau semuanya,” ujar Clarissa. Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan.“Kamu sabar dulu, ini Mas coba hubungi Bella lagi,” jawabku memintanya tenang, sudah cukup Clarissa merengek. Bukannya membantuku mencari solusi, malah memancing emosiku saja.Aku mengumpat dalam hati, sedari tadi aku kelimpungan mencari kartu ATMku yang tidak ada di dompet. Tahunya di bawa Bella. Mana ia tidak mau di ajak kompromi. Seenaknya sendiri.Sial, di tolak lagi. Ini udah keenam kalinya aku menghubungi Bella. Sederet pesan pun turut aku kiri

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kekesalan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (11)****“Ma, tadi Bella kerumah Mama gak?” tanyaku pada Mama, aku berinteraksi padanya melalui sambungan telepon.Memastikan terlebih dahulu, sebelum pergi ke rumah Mama.“Tadi sih ke sini, jemput Isna. Tapi udah pamit pulang,” jawab Mama.Diliputi rasa khawatir, helaan napas berat kuambil, takutnya Bella menceritakan semuanya pada Mama.Aku menoleh ke arah Clarissa, ia meneguk segelas air putih.“Bella, ada bicara sesuatu sama Mama?” tanyaku berdiri tegang.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Jatuh Dalam Pesonanya

    Maaf Mas, Aku Memilih Bercerai (12)****Satu jam mengendarai mobil, kami akhirnya tiba di puncak. Dan langsung mencari keberadaan Bella. Menanyakan pada orang-orang sekitar, namun, tidak ada yang melihatnya.Kalau Bella tidak ada di sini, lantas dimana ia sekarang? Benar-benar membuat orang pusing tujuh keliling.“Huft, aku capek banget, Mas. Apa jangan-jangan kita salah datang ke sini,” ketus Clarissa.Ia berjongkok, mengatur napasnya yang memburu.“Salah bagaimana? Ini kita di puncak sekarang, ayo cari Bella,” ucapku menyuruhnya bangun.Clarissa mengulurkan tangan, lekas aku menerimanya. Membantunya berdiri, lalu merapikan rambutnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Peringatan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (13)****POV Bella.Aku menyentak napas lega kala melihat Mas Faiz menjatuhkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Mati-matian aku harus menahan amarahku saat menggodanya. Beruntung rencanaku berhasil. Kini, aku hanya perlu menyiapkan diri menuju rencana inti. Dan memberikan Isna pengertian tentang hubungan orang tuanya ini.“Bella.”Aku menoleh, dan langsung dikejutkan dengan keberadaan Kak Fahmi yang sudah berdiri di ujung pintu.“Kak Fahmi,” pekikku kaget.Aku lantas menarik selimut, dan melilitkannya pada tubuhku. Belum sempat ganti baju, pria itu sudah datang ke sini.“Maaf Bella, saya t

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Justru Kamu Sekarang Yang Bukan Tipeku!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (14)****“Hari ini Papa akan tarik saham Papa dari perusahaan Faiz, Bell,” ucap Papa saat kami ada di meja makan, menikmati sarapan pagi selepas berseteru tegang.Aku mengangkat kepala, menghentikan sejenak kegiatanku menyuap nasi.“Papa yakin?” tanyaku ragu, menurutku ini terlalu mendadak, bukan tidak mungkin akan menimbulkan curiga pada besannya. Karena masalahnya rencanaku baru mau berjalan menuju inti, bukan sudah sampai inti.“Kamu meragukan Papamu ini, Bell? Papa akan beri sendiri pelajaran pada suamimu. Sudah cukup penderitaan yang kamu dapatkan, Papa tidak akan biarkan kamu atau cucu Papa tertekan,” papar Papa.Aku menarik napas kasar, melirik Isna yang se

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Video Asusila?

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (15)****POV Faiz.Argggh!Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Semuanya semakin ruyam. Kepalaku makin pening memikirkan masalah ini-itu yang tak ada habisnya.Bagaimana caranya membuat Bella luluh, agar ia mau mengembalikan uangku. Sementara, melihat wajahku saja Bella sudah marah-marah, parahnya, ia bahkan sampai menghasut putriku untuk menjauhi Papanya.Kupikir dengan memiliki dua istri tidak akan serumit ini. Tapi kenyataannya, C'k! Harusnya aku menikahi Clarissa dulu, sebelum aku mengenalkannya pada Bella. Mungkin saja kejadiannya tidak akan serumit dan sepanjang ini. Mungkin.“Mas, aku minta uang dong buat perawatan ke salon! Aku mau pangkas rambut, dan

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09

Bab terbaru

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai    Ekstra Part (Penyesalan Yang Membelenggu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ekstra part (Merindu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ending (Dia Telah Pergi)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kejadian Menegangkan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Dua Ego

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kebencian Itu Telah Tumbuh!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   "Awas, Kamu, Bell!"

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (30)****“Itu koper anak saya jangan sampai ketinggalan, sofanya juga kamu angkat. Sekalian meja kacanya, awas jangan sampai pecah.” Aku mewanti-wanti kedua pria yang sedang mengangkat barang-barang di rumah ini, membawanya menuju truk yang ada di halaman depan. Aku tidak menyangka, Papa akan mengirim orang-orang ini untuk mempermudah misiku.Awalnya aku hanya mau mengambil beberapa barang saja, tapi kala melihat mereka datang. Semuanya berubah. Kalau bisa ambil semuanya, kenapa harus setengah-setengah. Itu lah kenapa aku berubah pikiran.“Ini juga Pak?” tanya Pak Soman yang diangguki oleh Pak Nathan.Aku melempar tatapan ke arah tangga, sepertinya Mas Faiz tidak terganggu dengan suara keributan di sini. Baiklah, akan kukeraskan suaraku hingga beberapa oktaf, sampai ia terjaga dan syok dengan semua ini. “Iya itu

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Misi Mendepakmu!

    Maaf,Mas, Aku Memilih Bercerai (29) Menjelang sore aku baru tiba di rumah Mama Diah. Tanpa pikir panjang, aku turun dari taksi, meninggalkan Mama yang kuminta menungguku di dalam. “Eeh, Neng Bella, pasti mau jemput Non Isna?” tanya Pak Mamang saat membukakanku gerbang. Aku menganggukkan kepala. “Iya Mang,” jawabku sembari tersenyum. “Silakan masuk Neng, tadi Non Isna habis main sama Bi Siti, mungkin sekarang lagi makan,” jelas Pak Mamang. “Aku masuk dulu yah Mang?” Tanpa mendengar jawaban Pak Mamang. Aku melesat masuk ke dalam rumah, tidak kujumpai Mama Diah saat aku melewati ruang tamu. Apa mungkin dia dan suaminya belum pulang? “Isna ...” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, sambil memanggil nama putriku. “Bibi, Isna punya boneka besar, tapi di rumah Omah. Kapan-kapan Isna bawa ke sini yah, kita main bareng.” Samar-samar aku mendengar suaranya. Buru-

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ketika Seseorang Mati Rasa

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (28)****POV Bella.“Isna gak mungkin anak Kak Fahmi ... Kapan kita melakukannya?!” hardikku, kakiku yang bagai jeli ini perlahan bangkit, dengan gontai aku mendekati Kak Fahmi.“Jawab aku, Kak! Aku butuh jawaban! Isna bukan anakmu kan? dia anak Mas faiz kan? Bagaimana bisa? Kapan kita melakukannya! Katakan!” teriakku keras, letupan kecil dalam dada sudah menjalar sampai kepala. Kak Fahmi melengos, tarikan napas berat lagi-lagi ia ambil.Dia bergeming, diamnya serasa menggerogoti jantungku. Aku menarik ujung kemejanya, kemudian memukulnya, aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku hancur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, kenyataan apa lagi ini?Belum usai masalahku dengan Mas Faiz, kini aku dihadapkan kenyataan buruk yang tak kalah menyakitkan. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang tak punya hati dan perasaan. Bagaimana bisa aku m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status