Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (14)
****
“Hari ini Papa akan tarik saham Papa dari perusahaan Faiz, Bell,” ucap Papa saat kami ada di meja makan, menikmati sarapan pagi selepas berseteru tegang.
Aku mengangkat kepala, menghentikan sejenak kegiatanku menyuap nasi.
“Papa yakin?” tanyaku ragu, menurutku ini terlalu mendadak, bukan tidak mungkin akan menimbulkan curiga pada besannya. Karena masalahnya rencanaku baru mau berjalan menuju inti, bukan sudah sampai inti.
“Kamu meragukan Papamu ini, Bell? Papa akan beri sendiri pelajaran pada suamimu. Sudah cukup penderitaan yang kamu dapatkan, Papa tidak akan biarkan kamu atau cucu Papa tertekan,” papar Papa.
Aku menarik napas kasar, melirik Isna yang se
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (15)****POV Faiz.Argggh!Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Semuanya semakin ruyam. Kepalaku makin pening memikirkan masalah ini-itu yang tak ada habisnya.Bagaimana caranya membuat Bella luluh, agar ia mau mengembalikan uangku. Sementara, melihat wajahku saja Bella sudah marah-marah, parahnya, ia bahkan sampai menghasut putriku untuk menjauhi Papanya.Kupikir dengan memiliki dua istri tidak akan serumit ini. Tapi kenyataannya, C'k! Harusnya aku menikahi Clarissa dulu, sebelum aku mengenalkannya pada Bella. Mungkin saja kejadiannya tidak akan serumit dan sepanjang ini. Mungkin.“Mas, aku minta uang dong buat perawatan ke salon! Aku mau pangkas rambut, dan
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (16)****“Jelaskan! video macam apa ini?! Bisa-bisanya kamu berciuman bibir dengan wanita lain, di saat kamu sudah memiliki istri, kamu selingkuh, hah?!” celetuk Mama, wanita paruh baya itu nekat mendatangi kantorku. Di saat aku sendiri sedang kalang kabut menangani masalah akibat perbuatan Clarissa.Aku membuang nafas gusar, meremas rambutku sambil mengumpat dalam hati.C'k! Kenapa malah jadi begini.Apes!“Jawab, Faiz! Siapa wanita ini, katakan! Kalau kamu tidak mau mengaku, Mama akan cari tahu sendiri?!” sambung Mama dengan amarah menggebu.Aku terlonjak dibuatnya, kalau Mama mencari tahu sendiri. Bukan tidak mungkin, wanita itu pas
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (17)****Aku tiba di rumah Clarissa, dan langsung masuk ke dalam rumahnya.Kulihat ia sudah menungguku di ruang tengah sambil menonton tv, di temani kue kering yang ada di pangkuannya.“Yang,” panggilku.Refleks Clarissa menoleh, disusul olehku yang menelan ludah kasar lantaran melihatnya mengenakan pakaian yang menggoda.“Sini deh Mas, ngapain kamu berdiri di situ.” Seketika aku kelabakan, buru-buru menghampirinya. Aku jadi teringat, kala Bella menggodaku malam itu.“Duduk,” instruksinya.Aku lantas mendudukan diri di sana, lalu menatapnya.&
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (18)****POV Bella.“Ma, aku barusan lihat Papa.”Aku tersentak kaget mendengar perkataan Isna. Kutatap putriku dalam kebigungan. Genggaman tanganku pada lengan mungilnya tak terasa sudah terlepas.“Papa?”“Iya Ma, aku lihat Papa,” ulangnya dengan mata berbinar.Aku langsung mengedarkan pandangan, bola mataku bergerak mencari sosoknya.Tidak ada Mas Faiz, mungkin Isna salah lihat.“Gak ada Papa di sini, Na,”“Tadi, aku lihat Papa di situ, Ma.”
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (19)****“Kak Fahmi, mana Mama? Kok gak kelihatan?” tanyaku setibanya di dapur.“Palingan ketemu temen arisannya. Nanti juga pulang,” jawab Kak Fahmi.Aku menganggukkan kepala mendengar jawabannya. Nampak Kak Fahmi menuangkan susu kontak ke dalam gelas, lalu menyodorkannya padaku.Alisku saling bertaut, mengisyaratkan sesuatu.“Berikan pada Isna, biasanya panas-panas begini dia suka minum susu.” Mataku mengerjap beberapa kali, melongo dibuatnya. Ini beneran kak Fahmi, Iparku kan. Tahu dari mana dia soal kebiasaan putriku.“Bell, ayo ambil,” serunya.Buru-buru aku mengambi
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (20)****Tak butuh waktu lama, kami tiba di hotel setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit.“Bell, kamu nanti awasi Mama saya. Pastikan, Mama tidak membuat keributan,” tutur Kak Fahmi. Aku menoleh, tiba-tiba saja dia mendekat dan melepas seat belt yang melilitku.“Kamu juga harus kendalikan diri, setelah masalah ini, bukan tidak mungkin Faiz akan balas dendam,” sambungnya lagi. Belum sempat aku menjawab, Kak Fahmi lagi-lagi menyela.“Dan, satu lagi. Soal kejadian tadi siang, saya hanya bercanda.” Selepas itu Kak Fahmi keluar dari dalam mobil. Meninggalkan aku yang mematung di depan.Dia itu kenapa? Aneh. Gerutuku dalam hati.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (21)****Video dilayar LCD mulai di putar, terdengar percakapan Clarissa dengan seorang pria matang di atas ranjang tak hentinya membuat Mas Faiz terkejut.Andai kamu punya riwayat penyakit jantung Mas, sudah pasti, kamu akan luluh ke lantai sambil memegangi dada mu yang dihujani batu. Namun sayangnya, tubuhmu masih kokoh menopang berat beban yang kamu pikul. Meski begitu, tatapan matamu kosong dan linglung. Itu sudah cukup nilai tersendiri bagiku. Miris.“Tenang aja sayang, aku cuman manfaatin dia kok. Kalau nanti hartanya udah aku kuasai. Pasti aku bakalan depak Faiz, secara aku gak akan mau pelihara orang yang hobi selingkuh. Baru aku pepet dikit, dia udah rela ninggalin anak dan bininya,” tutur Clarissa.Jemari Clarissa yang lentik itu sudah merayap ke mana-mana. Mereka berdua kembali menikmati purnama bersama.Waw, kalau di pikir-pikir, Mas Faiz ini p
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (22)****Drama Clarissa belum berakhir, malah kini banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Salah satunya tentang keluarganya.Aku tidak melihat satu pun orang yang mengaku menjadi keluarga mempelai wanita. Dimana keluarga Clarissa? Mohon maaf sebelumnya, apa Clarissa ini anak yatim piatu, atau bagaimana? Apa mungkin orang tuanya tidak mengetahui kalau putrinya menikah? Aargh, entahlah.Dipikir bikin pusing, gak dipikir kok aneh, gimana sih.“Lepaskan aku! Mas tolongin aku. Aku gak mau di penjara, Mas Faiz,” teriak Clarissa, pria yang baru saja mempersuntingnya itu bahkan sudah menjatuhkan talak padanya. Sungguh miris, belum ada sehari mereka menikah, hubungan yang mereka jalani ada di ambang kehancuran.Bagaimana rasanya, Clarissa? Kuharap, lebih sakit dari yang kurasakan ini.“Ayo Ibu ikut kami, jangan mempersulit tugas kami. Ibu bisa jelas
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (30)****“Itu koper anak saya jangan sampai ketinggalan, sofanya juga kamu angkat. Sekalian meja kacanya, awas jangan sampai pecah.” Aku mewanti-wanti kedua pria yang sedang mengangkat barang-barang di rumah ini, membawanya menuju truk yang ada di halaman depan. Aku tidak menyangka, Papa akan mengirim orang-orang ini untuk mempermudah misiku.Awalnya aku hanya mau mengambil beberapa barang saja, tapi kala melihat mereka datang. Semuanya berubah. Kalau bisa ambil semuanya, kenapa harus setengah-setengah. Itu lah kenapa aku berubah pikiran.“Ini juga Pak?” tanya Pak Soman yang diangguki oleh Pak Nathan.Aku melempar tatapan ke arah tangga, sepertinya Mas Faiz tidak terganggu dengan suara keributan di sini. Baiklah, akan kukeraskan suaraku hingga beberapa oktaf, sampai ia terjaga dan syok dengan semua ini. “Iya itu
Maaf,Mas, Aku Memilih Bercerai (29) Menjelang sore aku baru tiba di rumah Mama Diah. Tanpa pikir panjang, aku turun dari taksi, meninggalkan Mama yang kuminta menungguku di dalam. “Eeh, Neng Bella, pasti mau jemput Non Isna?” tanya Pak Mamang saat membukakanku gerbang. Aku menganggukkan kepala. “Iya Mang,” jawabku sembari tersenyum. “Silakan masuk Neng, tadi Non Isna habis main sama Bi Siti, mungkin sekarang lagi makan,” jelas Pak Mamang. “Aku masuk dulu yah Mang?” Tanpa mendengar jawaban Pak Mamang. Aku melesat masuk ke dalam rumah, tidak kujumpai Mama Diah saat aku melewati ruang tamu. Apa mungkin dia dan suaminya belum pulang? “Isna ...” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, sambil memanggil nama putriku. “Bibi, Isna punya boneka besar, tapi di rumah Omah. Kapan-kapan Isna bawa ke sini yah, kita main bareng.” Samar-samar aku mendengar suaranya. Buru-
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (28)****POV Bella.“Isna gak mungkin anak Kak Fahmi ... Kapan kita melakukannya?!” hardikku, kakiku yang bagai jeli ini perlahan bangkit, dengan gontai aku mendekati Kak Fahmi.“Jawab aku, Kak! Aku butuh jawaban! Isna bukan anakmu kan? dia anak Mas faiz kan? Bagaimana bisa? Kapan kita melakukannya! Katakan!” teriakku keras, letupan kecil dalam dada sudah menjalar sampai kepala. Kak Fahmi melengos, tarikan napas berat lagi-lagi ia ambil.Dia bergeming, diamnya serasa menggerogoti jantungku. Aku menarik ujung kemejanya, kemudian memukulnya, aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku hancur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, kenyataan apa lagi ini?Belum usai masalahku dengan Mas Faiz, kini aku dihadapkan kenyataan buruk yang tak kalah menyakitkan. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang tak punya hati dan perasaan. Bagaimana bisa aku m