“Kenapa diem, Bu?”Semua orang yang ada di toko itu sontak menoleh bersamaan. Pada sosok lain yang kini berdiri di ambang pintu masuk toko.“Li-Lisa …,” gumam Jubaedah pelan.Bukan hanya itu, bahkan kini wajah wanita paruh baya itu tampak pias dan memucat. Terlebih saat sosok yang ternyata adalah Lisa, istri dari Yogi, tampak memandang Jubaedah dan Yessi dengan tajam.“Kalian!” Hingga tak lama setelahnya, seorang ibu-ibu lainnya terlihat menyusul masuk ke dalam toko. Sembari membawa beberapa paper bag di tangannya. “Dasar cu-rut tak bertanggung jawab! Bisa-bisanya kalian meninggalkan belanjaan begitu saja. Kalo ilang, apa kalian yakin bisa menggantinya?!”Alis Devi bertaut menjadi satu. Ia bisa mengenali Lisa, tapi Devi tak mengenali sosok lain yang kini berdiri bersisian dengan istri dari mantan suaminya tersebut.“Apa Ibu masih menganggap Devi itu menantu Ibu? Begitu maksud Ibu, bukan?” Tanya Lisa pada Jubaedah yang kini berdiri mematung dengan keringat yang hampir membanjiri waja
“Sebaiknya kalian semua pulang dan bawa saja roti itu !”Perdebatan keluarga mantan suami Devi itu sudah semakin tak bisa ditolerir. Entah apa yang ada di pikiran mereka, jika Devi saja merasa malu tapi hal yang sama seolah tak dirasakan oleh empat wanita itu.“Apa kau sedang mengusir kami?!” Bukannya pergi, Jubaedah justru semakin meradang dan menganggap devi merendahkan mereka dengan cara mengusir secara terang-terangan.“Maaf, Bu. Saya tak bermaksud mengusir sama sekali. Tapi, perdebatan keluarga kalian tak seharusnya menjadi konsumsi publik. Jadi saya sarankan lebih baik kalian selesaikan masalah kalian di rumah,” ucap Devi mencoba memberi pengertian.Seperti apapun perlakuan Jubaedah sekeluarga kepada dirinya, di masa lalu. Namun Devi juga tak bisa membiarkan empat orang tersebut semakin mendulang malu atas ulah mereka sendiri.“Bagaimanapun juga, Ibu dan Mbak Yessi adalah Nenek dan Bibi dari kedua anakku. Rasa malu yang akan kalian tanggung, mau tak mau nantinya juga akan berim
“Aku Lilis, ibumu!”“Tunggu! Budhe jangan ngaku-ngaku, ya! Ibuku ya Ibu Mira!” sanggah Lisa dengan tak percaya.Bagaimana mungkin sosok wanita yang biasa ia panggil Budhe, kini justru mengakui jika dirinya adalah ibu kandung dari Lisa.“Apa kau tak percaya padaku?” Tanya wanita bernama Lilis tersebut.Di tangannya sudah ada sebuah tas besar yang tampak usang. Terlihat dari warnanya yang sudah pudar dan beberapa sobekan di bagian sisi kanan dan kirinya.Lisa yang saat itu tengah berjemur bersama Aurora kecil, sontak merasa bingung. Bukan ia tak mengenali wanita itu. Namun, ia tak bisa mempercayai begitu saja, apa yang dikatakan oleh Lilis. “Maaf, Budhe. Gimana Lisa bisa percaya. Sementara yang Lisa tau, Ibu Mira dan Ayah Joko adalah orang tua Lisa. Lagipula sejak kecil, Lisa mengenal Budhe sebagai kakak perempuan Ibu.” Bruk!Lilis meletakkan begitu saja tas usang miliknya di atas ubin cor di depan gerbang rumah Yogi. Kemudian, dengan menggunakan kedua tangannya, Lilis menggenggam erat
“Cepat ambilkan segelas air!” “Ogah! Ambil aja sendiri!” jawab Yessi acuh. Wanita itu terlihat tak peduli akan kondisi Lilis yang masih tampak kesakitan.Lisa bangkit dari posisinya dan langsung melangkah ke arah sang kakak ipar yang masih duduk santai menikmati roti. “Jika kau tak ingin membantu, lalu apa fungsimu di rumah ini? Dasar manusia sam-pah!” Wanita berambut pirang itu sudah benar-benar jengah pada istri pertama Handoko tersebut. Tak ada satupun kebaikan yang bisa membuatnya harus mempertahankan kehadiran Yessi di rumah itu, akan tetapi …“Jika bukan karena permintaan Ibu, maka aku sudah pasti akan mendepakmu dari sini!” desis Lisa geram. Namun, gertakan itu seolah tak berarti apa-apa di mata Yessi. Hingga masih dengan ekspresi santai, wanita itu kembali menimpali, “Silahkan saja kau lakukan jika bisa!”“Aku tak takut. Baik padamu, wanita ib-lis itu maupun pada laki-laki breng-sek bernama Handoko itu!” imbuh Yessi.Lisa semakin mengayunkan kaki, mendekat ke arah Yessi dan
“Hei! Mau kau bawa kemana itu semua?! Lepas!”Suara pekikan menggema di rumah bercat putih tersebut.“Pergi kalian dari sini, dan jangan kembali lagi! Ingat ini, jangan pernah injakan kaki kalian di rumah ini lagi!” usir Lisa pada Yessi. Bukan hanya Yessi, ia bahkan turut mengusir Jubaedah dan Yogi.Bruk!Tanpa diduga, bukannya pergi, Jubaedah justru malah bersimpuh dan memohon tepat di kaki Lisa. “Ibu mohon Lisa, jangan usir kami.”“Apa kamu lupa, kalo Yogi masih suami sah kamu?” bujuk Jubaedah pada menantunya tersebut.Lisa tak langsung menanggapi apa yang dikatakan ibu mertuanya. Namun, senyum miring tersungging di bibir merah wanita itu. Bahkan, raut wajah wanita itu terlihat jelas, tengah meremehkan ibu dari Yogi dan Yessi. “Suami sah?” Tanyanya sinis.“Suami yang tercatat secara hukum, begitu bukan maksudnya?” Lisa tampak menggantungkan kalimatnya. Dengan tangan bersilang di dada, wanita itu akhirnya kembali bersuara. “Tapi, seorang laki-laki yang tidak memberikan nafkah selama
“Jaga ucapanmu itu!”“Kenapa? Marah? He he he … Bukankah tadi, yang mengatakan tentang karma adalah kau, suamiku?!” Yessi melingkarkan tangannya di depan dada. Ia tahu, jika sebenarnya dirinya telah kalah oleh keadaan. Akan tetapi, wanita itu memilih untuk tidak mau mengakui kekalahannya tersebut. “Apa kau pikir, laki-laki di dunia ini hanya kau seorang Mas Handoko ku tersayang?” sinis Yessi yang kini menatap tajam ke arah sang suami. “Dan kau! Gun-dik si-alan!” Jari telunjuk anak sulung Jubaedah itu mengacung sempurna ke arah wanita yang kini berdiri santai di samping kiri suaminya. Cemburu? Tentu saja. Yessi sebenarnya masih amat mencintai Handoko. Meski Handoko mulai lalai dengan tanggung jawabnya memberikan nafkah pada dirinya dan Rossi. Namun bagi Yessi. Handoko tetaplah ayah dan suami yang selalu mereka rindukan kehadirannya. “Akan ku pastikan, jika kehidupanmu setelah ini, tidak akan pernah damai. Itu sumpah ku, seorang istri yang suaminya kau rebut!” ucap Yessi dengan l
“Lho, ternyata si Yogi gi-la?”“Oalah… pantesan gak pernah keliatan, ternyata oh ternyata ….”Bisik-bisik tetangga Yogi tentu terdengar sampai ke telinga Yessi. Memang jarak antara mereka hanya dua meter saja. Hingga ucapan tetangga Yogi itu masih bisa memungkinkan putri sulung Jubaedah tersebut mendengar semua yang dikatakan. Sebab, mereka sebenarnya bukan berbisik, melainkan hanya sedikit menurunkan nada suara. “Diam kalian! Siapa yang kalian sebut gi-la, hah?!” bentak Yessi diiringi tatapan tajam dan mematikan. Mereka sontak menyunggingkan senyum remeh pada wanita berpakaian se-xy tersebut. Namun, hal yang sama tak ditampilkan oleh Rani, menantu simbok pemilik warung di ujung jalan. “Halah! Gak usah coba mengelak deh, Yess! Kita denger kok apa yang dikatakan Ibu tua itu. Kalo Yogi itu gi-la!” bela salah satu dari mereka yang memang tak merasa bersalah. Terlebih, sosok tersebut tampak sedikit menekan nada bicaranya, kala menyebutkan kata ‘gi-la’ itu. “Pppffttt ….”Bukan menangga
“Baiklah, nanti Ibu kirimkan. Kalian baik-baik disana, ya ….”“Permisi, Mbak. Apa saya bisa … lho Mbak? Kamu-”Devi menoleh, kala mendengar sebuah suara yang berasal dari sisi kanannya. Dengan telepon genggam yang masih menempel di telinga. Ibu dua anak itu memutar badan, menghadap pada sosok wanita berhijab di sampingnya. Namun saat menoleh, sosok tersebut sepertinya mengenal Devi, akan tetapi …“Kamu ….”Devi memutar otak. Mencoba mengingat sesuatu. Sebab, sosok wanita cantik dengan hijab hitam itu tampak familiar baginya. Hingga suara dari sosok di hadapannya kembali terdengar. “Mbak Devi, kan?”Dengan alis bertaut, Devi menganggukkan kepalanya perlahan. Tangan kanannya yang masih memegang sebungkus roti, kemudian terulur, meletakkan roti tersebut pada tempatnya. Sedangkan tangan kiri yang masih memegang ponsel, dengan sigap memasukan ponsel itu di saku celananya. Devi tampak ragu, terlihat jelas dari sorot matanya yang tampak teduh dengan raut wajah penuh tanda tanya. Namun, den
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K