"Wah ternyata di sini kamu tinggal, bagus sekali." Selama lima bulan menikah dengan Pram, Laras akui hidupnya sangat tenang. Dia tidak perlu khawatir pada ibunya, karena wanita yang telah melahirkannya itu sekarang pulang ke rumah kakek neneknya dan hidup bersama bibinya yang juga seorang janda. Dalam satu minggu Laras biasa menghubungi ibunya dua tiga kali dan mendengar suara wanita itu yang bersemangat dan raut wajah ceria menceritakan kehidupan sehari-harinya membuat Laras ikut bahagia.Mungkin seharusnya Laras dulu tidak menutupi perselingkuhan ayahnya, jadi mata ibunya akan lebih cepat terbuka, tapi dia tidak bisa terus menyesal yang penting sekarang semua sudah lebih baik.Pun dengan ayahnya yang tak lagi mengusiknya, mungkin uang dua milyar itu berhasil membuatnya hidup nyaman dan tak mengusiknya lagi. Awalnya...Saat pulang kerja tadi tiba-tiba sang ayah menghadangnya di depan gedung apartemen yang dia tempati. "Apa yang ayah lakukan di sini?" Jujur saja Laras malu dengan
"Sakit ya. Maaf biar aku obati tanganmu." Laras menarik tangannya. "Apa sih maksudmu?" "Nggak ada maksud apa-apa, kita pulang dulu." "Untunglah mbak Laras ketemu." Laras yang berjalan di samping Pram hanya bisa tersenyum tak enak hati, apalagi saat Pram menyahut. "Iya, Pak. Istri satu-satunya lagi, kalau ilang kemana lagi saya mau nyari." "Mas Pram bisa saja. Tapi mbak Laras baik-baik saja kan? apa orang tadi menyakiti mbak? maaf saya tidak banyak membantu?" Laras langsung menghentikan langkahnya dan menatap sang satpam yang terlihat sangat menyesal dengan apa yang terjadi padanya tadi. Apa yang akan satpam ini pikirkan kalau sebenarnya laki-laki kasar tadi adalah ayah kandungnya? "Mbak Laras?" tanya sang satpam lagi membuat Laras langsung sadar kalau dia tengah melamun. "Dia baik-baik saja, Pak. Kami kenal baik orang tadi kok," kata Pram sopan dan manis seperti biasa. "Oh begitu syukurlah. Maaf kalau saya salah sangka." Pram langsung merangkul bahu Alisya setelah berbasa-
"Ras, apa memang tidak ada peluang aku dan kamu jadi kita?" Bukan jawaban yang Pramudya dapatkan tapi sang istri yang langsung tersedak kue yang baru saja dia masukkan mulut. Pram langsung kalang kabut membantu sang istri. Pram meringis merasa bersalah saat wajah sang istri memerah sampai mengeluarkan air mata. Salahnya sih yang bicara tanpa melihat situasi dulu."Kamu niat banget mau bunuh aku Pram."Pram langsung lega saat Laras kembali melotot judes padanya, artinya istrinya sudah baik-baik saja. "Syukurlah." "Apa!" "Maksudku syukurlah kamu sudah baik-baik saja." Astaga punya istri singa betina ternyata horor juga, padahal Laras lebih banyak makan kue manis dari pada daging mentah lho. "Sudah deh sana jauh-jauh aku mau makan, kalau kamu tetap disini kamu bisa-bisa jadi duda lebih cepat," omel Laras yang langsung mendorong tubuh Pram menjauh. Pram mengalah dengan duduk di depan televisi agak jauh dari sang istri, dia tidak mau mengganggu kekhusukan sang istri makan kue dan
"Selamat pagi istriku," sapaan manis itu membuat Laras langsung menahan kuapnya. Setelah subuh tidur lagi memang Kebiasaan yang tak pernah bisa dia hilangkan, padahal hari ini dia ingin menjadi istri yang baik setelah kesepakatan mereka tadi malam, meski dia masih agak-agak tak rela sih, tapi sebagai orang yang bertanggung jawab dia akan coba menjalani komitmen itu. "Kamu kok sudah bangun?" tanya Laras sambil menghempaskan dirinya di kursi makan. "Matahari sudah bangun sejak tadi, sayang, makanya aku bangun dan menyiapkan sarapan pagi untuk kita." "Kok aku merinding ya dengar panggilan sayang darimu.""Merinding senang," goda Pram.Laras langsung melengos, tak bisa dipungkiri memang ada rasa senang dalam hatinya mendengar panggilan itu tapi dia juga harus mengingatkan dirinya kalau mungkin saja di luar sana masih banyak gadis yang dipanggil sayang oleh Pram. "Padahal aku berencana memasak tapi ya sudahlah," katanya ngeloyor tak peduli. "Yah kenapa nggak bilang, padahal aku ingin
Laras baru tahu kalau Clara itu pintar memasak dan setiap hari mengirimkan makan siang untuk Pram. Bukan tanpa sebab hari ini dia datang ke kantor suaminya. Laras memang sengaja membeli makan siang untuk mereka berdua. Datang ke kantor Pram menurut Laras lebih masuk akal dari pada laki-laki itu harus datang ke kantornya atau mereka makan diluar. Jujur saja dia tak rela, para cewek itu menuntaskan fantasinya pada sang suami, meski Laras dengan keras kepala mengatakan belum mencintai sang suami tapi tetap saja dia tak suka Pram dikerubungi cewek seperti semut mengerubungi gula. "Saya Laras ingin bertemu bapak Pramudya, sudah ada janji dengan beliau," kata Laras sopan. Sengaja dia mengikuti protokol standart penerimaan tamu untuk meminimalisir drama yang akan terjadi lagi pula dia belum siap mengenalkan diri sebagai istri Pram. "Tunggu sebentar, Bu. Saya hubungi asisten beliau dulu," kata sang resepsionis sopan.Laras mengangguk dan menunggu sambil mengamati interior lobi kantor in
"Istri ayahmu pandai memasak?" tanya Laras tanpa diduga. Aris lebih memilih melarikan diri dengan membawa makanan dari Clara, laki-laki itu beralasan ada janji makan dengan teman di lantai bawah. Jadilah pasangan suamin istri itu makan berdua dalam diam yang canggung. Pram meletakkan sendoknya dan menatap sang istri sambil menghela napas. "Lumayan," jawabnya. "Lumayan enak?" tuntut Laras, sebenarnya dia tidak ingin cari masalah sih tapi entah mengapa dia tidak rela kalau setiap hari Pram makan masakan Clara. "Maksudku tidak seenak masakan Alisya, hanya dalam level yang bisa dimakan kok." "Apa itu salah satu alasanmu bertunangan dengannya?" tanya Laras hati-hati. Sekarang Pram benar-benar meninggalkan makanannya dia menatap Laras lalu menimang sejenak. "Kamu tahu aku sangat mengidolakan ibunya Alisya, dan berharap suatu saat nanti aku bisa mempunyai istri seperti ibu. Dia wanita yang lembut tapi tegar dan penuh prinsip dan yang pasti dia penuh kasih sayang, salah satunya dia
Tak ingin kalah dengan ibu mertuanya, Laras berusaha keras untuk bisa memasak. Mulanya sulit, karena dia bahkan tidak bisa membedakan bawang merah dan bawang putih. Seperti saran Pram, Laras mengambil kelas khusus untuk memasak selain itu dia rajin sekali merecoki Alisya untuk membantunya memasak. Yang jelas Laras tidak sudi kalah dengan ibu tiri suaminya. Pagi ini wanita itu sudah berkutat di dapur bahkan sebelum subuh berkumandang dan Pram yang biasanya keluar kamar di pagi hari melongo tak percaya melihat istrinya berkutat di dapur dengan memakai apron. “Aku kira siapa yang ada di dapur ternyata sedang ada bidadari yang masak untukku,” kata Pram sambil tersenyum sangat manis. Laras melengos pura-pura sibuk dengan masakannya padahal dia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang memerah dan hatinya yang berbunga-bunga. Pram melangkah mendekati sang istri dan memeluknya dari belakang, untung saja Laras sigap menahan keinginannya untuk memukul kepala laki-laki itu. “Lepaskan Pra
“Apa papa tidak membawa bekal dari tante Clara?” tanya Laras saat sang mertua malah mengajaknya ke sebuah restoran di dekat kantornya. “Bekal dari Clara?” tanya sang mertua bingung saat mereka sudah duduk berhadapan di sebuah restoran.“Iya bekal makan siang. Apa papa tidak membawanya hari ini?” “Kenapa kamu bertanya tentang bekal itu?” “Tante Clara pasti akan tambah marah kalau bekal buatannya tidak papa habiskan dan malah makan denganku.” Laras memperhatikan ayah mertuanya yang kemudian terdiam lalu tertawa dengan keras, sampai beberapa orang menatap mereka dengan penasaran. “Kenapa papa malah tertawa?” tanya Laras bingung, dia menundukkan kepala sedikit pada orang di sekitar mereka untuk meminta maaf. “Tidak ada, papa hanya bersyukur kamu yang jadi istrinya Pram.” Laras menatap sang ayah mertua kebingungan tapi gelengan tegas laki-laki itu membuatnya langsung menutup mulut. Makanan pesanan m
“Memangnya kamu tidak punya rumah atau apartemen?” tanya Laras memancing Arvin saat mereka makan di restoran hotel. “Tentu saja punya, tapi bukankah lebih baik kita ke hotel.” “Aku tidak terlalu suka di hotel, menurutku banyak mata yang akan melihat kita. Apartemen atau rumah lebih privat menurutku.” “Apa suamimu memberikan apartemen untukmu?” Laras tersenyum dalam hati mendengar pertanyaan laki-laki itu. “Tentu saja,” kata Laras lalu dia berbisik penuh konspirasi. “Mertuaku memberikan rumah dan villa atas namaku tapi aku enggan untuk menerimanya.” Mata laki-laki itu langsung terbelalak. “Kenapa? Apa kurang banyak?” “Bukan tapi aku tidak membutuhkannya, aku lebih suka hidup tenang dengan orang yang benar-benar tulus padaku, dari pada bergelimang harta tapi tukang selingkuh.” Laki-laki itu menggeleng. “Kamu hanya belum beruntung menemukan laki-laki yang cocok untukmu.” “Mungkin saja, aku setelah ini aku akan lebih berhati-hati dalam memilih laki-laki,” kata Laras sam
"Hah kenapa kamu bilang begini?" tanya Laras terkejut menatap chat yang dilakukan Pram dan kekasih Clara. Dalam hal rayu merayu Pram memang jagonya, dia bahkan bisa menyesuaikan diri dan dari chat yang terkirim seperti dari Laras sendiri. Laras yang sebelum ini bahkan menyatakan dirinya tak ingin jatuh cinta tentu saja menjadi bingung saat dia harus berpura-pura menerima pendekatan kekasih Clara. "Aku juga mual jawabnya," jawab Pram kesal. Laras menatap chat di ponselnya lalu menatap Pram lagi. "Kamu nggak belok kan gara-gara kecewa pada Clara?" tanyanya asal bunyi. Pram berdecak kesal tapi dia tak menjawab, dia malah berdiri dan berjalan mendekati istrinya dan mencium wanita itu kuat-kuat. Hubungan mereka memang sudah lebih hangat setelah Pram mengatakan semua rencananya dan tentu saja karena mereka jauh dari Clara jadi mereka tak perlu pura-pura. "Pram kamu merasa nggak sih kalau bukan aku yang deketin dia tapi dia memang sengaja dekati aku?" tanya Laras setelah deng
"Tuan saya berhasil menemukan jejak racun yang sana seperti yang ditemukan dalam tubuh ayah anda." Pram menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jari tangannya memutih, hampir saja dia tak sanggup mengendalikan dirinya andai tidak melihat kalau sekarang ada di keramaian. Rasa bersalah seolah mencekiknya, hampir saja dia tidak bisa bernapas karena rasa itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya dia yang menerima hukuman ini, mungkin ini karma karena banyak mempermainkan gadis-gadis di luar sana, hingga dia buta menganggap mereka semua gadis sebodoh dan senaif mantannya, hingga tak sadar kalau ada ular yang bersiap menggigitnya. Ayahnyalah yang menyelamatkannya, ayahnya yang dia benci selama ini karena lebih memilih kesenangan sendiri dari pada keluarganya, dari pada dia putra satu-satunya. Pram terjebak dalam permainan yang dibuatnya sendiri hingga dia harus kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Saat bertemu dengan Clara untuk pertama kalinya Pram langsung ter
"Sepertinya rencana kita harus dipercepat," kata Pram melalui sambungan telepon."Baik tuan kami akan mencari kesempatan malam ini." "Bagus, lakukan sebaik mungkin." "Baik, Tuan. Kami juga punya laporan yang sudah kami kirimkan ke email tuan." "Baik, terima kasih aku tunggu laporan kalian." Pram menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan para karyawannya yang sedang makan malam merayakan keberhasilan presentasi yang mereka lakukan tadi. "Mau makan yang lain?" tanya Pram sambil mengelus belakang kepala Laras. "Idih pak Pram bikin kita-kita iri saja," kata salah satu karyawan Pram sambil tertawa. "Kalian bisa saja, kalian juga boleh tambah kalau ingin makan yang lain," katanya ramah. "Beneran, Pak?" "Benar, asal jangan ganggu aku dan istri kami mau jalan-jalan di sini." Pram mengedip pada sang istri yang langsung disambut sorakan para karyawannya, tapi Pram sama sekali tak peduli dengan sengaja dia mengajak Laras berdiri dan mencari tempat duduk di luar cafe dengan pemandan
"Awh panas! apa yang kau lakukan!" Pram melemparkan sendok yang tadinya dia gunakan untuk mencicipi soup buatan Clara. Laki-laki itu berusaha menyeka soup panas yang mengenai kakinya. "Maaf...maafkan aku Pram aku tidak sengaja, itu soup untuk Laras. biar aku bantu untuk-" "Lupakan, lanjutkan saja masakmu," kata Pram yang langsung berlari ke kamarnya, dia menatap sejenak Laras yang berdiri diam dia pintu ruang makan. "Pram, maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja," kata wanita itu mengejar Pram ke kamarnya. "Tante lanjutin masaknya biar aku yang urus Pram," kata Laras mencegah wanita itu masuk ke dalam kamarnya menyusul Pram. Wanita itu menatap Laras tak terima, tapi Laras langsung menutup pintu kamar di depan hidung sang ibu tiri. "Kamu baik-baik saja?" tanya Laras yang bukannya membantu Pram malah duduk di tepi ranjang menikmati kesibukan suaminya. "Malah nonton, ambilin baju ganti kek," kata Laras kesal. "Kenapa marah padaku bukan aku yang menumpahkan soup itu," kata La
Pram terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Berbagai rencana memenuhi pikirannya, dia menatap Laras yang sudah tidur pulas di sampingnya. Semenjak peristiwa di villa waktu itu Pram memang memaksa sang istri untuk tidur satu ranjang dengannya, awalnya memang Laras menolak tapi Pram memang ahli dalam menundukkan wanita berbagai cara dia lakukan dan Laras yang lelah dengan semua perdebatan konyol itu akhirnya menyerah. Kantuk tak lagi menghampirinya, Pram berjalan ke arah balkon kamarnya dan menatap cahaya bulan di atas sana yang bersinar cerah. “Sebenarnya apa yang terjadi, Pa. kenapa semuanya jadi serumit ini?” tanya Pram seolah sang ayah ada di depannya tapi tentu saja hanya desiran angin yang berembus menjawab tanyanya. Pikirannya buntu, dia sudah tahu siapa pelaku pembunuhan ayahnya tapi tentu saja dia tidak bisa gegabah begitu saja, mereka bukan orang-orang kemarin sore yang bisa dia hadapi hanya dengan modal nekad saja.
“Aku ingin kamu ikut bersamaku menghandle kerja sama dengan Singapura.” Saat ini mereka ada di ruangan Pram dan duduk berhadapan. Laras merasakan sengatan nyeri di hatinya, setelah apa yang dilihatnya semalam dan fakta yang dia dengar dari ayahnya, Laras tak bisa menatap Pram lagi sebagai sosok yang sama. Bukankah dia di sini hanya ingin mencari keadilan untuk ayahnya saja juga membersihkan nama baiknya? Seharusnya dia akan baik-baik saja bukan? Dia tak perlu menggunakan perasaannya, bukankah selama ini dia sudah ahli untuk membohongi perasaannya sendiri. Apalagi saat dia tahu kalau Pram mengabaikan fakta penting yang kemungkinan bisa mengungkap kebenaran. Tapi entah mengapa semua itu rasanya tak membuatnya bisa membenci laki-laki itu.Apa dia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona laki-laki ini? wajahnya yang begitu tampan memang mampu membius siapa saja ditambah lagi mulutnya yang begitu manis. “Kenapa harus aku? Aku sama sekali tidak punya pengalaman untuk itu,” bantah Laras,
Beberapa kali Pram menengok Arlojinya dengan gelisah. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, dia lalu menengok ponselnya tidak ada pesan sama sekali. Kemana dia? Padahal Pram sudah ada di rumah tepatnya di ruang kerjanya sejak selesai makan malam, malam ini dia makan sendiri di meja makan besar itu. Laras belum kembali sejak minta izin meninggalkan kantor lebih cepat tadi siang. Dan Clara wanita yang katanya baru sembuh dari sakit itu menghilang entah kemana, bahkan dia juga tidak mengatakan apapun pada para pembantu. “Tuan, nyonya sudah pulang.” Pram menghela napas lega. “Baiklah terima kasih, Bi. Tolong siapkan makanan untuknya dan juga susu hangat dia pasti sangat lelah.” “Ehm... tuan. Tapi nyonya sama sekali tidak makan setelah jam tujuh malam, biasanya hanya makan buah saja itupun kalau benar-benar lapar.” “Apa maksudmu dia pemakan segala, bahkan kami pernah makan nasi goreng di pinggir jalan
Clara tak ingin seperti ini. Dia mencintai Pram. Belum pernah dia memiliki rasa cinta seperti pada laki-laki itu. Tapi dia juga realistis, dia tentu saja memilih ayah Pram yang lebih royal padanya dan memanjakannya dengan kasih sayang. Pram memang sesekali mengajaknya jalan tapi tak sekalipun memberikan barang-barang mahal, apalagi waktu itu sang papa butuh suntikan dana dan ayah Pram mau memberikannya asalkan mereka menikah. Clara tak punya pilihan lain, ayah Pram memang masih tampan meski sudah berumur. Clara tentu saja tak menolak, tapi lambat laun dia sadar kalau cintanya hanya untuk Pram seorang dan dia bertekad akan mengejarnya tak peduli kalau statusnya saat itu ibu tiri laki-laki yang dia cintai. “Kenapa kamu membuatnya mati lebih cepat! Seharusnya kamu memastikan dulu isi surat wasiatnya!” “Kenapa papa menyalahkan aku, surat wasiatnya semula aku menerima dua puluh lima persen kekayaannya tapi dia mengubahnya, dan pengacara itu sama sekali tidak bisa diandalkan, harusnya