"Kamu yakin akan menikahi wanita itu?" Pram menghentikan gerakannya memutar pensil di tangannya, dia menatap sahabat sekaligus sekretarisnya sejenak. Dia mengenal Aris sejak tahun ketiga di bangku kuliah, Aris pemuda yang cerdas meski berasal dari keluarga yang sederhana. Mereka langsung klop dan menjadi teman. Karena itu tak butuh berpikir dua kali, Pram langsung menariknya untuk bekerja bersamanya begitu mendengar sang sahabat belum mendapat pekerjaan tetap. "Kenapa kamu bertanya begitu?" Tanya Pram memperhatikan laki-laki muda di depannya dengan seksama, sejujurnya hal ini sama sekali tidak ada dalam rencananya, semuanya terjadi begitu saja, tapi Pram menolak menyesali semuanya. Dia memang belum lama mengenal Laras, tapi dia sudah sangat berpengalaman bertemu wanita, dia yakin Laras sangat berbeda dari semua wanita-wanita yang dia pacari, termasuk mantan tunangannya yang sekarang menjadi ibu tirinya. "Aku hanya memastikan, bukankah kamu sendiri yang bilang benci dengan ay
Laras kelaparan. Padahal semalam dia makan semua makanan yang dibawakan Pram. Semalam dia tidur sangat larut, bukan karena dia ngobrol dengan Pram, Laras bahkan buru-buru masuk kamarnya begitu selesai makan dan mengunci pintu kamarnya, lagi pula apartemen ini terkunci otomatis jika nanti Pram pulang dan menutup pintu."Jam segini kamu baru bangun?" Laras yang matanya separuh terbuka langsung melonjak begitu mendapati laki-laki di dapur rumahnya, apalagi laki-laki itu bertelanjang dada memamerkan keindahan tubuhnya. "Kamu harus terbiasa dengan keindahan tubuhku karena nanti kita akan menikah," kata Pram dengan tak acuh saat melihat Laras menatap tubuhnya dengan melongo.Laras menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang Pram. Astaga kenapa otaknya malah berpikir yang tidak-tidak sih! "Apa yang kamu lakukan di dapurku!" tanya Laras ketus. "Dapurmu?" Tanya Pram sambil menaikkan alisnya menyebalkan.Laras tahu pasti ada yang salah dengan otak
Pram tidak pernah bisa berbohong pada Alisya. Wanita itu selalu menemukan cara untuk membuatnya bisa berkata jujur, Pram yang terbiasa menyembunyikan sendiri kegundahan hatinya merasa dia punya tempat untuk pulang, tapi setelah wanita itu menikah dengan laki-laki lain tentu dia tidak bisa lagi berbagi seperti dulu. Karena itu jugalah dia tidak ingin mengatakan rencana pernikahannya dengan Laras pada Alisya, setidaknya sebelum mereka resmi menikah. Alisya tidak akan setuju apalagi jika tahu alasan pernikahannya. Bagi wanita itu pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertahankan sebisa mungkin, tidak heran sih karena orang tuanya adalah pasangan yang harmonis dan kaya akan cinta meski mereka miskin harta. Tidak heran jika Alisya kembali lagi pada Pandu meski laki-laki itu pernah menyakitinya. Pram menghela napas dan mengambil kantong besar yang ada di sampingnya, hari ini dia memang telah berjanji akan mengunjungi Alisya di rumah suaminya. “Ckk aku pikir kamu tidak jad
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
“Hari ini aku harus menemui dokter.” Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar. “Aku harus bekerja.” Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi diba
“Ini Sekar kekasihku.” Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi pacar suaminya kenapa harus wanita ini. tidak cukupkah luka yang wanita ini torehkan pada keluarganya dulu? Alisya tak mungkin salah mengenali orang, meski penampilannya sudah dipoles sana sini sedemikian rupa, tapi senyum dan wajah lembut penuh tipu muslihat itu tak akan pernah dia lupakan. Dan sepertinya Sekar menyadari siapa dirinya tapi seperti yang sudah Alisya kenal bertahun-tahun yang lalu, Sekar adalah orang sangat pandai menjaga raut wajahnya, dan itu yang membuatnya berbahaya. Alisya tahu ini sudah sangat terlambat, tapi bertemu dengan wanita ini membuatnya bukan hanya merasakan rasa sakit tapi juga amarah.“Halo Alisya.” Alisya masih menggenggam tangannya kuat berusaha menguasai dirinya saat wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan dengan senyum terkembang. “Halo, kamu pasti sudah tahu siapa aku, meskipun itu tak menyurutkan langkahmu untuk memilki suamiku.” Alisya sendiri terkejut
“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu.Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me
Pram tidak pernah bisa berbohong pada Alisya. Wanita itu selalu menemukan cara untuk membuatnya bisa berkata jujur, Pram yang terbiasa menyembunyikan sendiri kegundahan hatinya merasa dia punya tempat untuk pulang, tapi setelah wanita itu menikah dengan laki-laki lain tentu dia tidak bisa lagi berbagi seperti dulu. Karena itu jugalah dia tidak ingin mengatakan rencana pernikahannya dengan Laras pada Alisya, setidaknya sebelum mereka resmi menikah. Alisya tidak akan setuju apalagi jika tahu alasan pernikahannya. Bagi wanita itu pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertahankan sebisa mungkin, tidak heran sih karena orang tuanya adalah pasangan yang harmonis dan kaya akan cinta meski mereka miskin harta. Tidak heran jika Alisya kembali lagi pada Pandu meski laki-laki itu pernah menyakitinya. Pram menghela napas dan mengambil kantong besar yang ada di sampingnya, hari ini dia memang telah berjanji akan mengunjungi Alisya di rumah suaminya. “Ckk aku pikir kamu tidak jad
Laras kelaparan. Padahal semalam dia makan semua makanan yang dibawakan Pram. Semalam dia tidur sangat larut, bukan karena dia ngobrol dengan Pram, Laras bahkan buru-buru masuk kamarnya begitu selesai makan dan mengunci pintu kamarnya, lagi pula apartemen ini terkunci otomatis jika nanti Pram pulang dan menutup pintu."Jam segini kamu baru bangun?" Laras yang matanya separuh terbuka langsung melonjak begitu mendapati laki-laki di dapur rumahnya, apalagi laki-laki itu bertelanjang dada memamerkan keindahan tubuhnya. "Kamu harus terbiasa dengan keindahan tubuhku karena nanti kita akan menikah," kata Pram dengan tak acuh saat melihat Laras menatap tubuhnya dengan melongo.Laras menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang Pram. Astaga kenapa otaknya malah berpikir yang tidak-tidak sih! "Apa yang kamu lakukan di dapurku!" tanya Laras ketus. "Dapurmu?" Tanya Pram sambil menaikkan alisnya menyebalkan.Laras tahu pasti ada yang salah dengan otak
"Kamu yakin akan menikahi wanita itu?" Pram menghentikan gerakannya memutar pensil di tangannya, dia menatap sahabat sekaligus sekretarisnya sejenak. Dia mengenal Aris sejak tahun ketiga di bangku kuliah, Aris pemuda yang cerdas meski berasal dari keluarga yang sederhana. Mereka langsung klop dan menjadi teman. Karena itu tak butuh berpikir dua kali, Pram langsung menariknya untuk bekerja bersamanya begitu mendengar sang sahabat belum mendapat pekerjaan tetap. "Kenapa kamu bertanya begitu?" Tanya Pram memperhatikan laki-laki muda di depannya dengan seksama, sejujurnya hal ini sama sekali tidak ada dalam rencananya, semuanya terjadi begitu saja, tapi Pram menolak menyesali semuanya. Dia memang belum lama mengenal Laras, tapi dia sudah sangat berpengalaman bertemu wanita, dia yakin Laras sangat berbeda dari semua wanita-wanita yang dia pacari, termasuk mantan tunangannya yang sekarang menjadi ibu tirinya. "Aku hanya memastikan, bukankah kamu sendiri yang bilang benci dengan ay
Laras berbaring diam di atas ranjang apartemen yang dipinjamkan Pram untuknya. Ini sudah satu minggu sejak mengantar ibunya ke kampung halamannya, dia lebih tenang jika sang ibu di sana bersama saudara-saudaranya. Mungkin hanya dia anak yang bahagia dengan perceraian kedua orang tuanya. Setidaknya sekarang sang ayah tidak akan lagi menganggu ibunya dan bisa bebas besama gundiknya itu. Laras tak tahu bagaimana Pram membujuk ibunya untuk mau bercerai dari sang ayah yang selama hampir lima belas tahun ini selalu gagal dilakukan olehnya. Tidak dia pungkiri Pram memang seorang negosiator dan perayu sejati apalagi di dukung dengan wajahnya yang luar biasa tampan. Karena itu Laras masih tidak percaya kalau mantan tunangannya berkhianat dan malah menikah dengan ayah laki-laki itu, meski tidak Laras pungkiri kalau ayah Pram juga masih sangat menawan meski usianya tak lagi muda. Pram mengingat laki-laki itu membuat Laras kembali menghela napas panjang, dia belum bisa memaafkan dir
Suara ponsel Laras mengintrupsi pembicaraan mereka yang bisa berpotensi penganiyayaan. Laras mengangkat panggilan dari ibunya dengan tenang tapi wajahnya langsung memucat saat mendengar apa yang ibunya bicarakan di seberang sana. “Ada apa?” tanya Pram. “Kenapa wajahmu selalu pucat setelah mengangkat telepon jangan bilang kalau ayahmu-“ “Ibuku. Aku harus menemuinya sekarang,” kata Laras memutus apapun yang akan dikatakan Pram, dia menatap laki-laki itu dengan pandangan kalut. “Aku antar di mana ibumu sekarang?” Laras menyebutkan alamat kontrakannya. Jika biasanya rumah kontrakannya sepi, kini rumah mungil penuh sesak dengan beberapa tetangga, yang hanya beberapa saja yang Laras kenal dengan baik. “Ada yang meninggal?” tanya Pram. Aura rumahnya sangat suram dan para tetangga saling bicara dengan wajah prihatin apalagi setelah melihatnya. Ibunya baru saja menghubunginya jadi tak mungkin meninggal, batin Laras meyakinkan dirinya sendiri. “Jangan bicara sembarang, ibuku mungkin s
Laras sudah menghabiskan entah berapa kue kering di depannya ini, rasanya sangat enak dan dia suka dan yang lebih penting ini gratis. Jadi tidak akan ada yang menghalangi Laras untuk memakannya, meski perutnya sudah kenyang dengan makan mawah dengan berbagai hidangan mewah yang dia santap tadi, kecuali... pandangan sang nyonya rumah yang seperti menuduhnya menyembunyikan setoples kue itu di balik bajunya. Pram yang sedang berbincang dengan sepupunya juga sama sekali tidak membantu, membuatnya seperti terlempar ke sarang macan yang setiap saat siap mencabik-cabik tubuhnya. Baiklah mungkin perumpamaannya memang terlalu berlebihan tapi wanita cantik yang diperkenalkan sebagai istri ayah Pram memang melihatnya seperti harimau melihat mangsa. Lupakan pemikiran Laras yang mungkin saja dia akan berdosa karena sudah membohongi orang tua Pram dengan sandiwara ini, karena seperti kebanyakan orang kaya mereka tidak akan sudi menerima menantu yang sama sekali tida
“Apa sih sebenarnya masalahmu? Kamu sangat merepotkan,” kata Laras judes setelah mereka keluar dari salon. Laras sudah sangat cantik dengan make up minimalisnya, dan juga blus berwarna kuning pucat dan celana kain berwarna gading, sangat cocok dengan kulitnya yang langsat.Tapi dia tidak menyukainya. Siapa sih yang suka tiba-tiba dipaksa untuk melakukan apa yang sama sekali tidak dia ketahui.“Terima kasih dan aku sangat suka merepotkanmu,” kata Pram yang senyumnya sudah kembali bertengger di wajah tampannya. Laras menghela napas, dia mengasihani dirinya sendiri jika suatu saat jatuh cinta pada laki-laki itu dan tentu saja itu bukan hal mustahil mengingat saat ini statusnya adalah barang yang sudah dibeli Pram. Mengingatnya saja sudah membuat Laras bergidik. “Memangnya kita akan kemana? Kamu ternyata suka sekali bersandiwara. Oh jangan-jangan wanita yang menjadi pacar-pacarmu itu sebenarnya adalah wanita yang bernasib sial dan kamu jadikan pacar pura-pura untuk menutupi kebusukan