“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Laras dengan tak kalah lantang membuat ibu tiri Pram itu terperangah kaget. “Memangnya kamu tidak, lihat tas dan baju kamu, itu pasti uang suamimu. Ckkk siapa di sini yang matre dan jalang.” Kali ini Laras sudah lebih siap saat tangan Clara mengayun akan menampar pipinya, dia langsung menangkap tangan wanita itu dan memutarnya dengan keras hingga terdorong ke belakang, sayangnya yang tidak Laras antisipasi wanita itu memilih jatub terjerembab di pelukan Pram. Pram yang dari tadi hanya melongo menikmati opera di depannya kaget dan refleks langsung memeluk pinggang Clara yang hampir jatuh. “Lihat, Pram. Istrimu dia sama sekali tidak ada hormat padaku, dia bahkan berani merayu papamu.” Wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Pram, Laras yang tahu itu hanya modus dan si suaminya yang bego itu malah melihat sang ibu tiri dengan wajah bingung segera bertindak. “Bilang aku mau rayu papa, wong kamu yang gatel gih. Sana jauh-jauh jangan sampai badan
Laras memang tidak memasak layaknya Alisya, tapi wanita itu bukan wanita manja penuntut dan pemarah. Meski kadang keras kepala tapi Laras sosok yang penurut dan yang pasti dia bisa membuat Pram nyaman di apartemennya yang sudah lama sepi. Menjahili Laras menjadi kebiasan baru yang sangat menyenangkan untuknya.Tak ada pembantu tetap di sini, hanya orang yang dia bayar untuk membersihkan dan mengurus baju mereka, tapi sejak ada Laras dia yang mengurus semua itu. Dalam urusan membersihkan apartemen Laras sangat detail, sehingga apartemennya selalu bersih dan tak pernah ada lagi barang yang tergeletak sembarangan. “Mau kemana?” Padahal biasanya pada hari libur seperti ini jika mereka tidak janjian keluar rumah, mereka akan menghabiskan waktu dengan nonton televisi sambil ngemil, tapi hari ini Laras sepertinya punya rencana tersendiri. “Aku ada janji sebentar.” “Dengan siapa? Kenapa kamu tidak izin padaku?” tanya Pram sambil menaikkan alisnya sombong. Laras kesal dong, dengan muka
Alisya tahu Pram sering gonta-ganti pacar dan tentu saja rata-rata mereka cantik dan seksi, tapi tidak ada dari mereka yang seberani wanita di depannya ini. Wanita ini bukan hanya sukses menjadi nyonya besar Setiadji, tapi sebelumnya membuat Pram berpikir untuk melangkah lebih jauh. Pertunangan, meski tidak ada pesta besar. "Aku tidak tahu kalau tante ada di sini. Biasalah, Tan anak muda sering hangout bareng teman," kata Laras sambil terkekeh pelan. Dia tahu, istri ayah mertuanya ini paling benci dipanggil tante olehnya karena merasa mereka seumuran. Laras tersenyum manis melihat kepalan tangan wanita di depannya, lalu wanita itu berjalan pergi dengan kesal. Laras rasanya ingin terbahak, dia tidak sudi ditindas wanita seperti istri ayah mertuanya itu. "Apa tidak masalah nanti?" Laras menoleh dan melihat Alisya yang menikmati kuenya dengan tenang sambil mengawasinya dengan seksama.Laras menatap Alisya sejenak lalu mengangkat bahunya acuh, sesungguhnya dia tak tahu, dia tadi h
"Mau kemana lagi setelah ini?" Pram menoleh pada Laras disampingnya, mereka harus mengakhiri pertemuannya dengan Alisya karena wanita itu harus menjemput putranya dari sekolah. "Tidak ada, kita pulang saja," kata Laras malas. Jawaban Pram tadi sungguh membuatnya badmood. "Karena dia pacarku saat aku ingin menikah, dan dulu dia wanita yang lembut dan terlihat sangat baik hati seperti ibu peri." Jujur sih, Laras tidak punya dendam pada wanita yang sekarang berstatus sebagai ibu mertuanya itu, meski wanita itu kerap kali mencari masalah dan menghinanya, tapi bagi Laras itu bukan masalah besar, anggap saja dia hanya tikus yang lewat di depannya. Akan tetapi mendengar pengakuan Pram, membuat dada Laras terasa sesak bahkan sejak tadi dia hanya menunduk berusaha menahan air matanya supaya tidak ada yang tahu, tapi sialnya Alisya tahu dan sempat berbisik sambil memeluknya tadi. "Maafkan aku bertanya begitu, tapi aku yakin hati Pram masih belum ada pemiliknya dan kamu harus berjua
Bagi Pram, Laras merupakan istri yang sangat ideal untuknya. Dan dia tentu saja tak berminat menjadikan pernikahannya hanya pernikahan kontrak saja seperti yang sering Laras bilang. Bagi Pram yang sangat mengagumi pernikahan orang tua Alisya tentu dia tidak akan mempermainkan sebuah pernikahan seperti ayahnya yang hobi kawin cerai. Meski tidak dia pungkiri kalau dia dulu sering gonta- ganti pacar. "Saya suka dengan kue besar bentuk mawar ini, mbak. Apa bisa saya ambil hari jum'at besok?" tanya Pram sambil mengamati contoh kue dengan senyum yang terkembang sempurna, membuat si mbak pelayan toko melongo melihat mahluk indah di depannya ini. "Mbak?" tanya Pram lagi karena tak ada jawaban. "Eh... I-iya, Pak baik bisa." "Bagus. Saya akan menjemput kuenya jam delapan malam." Pram keluar dari toko kue itu dengan wajah cerah, hari jumat adalah hari ulang tahun Laras, dia sudah memperhatikan sang istri selama beberapa bulan mereka hidup bersama dan dari sana dia tahu kalau sang istri s
“Hari ini aku harus menemui dokter.” Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar. “Aku harus bekerja.” Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi diba
“Ini Sekar kekasihku.” Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi pacar suaminya kenapa harus wanita ini. tidak cukupkah luka yang wanita ini torehkan pada keluarganya dulu? Alisya tak mungkin salah mengenali orang, meski penampilannya sudah dipoles sana sini sedemikian rupa, tapi senyum dan wajah lembut penuh tipu muslihat itu tak akan pernah dia lupakan. Dan sepertinya Sekar menyadari siapa dirinya tapi seperti yang sudah Alisya kenal bertahun-tahun yang lalu, Sekar adalah orang sangat pandai menjaga raut wajahnya, dan itu yang membuatnya berbahaya. Alisya tahu ini sudah sangat terlambat, tapi bertemu dengan wanita ini membuatnya bukan hanya merasakan rasa sakit tapi juga amarah.“Halo Alisya.” Alisya masih menggenggam tangannya kuat berusaha menguasai dirinya saat wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan dengan senyum terkembang. “Halo, kamu pasti sudah tahu siapa aku, meskipun itu tak menyurutkan langkahmu untuk memilki suamiku.” Alisya sendiri terkejut
“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu.Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada
Bagi Pram, Laras merupakan istri yang sangat ideal untuknya. Dan dia tentu saja tak berminat menjadikan pernikahannya hanya pernikahan kontrak saja seperti yang sering Laras bilang. Bagi Pram yang sangat mengagumi pernikahan orang tua Alisya tentu dia tidak akan mempermainkan sebuah pernikahan seperti ayahnya yang hobi kawin cerai. Meski tidak dia pungkiri kalau dia dulu sering gonta- ganti pacar. "Saya suka dengan kue besar bentuk mawar ini, mbak. Apa bisa saya ambil hari jum'at besok?" tanya Pram sambil mengamati contoh kue dengan senyum yang terkembang sempurna, membuat si mbak pelayan toko melongo melihat mahluk indah di depannya ini. "Mbak?" tanya Pram lagi karena tak ada jawaban. "Eh... I-iya, Pak baik bisa." "Bagus. Saya akan menjemput kuenya jam delapan malam." Pram keluar dari toko kue itu dengan wajah cerah, hari jumat adalah hari ulang tahun Laras, dia sudah memperhatikan sang istri selama beberapa bulan mereka hidup bersama dan dari sana dia tahu kalau sang istri s
"Mau kemana lagi setelah ini?" Pram menoleh pada Laras disampingnya, mereka harus mengakhiri pertemuannya dengan Alisya karena wanita itu harus menjemput putranya dari sekolah. "Tidak ada, kita pulang saja," kata Laras malas. Jawaban Pram tadi sungguh membuatnya badmood. "Karena dia pacarku saat aku ingin menikah, dan dulu dia wanita yang lembut dan terlihat sangat baik hati seperti ibu peri." Jujur sih, Laras tidak punya dendam pada wanita yang sekarang berstatus sebagai ibu mertuanya itu, meski wanita itu kerap kali mencari masalah dan menghinanya, tapi bagi Laras itu bukan masalah besar, anggap saja dia hanya tikus yang lewat di depannya. Akan tetapi mendengar pengakuan Pram, membuat dada Laras terasa sesak bahkan sejak tadi dia hanya menunduk berusaha menahan air matanya supaya tidak ada yang tahu, tapi sialnya Alisya tahu dan sempat berbisik sambil memeluknya tadi. "Maafkan aku bertanya begitu, tapi aku yakin hati Pram masih belum ada pemiliknya dan kamu harus berjua
Alisya tahu Pram sering gonta-ganti pacar dan tentu saja rata-rata mereka cantik dan seksi, tapi tidak ada dari mereka yang seberani wanita di depannya ini. Wanita ini bukan hanya sukses menjadi nyonya besar Setiadji, tapi sebelumnya membuat Pram berpikir untuk melangkah lebih jauh. Pertunangan, meski tidak ada pesta besar. "Aku tidak tahu kalau tante ada di sini. Biasalah, Tan anak muda sering hangout bareng teman," kata Laras sambil terkekeh pelan. Dia tahu, istri ayah mertuanya ini paling benci dipanggil tante olehnya karena merasa mereka seumuran. Laras tersenyum manis melihat kepalan tangan wanita di depannya, lalu wanita itu berjalan pergi dengan kesal. Laras rasanya ingin terbahak, dia tidak sudi ditindas wanita seperti istri ayah mertuanya itu. "Apa tidak masalah nanti?" Laras menoleh dan melihat Alisya yang menikmati kuenya dengan tenang sambil mengawasinya dengan seksama.Laras menatap Alisya sejenak lalu mengangkat bahunya acuh, sesungguhnya dia tak tahu, dia tadi h
Laras memang tidak memasak layaknya Alisya, tapi wanita itu bukan wanita manja penuntut dan pemarah. Meski kadang keras kepala tapi Laras sosok yang penurut dan yang pasti dia bisa membuat Pram nyaman di apartemennya yang sudah lama sepi. Menjahili Laras menjadi kebiasan baru yang sangat menyenangkan untuknya.Tak ada pembantu tetap di sini, hanya orang yang dia bayar untuk membersihkan dan mengurus baju mereka, tapi sejak ada Laras dia yang mengurus semua itu. Dalam urusan membersihkan apartemen Laras sangat detail, sehingga apartemennya selalu bersih dan tak pernah ada lagi barang yang tergeletak sembarangan. “Mau kemana?” Padahal biasanya pada hari libur seperti ini jika mereka tidak janjian keluar rumah, mereka akan menghabiskan waktu dengan nonton televisi sambil ngemil, tapi hari ini Laras sepertinya punya rencana tersendiri. “Aku ada janji sebentar.” “Dengan siapa? Kenapa kamu tidak izin padaku?” tanya Pram sambil menaikkan alisnya sombong. Laras kesal dong, dengan muka
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Laras dengan tak kalah lantang membuat ibu tiri Pram itu terperangah kaget. “Memangnya kamu tidak, lihat tas dan baju kamu, itu pasti uang suamimu. Ckkk siapa di sini yang matre dan jalang.” Kali ini Laras sudah lebih siap saat tangan Clara mengayun akan menampar pipinya, dia langsung menangkap tangan wanita itu dan memutarnya dengan keras hingga terdorong ke belakang, sayangnya yang tidak Laras antisipasi wanita itu memilih jatub terjerembab di pelukan Pram. Pram yang dari tadi hanya melongo menikmati opera di depannya kaget dan refleks langsung memeluk pinggang Clara yang hampir jatuh. “Lihat, Pram. Istrimu dia sama sekali tidak ada hormat padaku, dia bahkan berani merayu papamu.” Wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Pram, Laras yang tahu itu hanya modus dan si suaminya yang bego itu malah melihat sang ibu tiri dengan wajah bingung segera bertindak. “Bilang aku mau rayu papa, wong kamu yang gatel gih. Sana jauh-jauh jangan sampai badan
Laras menatap ponsel yang bergetar dengan gelisah. Nomer baru yang sama sekali tidak dia ketahui. Dulu mendapat telepon dari nomer baru adalah bencana untuknya, karena biasanya sang ayah yang meminjam ponsel entah siapa untuk menghubunginya dan meminta uang. Meski dia jarang memberikannya tapi sang ayah terlihat pantang menyerah dan tentu saja menggunakan sang ibu sebagai ancaman membuat Laras tak berkutik lagi. Tapi bukankah sang ayah punya banyak uang sekarang? Ataukah sudah habis di meja judi lagi? “Angkat, Ras. Berisik tahu,” gerutu teman di samping kubikelnya yang pasti terganggu. Laras meringis minta maaf, padahal dia sudah meminimalkan suaranya tapi mungkin telinga rekan kerjanya ini setara kelelawar. Tak ingin menimbulkan masalah lagi Laras mengangkat panggilan itu. “Akhirnya kamu mengangkat panggilan papa jug,” kata suara yang dikenali Laras di ujung sana. “Papa?” “Iya, Ras. Ini papa, baru kemarin kita bertemu masak kamu lupa dengan suara papa.” Lagi dan lagi, Lara
Laras pikir sang mertua kan berbohong atau apa demi harga dirinya, tapi laki-laki itu malah mengangguk dengan bangga. "Papa tidak curiga tujuannya melakukan itu?" cecar Laras lagi. "Kenapa kamu cemburu Pram dekat dengan mantan tunangannya?" tanya sang mertua. Laras terperangah saat melihat sang mertua malah tertawa senang. "Kenapa papa dulu nekad menikahi tunangan Pram?" tanyanya lugas. "Apa lagi, Nak. Karena aku tertarik padanya tentu saja.""Dan tidak peduli itu milik anak anda sendiri? Kenapa saya merasa anda sengaja menikahi wanita itu untuk menggagalkan pertunangan Pram?" Pemikiran itu awal ada di benak Laras, hanya saja dia masih ragu untuk mengatakannya pada Pram dan sekarang kebetulan ayah mertuanya tiba-tiba datang dan membicarakan masalah ini. "Wah ternyata kamu mempunyai pemikiran penuh drama juga," kata laki-laki itu sambil tertawa. "Jika kamu memang curiga ada maksud lain dari Clara, kamu bisa bertanya sendiri kalau bertemu nanti," lanjutnya dengan manis. Lara
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me