Laras kelaparan. Padahal semalam dia makan semua makanan yang dibawakan Pram. Semalam dia tidur sangat larut, bukan karena dia ngobrol dengan Pram, Laras bahkan buru-buru masuk kamarnya begitu selesai makan dan mengunci pintu kamarnya, lagi pula apartemen ini terkunci otomatis jika nanti Pram pulang dan menutup pintu."Jam segini kamu baru bangun?" Laras yang matanya separuh terbuka langsung melonjak begitu mendapati laki-laki di dapur rumahnya, apalagi laki-laki itu bertelanjang dada memamerkan keindahan tubuhnya. "Kamu harus terbiasa dengan keindahan tubuhku karena nanti kita akan menikah," kata Pram dengan tak acuh saat melihat Laras menatap tubuhnya dengan melongo.Laras menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang Pram. Astaga kenapa otaknya malah berpikir yang tidak-tidak sih! "Apa yang kamu lakukan di dapurku!" tanya Laras ketus. "Dapurmu?" Tanya Pram sambil menaikkan alisnya menyebalkan.Laras tahu pasti ada yang salah dengan otak
Pram tidak pernah bisa berbohong pada Alisya. Wanita itu selalu menemukan cara untuk membuatnya bisa berkata jujur, Pram yang terbiasa menyembunyikan sendiri kegundahan hatinya merasa dia punya tempat untuk pulang, tapi setelah wanita itu menikah dengan laki-laki lain tentu dia tidak bisa lagi berbagi seperti dulu. Karena itu jugalah dia tidak ingin mengatakan rencana pernikahannya dengan Laras pada Alisya, setidaknya sebelum mereka resmi menikah. Alisya tidak akan setuju apalagi jika tahu alasan pernikahannya. Bagi wanita itu pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertahankan sebisa mungkin, tidak heran sih karena orang tuanya adalah pasangan yang harmonis dan kaya akan cinta meski mereka miskin harta. Tidak heran jika Alisya kembali lagi pada Pandu meski laki-laki itu pernah menyakitinya. Pram menghela napas dan mengambil kantong besar yang ada di sampingnya, hari ini dia memang telah berjanji akan mengunjungi Alisya di rumah suaminya. “Ckk aku pikir kamu tidak jad
Pram mengintip apa yang dilakukan istrinya sepagi ini di dapur. Yah istrinya karena dia memang telah menikahi Laras, meski wanita itu menolak menjadi istri yang sebenarnya. Restu Alisya beberapa bulan yang lalu membuat Pram mantap dengan rencananya mempersunting Laras. Dan dia tidak menyesalinya. Paling tidak dia tidak kesepian di rumah dan yang pasti... ada yang bisa dia jahili.“Makanya aku sudah bilang, tidak usah kerja cari kursus masak saja, supaya kamu bisa masak,” kata Pram dengan wajah penuh ejekan saat sang istri berkutat dengan penggorengan, pasti istrinya itu lapar sepagi ini, tempe yang dia goreng tebalnya tak sama dan tentu saja dengan api yang sebesar itu akan hangus dalam sekejap, belum lagi Laras yang takut-takut terciprat minyak panas merupakan pemandangan yang menarik pagi ini untuknya. Biasanya dia yang akan memasak, kalau tidak memesan makanan di luar atau mendatangkan koki di apartemennya. Me
“Siapa sih!” gerutu Laras sambil menyeret tubuhnya keluar kamar.Laras jarang sakit, tapi kali ini dia harus menyerah karena terus bersin dan kepalanya pusing sekali.Berkali-kali Pram mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan sarapan sudah siap, tapi kepalanya yang pusing membuat Laras tak napsu makan. Untunglah kamar mereka terpisah jadi laki-laki itu tidak akan tahu kalau dia sakit.Laras tidak suka dikasihani, dan sekarang keadaanya pasti terlihat sangat mengerikan. Untunglah Pram percaya kalau Laras sudah makan dan bilang hari ini dia cuti karena ada urusan. Setelah Pram pergi itulah Laras bangun dengan terhuyung-huyung dan mendapati makanan yang disediakan sang suami di atas meja dan memakannya. Tidur setelah minum obat membuat Laras tak menyadari ini sudah hampir jam tiga sore, pusingnya sudah banyak berkurang tapi wajahnya masih terlihat pucat saat dia melihat cermin. Ditambah lagi bunyi bel yang membuatnya ingin menampar siapa saja yang sudah bertamu saat ini. Dia tidak b
Laras pikir sang mertua kan berbohong atau apa demi harga dirinya, tapi laki-laki itu malah mengangguk dengan bangga. "Papa tidak curiga tujuannya melakukan itu?" cecar Laras lagi. "Kenapa kamu cemburu Pram dekat dengan mantan tunangannya?" tanya sang mertua. Laras terperangah saat melihat sang mertua malah tertawa senang. "Kenapa papa dulu nekad menikahi tunangan Pram?" tanyanya lugas. "Apa lagi, Nak. Karena aku tertarik padanya tentu saja.""Dan tidak peduli itu milik anak anda sendiri? Kenapa saya merasa anda sengaja menikahi wanita itu untuk menggagalkan pertunangan Pram?" Pemikiran itu awal ada di benak Laras, hanya saja dia masih ragu untuk mengatakannya pada Pram dan sekarang kebetulan ayah mertuanya tiba-tiba datang dan membicarakan masalah ini. "Wah ternyata kamu mempunyai pemikiran penuh drama juga," kata laki-laki itu sambil tertawa. "Jika kamu memang curiga ada maksud lain dari Clara, kamu bisa bertanya sendiri kalau bertemu nanti," lanjutnya dengan manis. Lara
Laras menatap ponsel yang bergetar dengan gelisah. Nomer baru yang sama sekali tidak dia ketahui. Dulu mendapat telepon dari nomer baru adalah bencana untuknya, karena biasanya sang ayah yang meminjam ponsel entah siapa untuk menghubunginya dan meminta uang. Meski dia jarang memberikannya tapi sang ayah terlihat pantang menyerah dan tentu saja menggunakan sang ibu sebagai ancaman membuat Laras tak berkutik lagi. Tapi bukankah sang ayah punya banyak uang sekarang? Ataukah sudah habis di meja judi lagi? “Angkat, Ras. Berisik tahu,” gerutu teman di samping kubikelnya yang pasti terganggu. Laras meringis minta maaf, padahal dia sudah meminimalkan suaranya tapi mungkin telinga rekan kerjanya ini setara kelelawar. Tak ingin menimbulkan masalah lagi Laras mengangkat panggilan itu. “Akhirnya kamu mengangkat panggilan papa jug,” kata suara yang dikenali Laras di ujung sana. “Papa?” “Iya, Ras. Ini papa, baru kemarin kita bertemu masak kamu lupa dengan suara papa.” Lagi dan lagi, Lara
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Laras dengan tak kalah lantang membuat ibu tiri Pram itu terperangah kaget. “Memangnya kamu tidak, lihat tas dan baju kamu, itu pasti uang suamimu. Ckkk siapa di sini yang matre dan jalang.” Kali ini Laras sudah lebih siap saat tangan Clara mengayun akan menampar pipinya, dia langsung menangkap tangan wanita itu dan memutarnya dengan keras hingga terdorong ke belakang, sayangnya yang tidak Laras antisipasi wanita itu memilih jatub terjerembab di pelukan Pram. Pram yang dari tadi hanya melongo menikmati opera di depannya kaget dan refleks langsung memeluk pinggang Clara yang hampir jatuh. “Lihat, Pram. Istrimu dia sama sekali tidak ada hormat padaku, dia bahkan berani merayu papamu.” Wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Pram, Laras yang tahu itu hanya modus dan si suaminya yang bego itu malah melihat sang ibu tiri dengan wajah bingung segera bertindak. “Bilang aku mau rayu papa, wong kamu yang gatel gih. Sana jauh-jauh jangan sampai badan
Laras memang tidak memasak layaknya Alisya, tapi wanita itu bukan wanita manja penuntut dan pemarah. Meski kadang keras kepala tapi Laras sosok yang penurut dan yang pasti dia bisa membuat Pram nyaman di apartemennya yang sudah lama sepi. Menjahili Laras menjadi kebiasan baru yang sangat menyenangkan untuknya.Tak ada pembantu tetap di sini, hanya orang yang dia bayar untuk membersihkan dan mengurus baju mereka, tapi sejak ada Laras dia yang mengurus semua itu. Dalam urusan membersihkan apartemen Laras sangat detail, sehingga apartemennya selalu bersih dan tak pernah ada lagi barang yang tergeletak sembarangan. “Mau kemana?” Padahal biasanya pada hari libur seperti ini jika mereka tidak janjian keluar rumah, mereka akan menghabiskan waktu dengan nonton televisi sambil ngemil, tapi hari ini Laras sepertinya punya rencana tersendiri. “Aku ada janji sebentar.” “Dengan siapa? Kenapa kamu tidak izin padaku?” tanya Pram sambil menaikkan alisnya sombong. Laras kesal dong, dengan muka
"Hah kenapa kamu bilang begini?" tanya Laras terkejut menatap chat yang dilakukan Pram dan kekasih Clara. Dalam hal rayu merayu Pram memang jagonya, dia bahkan bisa menyesuaikan diri dan dari chat yang terkirim seperti dari Laras sendiri. Laras yang sebelum ini bahkan menyatakan dirinya tak ingin jatuh cinta tentu saja menjadi bingung saat dia harus berpura-pura menerima pendekatan kekasih Clara. "Aku juga mual jawabnya," jawab Pram kesal. Laras menatap chat di ponselnya lalu menatap Pram lagi. "Kamu nggak belok kan gara-gara kecewa pada Clara?" tanyanya asal bunyi. Pram berdecak kesal tapi dia tak menjawab, dia malah berdiri dan berjalan mendekati istrinya dan mencium wanita itu kuat-kuat. Hubungan mereka memang sudah lebih hangat setelah Pram mengatakan semua rencananya dan tentu saja karena mereka jauh dari Clara jadi mereka tak perlu pura-pura. "Pram kamu merasa nggak sih kalau bukan aku yang deketin dia tapi dia memang sengaja dekati aku?" tanya Laras setelah deng
"Tuan saya berhasil menemukan jejak racun yang sana seperti yang ditemukan dalam tubuh ayah anda." Pram menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jari tangannya memutih, hampir saja dia tak sanggup mengendalikan dirinya andai tidak melihat kalau sekarang ada di keramaian. Rasa bersalah seolah mencekiknya, hampir saja dia tidak bisa bernapas karena rasa itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya dia yang menerima hukuman ini, mungkin ini karma karena banyak mempermainkan gadis-gadis di luar sana, hingga dia buta menganggap mereka semua gadis sebodoh dan senaif mantannya, hingga tak sadar kalau ada ular yang bersiap menggigitnya. Ayahnyalah yang menyelamatkannya, ayahnya yang dia benci selama ini karena lebih memilih kesenangan sendiri dari pada keluarganya, dari pada dia putra satu-satunya. Pram terjebak dalam permainan yang dibuatnya sendiri hingga dia harus kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Saat bertemu dengan Clara untuk pertama kalinya Pram langsung ter
"Sepertinya rencana kita harus dipercepat," kata Pram melalui sambungan telepon."Baik tuan kami akan mencari kesempatan malam ini." "Bagus, lakukan sebaik mungkin." "Baik, Tuan. Kami juga punya laporan yang sudah kami kirimkan ke email tuan." "Baik, terima kasih aku tunggu laporan kalian." Pram menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan para karyawannya yang sedang makan malam merayakan keberhasilan presentasi yang mereka lakukan tadi. "Mau makan yang lain?" tanya Pram sambil mengelus belakang kepala Laras. "Idih pak Pram bikin kita-kita iri saja," kata salah satu karyawan Pram sambil tertawa. "Kalian bisa saja, kalian juga boleh tambah kalau ingin makan yang lain," katanya ramah. "Beneran, Pak?" "Benar, asal jangan ganggu aku dan istri kami mau jalan-jalan di sini." Pram mengedip pada sang istri yang langsung disambut sorakan para karyawannya, tapi Pram sama sekali tak peduli dengan sengaja dia mengajak Laras berdiri dan mencari tempat duduk di luar cafe dengan pemandan
"Awh panas! apa yang kau lakukan!" Pram melemparkan sendok yang tadinya dia gunakan untuk mencicipi soup buatan Clara. Laki-laki itu berusaha menyeka soup panas yang mengenai kakinya. "Maaf...maafkan aku Pram aku tidak sengaja, itu soup untuk Laras. biar aku bantu untuk-" "Lupakan, lanjutkan saja masakmu," kata Pram yang langsung berlari ke kamarnya, dia menatap sejenak Laras yang berdiri diam dia pintu ruang makan. "Pram, maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja," kata wanita itu mengejar Pram ke kamarnya. "Tante lanjutin masaknya biar aku yang urus Pram," kata Laras mencegah wanita itu masuk ke dalam kamarnya menyusul Pram. Wanita itu menatap Laras tak terima, tapi Laras langsung menutup pintu kamar di depan hidung sang ibu tiri. "Kamu baik-baik saja?" tanya Laras yang bukannya membantu Pram malah duduk di tepi ranjang menikmati kesibukan suaminya. "Malah nonton, ambilin baju ganti kek," kata Laras kesal. "Kenapa marah padaku bukan aku yang menumpahkan soup itu," kata La
Pram terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Berbagai rencana memenuhi pikirannya, dia menatap Laras yang sudah tidur pulas di sampingnya. Semenjak peristiwa di villa waktu itu Pram memang memaksa sang istri untuk tidur satu ranjang dengannya, awalnya memang Laras menolak tapi Pram memang ahli dalam menundukkan wanita berbagai cara dia lakukan dan Laras yang lelah dengan semua perdebatan konyol itu akhirnya menyerah. Kantuk tak lagi menghampirinya, Pram berjalan ke arah balkon kamarnya dan menatap cahaya bulan di atas sana yang bersinar cerah. “Sebenarnya apa yang terjadi, Pa. kenapa semuanya jadi serumit ini?” tanya Pram seolah sang ayah ada di depannya tapi tentu saja hanya desiran angin yang berembus menjawab tanyanya. Pikirannya buntu, dia sudah tahu siapa pelaku pembunuhan ayahnya tapi tentu saja dia tidak bisa gegabah begitu saja, mereka bukan orang-orang kemarin sore yang bisa dia hadapi hanya dengan modal nekad saja.
“Aku ingin kamu ikut bersamaku menghandle kerja sama dengan Singapura.” Saat ini mereka ada di ruangan Pram dan duduk berhadapan. Laras merasakan sengatan nyeri di hatinya, setelah apa yang dilihatnya semalam dan fakta yang dia dengar dari ayahnya, Laras tak bisa menatap Pram lagi sebagai sosok yang sama. Bukankah dia di sini hanya ingin mencari keadilan untuk ayahnya saja juga membersihkan nama baiknya? Seharusnya dia akan baik-baik saja bukan? Dia tak perlu menggunakan perasaannya, bukankah selama ini dia sudah ahli untuk membohongi perasaannya sendiri. Apalagi saat dia tahu kalau Pram mengabaikan fakta penting yang kemungkinan bisa mengungkap kebenaran. Tapi entah mengapa semua itu rasanya tak membuatnya bisa membenci laki-laki itu.Apa dia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona laki-laki ini? wajahnya yang begitu tampan memang mampu membius siapa saja ditambah lagi mulutnya yang begitu manis. “Kenapa harus aku? Aku sama sekali tidak punya pengalaman untuk itu,” bantah Laras,
Beberapa kali Pram menengok Arlojinya dengan gelisah. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, dia lalu menengok ponselnya tidak ada pesan sama sekali. Kemana dia? Padahal Pram sudah ada di rumah tepatnya di ruang kerjanya sejak selesai makan malam, malam ini dia makan sendiri di meja makan besar itu. Laras belum kembali sejak minta izin meninggalkan kantor lebih cepat tadi siang. Dan Clara wanita yang katanya baru sembuh dari sakit itu menghilang entah kemana, bahkan dia juga tidak mengatakan apapun pada para pembantu. “Tuan, nyonya sudah pulang.” Pram menghela napas lega. “Baiklah terima kasih, Bi. Tolong siapkan makanan untuknya dan juga susu hangat dia pasti sangat lelah.” “Ehm... tuan. Tapi nyonya sama sekali tidak makan setelah jam tujuh malam, biasanya hanya makan buah saja itupun kalau benar-benar lapar.” “Apa maksudmu dia pemakan segala, bahkan kami pernah makan nasi goreng di pinggir jalan
Clara tak ingin seperti ini. Dia mencintai Pram. Belum pernah dia memiliki rasa cinta seperti pada laki-laki itu. Tapi dia juga realistis, dia tentu saja memilih ayah Pram yang lebih royal padanya dan memanjakannya dengan kasih sayang. Pram memang sesekali mengajaknya jalan tapi tak sekalipun memberikan barang-barang mahal, apalagi waktu itu sang papa butuh suntikan dana dan ayah Pram mau memberikannya asalkan mereka menikah. Clara tak punya pilihan lain, ayah Pram memang masih tampan meski sudah berumur. Clara tentu saja tak menolak, tapi lambat laun dia sadar kalau cintanya hanya untuk Pram seorang dan dia bertekad akan mengejarnya tak peduli kalau statusnya saat itu ibu tiri laki-laki yang dia cintai. “Kenapa kamu membuatnya mati lebih cepat! Seharusnya kamu memastikan dulu isi surat wasiatnya!” “Kenapa papa menyalahkan aku, surat wasiatnya semula aku menerima dua puluh lima persen kekayaannya tapi dia mengubahnya, dan pengacara itu sama sekali tidak bisa diandalkan, harusnya
Laras menatap rantang yang dia bawa. Dia sengaja masak daging dan juga ayam hari ini. Sejujurnya dia sama sekali tak tahu apa makanan kesukaannya. Lebih dari seperempat abad dia mengenalnya tapi mereka bahkan bisa dibilang orang asing dalam satu rumah. Ini akan canggung, tentu saja. Laras tidak pernah bersikap baik pada ayahnya seumur hidupnya pun demikian dengan sang ayah. Yang dia ingat dari sosok itu hanya bentakan dan pukulan, tak ada yang lain. Tapi hari ini dia mau menyempatkan diri untuk menjenguk serta membawakan makanan. Bukan karena dia memaafkannya atau ingin minta maaf karena laki-laki itu harus terlibat masalah seperti ini. Laras tidak bersalah dia selalu menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Ini salah ayahnya sendiri kenapa begitu lancang meminta uang pada mertuanya, kenapa ayahnya begitu tak tahu malu melakukan itu semua. Padahal uang milyaran yang diberikan Pram saja sudah dia berikan semua. Laras tahu meski kecil dalam hati kecilnya dia masih menyayang