Alisya tak menyangka kalau Pandu bisa sekejam ini. Ini keadaan yang sulit untuknya, belum pernah dia mengalami sesulit seperti ini."Kamu kenapa menangis? apa ada yang menyakitimu? Al ada apa?" nada suara Pandu yang panik membuat Alisya makin sesenggukan. Oh dia sebenarnya tak ingin menangis, apalagi untuk hal yang tidak jelas seperti ini. Tanpa sepengetahuannya Pandu benar-benar memasukkan nasi goreng buatannya tadi pagi ke dalam kotak yang dia tunjukkan dan saat ini mereka sedang melakukan video call dan laki-laki itu menunjukkan kotak bekal itu sebagai makan siang. Sontak saja hal itu membuat Alisya merasa bersalah, dia merasa makin menjadi istri terburuk di dunia, selama ini dia sibuk melindungi diri dan hatinya dari Pandu yang menurutnya adalah suami yang buruk, dan itu membuatnya tak bisa melihat kebaikan laki-laki itu. Dengan uang berlimpah yang dia miliki laki-laki itu bahkan bisa membeli makanan semewah apapun di restoran, tapi sekarang laki-laki itu lebih memilih makan
"Biar saya bantu, bu. Ibu ingin masak apa?" Alisya menoleh ke belakang dan melihat kepala chef berdiri di sana, laki-laki berusia awal lima puluhan itu tersenyum ramah."Maaf ya, pak. Saya pinjam dapurnya untuk membuatkan suami saya makanan, dia sedang tidak bisa makan kalau tidak masakan saya," kata Alisya sambil meringis. Kalau dipikir-pikir konyol memang tapi Alisya tahu kalau Pandu tidak pura-pura, laki-laki itu memang sudah terbiasa makan masakan yang memang diperuntukkan untuknya, tapi tidak dapat dipungkiri keadaan ini juga sedikit meningkatkan rasa percaya dirinya, dia merasa dibutuhkan."Bu Alisya sedang hamil?" tanya si bapak yang membuat telur di tangan Alisya hampir saja tergelincir. "Hah! kok bapak bisa berpikir begitu, anak saya saja belum setahun," kata Alisya saking kagetnya. Pernikahannya dengan Pandu bahkan belum berumur satu minggu dan mereka bahkan belum pernah melakukan hubungan suami istri bagaimana mungkin dia bisa hamil? ada-ada saja. Tapi tentu saja selain
Biasanya Alisya orang yang selalu punya rencana untuk hidupnya, kehilangan orang yang menjadi sandarannya sejak kecil membuat wanita itu harus berhati-hati dalam bertindak karena jika dia terjatuh tidak akan ada lagi yang membantunya bangkit. Akan tetapi semenjak mengenal Pandu entah kenapa Alisya selalu bertindak sembrono, seperti kali ini. Kenapa bisa dia lupa kalau dulu Pandu melarang keras dirinya untuk datang lagi ke kantor yang pernah menjadi tempatnya mencari nafkah ini. Dulu saat dirinya begitu tergantung pada laki-laki itu untuk pengobatan ibunya, lagi pula memang dia tidak melihat jalan lain selain menuruti keinginan Pandu. Pandu suaminya dan dia sangat berharap hubungan mereka juga sama kuatnya seperti hubungan orang tuanya dulu, sampai maut memisahkan. Meski sekarang mereka dalam tahap hubungan yang baru, tapi Pandu sekalipun tidak pernah mengundang Alisya untuk datang ke kantornya. Jadi seharusnya dia tidak sepercaya diri ini. "Alisya? kamu Alisya bukan?" A
Sepanjang lobi sampai mereka masuk ke dalam lift banyak orang yang melongo menatap mereka. Alisya tahu sebentar lagi pasti dia akan menjadi gosip terhangat di sini. Pemandangan saat ini memang cukup epik, dengan direktur utama mereka yang sedang memeluk pinggang wanita yang mereka kenal sebagai mantan istrinya dan Bisma, tidak akan ada yang meragukan kemiripan bayi itu dengan wajah papanya. Alisya sedikit menggeliatkan tubuhnya supaya tangan Pandu yang ada di pinggangnya terlepas, tapi tangan itu seperti sudah dilem di sana. "Mas, malu banyak karyawan mas di sini," bisik Alisya berharap dengan begitu laki-laki itu melepaskanya. Pandu hanya menatap mereka sekilas dan melepaskan pinggangnya hanya untuk menekan tombol lift lalu tangan itu kembali ke sana. "Kenapa harus malu? mereka harus tahu kalau kamu istriku," kata Pandu enteng. Ini lift khusus direksi, dan di jam makan siang seperti ini tak banyak anggota direksi yang terhormat itu masih menggunakannya, mereka biasa makan si
Alisya menggeliatkan tubuhnya, keadaan di luar masih gelap, dia menatap jam di dinding ini memang sudah waktunya dia bangun. Saat itulah dia sadar ada seseorang yang bergelung dalam pelukannya. Awalnya terasa aneh karena untuk pertama kalinya dia memeluk versi dewasa dari putranya, seminggu pernikahan dadakan mereka banyak hal yang terjadi, dan semuanya melibatkan energi dan emosi yang tidak sedikit, Alisya kelelahan tentu saja, tapi setelah melihat sosok yang masih tidur pulas sambil memeluknya erat ini membuat rasa lelah itu hilang tak berbekas, apalagi mengingat tawa renyah sang anak saat bermain bersama ayahnya.Semalam Pandu memang pulang agak sore untuk ukuran Pandu tapi pembicaraan yang mereka lakukan memaksa mereka untuk tidur lebih larut, apalagi kondisi Pandu yang akhir-akhir ini malas makan membuat Alisya khawatir. "Mau kemana?" Padahal Alisya sudah sangat hati-hati jangan sampai membangunkan sang suami tapi ternyata laki-laki itu tipe yang gampang bangun. "Mau sholat
Alisya tahu bagaimana Sekar juga mama mertuanya, mereka tipe wanita yang gemar bermewah-mewah tak peduli bagaimana sulitnya mencari uang, dia bahkan dulu pernah tak sengaja mendengar kalau biaya salon Sekar dalam satu bulan mencapai seratus juta, belum lagi dengan keperluan gaya hidupnya yang Alisya yakin lebih dari itu. Sedangkan untuk Alisya Pandu hanya memberi uang bulanan separuh dari biaya salon Sekar. Dia tidak pernah iri karena tahu Pandu juga menanggung biaya pengobatan sang ibu yang tidak sedikit, tapi saat dulu Pandu meminta Alisya mengembalikan uang perawatan untuk ibunya, dia benar-benar sakit hati. Sekarang mereka kembali bersama, Pandu memang mempercayakan hartanya pada Alisya dan membebaskan dia untuk menggunakannya, tapi Alisya yang tahu sekali bagaimana susahnya mencari uang tentu saja tidak akan pernah menggunakan uang itu jika tidak benar-benar membutuhkannya. Gaya hedon dan mewah sangat bukan Alisya sama sekali dan tentu saja dia tidak mau hidup dengan menj
Minggu pagi Pandu sudah rapi, dengan kaos oblong dan celana pendek yang terlihat sederhana, tapi Alisya tahu harga pakaian itu bahkan lebih mahal dari harga motor keluaran terbaru. "Mas mau kemana?" tanya Alisya yang buru-buru meletakkan barang belanjaan yang baru saja dia beli. Dengan Bisma yang ada di gendongan sang suami, membuat laki-laki itu terlihat semakin mempesona.Alisya tidak ingat Pandu mengajaknya pergi ke suatu tempat, jadi dia berencana hari ini akan membuat camilan untuk orang-orang desa yang akan melakukan kerja bakti membersihkan parit di sepanjang jalan di depan rumahnya dan tidak mungkin meminta Pandu untuk ikut kerja bakti bukan, jadi Alisya memutuskan menyediakan makanan saja untuk bapak-bapak yang bekerja. "Mau kerja bakti kan?" tanya Pandu balik dengan tampang polos yang membuat Alisya bingung harus menjawab apa. "Mas mau ikut?" Pandu mengangguk. "Mas yakin?" "Kan kemarin pak Rt suruh datang, nggak enak kalau nggak datang, aku kan sudah jadi warga kampun
"Masih marah?" tanya Pandu saat Alisya menyiapkan makan siang untuknya. Setelah insiden kerja bakti yang membuat Alisya menyeret suaminya pulang ke rumah, wanita itu bahkan tidak mau bicara sedikitpun. Bahkan Pandu sudah mengeluarkan semua stock gombalan yang dia tahu bahkan dia harus repot-repot mencari cara untuk membuat istri yang cemberut senyum lagi, tapi hasilnya tetap saja zonk. Mungkin istrinya tidak sama dengan model istri-istri yang ada di media sosial, Alisya terlalu realistis dan logis memang, jadi karena semua jurusnya mental. Pandu hanya diam sambil sesekali mencuri pandang pada sang istri. "Sayang, masih marah? aku nggak maksud lho tebar pesona, aku cuma mau angkut sampah tadi, maaf ya," kata Pandu saat Alisya duduk di depannya siap makan siang bersama. Alisya menghela napas kalau dipikir-pikir memang bukan salah Pandu juga, dia hanya ingin membaur dengan warga di sini, bukan salahnya bukan kalau dia punya wajah ganteng diatas rata-rata dan aura mahal yang tet
“Turunlah.” Pram membukakan pintu mobil untuk Laras. Dengan tubuh yang masih bergetar, Laras turun dari mobil. Dia tadi bahkan berpikir Pram sengaja bunuh diri dengan mengajaknya, laki-laki itu bagai kesetanan mengemudikan mobil mahalnya. Entah berapa kali umpatan yang mereka terima dari pengendara lainnya. Tangan Laras masih berpegang pada badan mobil saat pandangannya jatuh pada apa yang tersaji di depannya. Rumah ini sangat indah, meski tak sebesar rumah kediaman utama keluarga suaminya, tapi pemandangan yang ditawarkan sangat menyejukkan mata. Laras terpesona. Bunyi gemericik air yang mengalir menambah indah suasana, dia seolah diseret ke jaman dahulu kala saat semua orang bebas minum air langsung dari sungai. “Ini rumah siapa?” Laras menoleh pada Pram yang hanya diam menatap rumah di depannya. “Bukankah kamu harusnya tahu.” “Tahu apa?” tanya Laras sambil berjuang untuk tetap tegak berdiri, kakinya masih gemetar tapi dia tidak akan sudi meperlihatkan kelemahannya ini pada
Air mata mengalir setelah dia menutup pintu taksi.Betapapun kerasnya dia berusaha tegar, tapi Laras hanya manusia biasa. Dia juga bisa merasakan sakit melihat suaminya bersama wanita lain.Bodoh!Tak henti-hentinya Laras memaki dirinya sendiri karena telah jatuh terpelosok pada lubang ini.Laras tahu sesekali sopir taksi yang dia tumpangi menatap padanya, tapi dia sedang tak peduli pada sekelilingnya. Laras hanya ingin mengungkapkan sakit hatinya kali ini, benar hanya untuk kali ini saja dia membiarkan dirinya menangis untuk Pram.Puas menangis, Laras memalingkan wajah menatap sepanjang jalan yang dia lalui, bukan pemandangan indah memang tapi cukup untuk sedikit mengalihkan perhatiannya sampai...“Sialan! Mbak baik-baik saja?”Mobil tiba-tiba saja oleng ke samping lalu berhenti dengan bunyi deci
Ternyata aku hanya tameng untuk mereka.Betapa lucu hidup ini, dulu dia sekuat tenaga untuk tidak jatuh cinta pada seorang laki-laki. Menolak semua cinta yang datang mendekatinya, seharusnya dia tetap berpegang pada prinsipnya dan tidak membiarkan siapapun mengenalkan cinta padanya. Hidupnya mungkin memang akan terasa hampa tapi setidaknya dia tidak akan mengalami yang namanya patah hati. Laras tidak siap untuk itu, dia patah disaat dia berpikir utuh hidup dengan keluarga baru. “Apa kamu akan ke kantor?”Laras menatap datar kedua manusia yang langsung memisahkan diri, senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi dia memilih menutup mata. Dia bukan bertahan demi harta atau cinta, dia bertahan untuk keadilan yang harus dia perjuangkan. Sakit memang, tapi dia berusaha keras mematikan hatinya. Sup ayam yang dia masak tadi terasa pahit di lidahnya, tapi Laras tak peduli dia butuh makan, mungkin besok-besok dia tak akan mau lagi memasak. “Tidak, aku akan mengantar Clara ke dokter,” kata Pra
Laras terbangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Pagi ini memang mendung, tapi tak membuat suasana hatinya muram seperti sebelumnya. Berita yang dia dengar malam tadi tanpa sengaja membuatnya optimis pelaku pembunuhan ayah mertuanya akan segera tertangkap. Bukan ayahnya tentu saja, Laras sangat yakin akan hal itu. Polisi yang tadi malam datang ke rumah ini mengatakan kalau tidak ada pembelian racun oleh ayah Laras, dan Pram meminta penyelidikan ulang kenapa ayahnya bisa minum racun itu. Setidaknya ada harapan, ayahnya akan terbebas dari tuduhan itu. Dia ingin berterima kasih secara layak pada Pram dengan cara memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu, dia bahkan melupakan fakta kalau ibu tiri Pram sangat rajin membuatkan sarapan untuk Pram dan rasanya tentu saja jauh lebih enak dari pada buatannya. “Clara belum bangun?” tanya Laras pada salah satu pembantu yang biasa membantu Clara membuat sarapan. “Belum, nyonya.” Laras tahu di belakangnya para pembantu rumah ini juga
“Kamu yakin akan membiarkannya? Kamu tahu ucapannya itu cukup masuk akal. Dan yang lebih penting dia tidak bersalah.” Pram masih mondar-mandir di ruang kerjanya, ini hari terakhir dia akan ada di sini, setelah ini dia akan memimpin kantor pusat perusahaan keluarganya. Menggantikan sang ayah. Sedangkan Aris sang asisten sekaligus sahabatnya, hanya duduk diam menatap laki-laki itu datar.Pram pikir dia masih akan lama menggantikan sang ayah. Meski terkenal playboy dan suka kawin cerai sang ayah adalah pembisnis yang sangat handal, dia merasa belum banyak belajar dari sang ayah. Kesedihan ini, bukan hanya karena sang ayah yang membagikan semua pengetahuannya padanya, tapi karena beberapa bulan terakhir ini mereka terlibat perang dingin dan itu semua karena wanita. Pram tidak habis pikir kenapa dia bisa setolol itu, biasanya dia yang mengendalikan para gadis yang mengejarnya, dia merasa sudah sangat tahu bagaimana cara mengatasi mereka, tapi lagi-lagi dia salah. Clara adalah anomali
"Apa menurutmu itu tidak aneh?"Alisya menatap Laras dengan seksama, dia memang sengaja datang berkunjung ke kediaman Pram selain untuk memberi dukungan dan bela sungkawa pada sahabatnya itu juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pertemuan terakhir Alisya dengan pasangan itu, dia merasa sangat optimis hubungan keduanya akan semakin membaik meski dulu dia tidak yakin kalau keduanya saling mencintai seperti yang mereka katakan. Akan tetapi dengan peristiwa ini hubungan kedua sahabatnya itu berada di ujung tanduk, sebagai sahabat Alisya tentu ingin kalau hubungan keduanya akan bahagia. "Memang sih ada yang aneh menurutku," gumam Alisya. "Tapi yang terpenting sekaraang kita harus bisa memecaahkan kenapa ayah Pram minum racun di rumah ayahmu, apa kamu sudah bertemu dengan ayahmu? apa dia mengatakan ada orang lain di sana atau-" "Atau apa?" tanya Laras karena Alisya langsung terdiam dan berpikir keras. "Atau sebenarnya racun itu digunakan oleh seseorang untuk membunuh ayahmu, ta
"Ini tidak adil! Pasti ada yang salah!" Laras membeku ditempatnya saat melihat Clara yang biasanya anggun dan sombong kini memakinya dengan kalimat yang bahkan tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut wanita berpendidikan, bukan hanya dirinya bahkan wanita itu berusaha menyerang pengacara berwajah masam yang tadi membacakan surat wasiat mertuanya. Sungguh dia sama sekali tak menyangka kalau sang mertua akan melakukan ini semua. Semua hartanya memang jatuh ke tangan Pram sebagai ahli waris utama keluarga ini memang, tapi sebagai istri sah ayah Pram, mungkin Clara berharap dia juga mendapat warisan juga meski tak sebanyak Pram, tapi ternyata dia sama sekali tidak mendapatkan apapun selain diperbolehkan tinggal di rumah ini seperti biasa dan mendapat uang saku bulanan sebesar lima puluh juta sebulan. Bagi Laras mungkin jumlah itu lebih dari cukup bahkan dia bisa menabung uang itu untuk membeli rumah di pinggir kota dan memulai usaha, tapi Clara yang biasa hidup hedon tentu uang
“Apa memang mereka sengaja melakukannya?” Menunggu momen yang tepat untuk memperlihatkan kalau mereka adalah pasangan yang serasi di depannya. Laras tahu kalau selamanya Pram dan Clara tak mungkin bisa bersatu, tapi zaman sekarang apapun bisa dilakukan demi sebuah tujuan yang ingin dicapai. Bahkan menggoda anak tirinya sendiri. Clara jelas menyadari kehadiran Laras, dia bahkan dengan tidak tahu malunya menempelkan bagian depan tubuhnya pada lengan Pram. Rasa cemburu berubah menjadi jijik, jika memang mereka saling menginginkan dia akan dengan senang hati mengundurkan diri, rasa cintanya pada Pram belum terlalu dalam jadi dia tidak akan butuh usaha keras untuk melupakan laki-laki itu. Dia tidak sudi dijadikan tameng untuk dua orang ini berbuat sesukanya. Laras berjalan tenang menuju dapur mengambil peralatan makan untuk dirinya sendiri, dan mulai makan dalam diam seolah dua mahluk di depannya itu tidak ada di sana
“Untuk apa kamu nekad datang kemari.” Dingin dan menusuk, itulah kata pertama yang didengar dari mulut sang suami setelah seharian ini jiwa dan raganya lelah dihajar kenyataan. Acara pengajian sang mertua baru saja usai dan para kerabat yang datang sudah meninggalkan rumah ini, ada memang beberapa yang tetap tinggal tapi tentu saja sudah masuk kamar yang telah disediakan. Laras bahkan tak tahu sebanyak apa kamar di rumah ini, tapi tentu saja itu sama sekali tidak penting untuknya karena Clara sudah mengatur semuanya, sangat detail dan mewah seperti pesta yang biasa Laras hadiri di rumah ini dulu, seolah kali ini juga acara biasa seperti yang biasa ada.Beberapa kerabat yang dulu dia tahu mencibir Clara karena lebih memilih ayah Pram dari pada Pram yang tunangannya sendiri, kini seolah berdiri terdepan untuk menguatkan wanita itu, bahkan dia melihat Pram memeluk Clara untuk menenangkannya. Laras tahu seharusnya dia tidak merasa marah atau sakit hati, mungkin saja Pram tak tega meli