Alisya tahu bagaimana Sekar juga mama mertuanya, mereka tipe wanita yang gemar bermewah-mewah tak peduli bagaimana sulitnya mencari uang, dia bahkan dulu pernah tak sengaja mendengar kalau biaya salon Sekar dalam satu bulan mencapai seratus juta, belum lagi dengan keperluan gaya hidupnya yang Alisya yakin lebih dari itu. Sedangkan untuk Alisya Pandu hanya memberi uang bulanan separuh dari biaya salon Sekar. Dia tidak pernah iri karena tahu Pandu juga menanggung biaya pengobatan sang ibu yang tidak sedikit, tapi saat dulu Pandu meminta Alisya mengembalikan uang perawatan untuk ibunya, dia benar-benar sakit hati. Sekarang mereka kembali bersama, Pandu memang mempercayakan hartanya pada Alisya dan membebaskan dia untuk menggunakannya, tapi Alisya yang tahu sekali bagaimana susahnya mencari uang tentu saja tidak akan pernah menggunakan uang itu jika tidak benar-benar membutuhkannya. Gaya hedon dan mewah sangat bukan Alisya sama sekali dan tentu saja dia tidak mau hidup dengan menj
Minggu pagi Pandu sudah rapi, dengan kaos oblong dan celana pendek yang terlihat sederhana, tapi Alisya tahu harga pakaian itu bahkan lebih mahal dari harga motor keluaran terbaru. "Mas mau kemana?" tanya Alisya yang buru-buru meletakkan barang belanjaan yang baru saja dia beli. Dengan Bisma yang ada di gendongan sang suami, membuat laki-laki itu terlihat semakin mempesona.Alisya tidak ingat Pandu mengajaknya pergi ke suatu tempat, jadi dia berencana hari ini akan membuat camilan untuk orang-orang desa yang akan melakukan kerja bakti membersihkan parit di sepanjang jalan di depan rumahnya dan tidak mungkin meminta Pandu untuk ikut kerja bakti bukan, jadi Alisya memutuskan menyediakan makanan saja untuk bapak-bapak yang bekerja. "Mau kerja bakti kan?" tanya Pandu balik dengan tampang polos yang membuat Alisya bingung harus menjawab apa. "Mas mau ikut?" Pandu mengangguk. "Mas yakin?" "Kan kemarin pak Rt suruh datang, nggak enak kalau nggak datang, aku kan sudah jadi warga kampun
"Masih marah?" tanya Pandu saat Alisya menyiapkan makan siang untuknya. Setelah insiden kerja bakti yang membuat Alisya menyeret suaminya pulang ke rumah, wanita itu bahkan tidak mau bicara sedikitpun. Bahkan Pandu sudah mengeluarkan semua stock gombalan yang dia tahu bahkan dia harus repot-repot mencari cara untuk membuat istri yang cemberut senyum lagi, tapi hasilnya tetap saja zonk. Mungkin istrinya tidak sama dengan model istri-istri yang ada di media sosial, Alisya terlalu realistis dan logis memang, jadi karena semua jurusnya mental. Pandu hanya diam sambil sesekali mencuri pandang pada sang istri. "Sayang, masih marah? aku nggak maksud lho tebar pesona, aku cuma mau angkut sampah tadi, maaf ya," kata Pandu saat Alisya duduk di depannya siap makan siang bersama. Alisya menghela napas kalau dipikir-pikir memang bukan salah Pandu juga, dia hanya ingin membaur dengan warga di sini, bukan salahnya bukan kalau dia punya wajah ganteng diatas rata-rata dan aura mahal yang tet
"Aku akan pura-pura tidak mendengar ucapan papa barusan," kata Pandu sambil membuka kotak yang dikirim Alisya. Bau harum masakan langsung menyeruak saat Pandu membuka penutupnya, dia tahu Alisya tidak pernah membawakan hanya satu porsi untuknya, bukan karena makannya banyak tapi karena wanita itu yakin kalau Pandu akan mengajak orang lain untuk makan bersama, entah itu asistennya, sopir atau karyawan yang kebetulan bersamanya saat makan siang. Sebagai pimpinan puncak di kantor ini, Pandu bukan sosok yang sok bossy, dia cenderung ingin berbaur dengan semua orang, hal itu juga yang membuatnya tidak sulit untuk berbaur dengan warga di desa yang kini mereka tempati. Dan Alisya tahu betul akan hal itu. "Sangat menyenangkan menerima kiriman makan siang setiap hari dari istri," kata sang papa dan Pandu bisa menangkap nada iri dalam suaranya. Pandu tak menjawab, dia juga tak tahu harus menjawab apa. Ibunya bukan sosok yang akan mau repot di dapur untuk menyiapkan makanan untuk suaminya,
Selama tiga puluh menit, Pandu hanya bengong menatap rumah Alisya yang kini juga menjadi rumahnya dari dalam mobil. Pikirannya begitu kusut. Sesungguhnya dia malu pada Alisya. Dulu saat menjadi istrinya Alisya bahkan tidak dia perkenalkan pada keluarganya, wanita itu hanya tahu mama dan papanya, pun saat pesta di hari ulang tahun Alisya, dia hanya mengundang kolega bisnis, keluarganya memang sempat protes, tapi sang kakek hanya diam, karena bagi laki-laki itu orang yang tidak diperkenalkan padanya bukan anggota keluarganya, hanya benalu yang nantinya akan dibuang.Sejujurnya Pandu memang menganggap Alisya seperti itu juga, Sekarang keadaan memang sudah berubah tapi dia bingung harus mengatakan apa pada Alisya. Ketukan di pintu mobil membuat Pandu mengerjapkan matanya dan buru-buru dia keluar saat meihat Alisya yang sedang menggendong Bisma. "Mas baik-baik saja? betah banget dalam mobil padahal sudah ditungguin," kata Alisya sambil tersenyum. Pandu membiarkan punggung tangannya di
Seorang wanita tua dengan wajah ramah membukakan pintu untuk mereka. "Tuan muda, selamat datang. Tuan besar sudah menunggu," kata wanita itu sambil melempar senyum pada Alisya. "Terima kasih, Mbok. Apa kabar?" "Baik, Tuan. Apalagi saat lihat tuan muda simbok malah lima puluh tahun lebih muda," kata wanita itu dengan jenaka. "Simbok salah satu wanita tercantik menurut saya," kata Pandu menanggapi guyonan wanita itu. "Tapi tidak lebih cantik dari wanita di samping tuan kan, saya mbok Iroh, Nya," kata wanita itu sambil mengulurkan tangan. Alisya tersenyum dan menyambut uluran tangan itu. "Saya Alisya, mbok." "Ah nama yang cantik secantik orangnya, lalu?" tanya wanita itu yang pandangannya tertuju pada Bisma yang asik dengan empengnya. "Ini Bisma putra kami." "Putra!" tanya wanita itu terkejut dan menatap Alisya dengan seksama lalu Bisma, tapi secepat mungkin wanita itu menutupi keterkejutannya dan mempersilahkan mereka masuk. "Tuan besar ada di halaman samping, silahkan. Simb
Alisya membawa anaknya ke ruang televisi diikuti asisten rumah tangga sang kakek. Setelah memberi tahu film kartun kesukaan Bisma, juga menenangkan sang anak saat tak mau turun. "Anak mama nonton tivi dulu ya, mama mau bicara sama buyut dulu," kata Alisya pada sang anak. Seolah mengerti dengan omongan sang mama, anak itu meraba wajah sang mama sebentar lalu menonton menunjuk televisi sambil tertawa. "Titip anak saya sebentar ya, Bu. Saya mau menemui kakek dulu," kata Alisya lalu menjelaskan beberapa kebiasaan Bisma juga menyerahkan tas Asip yang memang sengaja dia bawa. Tanpa Alisya ketahui sang kakek dari luar memperhatikan dengan seksama apa yang dia lakukan. "Dia istri pertama saya, yang dulu tidak saya akui," kata Pandu membuat sang kakek menatap padanya."Kenapa sekarang kamu membawanya kemari? karena dia sudah melahirkan anakmu?" tanya sang kakek tajam. Pandu menghela napas. dia menatap Alisya yang masih berbicara dengan asisten rumah tangga kakeknya. "Salah satunya." "L
Alisya mempelajari ini dari sang ibu yang memang memiliki bakat yang tak perlu diragukan dalam hal urusan perdapuran, termasuk dalam membuat kopi yang merupakan minuman kesukaan sang suami. Dan bakat itu bukan hanya diwarisi begitu saja, tapi dia juga dia pelajari langsung saat membantu sang ibu menyiapkan dagangannya. Demi membantu perekonomian keluarga sang ibu memang berjualan berbagai masakan di depan kontrakan mereka dulu dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan uang mereka begitu sang ayah meninggal. Sekarang saat kakek dari Pandu memintanya membuatkan kopi alih-alih asisten rumah tangga yang berseliweran di rumah ini, Alisya dengan senang hati melakukannya. Akan tetapi masalah sebenarnya baru muncul saat dia diantar oleh salah satu asisten rumah tangga itu ke dapur, seseorang tiba-tiba muncul dan membuatnya ingin sekali menyiram muka cantik itu dengan kopi panas. "Aku nggak nyangka Pandu bakalan bawa kamu ke rumah ini, kemarin dia sudah dekat dengan Silvia setelah berce
Sejak ayah dan ibunya meninggal Alisya sering merasa sendiri tapi sekarang dia tidak merasa begitu lagi terutama setelah bertemu wanita paruh baya baik hati yang sekarang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Oalah, Nduk. Kamu baik-baik saja kan?" Bulek Par langsung memeluk Alisya dengan erat wanita itu bahkan membolak-balik tubuh Alisya untuk memastikan wanita muda di depannya ini baik-baik saja. Alisya tersenyum, hatinya menjadi gerimis bukan karena peristiwa yang baru saja menimpanya tapi karena wanita paruh baya di depannya ini yang begitu tulus mengkawatirkannya seperti seorang ibu.Sejak ibunya meninggal Alisya pikir dia tidak akan lagi mendapatkan pelukan sehangat ini lagi, tanpa sadar air matanya menggenang, dia bahkan tak peduli, suami, anak juga para pegawai di rumah ini melihat semuanya, dia hanya ingin menikmati sekali lagi pelukan hangat seorang ibu yang begitu sangat dia rindukan.
Dua hari di rawat di rumah sakit kondisi Pandu sudah mulai membaik, dia sudah bisa tidur dengan telentang dan menggendong Bisma, meski masih selalu manja pada Alisya mengalahkan putranya. "Mau kita apakan bunga sebanyak ini, mas," kata Alisya dengan pandangan putus asa pada deretan bunga yang memenuhi ruang rawat Pandu. Alisya bukan orang romantis, sejak kecil dia terbiasa berhemat dan hanya membeli apa yang memang penting saja untuk dibeli dan tentu saja bunga bukan item yang akan dia beli apalagi jika tujuannya hanya untuk pajangan saja. Lagi pula dia tidak terlalu suka bunga, satu-satunya bunga yang dia suka adalah bunga deposito. Ayah mertuanya yang menempatkan penjaga di luar untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan membuat rekan dan juga kerabat Pandu tidak bisa bebas menjenguk, jadi mereka hanya mengirimkan ucapan semoga lekas sembuh dengan bunga beraneka ragam, membuat ruangan ini berubah menjadi toko bunga. "Buang saja," kata Pandu gampang. Alisya m
Ini adalah mimpinya sejak dulu. Dia akan menjadi orang nomer satu di kota ini, dia sangat yakin meski pemilihan belum berlangsung. Kekuatan nama besar keluarganya juga koneksi yang dia miliki tentu akan membuatnya bisa melenggang dengan tenang menduduki posisi itu. Sayang... Dia tidak memperhatikan satu kerikil kecil yang membuatnya tergelincir seperti ini. Tidak... Dia belum kalah, dia akan membuktikan kalau dia tidak bersalah dalam hal ini, dia akan menemui laki-laki tua itu, kalau perlu dia akan bersujud di kakinya untuk mendapatkan fasilitas dan dukungannya. Sudah saatnya bukan dia mendapatkan apa yang menjadi haknya selama ini, dia sudah banyak mengalah sejak usianya remaja. Panji yang diberi hak istimewa baik pendidikan bahkan kedudukan dalam keluarga, seharusnya pewaris adalah anak pertama, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, laki-laki tua kolot itu pasti akan menyesali keputusannya ini. Dia pasti akan membuatnya membuka mata dan melihat kenyataan yang sebenarny
"Kenapa mas ngomong seram begitu." "Mas akan meminta beberapa orang untuk mengawalmu mulai sekarang." "Untuk apa?""Tentu saja untuk berjaga-jaga, apalagi Silvia pasti lebih nekad sekarang tadi saja dia berani datang kemari." Alisya terdiam dia menatap suaminya dalam, entah bagaimana reaksi Pandu mendengar berita kematian Silvia."Silvia tak akan bisa mencelakakan siapapun lagi, karena dia sudah meninggal," kata Alisya pelan tanpa memalingkan muka dari sang suami."Oh?" "Kenapa?" "Mas tidak penasaran kenapa dia bisa meninggal?" Pandu menghela napas panjang lalu menatap sang istri sambil tersenyum. "Dia bukan orang yang penting untukku, jadi tidak penting juga apa yang terjadi padanya," katanya ringan. "Mas yakin tidak punya perasaan lebih padanya, rasa simpati atau bela sungkawa seperti itu bagaimanapun kalian sudah lama saling kenal?" Alisya tahu pertanyaannya ini sangat konyol, dia bukan ingin meyakiti diri dengan mendengar suaminya perduli pada wanita lain sih, bukan sepert
Rasanya seperti sedang menikmati pemandangan indah di puncak gunung tiba-tiba didorong ke dasar jurang.Itulah yang Alisya rasakan sekarang.Seharusnya Alisya tidak menaruh harap, apalagi pada manusia Agar dia selalu terlindung dari rasa kecewa. Tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa kembali lagi. "Silvia." Nama itu seperti penyakit yang menggerogotinya. Orangnya memang sudah meninggal tapi masih mampu memberikan rasa sakit untuknya. Kemarin saat melihat suaminya berlumuran darah Alisya bahkan tak mampu untuk mengeluarkan air mata, dia terlalu terkejut dengan ini semua, sangat berharap kalau sang suami segera bangun tapi begitu harapannya terkabul kenapa rasanya begitu sakit saat mendengar sang suami menyebut nama itu.Andaikan bisa Alisya ingin menghapus ingatan sang suami pada nama itu, sayangnya itu tak mungkin dia lakukan.Bersamaan dengan bibi yang datang bersama dokter jaga, kaki Alisya melangkah mundur, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Bahkan
Alisya menghela napas lelah, dia menatap dua orang polisi di depannya dengan seksama. "Saya tidak tahu apa Silvia kecelakaan atau ada orang yang sengaja mensabotase mobilnya," kata Alisya tegas entah untuk yang ke berapa kalinya.Entah bukti apa yang sudah didapat oleh para polisi ini sampai mereka mencerca Alisya dengan berbagai pertanyaan yang nyudutkan, padahal bisa dibilang dia adalah korban dari keegoisan Silvia, meski wanita itu sudah meninggal sekarang, tapi sejak tadi tak ada pertanyaan kenapa suaminya bisa berakhir di rumah sakit seperti ini. "Apa ibu yakin tidak tahu akan hal itu?" tanya sang polisi lagi. Alisya tahu sih mereka hanya melakukan pekekerjaan mereka, tapi kok dia jadi kesal ya, kenapa seolah dia yang dijadikan tersangka, sedikit sesal di hati Alisya karena tidak menuruti saran bibi untuk menghubungi ayah mertuanya dan mendapatkan bantuan pengacara.Alisya pikir dia hanya perlu menceritakan kronologi kejadiannya saja, tapi ternyata... "Saat Silvia melajukan m
"Dasar pembawa sial!" Teriakan itu langsung menggema di ruang vip tempat Pandu dirawat saat Alisya baru saja membuka pintu. Dia tidak menyangka ada orang yang cukup gila berteriak di rumah sakit seperti ini, meski ruangan ini agak terpisah dengan ruangan lain tapi teriakan keras itu bahkan bisa membangunkan orang mati. Alisya menoleh ke belakang, dia sedikit berharap Pandu terganggu dengan teriakan itu dan membuka mata, dia tidak keberatan dimaki atau diomeli asal suaminya bisa bangun lagi, tapi nyatanya Pandu masih tetap anteng dalam tidurnya. "Jangan berisik tante ini rumah sakit," tegur Alisya pelan. Alisya pasti sudah gila kalau berpikir wanita di depannya ini akan menurut dengan kalimatnya, sang tante langsung meringsek masuk dan menatap Pandu dengan tatapan... Kesal. Sungguh manusia ajaib memang. "Semua ini gara-gara kamu, kalau kamu mau menerima Silvia semuanya tidak akan seperti ini!" "Ini tempat umum, anda pasti tahu apa yang akan terjadi jika saya memanggil satp
Jika diberi pilihan hidup sekali lagi apa orang-orang itu akan memilih pilihan yang berbeda atau masih keras kepala kalau pilihannya sudah tepat. Meski pilihan itu mengorbankan orang lain atau bahkan dirinya sendiri?"Seharusnya saya tadi tidak bicara dengannya," kata Alisya lirih penuh penyesalan. Sungguh Alisya menyesal dengan apa yang terjadi pagi ini, wanita itu menunduk dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Saat ini dia ada di ruang tunggu ruang perawatan Pandu, bersama sang ibu mertua tentu saja karena ayah mertuanya harus mengurus insiden yang terjadi pagi ini. "Seharusnya memang begitu." Alisya langsung mendongak mendengar suara dingin ibu mertuanya, suara yang sejak kemarin tidak dia dengar lagi. "Kamu memang bodoh, bukankah aku sudah bilang untuk menjauhinya tapi kamu sok baik dengan meladeninya bicara." Kalimat itu memang menyakitkan tapi Alisya tak bisa menyangkal kebenaran kalimat itu. "Maaf." Hanya itu yang bisa dia katakan, andaikan waktu bisa diputar lag
Alisya menatap tetesan darah di lantai dengan tubuh bergetar. Dia selalu meyakinkan diri kalau dirinya adalah wanita yang mandiri dan kuat, akan tetapi saat ini dia tak yakin lagi dengan hal itu. Dia bahkan tak tahu bagaimana dia bisa ada di sini, yang dia tahu dia hanya sekuat tenaga mendekap luka di punggung sang suami dan berusaha menghentikan darah yang terus saja mengalir. Sedangkan Bisma seperti mengerti kalau sang ayah butuh pertolongan anak itu menangis begitu kencang dan berlari ke dalam rumah mencari pertolongan. "Pandu pasti akan baik-baik saja dia laki-laki yang kuat, dulu dia sendirian menghadapi segala ujian hidupnya mampu sekarang dia pasti sangat mampu dengan adanya kamu dan anak kalian." Kalimat itu diucapkan ayah mertuanya dengan mata berkaca-kaca. Alisya tahu bukan hanya dirinya yang shock, tapi juga semua orang yang ada di sana.Meski dia sama sekali tidak menyukai Silvia karena berusaha merusak rumah tangganya, tapi Alisya masih menghormati wanita itu sebaga