"Aku akan pura-pura tidak mendengar ucapan papa barusan," kata Pandu sambil membuka kotak yang dikirim Alisya. Bau harum masakan langsung menyeruak saat Pandu membuka penutupnya, dia tahu Alisya tidak pernah membawakan hanya satu porsi untuknya, bukan karena makannya banyak tapi karena wanita itu yakin kalau Pandu akan mengajak orang lain untuk makan bersama, entah itu asistennya, sopir atau karyawan yang kebetulan bersamanya saat makan siang. Sebagai pimpinan puncak di kantor ini, Pandu bukan sosok yang sok bossy, dia cenderung ingin berbaur dengan semua orang, hal itu juga yang membuatnya tidak sulit untuk berbaur dengan warga di desa yang kini mereka tempati. Dan Alisya tahu betul akan hal itu. "Sangat menyenangkan menerima kiriman makan siang setiap hari dari istri," kata sang papa dan Pandu bisa menangkap nada iri dalam suaranya. Pandu tak menjawab, dia juga tak tahu harus menjawab apa. Ibunya bukan sosok yang akan mau repot di dapur untuk menyiapkan makanan untuk suaminya,
Selama tiga puluh menit, Pandu hanya bengong menatap rumah Alisya yang kini juga menjadi rumahnya dari dalam mobil. Pikirannya begitu kusut. Sesungguhnya dia malu pada Alisya. Dulu saat menjadi istrinya Alisya bahkan tidak dia perkenalkan pada keluarganya, wanita itu hanya tahu mama dan papanya, pun saat pesta di hari ulang tahun Alisya, dia hanya mengundang kolega bisnis, keluarganya memang sempat protes, tapi sang kakek hanya diam, karena bagi laki-laki itu orang yang tidak diperkenalkan padanya bukan anggota keluarganya, hanya benalu yang nantinya akan dibuang.Sejujurnya Pandu memang menganggap Alisya seperti itu juga, Sekarang keadaan memang sudah berubah tapi dia bingung harus mengatakan apa pada Alisya. Ketukan di pintu mobil membuat Pandu mengerjapkan matanya dan buru-buru dia keluar saat meihat Alisya yang sedang menggendong Bisma. "Mas baik-baik saja? betah banget dalam mobil padahal sudah ditungguin," kata Alisya sambil tersenyum. Pandu membiarkan punggung tangannya di
Seorang wanita tua dengan wajah ramah membukakan pintu untuk mereka. "Tuan muda, selamat datang. Tuan besar sudah menunggu," kata wanita itu sambil melempar senyum pada Alisya. "Terima kasih, Mbok. Apa kabar?" "Baik, Tuan. Apalagi saat lihat tuan muda simbok malah lima puluh tahun lebih muda," kata wanita itu dengan jenaka. "Simbok salah satu wanita tercantik menurut saya," kata Pandu menanggapi guyonan wanita itu. "Tapi tidak lebih cantik dari wanita di samping tuan kan, saya mbok Iroh, Nya," kata wanita itu sambil mengulurkan tangan. Alisya tersenyum dan menyambut uluran tangan itu. "Saya Alisya, mbok." "Ah nama yang cantik secantik orangnya, lalu?" tanya wanita itu yang pandangannya tertuju pada Bisma yang asik dengan empengnya. "Ini Bisma putra kami." "Putra!" tanya wanita itu terkejut dan menatap Alisya dengan seksama lalu Bisma, tapi secepat mungkin wanita itu menutupi keterkejutannya dan mempersilahkan mereka masuk. "Tuan besar ada di halaman samping, silahkan. Simb
Alisya membawa anaknya ke ruang televisi diikuti asisten rumah tangga sang kakek. Setelah memberi tahu film kartun kesukaan Bisma, juga menenangkan sang anak saat tak mau turun. "Anak mama nonton tivi dulu ya, mama mau bicara sama buyut dulu," kata Alisya pada sang anak. Seolah mengerti dengan omongan sang mama, anak itu meraba wajah sang mama sebentar lalu menonton menunjuk televisi sambil tertawa. "Titip anak saya sebentar ya, Bu. Saya mau menemui kakek dulu," kata Alisya lalu menjelaskan beberapa kebiasaan Bisma juga menyerahkan tas Asip yang memang sengaja dia bawa. Tanpa Alisya ketahui sang kakek dari luar memperhatikan dengan seksama apa yang dia lakukan. "Dia istri pertama saya, yang dulu tidak saya akui," kata Pandu membuat sang kakek menatap padanya."Kenapa sekarang kamu membawanya kemari? karena dia sudah melahirkan anakmu?" tanya sang kakek tajam. Pandu menghela napas. dia menatap Alisya yang masih berbicara dengan asisten rumah tangga kakeknya. "Salah satunya." "L
Alisya mempelajari ini dari sang ibu yang memang memiliki bakat yang tak perlu diragukan dalam hal urusan perdapuran, termasuk dalam membuat kopi yang merupakan minuman kesukaan sang suami. Dan bakat itu bukan hanya diwarisi begitu saja, tapi dia juga dia pelajari langsung saat membantu sang ibu menyiapkan dagangannya. Demi membantu perekonomian keluarga sang ibu memang berjualan berbagai masakan di depan kontrakan mereka dulu dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan uang mereka begitu sang ayah meninggal. Sekarang saat kakek dari Pandu memintanya membuatkan kopi alih-alih asisten rumah tangga yang berseliweran di rumah ini, Alisya dengan senang hati melakukannya. Akan tetapi masalah sebenarnya baru muncul saat dia diantar oleh salah satu asisten rumah tangga itu ke dapur, seseorang tiba-tiba muncul dan membuatnya ingin sekali menyiram muka cantik itu dengan kopi panas. "Aku nggak nyangka Pandu bakalan bawa kamu ke rumah ini, kemarin dia sudah dekat dengan Silvia setelah berce
"Mas pelan-pelan, kamu tidak bisa seperti ini!" Alisya mencengkeram besi pegangan dengan kuat sampai tanganya mati rasa. Dia ingin memejamkan matanya, tapi dia tahu itu akan membuatnya tidak bisa merasakan apa yang terjadi saat ini. Tidak ini tidak benar, Pandu tak bisa melakukan ini padanya, mereka memang telah menjadi suami istri kembali tapi bukan berarti laki-laki itu berhak melakukan ini padanya. Nyawanya dan putranya bukan milik Pandu. Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sambil meliuk-liuk menyalip semua kendaraan yang ada di depannya jelas akan membahayakan nyawa mereka bertiga, meski mobil Pandu berharga milyaran tidak akan mampu melindungi mereka saat terjadi kecelakaan fatal. "Mas jika kamu tidak peduli denganku, tolong peduli sedikit pada anakmu, dia ketakutan!" sentak Alisya keras.Tangan kanan Alisya yang tidak mencengkeram besi pegangan, memeluk Bisma dengan erat. Anak itu seperti tahu akan adanya bahaya disekitarnya, dia yang biasanya berceloteh riang sekara
"Lho kita mau kemana harusnya luruskan?" Dalam hal mengemudi, bisa dibilang Alisya masih sangat awam. Baru beberapa bulan ini dia belajar tepatnya setelah melahirkan si kembar, itu pun atas paksaan Pram, yang memberikan hadiah mobil dengan semena-mena padahal tahu Alisya tak bisa menyetir. Keputusan Alisya untuk mengambil alih kemudi dari tangan sang suamin agak disesalinya, apalagi kalau ingat jalan yang akan mereka lalui nanti untuk pulang ke rumah, adalah jalan propinsi yang banyak dilalui mobil-mobil besar. Haduh! membayangkannya saja Alisya sudah ngeri duluan, seharusnya tadi dia ajak saja Pandu untuk berhenti di sebuah cafe yang cozy untuk menenangkan diri, atau memanggil sopir pribadi laki-laki itu untuk mengantar mereka pulang. "Kalau kamu nggak berani nyetir di jalan ramai biar mas saja yang nyetir, janji nggak bakal ngebut lagi," kata Pandu dengan cemas. Sekarang laki-laki itu yang terlihat ketakutan sambil memeluk Bisma. Alisya memang mengendarai mobilnya yang mahal i
Pandu langsung masuk ke kamar Alisya dulu begitu sampai di rumah ini. Tak ingin menganggu Pandu yang sepertinya memang membutuhkan waktu untuk menyendiri. Dia memang dua kali menjadi istri Pandu tapi tidak tahu banyak tentang laki-laki itu. Alisya yakin jika dia bertanya pada Pandu sebenarnya ada apa yang terjadi di keluarganya tentu laki-laki itu akan mengatakannya."Itu minuman untuk saya kan, Bi?" tanya Alisya sambil mengambil teh hangat yang baru saja diletakan bibi di meja makan. Bisma sebenarnya sudah tak betah dalam gendongannya, sekarang merangkak adalah kegiatan kesukaannya. "Eh iya, nyonya biasanya suka minum teh kalau dari luar rumah, itu teh kesukaan nyonya, tuan sudah meminta saya belanja persediaan makanan kesukaan nyonya siapa tahu nyonya mau mampir," kata bibi. "Ah terima kasih, bi." Alisya menurunkan Bisma di ruang tengah yang luas dan membiarkan anaknya merangkak di karpet yang tebal di depan televisi, dia mengambil minumannya dan duduk sambil mengawasi anakny
Inikah arti perasaan tak enak yang menghantuinya sejak kemarin. “Aku ikut, kamu akan ke sana bukan,” kata Laras. Bagaimanapun dia merasa akhir-akhir ini ayah mertuanya bukan lagi sosok menakutkan, laki-laki itu bersikap lembut dan hangat seperti kebanyakan seorang ayah yang hanya bisa dia dengar ceritanya dari teman-temannya. Laras bahkan berpikir mungkin saja di masa depan dia akan bisa memperbaiki hubungan dengan ayah mertuanya dan mereka bisa menjalin hubungan seperti ayah dan anak yang baik. Selain tukang kawin dan tidak bisa setia pada satu wanita, menurut Laras tidak ada yang salah dengan ayah mertuanya. Dia masih memperhatikan Pram dengan baik meski hanya dengan membayar orang untuk mengurus semua kebutuhan putranya. Hubungan Pram dan sang ayah secara pribadi memang memburuk karena Pram yang kesal dengan tingkah ayahnya, tapi saat keduanya berbicara tentang bisnis, bisa dibilang kalau Pram begitu kagum pada ayahnya.
“Anda yakin dengan isi surat ini?” tanya sang pengacara untuk kesekian kalinya. “Apa ada alasan aku tidak yakin dengan semua ini?” tanya laki-laki paruh baya yang masih tampan itu. “Maaf, maksud saya di sini tidak ada warisan untuk istri anda, bukankah seharusnya dia berhak juga atas harta anda.” “Dia hanya wanita yang baru saja aku nikahi, dan sama sekali tidak ada andil dalam mendapatkan hartaku.” Sang pengacara terdiam, tahu bahwa dia telah salah bicara. “Maaf, saya hanya mengingatkan karena di sini-“ “Aku memberi bagian untuk menantuku.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah penasaran. “Itu memang haknya.” “Baiklah, saya mengeti.” “Tolong pastikan anda menjalankan surat wasiat saya, saya percaya anda memang pengacara yang dapat saya andalkan bahkan setelah kematian saya nanti.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah tak terbaca lalu meminta diri lebih dulu dengan sopan. Senyum tenang lalu tersungging di bibir laki-laki itu. “Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindu
“Aku merasa papamu sangat aneh, Pram,” kata Laras entah untuk keberapa kalinya. Akhirnya memang mereka memutuskan makan siang di restoran yang sama dengan yang didatangi oleh Laras dan mertuanya tadi, tentu saja karena makanan di sini sangat enak menurut Laras. Lagi pula dia juga ingin bicara dengan sang suami mengenai yang terjadi siang tadi. Di mana lagi tempat bicara yang bisa membuat Laras mengingat semuanya selain tempat kejadian tadi. “Papaku memang kadang aneh,” kata Pram cuek. Dia sudah mendengar semua yang dikatakan Laras, meski merasa aneh dengan sang ayah yang tumben mau repot mengeluarkan uang untuk mengatasi masalahnya, tapi Pram segera ingat Clara, mungkin saja ayahnya melakukan itu supaya dia tidak menjalin hubungan lagi dengan wanita itu. Kayak dia mau saja dengan bekas ayahnya, batin Pram sinis. “Apa kamu tidak merasa ada hal yang sedang beliau rencanakan?” tanya Laras.“Mungkin asal dia tidak menganggu aku lagi bukan masalah sebenarnya.” Melihat Pram yang acu
“Apa papa tidak membawa bekal dari tante Clara?” tanya Laras saat sang mertua malah mengajaknya ke sebuah restoran di dekat kantornya. “Bekal dari Clara?” tanya sang mertua bingung saat mereka sudah duduk berhadapan di sebuah restoran.“Iya bekal makan siang. Apa papa tidak membawanya hari ini?” “Kenapa kamu bertanya tentang bekal itu?” “Tante Clara pasti akan tambah marah kalau bekal buatannya tidak papa habiskan dan malah makan denganku.” Laras memperhatikan ayah mertuanya yang kemudian terdiam lalu tertawa dengan keras, sampai beberapa orang menatap mereka dengan penasaran. “Kenapa papa malah tertawa?” tanya Laras bingung, dia menundukkan kepala sedikit pada orang di sekitar mereka untuk meminta maaf. “Tidak ada, papa hanya bersyukur kamu yang jadi istrinya Pram.” Laras menatap sang ayah mertua kebingungan tapi gelengan tegas laki-laki itu membuatnya langsung menutup mulut. Makanan pesanan m
Tak ingin kalah dengan ibu mertuanya, Laras berusaha keras untuk bisa memasak. Mulanya sulit, karena dia bahkan tidak bisa membedakan bawang merah dan bawang putih. Seperti saran Pram, Laras mengambil kelas khusus untuk memasak selain itu dia rajin sekali merecoki Alisya untuk membantunya memasak. Yang jelas Laras tidak sudi kalah dengan ibu tiri suaminya. Pagi ini wanita itu sudah berkutat di dapur bahkan sebelum subuh berkumandang dan Pram yang biasanya keluar kamar di pagi hari melongo tak percaya melihat istrinya berkutat di dapur dengan memakai apron. “Aku kira siapa yang ada di dapur ternyata sedang ada bidadari yang masak untukku,” kata Pram sambil tersenyum sangat manis. Laras melengos pura-pura sibuk dengan masakannya padahal dia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang memerah dan hatinya yang berbunga-bunga. Pram melangkah mendekati sang istri dan memeluknya dari belakang, untung saja Laras sigap menahan keinginannya untuk memukul kepala laki-laki itu. “Lepaskan Pra
"Istri ayahmu pandai memasak?" tanya Laras tanpa diduga. Aris lebih memilih melarikan diri dengan membawa makanan dari Clara, laki-laki itu beralasan ada janji makan dengan teman di lantai bawah. Jadilah pasangan suamin istri itu makan berdua dalam diam yang canggung. Pram meletakkan sendoknya dan menatap sang istri sambil menghela napas. "Lumayan," jawabnya. "Lumayan enak?" tuntut Laras, sebenarnya dia tidak ingin cari masalah sih tapi entah mengapa dia tidak rela kalau setiap hari Pram makan masakan Clara. "Maksudku tidak seenak masakan Alisya, hanya dalam level yang bisa dimakan kok." "Apa itu salah satu alasanmu bertunangan dengannya?" tanya Laras hati-hati. Sekarang Pram benar-benar meninggalkan makanannya dia menatap Laras lalu menimang sejenak. "Kamu tahu aku sangat mengidolakan ibunya Alisya, dan berharap suatu saat nanti aku bisa mempunyai istri seperti ibu. Dia wanita yang lembut tapi tegar dan penuh prinsip dan yang pasti dia penuh kasih sayang, salah satunya dia
Laras baru tahu kalau Clara itu pintar memasak dan setiap hari mengirimkan makan siang untuk Pram. Bukan tanpa sebab hari ini dia datang ke kantor suaminya. Laras memang sengaja membeli makan siang untuk mereka berdua. Datang ke kantor Pram menurut Laras lebih masuk akal dari pada laki-laki itu harus datang ke kantornya atau mereka makan diluar. Jujur saja dia tak rela, para cewek itu menuntaskan fantasinya pada sang suami, meski Laras dengan keras kepala mengatakan belum mencintai sang suami tapi tetap saja dia tak suka Pram dikerubungi cewek seperti semut mengerubungi gula. "Saya Laras ingin bertemu bapak Pramudya, sudah ada janji dengan beliau," kata Laras sopan. Sengaja dia mengikuti protokol standart penerimaan tamu untuk meminimalisir drama yang akan terjadi lagi pula dia belum siap mengenalkan diri sebagai istri Pram. "Tunggu sebentar, Bu. Saya hubungi asisten beliau dulu," kata sang resepsionis sopan.Laras mengangguk dan menunggu sambil mengamati interior lobi kantor in
"Selamat pagi istriku," sapaan manis itu membuat Laras langsung menahan kuapnya. Setelah subuh tidur lagi memang Kebiasaan yang tak pernah bisa dia hilangkan, padahal hari ini dia ingin menjadi istri yang baik setelah kesepakatan mereka tadi malam, meski dia masih agak-agak tak rela sih, tapi sebagai orang yang bertanggung jawab dia akan coba menjalani komitmen itu. "Kamu kok sudah bangun?" tanya Laras sambil menghempaskan dirinya di kursi makan. "Matahari sudah bangun sejak tadi, sayang, makanya aku bangun dan menyiapkan sarapan pagi untuk kita." "Kok aku merinding ya dengar panggilan sayang darimu.""Merinding senang," goda Pram.Laras langsung melengos, tak bisa dipungkiri memang ada rasa senang dalam hatinya mendengar panggilan itu tapi dia juga harus mengingatkan dirinya kalau mungkin saja di luar sana masih banyak gadis yang dipanggil sayang oleh Pram. "Padahal aku berencana memasak tapi ya sudahlah," katanya ngeloyor tak peduli. "Yah kenapa nggak bilang, padahal aku ingin
"Ras, apa memang tidak ada peluang aku dan kamu jadi kita?" Bukan jawaban yang Pramudya dapatkan tapi sang istri yang langsung tersedak kue yang baru saja dia masukkan mulut. Pram langsung kalang kabut membantu sang istri. Pram meringis merasa bersalah saat wajah sang istri memerah sampai mengeluarkan air mata. Salahnya sih yang bicara tanpa melihat situasi dulu."Kamu niat banget mau bunuh aku Pram."Pram langsung lega saat Laras kembali melotot judes padanya, artinya istrinya sudah baik-baik saja. "Syukurlah." "Apa!" "Maksudku syukurlah kamu sudah baik-baik saja." Astaga punya istri singa betina ternyata horor juga, padahal Laras lebih banyak makan kue manis dari pada daging mentah lho. "Sudah deh sana jauh-jauh aku mau makan, kalau kamu tetap disini kamu bisa-bisa jadi duda lebih cepat," omel Laras yang langsung mendorong tubuh Pram menjauh. Pram mengalah dengan duduk di depan televisi agak jauh dari sang istri, dia tidak mau mengganggu kekhusukan sang istri makan kue dan