Pandu langsung masuk ke kamar Alisya dulu begitu sampai di rumah ini. Tak ingin menganggu Pandu yang sepertinya memang membutuhkan waktu untuk menyendiri. Dia memang dua kali menjadi istri Pandu tapi tidak tahu banyak tentang laki-laki itu. Alisya yakin jika dia bertanya pada Pandu sebenarnya ada apa yang terjadi di keluarganya tentu laki-laki itu akan mengatakannya."Itu minuman untuk saya kan, Bi?" tanya Alisya sambil mengambil teh hangat yang baru saja diletakan bibi di meja makan. Bisma sebenarnya sudah tak betah dalam gendongannya, sekarang merangkak adalah kegiatan kesukaannya. "Eh iya, nyonya biasanya suka minum teh kalau dari luar rumah, itu teh kesukaan nyonya, tuan sudah meminta saya belanja persediaan makanan kesukaan nyonya siapa tahu nyonya mau mampir," kata bibi. "Ah terima kasih, bi." Alisya menurunkan Bisma di ruang tengah yang luas dan membiarkan anaknya merangkak di karpet yang tebal di depan televisi, dia mengambil minumannya dan duduk sambil mengawasi anakny
Untuk kedua kalinya Alisya kembali menggosok giginya, lalu menghembuskan napasnya lagi ke tangan memastikan bahwa mulutnya sudah sangat bersih dan wangi. Dia menatap kaca wastafel yang besar dan bening di depannya, bibi pasti sangat rajin saat dia tidak ada di rumah ini. Tidak ada satupun sisa kotoran terselip di giginya, dia sangat beruntung dianugerahi gigi yang rapi, dan karena dia juga rajin menggunjungi dokter gigi, giginya tetap putih bersih. Pandangan Alisya jatuh pada bibirnya yang bengkak.Astaga! Wanita itu menepuk-nepuk pipinya, merasa wajahnya begitu panas saat mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Seharusnya dia merasa trauma dengan perlakuan kasar Pandu dulu, tapi kelembutan laki-laki itu tadi membuat Alisya bahkan melupakan rasa trauma terdahulu. Mereka memang akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka, di ranjang tempat mereka pertama kali melakukannya dulu. Padahal ini masih siang hari, pembicaraan penuh emosi mereka membuat keduanya terhanyut dan t
Bibi kadang bisa sangat menyebalkan. Seperti kali ini, padahal Alisya ingin bertanya siapa yang datang tapi si bibi sudah hilang entah kemana, bahkan Pandu yang turun lebih dulu untuk melihat siapa yang datang belum juga kembali. Alisya penasaran, tapi rambutnya masih basah. Rumah ini memang mewah dengan berbagai fasilitasnya tapi alat pengering rambutnya rusak dan dulu Alisya merasa belum perlu untuk membeli lagi. Dia di rumah seharian, tidak akan ada yang peduli kalau rambutnya basah atau tidak, tapi sekarang beda cerita. Dengan tak sabar Alisya mengambi satu lagi handuk dan menggosok rambutnya lagi, begitu rambutnya setengah kering dia langsung mengganti pakaian dan turun ke bawah. Alisya terdiam sesaat begitu dia mendengar suara orang yang sedang berbicara dengan Pandu di ruang tengah. Bagaimana mungkin mertuanya tahu kalau mereka sedang ada di sini? atau mungkin bibi yang menghubungi. Alisya membelokkan langkahnya menjauhi ruang tengah dan mencari bibi di dapur tapi... "Al
"Apa anda akan melaporkan saya ke polisi untuk itu?" Wanita paruh baya itu mengerjap kaget dengan perkataan sang menantu, dia bukannya tidak tahu kalau Alisya wanita yang baik, dan suaminya menyukai menantu mereka itu. Akan tetapi sebagai orang yang melahirkan Pandu dia merasa memiliki hak untuk menentukan wanita mana yang cocok untuk menjadi menantunya. Bukan tanpa alasan dirinya menerima Sekar begitu saja dengan tangan terbuka, wanita itu bisa mengimbanginya dalam berbagai hal dan yang lebih penting Sekar juga bukan tipikal wanita rumahan yang menghabiskan waktu untuk mengurus suami dan anaknya di rumah. Bagi wanita itu, pernikahan tak bisa membatasi kebebasannya, bukankah itu tugas suami untuk memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Oh dia bukan tipe wanita yang akan meninggalkan suaminya yang sedang bangkrut dan terjatuh dia akan mendukungnya dengan baik, karena sebelum menikah dia harus memastikan dulu seberapa kaya laki-laki itu. Akan tetapi pengkhianatan Sekar membuat di
"Aku tidak bisa menemanimu ke sana, ada meeting penting yang harus aku hadiri." Bagi sebagian wanita bergelar menantu, menemui wanita lain yang merupakan ibu dari laki-laki yang dia cintai merupakan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau si ibu masih belum rela sang anak berbagi cinta dengan sang menantu. Sebagai menantu yang tidak diharapkan, datang ke rumah mertuanya sama dengan masuk kandang macan dia harus menyiapkan bagi fisik dan juga psikis, di sinilah dia sangat butuh bantuan Pandu untuk memberi dukungan moral, tapi Alisya pasti sudah berharap terlalu banyak pada sang suami sehingga kekecewaan seperti ini yang dia dapat.Bukannya Alisya tak mampu menghadapi mertuanya juga keluarga besar sang suami dari pihak ibunya, tapi dia hanya tak ingin salah langkah."Memangnya acara keluarga kalian seperti apa biasanya?" Alisya perlu tahu ini untuk memahami medan perannya jika dia memang harus datang, oh astaga dia memang harus datang dengan atau tanpa suaminya. Bukan karena berharap
Dengan sabar Alisya menunggu tawa sang suami berhenti. Wanita itu duduk di atas ranjang sambil melipat kedua tangannya. Saat ini mereka masih ada di rumah orang tua Pandu, tepatnya di kamar yang biasa laki-laki itu tempati saat berada di rumah orang tuanya. Kamar mewah dengan nuansa kelabu ini terlihat sangat Pandu sekali. "Mas seneng banget kayaknya.""Kalian lucu banget ternyata, sayang sekali aku tidak datang lebih cepat tadi," kata laki-laki itu yang masih berusaha mengendalikan tawanya. Alisya langsung cemberut dia jadi menyesal menceritakan kejadian tadi pada Pandu. Semua orang bebas untuk berpakaian yang menurutnya nyaman dan sesuai dengan gayanya, hal sederhana itu sepertinya tidak dipahami oleh semua orang, termasuk wanita paruh baya yang baru saja bersalaman dengannya. Alisya menatap baju yang dia kenakan, bahannya lembut dan nyaman apalagi untuk ibu menyusui sepertinya, memang sih bukan keluaran dari brand ternyama dengan harga ratusa juta, karena menurutnya fungsi u
Alisya mengulung rambutnya, setelah melakukan kewajiban paginya, dia akan ke dapur memasak sarapan pagi kebiasaan yang sama sekali tak berubah meski dia sudah menikah dengan anak konglomerat. "Mau kemana?" tanya Pandu yang baru keluar dari kamar mandi. "Buat sarapan kan, mas mau makan apa?" tanya Alisya.Wanita itu menoleh saat tak ada jawaban dari sang suami. "Lebih baik kamu di sini saja temani aku, di dapur sudah ada chef profesional yang biasanya dipanggil mama untuk memasak.""Chef profesional?" "Dulu kami punya chef tetap di sini tapi beberapa tahun lalu beliau meninggal dan mama cocok dengan masakan chef yang baru ini." "Jadi tidak tinggal menetap di sini?" "Dia selebriti chef yang sering tampil di tv, dia hanya masak untuk sarapan dan makan malam saja, untuk siang nanti ada chef lain yang datang." Alisya ternganga tak menyangka kehidupan di rumah ini sehedon ini, untuk urusan makan saja mereka seribet ini. "Siapa selebriti chefnya?" tanya wanita itu penasaran, dia juga
Ayam goreng laos yang ini memang tidak seperti biasa dia buat, tapi Alisya tetap suka. Ternyata penilaiannya tidak salah, rasa masakan ini memang seganteng chef yang membuatnya. Sayang dia sudah bersuami, eh? Alisya ingin menggeplak kepalanya sendiri, jangan sampai ucapan ngawurnya didengar suaminya yang posesif itu, bisa-bisa dia dikurung dalam rumah selamanya tanpa televisi ataub internet. Astaga kenapa pikirannya jadi melantur seperti ini, Pandu adalah laki-laki yang dia cintai tanpa syarat meski dia bahkan tidak bisa memasak air. "Jadi selama ini kamu memperlakukan putraku sebagai pembantu." Alisya yang sedang tekun menghabiskan ayamnya langsung mendongak, dia bisa merasakan suasana langsung tegang karena ucapan dingin itu, dan Alisya tidak perlu menjadi orang jenius untuk tahu kalau ucapan itu ditujukan padanya, apalagi mata sang ibu mertua yang melotot padanya. "Maksud mama?" tanya Alisya tak mengerti, apa ibu mertuanya tahu kalau di rumahnya Pandu sering membantunya me
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan
Alisya memakan kripik yang diberikan bulek Par padanya sambil mengamati air hujan yang jatuh ke bumi. Begitu sampai di rumah ini, mereka disambut dengan hujan yang begitu lebat. Bibi dan Pak Maman yang menyambut mereka langsung sibuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Baik Pandu maupun Alisya tidak banyak membawa barang pribadi mereka kanrena mereka berencana akan sering pulang ke desa jika ada libur, lagi pula barang-barang mereka masih banyak di sini. Saat Alisya pergi dulu dia memang tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Pandu hanya barang-barang lamanya saja. "Memangnya kamu pikir aku harus pake baju perempuan," kata Pandu sebal saat Alisya mengatakan baju itu milik Pandu karena dibeli dengan uang laki-laki itu dulu. Sekarang dia kembali lagi ke rumah ini, kali ini bukan hanya berkunjung tapi juga kemungkinan akan menetap entah lama, masalah keluarga Pandu tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat, banyak rencana Pandu yang diceritakan pada Al
"Memang harusnya istri ikut suaminya, Nduk." Hari ini Alisya datang ke rumah bulek Par, sengaja dengan membawakan kolak pisang kesukaan bulek yang tadi dia buat. Rumah bulek Par memang tidak besar tapi asri dan bersih. Alisya duduk di balai-balai bambu di teras depan rumah bulek. "Iya, bulek sepertinya ini memang sudah saatnya kasihan mas Pandu kalau pulang malam jaraknya jauh." "Lah sudah pinter kamu, pernikahan itu memang harus keduanya berjuang, kalau salah satu saja ya pincang." Alisya mengangguk, itu juga salah satu alasannya mau kembali bersama Pandu, dia melihat kalau laki-laki itu sudah berubah dan mau untuk berjuang untuk pernikahan mereka. "Tapi bulek ada yang menganggu saya sebenarnya kalau harus pindah ke rumah mas Pandu-" "Rumah kalian," koreksi bulek Par. "Iya maksud, Lisya rumah kami. Apa bulek mau ikut kami ke kota?" tanya Alisya hati-hati. Suasana desa yang tentram dan masyarakatnya yang saling tolong menolong membuat banyak warga di sini yang enggan untu
"Mbak Alisya!" Alisya yang baru saja menyiram tanaman di depan rumahnya langsung membuang selangnya begitu Rani memeluknya erat sambil menangis. "Ada apa, Ran? ibumu baik-baik saja kan?" tanya Alisya panik, bulek Par yang pagi ini memang datang ke rumah Alisya ikut berdiri dan menatap Rani tak kalah panik.Beberapa hari yang lalu memang Alisya juga datang ke rumah Rani untuk menjenguk ibunya yang memang sudah lama mengidap penyakit darah tinggi dan sekarang saat tiba-tiba wanita itu datang dengan menangis tentu saja Alisya ikut khawatir. "Ran, ada apa?" tanya Alisya sambil merenggangkan pelukan mereka. Rani yang masih menangis langsung melongo apalagi beberapa tetangga juga sudah berkerumun ingin tahu apa yang terjadi. "Ran!" tegur Alisya lagi. "Kok banyak orang, mbak?" "Lah mereka penasaran kamu teriak tadi, ibumu kenapa?" "Hah! ibu baik-baik saja kok, aku teriak bukan karena ibu," kata Rani dan sekarang meringis salah tingkah apalagi semua mata sekarang menatapnya dengan
Pandu sudah ada di lobi begitu jam kantor Alisya bubar. Tumben. "Mas sejak tadi di sini?" tanya Alisya, resepsionis sama sekali tidak memberi tahunya, padahal setahunya Pandu sama sekali tak suka menunggu. Pandu mengangguk lalu berdiri memeluk anak dan istrinya, Bisma yang mungkin engap terjepit antara ayah dan ibunya langsung merengek. "Mas, ih peluk-peluk sembarangan." Pandu mengedikkan bahunya dengan acuh. "Kan istri sendiri." "Ye siapa bilang istri tetangga." Pandu hanya tersenyum, lalu membimbing sang istri untuk menuju mobilnya. "Bisma nggak rewel setelah imunisasi?" tanya Pandu begitu dia sudah ada di balik kemudi dengan Alisya yang sudah duduk di sampingnya. "Enggak cuma tadi tidur terus setelah minum obat." Pandu mengusap kepala Bisma dengan tangan kirinya dengan sayang, perjalanan menjadi sunyi karena Bisma yang terlihat masih ngantuk menempel erat di dada ibunya sedangkan Rani duduk di bangku belakang dengan terkantuk-kantuk, astaga padahal anak itu juga seharian
"Mbak aku mau beli cilok dulu," kata Rani dengan ceria saat melihat penjual cilok langganannya. "Mbak mau juga?" "Tidak, itu tidak higenis."Jawaban itu bukan dari Alisya tentu saja tapi dari Pandu yang sejak mereka berangkat tadi seperti terkena sariawan. "Ta...tapi abangnya bersih kok, tuan. Pancinya juga pakai tutup." Alisya tak bisa menahan tawanya dia melihat wajah Rani yang ingin menangis saat mengatakan itu, meski begitu gadis itu nekad banget mendebat Pandu.Dan Tuan? Alisya baru saja kalau Rani selama ini memanggil Pandu dengan sebutan tuan, sama dengan semua asisten rumah tangga di rumah laki-laki itu, padahal memanggilnya dengan sebutan mbak bukan nyonya. "Ciloknya enak dan bersih kok, mas," bela Alisya. Orang kaya sih memang seperti itu, dia bahkan tidak yakin Pandu pernah makan jajanan rakyat yang tersebar di pinggir-pinggir jalan. "Memangnya kamu tidak bisa buat itu, ma. Atau nanti aku minta salah satu chef rumah mama untuk membuatkan." "Ish... mas jangan keterla
"Lho mbak Alisya tidak ke kantor?" Orang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam rumah tangga. Ayah dan ibu Alisya dulu bukannya tak pernah bertengkar, diam-diam saat malam hari ketika Alisya terbangun dia sering mendengar orang tuanya berdebat. Bukan jenis pertengkaran yang bar-bar memang karena ayah Alisya adalah tipe laki-laki lemah lembut dalam memperlakukan istrinya, hal itu jugalah yang menjadi alasan sang ibu tidak mau menikah lagi setelah sang ayah meninggal. Hidup Alisya memang penuh dengan hinaan dan cacian, tapi tentu saja itu dilakukan orang lain, bukan orang yang dia sayangi dan Alisya memilih masa bodoh. Akan tetapi hari ini mendapati kembali wajah marah Pandu membuat tubuh Alisya gemetar, dia jadi ingat masa-masa kelam pernikahan pertama mereka. "Mbak kok malah bengong, ini Bisma kenapa kok kayak habis nangis?" Bisma memang menangis keras karena kaget dengan bentakan sang papa, karena itu tanpa banyak kata Alisya mengambil alih Bisma dan menenangkannya di tanah la
"Selamat pagi, Al," sapa Pandu dengan wajah kuyu menahan kantuk.Pandu memang sangat tampan dan berkarisma Alisya akui itu. Hal itu jugalah salah satu hal yang membuatnya dulu jatuh hati. Bahkan celana pendek dan kaos oblong terbukti tidak melunturkan ketampanan itu. Akan tetapi wajahnya yang lelah tidak bisa berbohong, seperti sayur kangkung yang sudah dua hari di atas meja dapur, layu."Mas kalau masih ngantuk tidur saja," kata Alisya. "Kenapa kamu pikir mas masih ngantuk?" tanya Pandu sambil cemberut lalu menggeret kursi meja makan dan duduk di sana. "Karena aku bisa melihat," kata Alisya kesal. "Oh," jawab laki-laki itu tak fokus, dia malah duduk bengong menatap Alisya yang sedang memasak. "Atau mas mau mandi sekarang, biar aku siapkan dulu." "Masak mandi dulu baru menyapu?" "Aku bisa menyapu nanti atau aku bisa minta tolong bulek Par, mas mandi saja." "Mas masih ngantuk tapi," jawab Pandu tanpa dosa. Alisya langsung meletakkan spatulanya, melotot kesal pada sang suami ya
"Aku suka baumu, Al." Alisya tahu ada yang salah di sini, ini bukan hanya soal pulang telat atau tidak adanya pesan mesra lagi yang Pandu kirimkan ada masalah berat yang mungkin sebentar lagi menyambangi mereka, Alisya sih tidak suka berandai-andai, dia melihat apa yang nyata di depannya saja. "Mas terlihat capek sekali, mandi dulu baru istirahat," kata Alisya sambil berusaha melerai pelukan Pandu. Di masa lalu dia tahu laki-laki ini bahkan pernah pulang tengah malam juga, tapi kali ini meski hanya pulang jam sembilan malam wajahnya sekusut saat dia pulang dini hari. Bukannya melepas Alisya, Pandu malah kembali mengeratkan pelukannya di tubuh sang istri dan tangannya yang sudah gentayangan kemana-mana, mengabsen semua bagian tubuh istrinya. Alisya hanya diam dan membiarkan saja apa yang Pandu lakukan, sebagai seorang suami tentu Pandu berhak atas tubuhnya. Pandu mulai menciumi wajah Alisya juga bagian atas tubuh istrinya, tapi saat dia sudah mengangkat sang istri dan bersiap men