Bibi kadang bisa sangat menyebalkan. Seperti kali ini, padahal Alisya ingin bertanya siapa yang datang tapi si bibi sudah hilang entah kemana, bahkan Pandu yang turun lebih dulu untuk melihat siapa yang datang belum juga kembali. Alisya penasaran, tapi rambutnya masih basah. Rumah ini memang mewah dengan berbagai fasilitasnya tapi alat pengering rambutnya rusak dan dulu Alisya merasa belum perlu untuk membeli lagi. Dia di rumah seharian, tidak akan ada yang peduli kalau rambutnya basah atau tidak, tapi sekarang beda cerita. Dengan tak sabar Alisya mengambi satu lagi handuk dan menggosok rambutnya lagi, begitu rambutnya setengah kering dia langsung mengganti pakaian dan turun ke bawah. Alisya terdiam sesaat begitu dia mendengar suara orang yang sedang berbicara dengan Pandu di ruang tengah. Bagaimana mungkin mertuanya tahu kalau mereka sedang ada di sini? atau mungkin bibi yang menghubungi. Alisya membelokkan langkahnya menjauhi ruang tengah dan mencari bibi di dapur tapi... "Al
"Apa anda akan melaporkan saya ke polisi untuk itu?" Wanita paruh baya itu mengerjap kaget dengan perkataan sang menantu, dia bukannya tidak tahu kalau Alisya wanita yang baik, dan suaminya menyukai menantu mereka itu. Akan tetapi sebagai orang yang melahirkan Pandu dia merasa memiliki hak untuk menentukan wanita mana yang cocok untuk menjadi menantunya. Bukan tanpa alasan dirinya menerima Sekar begitu saja dengan tangan terbuka, wanita itu bisa mengimbanginya dalam berbagai hal dan yang lebih penting Sekar juga bukan tipikal wanita rumahan yang menghabiskan waktu untuk mengurus suami dan anaknya di rumah. Bagi wanita itu, pernikahan tak bisa membatasi kebebasannya, bukankah itu tugas suami untuk memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Oh dia bukan tipe wanita yang akan meninggalkan suaminya yang sedang bangkrut dan terjatuh dia akan mendukungnya dengan baik, karena sebelum menikah dia harus memastikan dulu seberapa kaya laki-laki itu. Akan tetapi pengkhianatan Sekar membuat di
"Aku tidak bisa menemanimu ke sana, ada meeting penting yang harus aku hadiri." Bagi sebagian wanita bergelar menantu, menemui wanita lain yang merupakan ibu dari laki-laki yang dia cintai merupakan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau si ibu masih belum rela sang anak berbagi cinta dengan sang menantu. Sebagai menantu yang tidak diharapkan, datang ke rumah mertuanya sama dengan masuk kandang macan dia harus menyiapkan bagi fisik dan juga psikis, di sinilah dia sangat butuh bantuan Pandu untuk memberi dukungan moral, tapi Alisya pasti sudah berharap terlalu banyak pada sang suami sehingga kekecewaan seperti ini yang dia dapat.Bukannya Alisya tak mampu menghadapi mertuanya juga keluarga besar sang suami dari pihak ibunya, tapi dia hanya tak ingin salah langkah."Memangnya acara keluarga kalian seperti apa biasanya?" Alisya perlu tahu ini untuk memahami medan perannya jika dia memang harus datang, oh astaga dia memang harus datang dengan atau tanpa suaminya. Bukan karena berharap
Dengan sabar Alisya menunggu tawa sang suami berhenti. Wanita itu duduk di atas ranjang sambil melipat kedua tangannya. Saat ini mereka masih ada di rumah orang tua Pandu, tepatnya di kamar yang biasa laki-laki itu tempati saat berada di rumah orang tuanya. Kamar mewah dengan nuansa kelabu ini terlihat sangat Pandu sekali. "Mas seneng banget kayaknya.""Kalian lucu banget ternyata, sayang sekali aku tidak datang lebih cepat tadi," kata laki-laki itu yang masih berusaha mengendalikan tawanya. Alisya langsung cemberut dia jadi menyesal menceritakan kejadian tadi pada Pandu. Semua orang bebas untuk berpakaian yang menurutnya nyaman dan sesuai dengan gayanya, hal sederhana itu sepertinya tidak dipahami oleh semua orang, termasuk wanita paruh baya yang baru saja bersalaman dengannya. Alisya menatap baju yang dia kenakan, bahannya lembut dan nyaman apalagi untuk ibu menyusui sepertinya, memang sih bukan keluaran dari brand ternyama dengan harga ratusa juta, karena menurutnya fungsi u
Alisya mengulung rambutnya, setelah melakukan kewajiban paginya, dia akan ke dapur memasak sarapan pagi kebiasaan yang sama sekali tak berubah meski dia sudah menikah dengan anak konglomerat. "Mau kemana?" tanya Pandu yang baru keluar dari kamar mandi. "Buat sarapan kan, mas mau makan apa?" tanya Alisya.Wanita itu menoleh saat tak ada jawaban dari sang suami. "Lebih baik kamu di sini saja temani aku, di dapur sudah ada chef profesional yang biasanya dipanggil mama untuk memasak.""Chef profesional?" "Dulu kami punya chef tetap di sini tapi beberapa tahun lalu beliau meninggal dan mama cocok dengan masakan chef yang baru ini." "Jadi tidak tinggal menetap di sini?" "Dia selebriti chef yang sering tampil di tv, dia hanya masak untuk sarapan dan makan malam saja, untuk siang nanti ada chef lain yang datang." Alisya ternganga tak menyangka kehidupan di rumah ini sehedon ini, untuk urusan makan saja mereka seribet ini. "Siapa selebriti chefnya?" tanya wanita itu penasaran, dia juga
Ayam goreng laos yang ini memang tidak seperti biasa dia buat, tapi Alisya tetap suka. Ternyata penilaiannya tidak salah, rasa masakan ini memang seganteng chef yang membuatnya. Sayang dia sudah bersuami, eh? Alisya ingin menggeplak kepalanya sendiri, jangan sampai ucapan ngawurnya didengar suaminya yang posesif itu, bisa-bisa dia dikurung dalam rumah selamanya tanpa televisi ataub internet. Astaga kenapa pikirannya jadi melantur seperti ini, Pandu adalah laki-laki yang dia cintai tanpa syarat meski dia bahkan tidak bisa memasak air. "Jadi selama ini kamu memperlakukan putraku sebagai pembantu." Alisya yang sedang tekun menghabiskan ayamnya langsung mendongak, dia bisa merasakan suasana langsung tegang karena ucapan dingin itu, dan Alisya tidak perlu menjadi orang jenius untuk tahu kalau ucapan itu ditujukan padanya, apalagi mata sang ibu mertua yang melotot padanya. "Maksud mama?" tanya Alisya tak mengerti, apa ibu mertuanya tahu kalau di rumahnya Pandu sering membantunya me
"Apa saja jadwalku hari ini, Nad?" tanya Pandu begitu dia memasuki ruangannya dengan sang sekretaris yang mengekorinya di belakang. Ini hari Senin, dan dia harus dibuat kesal dengan kemacetan tadi pagi, padahal Alisya sudah membangunkannya lebih awal tapi kegiatan menyenangkan tadi selepas subuh bersama sang istri membuat mereka terlambat bangun. Seharusnya dia memang mencari akal untuk merayu sang istri untuk pindah rumah, dia sih senang-senang saja tinggal di sana apalagi orang-orangnya yang sangat ramah, tapi melewati jalanan yang macet tiap pagi bukan hobinya. "Baik, pak." Sang sekretaris langsung membacakan jadwalnya hari ini. "Kamu yakin semua jadwal yang kamu buat itu, bahkan kamu menjadwalkan makan siang dengan klien, kamu tahu bukan kalau aku selalu makan masakan istriku," kata Pandu tak senang, tadi pagi Alisya hanya membuatkan roti dengan selai strawberry, buah dan segelas kopi susu. Bagi Pandu yang perutnya sudah terbiasa dengan berbagai macam masakan Indonesia bua
Ibunya pernah bilang kalau semua hal di dunia ini berpasangan. Baik dan buruk. Laki-laki dan perempuan. Cinta dan benci. Harap dan kecewa. Alisya sangat memahami hal itu, dan dia setuju pada sang ibu, karena itu dia selalu melakukan segala sesuatu dengan hati-hati, berharap bisa meminimalisir harapan dalam hatinya agar jika semua tak seperti yang dia inginkan kekecewaan tak akan menghancurkannya. Dia pernah mendapat pelajaran yang sangat berharga karena melupakan pesan itu, pernikahannya dengan Pandu dulu membuat rasa cinta yang begitu besar dalam hatinya langsung tumbuh subur dan kehilangan akal sehat, saat semua tak sesuai dengan angannya Alisya sangat kecewa dan memilih melarikan diri demi kewarasannya juga. Dan sekarang dalam pernikahannya yang kedua ini menekan hatinya untuk tak terlalu berharap, tapi perhatian Pandu dan kelembutan laki-laki itu membuatnya terbuai. Tidak menghubunginya saat makan siang sebenarnya hanya masalah kecil saja, tapi membuat hatinya begitu kecew
Inikah arti perasaan tak enak yang menghantuinya sejak kemarin. “Aku ikut, kamu akan ke sana bukan,” kata Laras. Bagaimanapun dia merasa akhir-akhir ini ayah mertuanya bukan lagi sosok menakutkan, laki-laki itu bersikap lembut dan hangat seperti kebanyakan seorang ayah yang hanya bisa dia dengar ceritanya dari teman-temannya. Laras bahkan berpikir mungkin saja di masa depan dia akan bisa memperbaiki hubungan dengan ayah mertuanya dan mereka bisa menjalin hubungan seperti ayah dan anak yang baik. Selain tukang kawin dan tidak bisa setia pada satu wanita, menurut Laras tidak ada yang salah dengan ayah mertuanya. Dia masih memperhatikan Pram dengan baik meski hanya dengan membayar orang untuk mengurus semua kebutuhan putranya. Hubungan Pram dan sang ayah secara pribadi memang memburuk karena Pram yang kesal dengan tingkah ayahnya, tapi saat keduanya berbicara tentang bisnis, bisa dibilang kalau Pram begitu kagum pada ayahnya.
“Anda yakin dengan isi surat ini?” tanya sang pengacara untuk kesekian kalinya. “Apa ada alasan aku tidak yakin dengan semua ini?” tanya laki-laki paruh baya yang masih tampan itu. “Maaf, maksud saya di sini tidak ada warisan untuk istri anda, bukankah seharusnya dia berhak juga atas harta anda.” “Dia hanya wanita yang baru saja aku nikahi, dan sama sekali tidak ada andil dalam mendapatkan hartaku.” Sang pengacara terdiam, tahu bahwa dia telah salah bicara. “Maaf, saya hanya mengingatkan karena di sini-“ “Aku memberi bagian untuk menantuku.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah penasaran. “Itu memang haknya.” “Baiklah, saya mengeti.” “Tolong pastikan anda menjalankan surat wasiat saya, saya percaya anda memang pengacara yang dapat saya andalkan bahkan setelah kematian saya nanti.” Sang pengacara mengangguk dengan wajah tak terbaca lalu meminta diri lebih dulu dengan sopan. Senyum tenang lalu tersungging di bibir laki-laki itu. “Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindu
“Aku merasa papamu sangat aneh, Pram,” kata Laras entah untuk keberapa kalinya. Akhirnya memang mereka memutuskan makan siang di restoran yang sama dengan yang didatangi oleh Laras dan mertuanya tadi, tentu saja karena makanan di sini sangat enak menurut Laras. Lagi pula dia juga ingin bicara dengan sang suami mengenai yang terjadi siang tadi. Di mana lagi tempat bicara yang bisa membuat Laras mengingat semuanya selain tempat kejadian tadi. “Papaku memang kadang aneh,” kata Pram cuek. Dia sudah mendengar semua yang dikatakan Laras, meski merasa aneh dengan sang ayah yang tumben mau repot mengeluarkan uang untuk mengatasi masalahnya, tapi Pram segera ingat Clara, mungkin saja ayahnya melakukan itu supaya dia tidak menjalin hubungan lagi dengan wanita itu. Kayak dia mau saja dengan bekas ayahnya, batin Pram sinis. “Apa kamu tidak merasa ada hal yang sedang beliau rencanakan?” tanya Laras.“Mungkin asal dia tidak menganggu aku lagi bukan masalah sebenarnya.” Melihat Pram yang acu
“Apa papa tidak membawa bekal dari tante Clara?” tanya Laras saat sang mertua malah mengajaknya ke sebuah restoran di dekat kantornya. “Bekal dari Clara?” tanya sang mertua bingung saat mereka sudah duduk berhadapan di sebuah restoran.“Iya bekal makan siang. Apa papa tidak membawanya hari ini?” “Kenapa kamu bertanya tentang bekal itu?” “Tante Clara pasti akan tambah marah kalau bekal buatannya tidak papa habiskan dan malah makan denganku.” Laras memperhatikan ayah mertuanya yang kemudian terdiam lalu tertawa dengan keras, sampai beberapa orang menatap mereka dengan penasaran. “Kenapa papa malah tertawa?” tanya Laras bingung, dia menundukkan kepala sedikit pada orang di sekitar mereka untuk meminta maaf. “Tidak ada, papa hanya bersyukur kamu yang jadi istrinya Pram.” Laras menatap sang ayah mertua kebingungan tapi gelengan tegas laki-laki itu membuatnya langsung menutup mulut. Makanan pesanan m
Tak ingin kalah dengan ibu mertuanya, Laras berusaha keras untuk bisa memasak. Mulanya sulit, karena dia bahkan tidak bisa membedakan bawang merah dan bawang putih. Seperti saran Pram, Laras mengambil kelas khusus untuk memasak selain itu dia rajin sekali merecoki Alisya untuk membantunya memasak. Yang jelas Laras tidak sudi kalah dengan ibu tiri suaminya. Pagi ini wanita itu sudah berkutat di dapur bahkan sebelum subuh berkumandang dan Pram yang biasanya keluar kamar di pagi hari melongo tak percaya melihat istrinya berkutat di dapur dengan memakai apron. “Aku kira siapa yang ada di dapur ternyata sedang ada bidadari yang masak untukku,” kata Pram sambil tersenyum sangat manis. Laras melengos pura-pura sibuk dengan masakannya padahal dia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang memerah dan hatinya yang berbunga-bunga. Pram melangkah mendekati sang istri dan memeluknya dari belakang, untung saja Laras sigap menahan keinginannya untuk memukul kepala laki-laki itu. “Lepaskan Pra
"Istri ayahmu pandai memasak?" tanya Laras tanpa diduga. Aris lebih memilih melarikan diri dengan membawa makanan dari Clara, laki-laki itu beralasan ada janji makan dengan teman di lantai bawah. Jadilah pasangan suamin istri itu makan berdua dalam diam yang canggung. Pram meletakkan sendoknya dan menatap sang istri sambil menghela napas. "Lumayan," jawabnya. "Lumayan enak?" tuntut Laras, sebenarnya dia tidak ingin cari masalah sih tapi entah mengapa dia tidak rela kalau setiap hari Pram makan masakan Clara. "Maksudku tidak seenak masakan Alisya, hanya dalam level yang bisa dimakan kok." "Apa itu salah satu alasanmu bertunangan dengannya?" tanya Laras hati-hati. Sekarang Pram benar-benar meninggalkan makanannya dia menatap Laras lalu menimang sejenak. "Kamu tahu aku sangat mengidolakan ibunya Alisya, dan berharap suatu saat nanti aku bisa mempunyai istri seperti ibu. Dia wanita yang lembut tapi tegar dan penuh prinsip dan yang pasti dia penuh kasih sayang, salah satunya dia
Laras baru tahu kalau Clara itu pintar memasak dan setiap hari mengirimkan makan siang untuk Pram. Bukan tanpa sebab hari ini dia datang ke kantor suaminya. Laras memang sengaja membeli makan siang untuk mereka berdua. Datang ke kantor Pram menurut Laras lebih masuk akal dari pada laki-laki itu harus datang ke kantornya atau mereka makan diluar. Jujur saja dia tak rela, para cewek itu menuntaskan fantasinya pada sang suami, meski Laras dengan keras kepala mengatakan belum mencintai sang suami tapi tetap saja dia tak suka Pram dikerubungi cewek seperti semut mengerubungi gula. "Saya Laras ingin bertemu bapak Pramudya, sudah ada janji dengan beliau," kata Laras sopan. Sengaja dia mengikuti protokol standart penerimaan tamu untuk meminimalisir drama yang akan terjadi lagi pula dia belum siap mengenalkan diri sebagai istri Pram. "Tunggu sebentar, Bu. Saya hubungi asisten beliau dulu," kata sang resepsionis sopan.Laras mengangguk dan menunggu sambil mengamati interior lobi kantor in
"Selamat pagi istriku," sapaan manis itu membuat Laras langsung menahan kuapnya. Setelah subuh tidur lagi memang Kebiasaan yang tak pernah bisa dia hilangkan, padahal hari ini dia ingin menjadi istri yang baik setelah kesepakatan mereka tadi malam, meski dia masih agak-agak tak rela sih, tapi sebagai orang yang bertanggung jawab dia akan coba menjalani komitmen itu. "Kamu kok sudah bangun?" tanya Laras sambil menghempaskan dirinya di kursi makan. "Matahari sudah bangun sejak tadi, sayang, makanya aku bangun dan menyiapkan sarapan pagi untuk kita." "Kok aku merinding ya dengar panggilan sayang darimu.""Merinding senang," goda Pram.Laras langsung melengos, tak bisa dipungkiri memang ada rasa senang dalam hatinya mendengar panggilan itu tapi dia juga harus mengingatkan dirinya kalau mungkin saja di luar sana masih banyak gadis yang dipanggil sayang oleh Pram. "Padahal aku berencana memasak tapi ya sudahlah," katanya ngeloyor tak peduli. "Yah kenapa nggak bilang, padahal aku ingin
"Ras, apa memang tidak ada peluang aku dan kamu jadi kita?" Bukan jawaban yang Pramudya dapatkan tapi sang istri yang langsung tersedak kue yang baru saja dia masukkan mulut. Pram langsung kalang kabut membantu sang istri. Pram meringis merasa bersalah saat wajah sang istri memerah sampai mengeluarkan air mata. Salahnya sih yang bicara tanpa melihat situasi dulu."Kamu niat banget mau bunuh aku Pram."Pram langsung lega saat Laras kembali melotot judes padanya, artinya istrinya sudah baik-baik saja. "Syukurlah." "Apa!" "Maksudku syukurlah kamu sudah baik-baik saja." Astaga punya istri singa betina ternyata horor juga, padahal Laras lebih banyak makan kue manis dari pada daging mentah lho. "Sudah deh sana jauh-jauh aku mau makan, kalau kamu tetap disini kamu bisa-bisa jadi duda lebih cepat," omel Laras yang langsung mendorong tubuh Pram menjauh. Pram mengalah dengan duduk di depan televisi agak jauh dari sang istri, dia tidak mau mengganggu kekhusukan sang istri makan kue dan