Apa dia sudah berubah jadi pendendam sekarang? Tidak Alisya menolak keras ide itu. Jika memang Sekar pelakunya dia berharap wanita itu merasakan penderitaan apa yang dia rasakan. Ucapan itu keluar begitu saja begitu dia mendengar penjelasan Pram tadi. Alisya hanya ibu yang terlalu sakit hati dan mengutuk siapa saja yang telah tega membuat bayi dalam kandungannya meninggal. Dia tak menampik kalau dia sendiri bukan wanita baik hati dan tidak sombong, tapi sebenci apapun orang padanya tidak mungkin sampai ingin melenyapkannya. "Kamu pulang saja ke rumah kita, di sana lebih aman," kata Pandu saat mengunjungi Alisya. Ini sudah lima hari Alisya dirawat dan luka dibahunya sudah sedikit membaik dan dia sudah diperbolehkan pulang selama dia dirawat di sini, Alisya kukuh bayinya juga tetap di sini, karena memang tak memiliki orang lain untuk menjaganya. Dan selama lima hari juga Pandu setiap hari datang berkunjung untuk memastikan keadaan Alisya juga bermain dengan putranya. Membu
Tahu pelakunya tidak membuat ini menjadi mudah. Mereka tak punya bukti yang diperlukan.Alisya bertatapan dengan Pandu begitu keluar dari ruang introgasi.“Kurasa mas ingat ciri-ciri orang yang disebutkan pelaku tadi,” kata Alisya dengan pandangan mata yang begitu tajam pada Pandu.“Tentu, tapi kita belum punya bukti hanya omongan pelaku tak bisa menjeratnya,” jawab Pandu.“Aku akan mencari buktinya, pembunuh anakku tidak boleh berkeliaran bebas,” kata Alisya dengan pandangan mata yang menyorot tajam pada Pandu membuat laki-laki tertegun menatap wanita yang biasanya sangat lemah dan cenderung memaafkan apa yang sudah terjadi.Semut pun akan menggigit jika diinjak, begitupun dengan Alisya. Selama ini dia sudah sangat mengalah dengan semua keadaan ini. dihina dan dicaci menjadi makanan sehari-harinya membuatnya
Alisya meragukannya.Tentu saja jika dia jadi Alisya akan melakukan hal yang sama.Dulu dia memang buta dan selalu membela Sekar sesalah apapun dia, tapi kini dia telah berubah matanya telah terbuka lebar dan dia akan membuktikan itu semua.“Tu-tuan sudah pulang?”Pandu mengerutkan keningnya mendengar bu Titin yang bicara dengan tergagap.Sejak perjanjian yang mereka sepakati Pandu hanya datang ke apartemennya yang ditempati Sekar, seminggu sekali, itu pun dia akan tidur di kamar tamu bukan kamarnya bersama Sekar.Berkali-kali Sekar merayu Pandu, tapi laki-laki itu tetap bergeming dan hanya mengatakan supaya Sekar intropeksi diri, tapi wanita itu begitu bebal dan sama sekali tak merasa bersalah.Mungkin dia menganggap Pandu masih laki-laki bodoh yang menerima begitu saja semua kesalaha
Aku adalah penyebab meninggalnya putriku. Kata itu menggema di kepala Pandu seperti kaset rusak. Laki-laki itu terduduk dengan lemas di mobilnya. Kenapa dia bisa seceroboh itu, perasaan rindu yang tiba-tiba datang membuatnya mengabaikan logika sepenuhnya. Kamu memang bodoh kok kalau soal cinta, ejek batin Pandu. Tiba-tiba ponselnya menjerit dengan keras sebuah nomer baru yang menghubunginya tapi laki-laki itu tetap mengangkatnya. “Temui aku di depan kantor polisi Sekarang.” “Pramudya.” “Iya.” Dan sambungan ditutup. Depan kantor polisi apa yang terjadi? Dadanya berdebar dengan kencang, apa ada hal lain yang terjadi? Meski mereka rekan bisnis tak pernah sekalipun mereka saling menghubungi secara pribadi. Diantara mereka saling tidak menyukai, jika Sekarang Pram menghubunginya lebih dulu pasti ada alasan yang sangat penting. Pandu tiba lima belas menit kemudian dan mendapati Pr
Manusia normal mungkin tidak akan nekad dengan mendatangi kandang macan supaya bisa selamat. Akan tetapi Sekar bangga kalau dirinya menjadi perempuan antimainstrem yang melakukannya. Jika Pandu tidak bisa membantunya dia tidak akan putus asa, di masa lalu dia mengenal Alisya sebagai gadis yang pemaaf dan cenderung bodoh, jadi di sinilah dia Sekarang di depan rumah Alisya yang dijaga beberapa satpam di depan. Cih hanya rumah kumuh saja sombong, batin perempuan itu. Akan tetapi untuk sementara dia akan mengabaikan sentimen pribadinya, nasibnya berada di tangan Alisya. Dia tidak mau dipenjara, baju penjara yang norak dan mencolok itu tidak akan cocok dengan kulitnya yang mulus dengan perawatan mahal. Dan seperti yang Sekar duga, dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah itu. “Saya hanya ingin bicara dengan Alisya sebentar, tidak mungkin bukan saya berteriak dari sini.” Cih orang-orang bodoh ini berani-beraninya mereka men
Alisya menatap dua orang tamunya dengan kesal. Sudah satu jam sejak kedatangan Sekar tadi dan tiba-tiba saja Pram langsung datang -yang Alisya duga kalau orangnya yang dia tempatkan di rumah ini yang melapor- dan yang dilakukan laki-laki itu adalah mengomel, bukan hanya pada Alisya tapi juga pada dua orang satpam di depan. Alisya sampai kasihan pada mereka yang terlihat ketakutan, padahal kedua orang itu usianya setara dengan ayah Pram. "Aku baik-baik saja, Pram. Jangan berlebihan," kata Alisya entah untuk keberapa kalinya. "Apa maksudmu dengan baik-baik saja, perempuan itu berbahaya, bagaimana kalau tadi dia tadi membawa senjata, dan melukai banyak orang di sini, memangnya kamu mau tanggung jawab hah!" Sejujurnya Alisya menyadari kebenaran perkataan Pram, Sekar tega merencanakan membunuhnya, dan tidak menutupk kemungkinan perempuan itu juga bisa berbuat nekad, apalagi saat sedang kejepit seperti ini. "Aku hanya berharap dengan menemuinya bisa mendapatkan bukti yang bisa
Dia hanya perempuan menyedihkan yang takut suami hasil mencurinya kembali dicuri. Sekar pernah diratukan oleh Pandu dan dicintai secara membabi buta, entah apa alasan rumah tangga mereka yang dibangun di atas luka Alisya bisa koyak mengingat betapa kokohnya cinta mereka yang bahkan tak hilang oleh dinding tebal pernikahannya dengan Pandu. Sekar yang hanya tahu konsep dicintai tanpa mengerti membalasnya dengan tulus pasti kehilangan arah saat semua tak seindah yang dia bayangkan. Dan Sekarang dia berjuang untuk cinta yang salah dengan jalan yang salah pula, sungguh pedih hidupnya. Alisya sebenarnya iba dengan hidup wanita-wanita yang suka mengambil milik orang lain, karena mereka tidak punya kemampuan untuk memulai sesuatu yang benar dalam hidupnya dan hanya silau dengan kebahagiaan wanita lain untuk kemudian dia perjuangkan untuk dimiliki. Sepintas memang terlihat sangat indah, diutamakan dan dilimpahi materi oleh suami orang, akan tetapi hatinya selalu tak tenang karena ber
Tempat terakhir GPS itu menyala adalah showroom mobil. “Memang perempuan ini yang menjual pada kami, tapi kami juga tidak tahu kemana dia pergi setelah itu.” Tentu saja mereka tak akan peduli kemana orang yang telah menjual mobil padanya pergi setelah ini dan digunakan untuk apa uang yang mereka hasilkan.Sampai di sini Pandu menemui jalan buntu, Sekar juga sudah menonakifkan ponselnya dan menarik sejumlah besar uang tunai yang ada di rekeningnya. Pelarian ini sudah direncanakan ternyata. Padahal statusnya belum menjadi tersangka, tapi dengan begini akan membuatnya tidak kooperatif dan makin memberatkan hukumannya. Akan tetapi bukan hal itu yang menganggu Pandu dia khawatir dengan keselamatan Alisya dan Bisma, putranya, kemarin saja Sekar nekad mendatangi Alisya di rumahnya. Pandu tahu kalau Alisya bukan wanita lemah dan manja tapi tetap saja, Sekar orang yang nekad dan akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.
Setelah lima hari di rawat di rumah sakit akhirnya Alisya diperbolehkan pulang juga. Ruangan di rumah sakit yang dia tempati memang presindent suit, dan fasilitas yang dia berikan bahkan lebih baik dari hotel tempat di bekerja, tapi tetap saja dia merindukan kamarnya yang sempit dan hanya menggunakan kasur busa. Sebenarnya Alisya sudah boleh pulang sejak dua hari yang lalu tapi karena dia masih terlihat lemas dan pucat, Pandu yang entah bagaimana ceritanya menjadi walinya menolak saat dokter memperbolehkannya pulang. Konyol memang di saat banyak orang yang ingin cepat keluar dari rumah sakit karena biayanya yang selangit, juga karena tidak nyaman di sana. "Sudah semua tidak ada yang tertinggalkan?" tanya Pandu."Sudah semua dari tadi," kata wanita itu, sambil menepuk-nepuk punggung Bisma yang terlihat sekali tak ingin jauh darinya. Kasihan sekali putranya itu harus terpisah darinya selama dia dirawat di sini. Kadang memang papa atau mama mertuanya membawa Bisma padanya untuk ASI
"Aku tahu aku tidak berhak mengatakan ini tapi aku tahu kamu bukan orang yang ceroboh."Suara Pandu membuat Alisya menoleh, laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan tatapan yang dalam yang mampu membuat dada Alisya berdebar kencang. "Mas terlihat tidak suka jika aku menerima jabatan baru itu?" Alisya berusaha bersikap tenang yang tentu saja sangat sulit dia dapatkan di bawah tatapan Pandu.Seperti yang dia katakan, Pandu sama sekali tak berhak untuk berkomentar, tapi tentu saja, laki-laki itu tak mungkin berkomentar sembarangan tanpa alasan."Bukan tak suka." Pandu menghentikan ucapannya dan menatap Alisya dengan khawatir."Aku hanya tidak ingin kamu mengabaikan Bisma, aku tahu kamu pasti akan menolak jika aku memberikan uang meski dengan alasan untuk Bisma. Lagi pula apa kamu tidak merasa ini terlalu cepat, Fahri dan ayahnya mungkin saja menerima di depan pak Amin tapi dunia bisnis sangat penuh dengan tipu muslihat, aku tak mau kamu menjadi korbannya." Lahir dan besar di keluar
"Ups maaf, sepertinya papa menganggu."Alisya buru-buru menyelesaikan kunyahannya. Astaga. Seharusnya tadi dia menolak keras Pandu yang ingin menyuapinya, dia sudah sembuh hanya tinggal sedikit pusing dan lemas. "Ma...ma!" jerit Bisma tak terima saat sang kakek ingin membawa anak itu keluar. "Biar Bisma sama saya, Pa," kata Alisya meminta putranya."Asip yang kamu berikan habis jadi papa bawa dia kemari."Alisya mengangguk dia bisa menduganya."Terima kasih, Pa. Sudah menjaga Bisma.""Sama-sama, Nak. Papa dan mama senang bisa menjaga Bisma."Rengekan Bisma yang terlihat sangat kehausan membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum dan berpamitan menunggu di luar.Alisya menatap Pandu yang masih anteng duduk di tempatnya. "Apa mas sudah tanya pada dokter aku boleh menyusui Bisma apa tidak?" tanyanya. "Oh iya, aku lupa bilang, kamu boleh menyusui Bisma, obat yang kamu minum tidak berpengaruh padanya." Alisya mengangguk, menunggu sampai Pandu berdiri dan keluar api sepertinya laki-lak
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya