Alisya meragukannya.
Tentu saja jika dia jadi Alisya akan melakukan hal yang sama.
Dulu dia memang buta dan selalu membela Sekar sesalah apapun dia, tapi kini dia telah berubah matanya telah terbuka lebar dan dia akan membuktikan itu semua.
“Tu-tuan sudah pulang?”
Pandu mengerutkan keningnya mendengar bu Titin yang bicara dengan tergagap.
Sejak perjanjian yang mereka sepakati Pandu hanya datang ke apartemennya yang ditempati Sekar, seminggu sekali, itu pun dia akan tidur di kamar tamu bukan kamarnya bersama Sekar.
Berkali-kali Sekar merayu Pandu, tapi laki-laki itu tetap bergeming dan hanya mengatakan supaya Sekar intropeksi diri, tapi wanita itu begitu bebal dan sama sekali tak merasa bersalah.
Mungkin dia menganggap Pandu masih laki-laki bodoh yang menerima begitu saja semua kesalaha
Aku adalah penyebab meninggalnya putriku. Kata itu menggema di kepala Pandu seperti kaset rusak. Laki-laki itu terduduk dengan lemas di mobilnya. Kenapa dia bisa seceroboh itu, perasaan rindu yang tiba-tiba datang membuatnya mengabaikan logika sepenuhnya. Kamu memang bodoh kok kalau soal cinta, ejek batin Pandu. Tiba-tiba ponselnya menjerit dengan keras sebuah nomer baru yang menghubunginya tapi laki-laki itu tetap mengangkatnya. “Temui aku di depan kantor polisi Sekarang.” “Pramudya.” “Iya.” Dan sambungan ditutup. Depan kantor polisi apa yang terjadi? Dadanya berdebar dengan kencang, apa ada hal lain yang terjadi? Meski mereka rekan bisnis tak pernah sekalipun mereka saling menghubungi secara pribadi. Diantara mereka saling tidak menyukai, jika Sekarang Pram menghubunginya lebih dulu pasti ada alasan yang sangat penting. Pandu tiba lima belas menit kemudian dan mendapati Pr
Manusia normal mungkin tidak akan nekad dengan mendatangi kandang macan supaya bisa selamat. Akan tetapi Sekar bangga kalau dirinya menjadi perempuan antimainstrem yang melakukannya. Jika Pandu tidak bisa membantunya dia tidak akan putus asa, di masa lalu dia mengenal Alisya sebagai gadis yang pemaaf dan cenderung bodoh, jadi di sinilah dia Sekarang di depan rumah Alisya yang dijaga beberapa satpam di depan. Cih hanya rumah kumuh saja sombong, batin perempuan itu. Akan tetapi untuk sementara dia akan mengabaikan sentimen pribadinya, nasibnya berada di tangan Alisya. Dia tidak mau dipenjara, baju penjara yang norak dan mencolok itu tidak akan cocok dengan kulitnya yang mulus dengan perawatan mahal. Dan seperti yang Sekar duga, dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah itu. “Saya hanya ingin bicara dengan Alisya sebentar, tidak mungkin bukan saya berteriak dari sini.” Cih orang-orang bodoh ini berani-beraninya mereka men
Alisya menatap dua orang tamunya dengan kesal. Sudah satu jam sejak kedatangan Sekar tadi dan tiba-tiba saja Pram langsung datang -yang Alisya duga kalau orangnya yang dia tempatkan di rumah ini yang melapor- dan yang dilakukan laki-laki itu adalah mengomel, bukan hanya pada Alisya tapi juga pada dua orang satpam di depan. Alisya sampai kasihan pada mereka yang terlihat ketakutan, padahal kedua orang itu usianya setara dengan ayah Pram. "Aku baik-baik saja, Pram. Jangan berlebihan," kata Alisya entah untuk keberapa kalinya. "Apa maksudmu dengan baik-baik saja, perempuan itu berbahaya, bagaimana kalau tadi dia tadi membawa senjata, dan melukai banyak orang di sini, memangnya kamu mau tanggung jawab hah!" Sejujurnya Alisya menyadari kebenaran perkataan Pram, Sekar tega merencanakan membunuhnya, dan tidak menutupk kemungkinan perempuan itu juga bisa berbuat nekad, apalagi saat sedang kejepit seperti ini. "Aku hanya berharap dengan menemuinya bisa mendapatkan bukti yang bisa
Dia hanya perempuan menyedihkan yang takut suami hasil mencurinya kembali dicuri. Sekar pernah diratukan oleh Pandu dan dicintai secara membabi buta, entah apa alasan rumah tangga mereka yang dibangun di atas luka Alisya bisa koyak mengingat betapa kokohnya cinta mereka yang bahkan tak hilang oleh dinding tebal pernikahannya dengan Pandu. Sekar yang hanya tahu konsep dicintai tanpa mengerti membalasnya dengan tulus pasti kehilangan arah saat semua tak seindah yang dia bayangkan. Dan Sekarang dia berjuang untuk cinta yang salah dengan jalan yang salah pula, sungguh pedih hidupnya. Alisya sebenarnya iba dengan hidup wanita-wanita yang suka mengambil milik orang lain, karena mereka tidak punya kemampuan untuk memulai sesuatu yang benar dalam hidupnya dan hanya silau dengan kebahagiaan wanita lain untuk kemudian dia perjuangkan untuk dimiliki. Sepintas memang terlihat sangat indah, diutamakan dan dilimpahi materi oleh suami orang, akan tetapi hatinya selalu tak tenang karena ber
Tempat terakhir GPS itu menyala adalah showroom mobil. “Memang perempuan ini yang menjual pada kami, tapi kami juga tidak tahu kemana dia pergi setelah itu.” Tentu saja mereka tak akan peduli kemana orang yang telah menjual mobil padanya pergi setelah ini dan digunakan untuk apa uang yang mereka hasilkan.Sampai di sini Pandu menemui jalan buntu, Sekar juga sudah menonakifkan ponselnya dan menarik sejumlah besar uang tunai yang ada di rekeningnya. Pelarian ini sudah direncanakan ternyata. Padahal statusnya belum menjadi tersangka, tapi dengan begini akan membuatnya tidak kooperatif dan makin memberatkan hukumannya. Akan tetapi bukan hal itu yang menganggu Pandu dia khawatir dengan keselamatan Alisya dan Bisma, putranya, kemarin saja Sekar nekad mendatangi Alisya di rumahnya. Pandu tahu kalau Alisya bukan wanita lemah dan manja tapi tetap saja, Sekar orang yang nekad dan akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.
Sekar melempar ponselnya hingga membentur pembatas jalan dan pecah berantakan. Baru seminggu dia membeli ponsel itu dan sekarang harus membeli baru. Untung saja dia tadi tidak sengaja mendengar Benk menelpon, kalau tidak dia pasti sudah tertangkap. Sekar puas sekali tadi memukul kepalanya dan dia sangat berharap laki-laki itu mati karena pukulannya. Berani-beraninya dia mengkhianatinya. Padahal sekar sudah mengeluarkan banyak uang untuk pengkhianatan itu. Kemarahan benar-benar menguasai wanita itu, mukanya menjadi merah dan nafasnya terdengar keras seperti banteng. Seharusnya memang sejak awal Sekar tidak menemuinya, sekarang dia harus lari kemana lagi? mobilnya pasti sudah dikenali dan uang di didompetnya juga menipis, untuk mengambil uang lagi di atm pun dia tidak berani, mereka pasti akan bisa langsung melacaknya dengan mudah. Kepalanya terasa sangat pusing efek belum makan sejak tadi tapi untuk berhenti di salah satu restoran dia tidak berani, jadi pilihannya jatuh ke sebua
Sudah dua hari Sekar tinggal di rumah ini dan merasa nyaman seperti rumah sendiri sampai...Brak!Brak!“Buka! Atau kami dobrak!” Sekar buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut, begitu juga dengan laki-laki di sampingnya. Matanya melotot tajam pada laki-laki di sebelahnya yang masih seperti orang linglung “Ada apa itu?” tanya Sekar dengan wajah pucat. Laki-laki yang menjadi patnernya itu menggeleng dan buru-buru memakai bajunya, begitu pun Sekar yang langsung menggunakan bajunya tapi belum juga selesai pintu kamar sudah dibuka dengan kasar, spontan Sekar langsung menyambar selimut lagi dan melilitkan ke tubuhnya yang setengah telanjang. “Seret mereka keluar!” “Arak ke balai desa!” Suara riuh kembali terdengar membuat wajah keduanya makin pucat, Sekar merapat ke tembok. Mereka makin beringas dan tak segan-segan menarik tangan Sekar dengan kasar. “Lepaskan! Kami tidak bersalah!” kata wanita itu dengan beran
Karena pekerjaannya, Alan bsduah banyak melihat kematian, bahkan kematian paling menyedihkan sekalipun. Akan tetapi kali ini dia begitu tak rela jika wanita itu mati begitu saja, itu terlalu mudah untuk orang yang begitu jahat pada orang lain seperti itu. Dia berhak merasakan penderitaan yang sama dengan yang dialami Alisya bahkan lebih. "Tolong selamatkan dia," kata Alan begitu dokter UGD menyambutnya yang baru saja keluar dari ambulance bersama Sekar yang bersimbah darah tapi masih hidup. Setidaknya itulah kata laki-laki yang mengaku dokter yang memeriksa tadi. Alan duduk menunggu dengan tenang, dia membuka ponselnya dan kembali menghubungi Pandu dan menceritakan apa yang terjadi. "Benar kata dokter nyonya Sekar kritis, tuan bisa langsung datang ke sini," kata Alan dengan datar, sebenarnya dokter belum mengatakan apapun terkait kondisi Sekar tapi sengaja dia mengatakan itu, dia ingin tahu bagaimana reaksi pandu. Dia adalah salah satu saksi hidup bagaimana Pandu begitu
Perkataan bulik Par memberikan perpektif berbeda untuk Alisya. Apalagi saat dia mengamati sikap Pandu padanya, sang suami masih bersikap sehangat biasanya, dia juga tak segan menceritakan kedatangan sang tante dengan Silvia ke kantornya waktu itu dengan alasan akan siang yang dia tolak, juga apa yang dikatakan Nadia, sekretaris sang suami yang dia hubungi dan menceritakan kejadian hari itu dengan menggebu-gebu. Dalam kisah rumah tangganya, dia dan sang suamilah pemeran utamanya. Orang lain hanya pemeran pendukung dan dia tidak akan membiarkan pemeran pendukung menjadi lebih bersinar dari pemeran utama seperti hari ini, tiba-tiba saja Pandu menghubunginya untuk datang ke kantor laki-laki itu. "Aku sudah minta izin pada Sasti, jangan khawatir dia juga sudah mengizinkan." "Memangnya kita mau kemana sih, Mas. Tidak biasanya mas pergi di hari kerja seperti ini, mendadak lagi." "Mau bagaimana lagi, aku tidak ingin ada masalah nantinya, aku akan ceritakan nanti, sekarang kamu dan Bisma
Alisya disambut oleh seorang laki-laki paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai asisten sang kakek. "Nyonya silahkan ikuti saya." Tanpa banyak kata Alisya mengikuti laki-laki itu. Kakek Pandu masih sama seperti terakhir kali dia bertemu, masih tetap energik tapi kali ini bukan keangkuhan yang dia lihat dari wajah tua itu, hanya kelelahan dan penuh beban. Mungkin ini karena masalah yang dihadapi sang anak sulung. "Maaf, opa saya datang terlambat." Undangan sang opa menang datang hampir dua jam yang lalu, tapi karena dia sudah berkutat di dapur Alisya baru menjawab setengah jam yang lalu dan langsung datang ke sini, tentu saja setelah memastikan Bisma sudah aman bersama Rani."Aku dengar kamu bekerja." "Benar." Alisya lalu bercerita sedikit di mana dia bekerja. "Aku tidak tahu apa tujuanmu kenapa tetap bekerja, apa cucuku tidak memberikan uang yang cukup?" Alisya cukup terkejut dengan pertanyaan frontal itu. "Apa ada yang salah dengan saya bekerja?" tanyanya. "Bukan salah,
Sudah Pandu duga, Alisya akan mengirim makan siang sebanyak ini.Biasanya saja sang istri akan membawakan bekal yang cukup untuk porsi dua tiga orang, bukan tanpa alasan juga Alisya melakukannya, Pandu memang kerap makan bersama para bawahannya, awalnya mereka merasa canggung tapi lama-lama sangat menyenangkan dan Pandu sangat menikamatinya.Akan tetapi jika untuk berbagi dengan dua orang wanita di depannya ini, ogah. "Apa ini? Kenapa tidak ada tulisan restoran tempat kamu memesan."Kadang Pandu mengakui kalau sang tante bisa sangat cermat, tapi sayang kemampuan istimewanya itu tidak dia gunakan dalam bekerja tapi dalam mengurusi hidup orang lain, terutama hidupnya, padahal Pandu dengan jelas mengatakan dia tidak butuh perhatian yang sangat terlambat ini."Karena memang bukan dari restoran, ini dari istriku," kata Pandu tenang, tapi mampu membuat kedua wanita di depannya menatap tak percaya "Kalau kalian sudah selesai bisa tinggalkan ruangan ini, aku ingin makan siang," lanjutnya tak
Alisya itu ternyata sangat cerewet. Pandu baru menyadari hal itu saat dia sakit kemarin, sang istri bahkan bisa mengomel panjang lebar saat dia malas minum obat atau bahkan makan makanan bergizi yang disediakan sang istri. Istrinya yang biasanya sedikit bicara banyak bekerja, berubah menjadi seperti radio rusak yang suaranya bisa merusakkan telinga. Akan tetapi Pandu suka. Dia pasti sudah gila karena merasa istrinya berkali lipat lebih seksi saat mengomel seperti itu, ternyata benar kata orang kalau cinta itu buta dan Pandu adalah salah satu korbannya. Dulu saat bersama Sekar juga dia menjadi sebuta ini dan mengabaikan semua omongan orang tentang kekurangan sang kekasih, Pandu bukan menyadari hal itu tapi dia memilih tutup mata meski rasa tak nyaman itu menghinggapinya, dia baru sadar setelah pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan wanita itu menamparnya dengan keras. Sekarang bersama Alisya, dia juga menyadari kekurangan wanitanya itu, tapi alih-alih merasa tak nyaman k
Dengan susah payah dua wanita itu berhasil membawa tubuh Pandu ke atas sofa terdekat dan membaringkannya di sana. Sebenarnya Alisya ingin membawa sang suami ke tempat tidur, tapi dia tahu mereka berdua tak akan sanggup melakukannya. "Bibi tolong panggil satpam di depan atau siapapun untuk membantu mengangkat mas Pandu ke kamar." Bibi tak perlu diperintah dua kali, wanita itu langsung berlari keluar dan mendapati satpam dan sopir sedang main catur di teras depan meninggalkan pos satpam kosong. Pantas saja. Rasanya bibi ingin mengomel saja, tapi tidak ada waktu untuk itu, tuannya sudah menunggu. Dia segera berteriak memanggil mereka."Mas Pandu tadi pulang tidak sama bapak?" tanya Alisya pada sopir pribadi sang suami. Laki-laki paruh baya itu langsung menunduk dengan wajah bersalah. "Bersama saya, tapi saya tidak tahu tuan sakit," katanya. Alisya menghela napas, tak tega juga memarahi laki-laki ini. Sebagai sopir dia tidak punya kewajiban memperhatikan apa majikannya sakit atau
Ini bukan hari pertama Pandu pulang malam semenjak sang tante kembali membuat masalah. "Bapak sedang meeting dengan buyer dari Australi, mereka baru saja makan malam tadi dan sekarang meeting berlanjut lagi." Pandu memang bercerita padanya kalau keluarga besar suaminya itu mendesak untuk meloloskan permintaan sang tante dan tak segan-segan meminta Pandu memakai dana amal perusahaan jika memang diperlukan. Tentu saja Pandu menolak hal itu, karena sang tante bukan orang fakir miskin yang sedang kesulitan yang perlu bantuan jadi yang bisa Pandu lakukan adalah mencari buyer sebanyak mungkin untuk menutupi kekurangan harga karena ketololan sang tante. Sebenarnya bisa saja Pandu menolak, tapi itu akan berimbas pada nama baik keluarga juga saham yang kemungkinan akan anjlok."Baiklah, terima kasih mbak tolong ingatkan bapak supaya tidak telat meminum vitaminnya." "Baik, bu." Alisya menutup telepon sambil menghela napas. "Tuan muda pulang malam lagi ya, nyonya?" tanya bibi. Alisya men
Sepertinya inilah yang namanya kualat.Alisya tadi hanya memanggil nama Pram satu kali bukan tiga kali tapi kenapa laki-laki itu langsung merespon panggilannya? Parahnya di depan Pandu pula. "Kamu benar-benar janjian dengan Pramudya?" Ada nada berbahaya dalam suara Pandu dan Alisya jelas tahu hal itu. Di masa lalu meski tak ada cinta ataupun kepedulian dalam diri laki-laki itu untuknya tapi tetap saja akan marah kalau dia masih berhubungan dengan Pram atau temannya yang lain. "Apa mas akan menggunakan hak mas sebagai suamiku untuk melarangku berteman dengannya?" tanya wanita itu, dia tahu ini mungkin akan memicu pertengkaran lagi. Sebenarnya sejak menikah dengan Pandu lagi, Alisya jarang sekali berhubungan dengan Pram, juga karena laki-laki itu yang katanya sibuk sekali dan sudah memiliki wanita yang dia sukai. Tindakannya tadi hanya impulsif semata dian hanya ingin memberi pelajaran pada suaminya, bagaimana jika dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Pandu. Hubung
Kadang mencintai itu begitu menyakitkan apalagi mencintai sendiri. Seberapapun dia menolak rasa cinta itu, dia tetap saja tak mampu. Rasa itu datang dengan semena-mena dan menggerus kewarasannya. Diantara besarnya cinta yang dia miliki terdapat cemburu yang membuatnya tak ingin berbagi, dia kira Pandu sudah menyadari semuanya, bahwa dia tidak ingin terluka lagi oleh cinta orang yang sama, tapi nyatanya semua hanya fatamorgana. "Mas tidak perlu bersusah payah aku tahu urusan mas sangat banyak, aku tidak ingin dianggap beban yang merepotkan." Alisya berkata tenang, dia tidak ingin mempermalukan dirinya, sudah cukup drama yang dia ciptakan tadi. "Kamu nggak apa-apa kan, Ran. Nunggu sebentar lagi." Rani yang dari tadi ada di samping Alisya sejak tadi hanya menunduk, dia tidak tahu hari pertama dia tinggal di kota ini malah jadi seperti ini. "Aku terserah mbak Alisya saja," kata Rani dengan pandangan bingung dan enak hati, gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi tahu-tahu Pandu
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan