"Jangan harap, berengsek!" Seseorang menyela keduanya. Menarik pandangan Xena juga Aksa.
--itu dia, pahlawan kita pagi ini! Abian Malik Guinandra.Xena menoleh. Bersama dengan Aksa yang kini mulai menyeringai tegas. Ia menyambut kehadiran Malik dengan lapang dada. Sejenak merentangkan tangannya berniat untuk merengkuh tubuh remaja jangkung yang datang dengan langkah ringan dan dua tangan yang masuk ke dalam saku celana panjangnya.
"Lo ngapain di sini? Mau malak?" tanya Malik sembari terus menelisik setiap bagian tubuh remaja jangkung yang ada di depannya. Malik tak akan pernah mau mempercayai fakta bahwa anak panti sialan ini datang sebagai murid baru yang bersekolah satu bangunan dengannya.
"Gue murid baru mulai sekarang." Aksa menyahut. Benar saja, Malik kini terkekeh-kekeh mendengarnya. Remaja itu sudah gila rupanya. Sejenak ia mengabaikan catatan kriminal dan status mantan narapidana dengan bersekolah di tempat yang elit seperti ini.
Remaja itu b
Suasana riuh tak terkendali. Semua kaum hawa kini menujukan pandangan matanya untuk seorang remaja jangkung yang duduk seorang diri di ujung bangku kantin pojok ruangan. Kedatangannya sudah menyebar hingga ke penjuru bangunan sekolahan. Forum sekolah membawa desas desus kabar mengenai remaja bernama Aksa Mahendra Abinaya. Tak seperti yang dikatakan bahwa Aksa tampan dengan wajah kecil dan dagu yang lancip. Matanya bak elang yang membidik. Alisnya legam berbentuk garis tak menyiku di kedua sudutnya. Remaja satu itu lebih tampan dari dugaan. Bak seseorang yang dikirim Tuhan sebagai anak dewa di perwujudan nyata dunia modern.Bukan lagi Abian Malik Guinandra yang dielu-elukan di sini. Ketampanannya emang agung, akan tetapi semua menyukai suasana baru di sekolah. Penyejuk mata, penyegaran untuk hati dan refreshing untuk otak yang sedang kalut dan riuh 'semrawut' keadaannya. Aksa adalah harapan baru untuk pada gadis yang mengidam-idamkan seorang remaja tampan untuk menjadi kekasih
Bugh!!! Tubuhnya jatuh tersungkur di atas rerumputan hijau yang menjadi alas keduanya berpijak sekarang ini. Tendangan yang tepat jatuh di atas perut datarnya itu menjadi alasan Aksa tak mampu menahan tubuhnya. Remaja jangkung itu ambruk. Tersungkur dengan luka memar di sisi wajahnya. Bara mungkin akan menghabisi dirinya jikalau ini bukan lingkungan sekolah. Remaja berandal satu ini adalah iblis yang tak punya hati nurani sedikit pun. Bara menyeret tubuh Aksa untuk menjauh dari kerumunan. Meninggalkan Xena yang mematung tak mengerti pasal keadaan yang sedang terjadi di antara keduanya saat ini. Ia tak pernah menyangka akan berada di situasi serumit ini. Tentang Malik dan Zain yang mengenal Aksa mungkin bukan lagi menjadi hal yang mengejutkan untuk dirinya, tetapi tidak untuk fakta bahwa Bara juga mengenal remaja jangkung berwatak iblis satu itu."Katakan yang sejujurnya, apa yang lo lakukan di tempat ini?" Bara mengulang. Menarik kerah baju remaja yang ada di bawah kuasanya se
Ia menatap nanar. Terfokus pada ujung lorong tempat Bara menyeret tubuh Aksa untuk pergi bersamanya. Bukan akses untuk semua orang datang ke tempat ini. Gudang belakang sekolah adalah tempat di mana tak banyak orang yang menyinggahinya. Sesekali gadis itu menyentakkan kakinya untuk mencoba menghilangkan rasa resah dan gelisah yang mulai menguasai di dalam dirinya. Xena ingin pergi. Menyela dua remaja bodoh yang dalam bayangannya pasti sedang bertengkar hebat di sana. Jujur saja Xena tak mengkhawatirkan Aksa sedikitpun. Remaja itu sudah berandal dari sananya. Ia bahkan hampir merenggut nyawa Zain kala itu. Tak ada yang patut menaruh rasa peduli dan kasih iba padanya. Jika Aksa yang kalah dalam pertarungannya, maka Xena akan memberi sorak dan penghargaan untuk itu. Seseorang sudah mengalahkan Aksa Mahendra Abinaya!Xena menggigit ujung kukunya. Sesekali ia menoleh memastikan bahwa dua remaja itu belum keluar dari goa persembunyian mereka. Perasaan aneh menyelimuti. Pikiran negat
"Aksa Mahendra Abinaya." Sesekali mengeja namanya dengan tegas. Menatap remaja jangkung yang ada di depannya dengan penuh keseriusan. Ia adalah pemilik ruangan ini. Segala kalimat yang diucap akan menjadi kekuatan tersendiri yang tak mampu di bantah oleh siapapun."Itu namamu bukan?" tanyanya kembali membuka suara. Aksa menganggukkan kepalanya ringan. Tersenyum tipis lalu kembali menyapu setiap bagian ruangan yang ada di sekitarnya. Ini lebih nyaman ketimbang sel tahanan di balik jeruji besi yang pernah ia singgahi selama beberapa bulan menetap. Sebagai seorang tersangka bersalah. Kasus penganiayaan yang ia lakukan pada teman sebaya. Percobaan pembunuh bahkan kasus pencurian yabg menyertakan namanya. Aksa pernah merasakan semua itu. Dingin dan penuh ketidakadilan kala ia datang sebagai seorang tersangka muda di balik jeruji besi.Tempat ini sedikit lain. Sepi suasananya, hanya berisikan seorang wanita tua berkerudung yang senada warnanya akan dengan seragam f
Xena menundukkan pandangannya. Ia tak kuasa menatap wajah penuh luka memar milik remaja jangkung yang terus saja menatapnya dengan tajam. Aksa tak pernah absen dari segala aktivitas yang dilakukan oleh Xena siang ini. Gadis itu mendustai sang guru dengan beralasan ingin pergi ke UKS sekolah sebab sakit ia rasakan di bagian sisi perutnya. Ia meninggalkan semua kegiatan yang ada di dalam kelas. Memilih untuk menunggu Aksa keluar dari ruang bimbingan konseling dan membawanya pergi ke taman belakang sekolah. Damai dirasa. Semilir hawa bayu yang berembus membelai setiap inci permukaan kulit gadis cantik itu seakan menjadi point penyempurna betapa syahdunya suasana hari ini.Pohon besar menjadi payung peneduh yang melindungi tubuh keduanya dari sengatan sinar sang surya siang ini. Hawa panas memang sedang ganas-ganasnya, membawa angin panas yang sesekali dirasa oleh Xena juga Aksa. Namun, semesta tak sejahat untuk siang ini. Pohon hijau di atas mereka membantu untuk menyediakan udar
Kerikan jangkrik menjadi pemecah keheningan yang ada di sekitarnya sekarang ini. Cahaya rembulan indah menghiasi cakrawala. Langit gelap menjadi point penyempurna betapa syahdunya malam ini. Bintang tak terlihat banyak bertabur di atas sana. Sepi, sebab dewi malam sendirian.Remaja jangkung itu tak kuasa lagi memaksa otaknya untuk bekerja lebih banyak dan lebih keras dalam memecahkan teka-teki kalimat berteori yang ada di atas lembar kertas dalam genggamannya. Persetanan gila, pikirannya benar-benar tak bisa fokus malam ini. Banyak adegan sisa tadi pagi dan siang yang kini melekat di dalam ingatannya. Malik sungguh tak bisa menyangka semua akan kembali seperti kala itu. Kematian Tara membawa banyak dendam dan misteri yang belum terpecahkan. Ia bersalah! Bukan sebab membunuh gadis cantik itu, akan tetapi dirinya bersalah sebab tak datang malam itu. Jika saja Malik datang dan memberi pengertian padanya, Tara masih hidup hingga saat ini. Ia mungkin sudah menjadi seorang ibu muda.
"Lo percaya kalau gue bilang Bara yang membunuh Tara?" Malik mulai mengimbuhkan. Melirik gadis yang terdiam sembari menatap awan hitam di atasnya. Bintang mulai redup, bukan menghilang. Namun, tertutup oleh awan hitam di atas sana. Malam ini mendung datang. Bersama ribuan rasa yang tak tenang, Xena menatap jauh di angkasa lepas. Ia tak bisa mempercayai siapa untuk sekarang, bahkan seorang Abian Malik Guinandra pun. Semua tersangka akan membela posisi mereka sendiri bukan? Ya, tak ada tersangka yang berteriak dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pembunuh.Xena menghela napasnya. Pandangannya turun seiring dengan tetes hujan yang mulai datang membasahi bumi malam ini. Suara rintikan itu kian tegas. Hawa dingin datang bersama angin basah sebab hujan mulai benar-benar menampakkan kehadirannya. Gadis itu menghela napasnya. Semesta seakan tahu bagaimana caranya masuk ke dalam sebuah suasana. Ia ikut menangis bersama hati Xena malam ini. Jujur saja, Xena tak pernah menya
Suasana sedikit ramai. Jalanan Kota Jakarta memang tak pernah mati dengan aktivitas para manusia. Tempat ini begitu terlihat padat terkadang sumpek dan berdesak. Polusi udara sudah menyambut kalau fajar datang. Sinarnya hangat, terkadang terasa membakar di permukaan kulit. Abian Malik Guinandra, sengaja meninggalkan moge kesayangan di dalam bagasi rumah. Ia tak ingin menggunakan kuda besi kesayangan itu. Malik kali ini berjalan dan memutuskan untuk berangkat dengan kedua kakinya. Toh juga, ia tak sendiri. Di depannya ada seorang gadis yang berjalan ringan. Turun dari halte bus selepas berangkat bersama dirinya dari dalam kawasan komplek tempat mereka tinggal. Xena Ayudi Bridella. Awalnya menolaknya tentu. Xena tak ingin banyak mata memandang keduanya datang bersama. Malik mengusik ketenangannya sekarang. Xena sudah nyaman dengan kesehariannya. Berangkat dengan bus dan pulang dengan bus pula. Sendiri tak bersama siapapun!"Xena ..." Malik memanggil. Mempercepat langkahnya untuk