Sekitar jam tujuh pagi, terlihat seorang gadis sedang duduk di depan meja rias miliknya. Bukan untuk merias wajah, melainkan hanya memandangi wajahnya yang sembab dan penuh air mata hingga detik ini. Tatapan itu selalu kosong ketika rasa sakit menyerang hatinya. Terhitung sejak semalam dia tak bisa tidur nyenyak hanya karena memikirkan nasibnya yang selalu tidak beruntung. Dada terasa sesak, kepala penuh masalah, dan lagi-lagi dia merasa diambang kematian.
Gebrakan pintu membuat isak tangisnya terhenti seketika, menekan dada yang tiba-tiba sakit akibat terlampau terkejut."Airyn, kamu punya simpanan uang? Beri Papa uang sedikit dong. Pinjam, Papa ngutang dulu sama kamu, besok Papa ganti. Papa butuh banget buat pagi ini."Pria paruh baya yang terdapat banyak uban di kepalanya itu tak memedulikan tangis maupun kepiluan hati putrinya, langsung menggeledah tas gadis bernama Airyn tersebut.Apa Airyn akan menolak dan berontak?Tentu saja tidak. Dia tidak punya keberanian dan itu juga akan berujung sia-sia.Kalau papanya berkata A, dia akan melakukan segala cara agar mendapatkannya tanpa mendengarkan rengekan Airyn buat berhenti.Ketika menemukan uang sekitar seratus tiga puluh ribu, pria itu mengukir senyum lebar dengan mata berbinar terang."Papa pinjam semuanya. Kamu berangkat kuliah sendiri dulu ya, naik angkot. Ah, ini Papa sisain sepuluh ribu buat ongkos bolak balik. Cukup, 'kan? Kalau kurang, ngutang dulu sama Kang Ujang, bilang nanti Papa yang bayar kalau menang judi.""Pa, sampai kapan mau kayak gini terus?"Tidak ada jawaban.Papanya pergi begitu saja setelah meletakkan uang sepuluh ribuan di atas tempat tidur Airyn. Naik angkot cukup, bahkan masih ada kembalian. Hanya saja, jalur angkot tidak sampai ke depan kampusnya. Airyn harus jalan kaki yang terbilang jauh atau naik ojek lagi untuk mempersingkat waktu tempuh. Bolak balik rumah setidaknya memerlukan lima belas sampai dua puluh ribu.Airyn malu kalau harus minta tolong Kang Ujang, apalagi dengan alasan ngutang untuk kesekian kalinya. Papa Airyn lupa jika hutang yang sebelumnya saja belum dibayar, tidak mungkin ngutang lagi."Papa kapan mau berubah?" Bibir Airyn kembali bergetar. "Pantas aja Mama tinggalin kita, sikap Papa dari dulu nggak pernah mau lebih baik. Setiap hari sibuk mengurus pelacur, mabuk, judi, dan bikin masalah. Aku malu, Pa, aku juga sedih liat Papa kayak gini terus."Tidak lama sekitar dua bulan lalu, Mama dan Papa Airyn resmi bercerai—setelah berbulan-bulan mamanya pergi dari rumah. Wanita itu memaksa sang suami untuk menceraikannya agar bisa bebas bersanding dengan pria lain.Airyn tidak mungkin ikut mamanya, meski sangat ingin. Wanita itu bersikeras melarang Airyn tinggal bersamanya, sebab tak sanggup jika harus menanggung biaya hidup dan Airyn juga masih duduk di bangku perkuliahan.Sebenarnya mama dan papa Airyn sama saja. Mereka punya sikap sebelas dua belas. Oleh karena sama-sama keras, akhirnya pernikahan mereka tidak bisa diselamatkan lagi.Menyudahi aksi menangisnya, Airyn mengambil tas dan langsung pergi ke kampus. Dia ada kelas tepat pukul delapan.Tidak ada rasa senang selama menjalani perkuliahan, Airyn justru sangat tertekan. Papanya yang sangat ingin Airyn masuk perguruan tinggi dengan biaya nekat. Akhirnya setiap masa pembayaran tiba, pria itu selalu membuat masalah untuk mendapatkan uang. Entah mencopet, menipu, atau merampas secara paksa kepunyaan orang-orang lemah yang tak bisa melawan. Dia seseorang preman yang diakuti di daerah mereka."Airyn, di mana Mas Guntur?" Seorang wanita berpakaian seksi menghampiri Airyn, menghadangnya di pinggir jalan. Dia salah seorang pelacur yang dirawat oleh papanya."Papa di tempat biasa, main judi." Airyn tersenyum simpul, tidak malu mengakuinya karena sudah sangat terbiasa dengan orang-orang sekitar. Asal tidak teman-temannya yang tahu, Airyn tidak masalah."Ada anak baru mau gabung, cantik dan masih muda. Kayaknya masih perawan, mahal ini sekali mainnya. Mas Guntur pasti suka."Airyn tidak menanggapi, memilih melanjutkan langkahan menuju terminal angkot.Selain preman, papa Airyn juga bekerja sebagai mucikari—merawat dan memfasilitasi para pelacur yang ingin bekerja pada rumah bordil. Bahkan rumah yang saat ini Airyn tinggali bersama papanya masih berada di kawasan para pelacur. Rumah khusus untuk mereka yang diberi nama rumah susun Anggrek.Tidak heran Airyn memilih tak punya teman dekat sejak dulu, dia takut dikucilkan jika di antara teman-temannya mengetahui siapa Airyn sebenarnya. Meski dia tak pernah melacur, tapi tempat tinggalnya membawa pengaruh buruk bagi pandangan setiap orang.Sesampainya di terminal angkot, Airyn mengerutkan kening jika tak ada satu pun angkot yang berada di sana."Pak, angkot pada ke mana?""Sebagian dipesan untuk acara nikahan, sebagian lagi sedang narik, Neng.""Astaga, aku telat dong." Airyn mendesah kecewa, padahal waktunya tidak banyak lagi jika harus menunggu ada angkot yang kembali ke terminal.Saat Airyn nyaris frustasi memikirkan cara untuk sampai ke kampus, pertolongan datang. Kang Ujang tiba-tiba menawarkan tumpangan."Ayo, Neng, saya antarkan seperti biasa."Tatapan Airyn menyendu. "Utang yang kemarin udah dibayar Papa, Kang? Aku nggak enak, soalnya Kang Ujang juga susah cari duit buat keluarga.""Tenang, Neng Airyn, kemarin udah dilunasin."Senyum kecil Airyn terbit, dia sangat lega. Selama ini beban pikiran Airyn terbagi-bagi, dia bahkan sampai menghindari Kang Ujang dan beberapa orang lainnya karena malu akibat hutang maupun perlakuan kejam papanya.***Ternyata setibanya di kelas, Airyn dikabari temannya jika perkuliahan hari ini terpaksa harus dikosongkan karena dosen pengampu memiliki rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan. Untunglah ada mata kuliah kedua yang akan masuk satu setengah jam akan datang, jadi Airyn tidak terlalu merasa sia-sia sudah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk sampai ke kampus."Ai, ternyata rumah lo di daerah rumah susun Anggrek? Gue baru tau. Nyokap lo pelacur sana atau lo juga bagian dari mereka?" Salah seorang cowok sekelasnya mencegat Airyn di pintu, geleng-geleng dengan kedua tangan terlipat di dada.Semalam cowok itu ke rumah susun Anggrek, tidak disangka melihat Airyn tengah mengobrol dengan seorang pria paruh baya di sana. Ternyata setelah dia pastikan, Airyn anak dari salah seorang mucikari."Polos-polos gini ternyata pelacur?" Dia mengulum senyum, berusaha menyentuh pipi Airyn. "Jadi penasaran gimana rasa lo.""Aldo, cukup!" Airyn geregetan pada cowok bernama Aldo ini. Dia pernah menyukai Airyn, tetapi dengan tegas Airyn tolak untuk melindungi dirinya sendiri.Siapa yang tidak tahu kelakuan Aldo, dia cowok berandalan yang selalu sombong dengan kekayaannya. Seolah apa pun bisa dia dapatkan dengan uangnya."Berapa semalamnya, Ai?"Airyn memicing, menatap ke arah luar di mana dua teman Aldo sedang menunggu cowok itu selesai bicara padanya."Gue mau semalam. Gue bayar dua atau tiga kali lipat. Atau perlu hubungin bokap lo dulu kalau mau nyewa pelacurnya?"Karena sejatinya Airyn ini banyak takutnya, akhirnya dia hanya bisa menangis mendengar Aldo merendahkan dirinya. Bukan tidak bisa melawan, lebih tepatnya takut semakin dipermalukan hingga harga dirinya habis terinjak-injak. Aldo bisa melakukan apa pun, Airyn takut sisa perkuliahannya berujung sia-sia."Kenapa menangis, sih? Gue nggak nyakitin lo, Ai, setop berlebihan nanggepin gue. Jawab aja, berapa? Nanti sekitar jam sebelas gue ke rumah susun Anggrek. Lo mau kita di sana atau ke hotel?"Airyn menggenggam erat tasnya, lalu nekat melewati Aldo dan mendobrak pintu secara paksa hingga terjatuh di hadapan teman-teman. Airyn tidak memedulikan tatapan orang-orang yang menyadari tangis dan ketakutannya, dia segera menuju toilet yang berada tepat di ujung lorong kelas.Airyn melangkah sambil menunduk, tidak nyaman jika tangisnya menjadi pemandangan yang lain. Dia tidak bisa berhenti menangis, karena suasana hatinya pun sudah terlanjur kacau.Belum sampai toilet, Airyn tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuatnya hampir saja terjatuh lagi andai tidak ditahan oleh dia yang saat ini berada di hadapannya. Pria bertubuh jangkung yang sedang mengangkat telepon.Bukannya meminta maaf pada pria itu, Airyn malah dengan lancang memeluknya tanpa tahu malu. Menjadikan dada pria yang tak dikenal sebagai sandaran untuk meluapkan tangis."K-kamu baik-baik saja?" tanya si pria cukup kaget mendengar isak tangis Airyn. Di tengah kebingungan, pria itu tak sengaja mendapati Aldo dan dua temannya yang sedang menguntit. "Tiga cowok itu mengancam kamu?"Airyn mengangguk cepat dengan tubuh bergemetar kecil.Pria itu menepuk-nepuk pelan punggung Airyn, memberi tatapan tajam pada Aldo yang sedang mengawasi mereka beberapa saat sebelum akhirnya memilih pergi. "Tenanglah. Kamu aman sekarang.""Mereka pergi?""Sudah."Airyn segera melepaskan pelukannya, menjaga jarak dengan wajah memerah padam sampai ke telinga. Dia malu, tapi tidak ada pilihan lain. Airyn takut Aldo menyekap dan nekat memerkosanya di toilet."Maaf.""Ambil ini." Pria itu memberikan sapu tangan, barulah Airyn mengangkat wajah untuk menatapnya. "Enggak usah."Tidak membiarkan dirinya ditolak, pria itu mengambil tangan Airyn, meletakkan sapu tangannya di sana. "Kamu sedang membutuhkannya."Airyn mengeluarkan ingus yang sejak tadi membuat hidungnya padat. "Terima kas
Selesai memimpin rapat, dia memasuki salah satu ruangan khusus untuk mencari data diri seorang gadis yang memeluknya tadi. Hanya memerlukan waktu beberapa puluh menit, dia menemukannya secara lengkap.Airyn Gershon, gadis berusia dua puluh tahun yang saat ini sedang duduk di bangku perkuliahan semester lima. Dia berada di fakultas ekonomi, mengambil bagian manajemen bisnis. Sejauh ini perolehan nilai Airyn sangat bagus dengan indeks prestasi komulatif sementara di angka 3.97 dari 4.00.Saat membaca bagian beasiswa yang didapatkan Airyn, pria itu tersenyum miring."Pak Arion, ini dokumen yang Bapak perlukan tadi." Seorang dekan menghampiri pria bernama Arion ini, menyerahkan map berisikan beberapa dokumen penting yang harus dia tanda tangani."Terima kasih, Bu."Mengesampingkan tentang Airyn, Arion lebih dulu mendahulukan berkas pentingnya untuk di tanda tangani segera. Setelah ini dia harus secepatnya kembali ke kantor untuk mengurus kerjaan yang lain. Hari ini Arion hanya mewakili ay
"Arion, kamu baru pulang, Nak? Segera bebersih, Bunda punya tamu spesial buat kamu." Nyonya Harrison menyapa hangat ketika mendapati putra sulungnya datang. Masih sama seperti biasa ketika dia pulang ke rumah, selalu menerima kasih sayang yang tiada tanding meski usianya sudah kepala tiga.Biasanya Arion tinggal di Penthouse pada salah satu gedung apartemen paling mewah di Ibu Kota atas kepemilikan keluarganya, Harrison Group. Apartemen itu masih satu kawasan dengan kantor, sehingga memudahkan Arion untuk pulang pergi melakukan kewajibannya sebagai Direktur Muda penerus ayahnya kelak."Siapa, Bun?""Rahasia. Ada di ruang baca Mama, nanti kita makan malam bersama. Kamu bersiaplah seganteng dan serapi mungkin.""Andre datang bersama istri dan anaknya?" Arion bisa menebak dengan mudah, sebab tadi sempat dapat kabar jika si sulung akan datang sesuai pinta ayahnya yang sedang sakit. "Itu nggak salah, tapi masih ada kejutan lain."Arion tersenyum, mengecup pipi sang bunda dengan penuh kasi
Nyonya Harrison membuka gorden yang langsung menghadap pada tempat tidur Arion, membuat sang empunya silau. "Bangun, Nak, sudah jam sembilan."Arion menggeliat di bawah selimut tebal berwarna hitam, mengubah posisi kepalanya membelakangi gorden. Dia belum berniat bangun, masih mengantuk akibat semalam begadang hingga hampir subuh bermain poker bersama Andre.Tidak sia-sia, Arion yang menang hingga meraup puluhan juta rupiah."Ajak Fevita jalan-jalan sambil mengobrol lebih banyak, Arion, nikmati waktu libur kamu berkenalan dengan wanita."Fevita Adiyaksa, wanita cerdas dan mandiri berusia dua puluh lima tahun yang saat ini menduduki jabatan sebagai Co-Founder di perusahaan keluarganya, PT. Adiyaksa Utama."Berhenti jodohin aku, Bun, nggak bakal berhasil.""Belum kamu coba, jangan menyerah dulu. Umur kamu sudah berapa, Arion, nggak berniat menikah?" dumel Nyonya Harrison sambil merapikan buku-buku Arion di meja. Sejak semalam Nyonya Harrison gemas pada Arion, putranya itu tampak mendia
"Pa, kenapa malah mintain Pak Arion uang?" Airyn memejam jengah dengan sikap Guntur, tidak habis pikir jika berdebatan mereka malah berujung pemerasan.Guntur berhasil memeras Arion sebesar dua juta akibat perlakuan tidak baik dan pukulan yang diterimanya. Jika tidak, Guntur mengancam akan membawa masalah ini ke pihak berwajib."Sudah sepantasnya dia ganti rugi. Kamu pikir hidung dan bibir Papa nggak berdarah akibat pukul satpamnya yang gendut itu?" Guntur balas mengomeli Airyn yang sejak tadi juga lumayan menyulut emosi di hadapan Arion. Anaknya itu terlalu lemah, padahal Guntur memang sengaja memanfaatkan keadaan.Kapan lagi memeras orang kaya secara cuma-cuma? Uangnya bisa Guntur pakai untuk membeli minuman dan modal berjudi nanti malam.Sementra Airyn, dia hanya tidak ingin papanya semakin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Namun, sikap Guntur sendirilah yang membuat dirinya tercela."Apa kata Pak Arion nanti, Pa? Aku nggak enak." Terlebih dia akan bersama Arion selama dua b
Airyn menganga, melihat sekitar mereka untuk mencari keberadaan seseorang yang lain. “Bapak ngapain ke sini?”“Ma, aku mau bicara sebentar. Tunggu dulu.” Dia cepat-cepat menarik tangan pria itu, membawanya agak menjauh dari Sera.“Bapak, jangan bilang aku orang sini sama siapa-siapa, ya?” Airyn berbisik cemas. “Aku juga nggak bakal bilang kok kalau Bapak main-main sama pelacur di sini. Aku janji.”“Kamu menuduh saya yang tidak-tidak,” balas Bagas tidak terima. “Saya hanya tidak sengaja lewat sini, lalu nyasar.” Jika kalian tanya siapa yang pintar membuat alibi, maka Bagas jagonya. Sekarang dia tiba-tiba menjadi detektif handal yang diutus Arion. Bagas mengakui dirinya serba bisa, asal jangan mencari berlian di lubang semut saja.Airyn menatap Bagas tidak percaya. “Ah, gitu, ya? Ya sudah, Bapak aja yang jaga rahasia aku.” Menangkup kedua tangan, meminta sangat serius.“Ai, ayo! Jangan bikin Mama makin murka.” Sera bersungut jengah menunggu Airyn.“Pak, aku harus pergi. Bapak sebaikny
Sekitar jam tujuh, Airyn terbangun dari tidurnya. Dia terlonjak ketika menyadari ruangan yang begitu asing. Buru-buru Airyn mengecek keadaannya, untunglah masih aman seperti semalam. Sementara itu, di nakas tersedia sepotong roti bakar cokelat, obat, air, dan kertas kecil yang menempel pada gelas. "Makan dan minum. Habiskan!”Airyn meminum obatnya untuk meredakan pusing, lalu memakan roti sambil berusaha mengingat kembali kejadian semalam. Dia ingat jika Arion datang mencoba menghentikan, namun bukannya melepaskan, pria tua itu justru semakin kasar mendorong Airyn ke kamar hingga harus bertengkar dulu dengan Arion yang tampak tak terima melihat perlakuannya.Tanpa sengaja di tengah keributan, Pak Sagara mendorong Airyn sampai terbentur pintu. Setelah itu semua gelap, Airyn pingsan.“Dasar om-om tua itu. Untung kepalaku nggak bocor.” Airyn bersungut sebal, lalu salah fokus pada jam kecil yang ada di nakas “Ya Tuhan, telat!” Dia melompat dari kasur, tetapi malah terjungkal karena terl
“Tolong, putus semua kerja sama kita bersama Pak Sagara dan istrinya. Saya tidak ingin mendengar nama maupun melihat wajahnya lagi. Pria itu di depan istrinya saja seperti kambing congek, di belakang berbisa daripada ular.” Arion memutuskan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Pak Sagara hanya debu kecil yang sangat mudah Arion singkirkan. Bahkan jika masih saja mengganggu Airyn, Arion tak segan membuatnya gulung tikar.“Anda serius, Pak? Padahal lusa Anda ada pertemuan dengan mereka di hotel Dexonc untuk membahas lebih lanjut mengenai logo kopi dalam kemasan terbaru, bukan?”“Saya tidak peduli. Pria itu mengacaukan gadis saya.” Arion menaikkan bahu, menyeruput kopinya sambil membubuhkan tanda tangan pada beberapa dokumen penting.Bagas memutar bola mata malas. “Arion, dengarkan saya. Airyn juga pelacur kecil, sebenarnya mereka sama-sama cari untung. Mungkin ada beberapa faktor yang bikin Airyn takut, akhirnya semalam dia merasa terancam. Ayolah, jangan bodoh karena baru mengenal cinta.
Airyn mondar-mandir di ruang tengah, sebab hingga jam delapan Arion belum juga pulang. Makan malam sudah siap, seketika rasanya tidak tenang, terlebih nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Sebal, karena Arion tidak mengabari apa pun sebelumnya."Aneh. Kenapa rasanya nggak enak gini? Apa karena udah jadi suami istri?" Airyn menggigit kuku, memegangi dadanya yang berdebar lebih kencang. "Atau ini perasaan gugup karena kepikiran ancaman Mama tadi?""Aish! Sejak kapan khawatir banget gini sama Pak Arion? Padahal sebelumnya kamu sendiri yang nggak rela nikah sama dia, Ai."Airyn bermonolog sendiri. Tatapan dan gerak-geriknya memang menunjukkan kecemasan, tidak tenang sebelum memastikan Arion baik-baik saja. "Setidaknya kalau pulang telat, bilang!" gerutunya sebal. "Aku bisa makan dan tidur dengan tenang tanpa harus khawatir gini. Senang banget bikin merasa bersalah."Airyn mengambil ponselnya di meja, mencoba menghubungi Bagas sekali lagi. Nomor pria itu aktif, hanya saja tidak diangkat. K
Ketika jam makan siang, tiba-tiba Airyn kedatangan tamu. Sebelumnya dia tidak mengira jika yang datang adalah ibu mertua. Airyn baru saja bangun tidur, belum sempat menyiapkan apa pun karena Arion juga membebaskan Airyn untuk istirahat sepanjang hari ini. Airyn ingin menyapa sebagai basa-basi agar kelihatan tetap sopan, namun urung karena merasa sungkan. Terlebih Megan juga langsung masuk dan meninggalkannya. Wanita itu terlihat membawa sekotak kue."Kamu baru bangun jam segini?"Megan melihat sekitar ruangan tersebut. Kebetulan di wastafel masih ada piring kotor, bekas Airyn menyiapkan sandwich untuk bekal Arion tadi. Keranjang pakaian kotor mereka juga terlihat penuh karena belum dijemput jasa laundry. Niatnya memang setelah ini baru akan Airyn bereskan semuanya."M—maaf, Bun, tadi aku ketiduran. Setelah ini baru beres-beres. Bunda mau aku bikinkan minum apa?" Airyn memainkan ujung tali bathrobe-nya, gugup. Mimik Megan tidak seramah biasanya, Airyn tahu wanita itu sudah terlanjur t
Katanya Arion punya hadiah spesial untuk Airyn. Ternyata benar. Usai Airyn berendam dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat diri, dia dikejutkan dengan sebuket mawar di kasur. Tidak lupa, ada kertas kecil yang terselip di sana juga membuat Airyn terkekeh kecil.—Untuk cintaku yang baik hati—Airyn suka aroma mawar segar, menciptakan senyum kecil yang mewakili isi hatinya. Masih menggunakan jubah mandi, Airyn turun ke bawah sambil memanggil Arion beberapa kali. Terdengar suara kecil dari ruang makan, lagi-lagi senyum Airyn merekah."Wow!" pujinya menutup mulut sambil menatap dengan binar takjub. Di meja makan tersedia menu makan malam mereka, Arion yang memasak. "Wangi, pasti enak. Aku laper banget, dari luluran tadi perut aku bunyi."Arion selesai memotong buah, kemudian menghampiri Airyn dan mencium pipinya. "Duduk, Sayang, waktunya isi tenaga."Dengan riang, Airyn duduk ketika Arion menarik kursi untuknya. Kenapa tiba-tiba Arion semanis ini? Airyn sampai keheranan."Kamu juga wa
"Pak Arion, ngapain?" Airyn terkesiap ketika melihat sang suami itu berdiri tak jauh dari posisinya dan Aldo. Bahkan mereka baru saja ingin memulai obrolan, seketika sungkan. "B—boleh tinggalin kami dulu, ada yang mau dibicara sebantar?""Bicara saja, anggap saya tidak ada." Arion memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap dengan sorot setajam belati—seolah sedang memperingati Aldo agar tidak macam-macam pada miliknya. "Lima menit, setelah ini kamu harus mengantarkan surat ke atas. Pak Abimayu sudah menunggu."Airyn menganga, lantas terpaksa senyum karena tahu mimik Arion tengah kesal. Jangan sampai dia mendebat, nanti malah muncul masalah baru."Ada apa, Aldo? Kamu repot-repot ke sini. Lain kali bilang ya kalau mau ketemu, jangan di sini. Aku posisinya lagi magang, nggak boleh seenaknya terima tamu sembarangan di luar kepentingan dengan Pak Arion." Aldo menatap Arion sekali lagi, dia juga melempar tatap permusuhan. "Lo serius menikah dengan pria aneh ini, Ai?" tanyanya senga
Arion mengusap puncak kepala Airyn ketika wanita itu diam lagi saat dia meminta bantuan memasang dasi. Sejak mereka mandi bersama, Airyn tampak malu dan pendiam, Arion sangat memahami situasi ini untuk mereka yang baru saja menjalani kehangatan sebagai pengantin baru. Bagi Arion, Airyn justru semakin lucu dan menggemaskan.“Ini dasinya, Ai. Apa kamu masih merasa nggak nyaman? Kalau pegal, nanti aku panggil jasa pijat ke sini, kamu nggak usah ke kantor.”Airyn menggeleng cepat, menegak saliva cukup sulit. Dia juga kesusahan mengumpulkan kata yang tercekat di kerongkongan. Wajah Airyn tidak berhenti memanas, rasanya masih tidak sanggup memandangi pria di hadapannya ini.“E—enggak usah. Aku baik kok, aku nggak pa-pa. K—kamu agak nunduk dikit, badan aku nggak sampe.” Dengan pipi kemerahan paham, Airyn berusaha tetap waras. Dia tahu Arion terus saja memandanginya, sesekali berusaha memberi perhatian dengan kecupan hangat dan kalimat manis penuh kekhawatiran. Padahal Airyn baik, dia tidak k
"Ayah tidak percaya akhirnya kamu akan jatuh cinta." Abimayu tersenyum singkat. "Hanya saja, Ayah tidak bisa bohong, kami terkejut mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Kamu dan Bagas sejak awal yang membuat kebohongan ini, Arion. Kamu kasih data diri Airyn yang berbeda ke Bunda, tidak salah jika Bunda juga kecewa dengan perbuatan kamu."Arion mengangguk, menyadari dosanya. Memang benar, selama-lamanya menyimpan dusta pasti akan ketahuan juga."Aku tahu aku salah, Yah. Aku juga awalnya terlalu takut memberi tahu siapa Airyn. Takut Ayah dan Bunda nggak setuju. Maaf kalau sikap aku masih kekanak-kanakan sekali.""Tunggu Bunda kamu lebih tenang dulu, lalu datanglah ke sini lagi untuk bicara padanya. Jangan sekarang, Ayah juga tidak bisa memaksakannya saat ini. Biarkan Bunda sendiri dulu, sambil belajar menerima.""Iya, Yah. Aku berharap Bunda bisa memahami pilihan aku. Percaya, aku tahu siapa yang terbaik untuk hidupku."Abimayu menghela panjang, memijat pangkal hidungnya. "Untuk saat ini,
Dengan segala ketidaksiapan, serba buru-buru, dan perasaan campur aduk—kini Airyn sudah resmi menikah dengan Arion. Mereka melakukan pemberkatan nikah tanpa gaun pengantin, tanpa tamu undangan, dan tanpa pesta. Bahkan Airyn hanya mengenakan dress yang Bagas belikan secara dadakan, untung Arion peka untuk memanggil penata rias, meski riasan wajah Airyn pun tetap natural.Orang tua Arion tahu, sebab sebelum mengucapkan janji suci, mereka sempat bicara dulu melalui telepon. Abimayu marah dan kecewa mengetahui pemberitaan yang beredar luas menjadi konsumsi massa, kemudian semakin dibuat jantungan dengan keputusan sepihak Arion untuk menikahi Airyn.Abimayu ingin bantu menyelesaikan masalah, mencari jalan keluar bersama tanpa pernikahan secara buru-buru ini, tetapi Arion tetap keras dengan pendiriannya. Megan menangis tersedu-sedu, tidak ingin bicara sepatah kata pun karena terlampau kecewa. Belum lagi ketika Megan mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Tidak pernah terbayang olehnya akan memi
Arion melipat kedua tangannya di dada, menatap Airyn yang tampak ngos-ngosan. “Habis lari maraton kamu?” tanyanya setengah mencibir. Belum ada satu jam setelah Arion antarkan tadi, gadis itu kembali muncul di hadapannya. “Luka kamu sembuh?”“Bukan waktunya bertanya, Pak.” Arion menaikkan sebelah alis. Tidak sempat mencecar lebih lanjut, Airyn menerobos masuk. “Gawat, Pak Arion. Kita dapat masalah besar!” paniknya masih berusaha mengatur napas. Pusat kota sedang macet, dia rela lari-larian dari perempatan jalan menuju ke gedung apartemen ini. Kira-kira jaraknya sekitar lima ratus meter, dengan posisi matahari berada di atas kepala.“Minum dulu. Pelan-pelan saja, saya santai orangnya.” Arion mengambilkan air, membukakan tutupnya juga. Kurang perhatian apa lagi dia? Modelan begini saja masih ditolak puluhan kali oleh Airyn.“Pak, Mama laporin Bapak ke polisi.”Tidak kaget, Arion justru tertawa. “Bapak jangan ketawa, aku serius. Mama udah pergi dari tadi buat bikin laporan. Gimana ini?”
“Pak, udah!” Airyn berusaha menjauhkan wajah, tetapi Arion masih sibuk mengecupi pipinya sambil memeluk. Entah kenapa, setiap dipangku dengan posessif, jantung Airyn berdebar tidak keruan. Dia bahkan tidak bisa berpikir jernih, semacam hilang kendali diri.“Diam, saya lagi isi daya. Meski hari libur, kerjaan saya menumpuk. Saya perlu energi.”“Kayak hp aja perlu isi daya segala. Manusia cuman perlu istirahat, Pak.”“Saya bukan manusia, mungkin saya semacam malaikat.” Arion terkekeh, menaikkan bahu tak peduli jika Airyn mencibir kepercayaan dirinya setinggi langit. “Nyaman sekali pelukan sama kamu, saya jadi semangat. Pegal saya hilang, tanpa dipijat.”“Aku pengap, mulai sesak napas. Lama banget isi dayanya, udah terhitung setengah jam lebih. Aku belum beberes, belum siapin sarapan. Memangnya Pak Arion nggak laper?”“Kalau sama kamu, saya tidak kenal laper.”Airyn tertawa cemooh. “Udah, Pak, jangan kebanyakan bercanda dan ngegombal. Aku mau cepat pulang, Pak Arion suka ngulur waktu.”“