Devin mengunci pintu kamar, dan menatap ke arah Beverly yang berdiri di sebelah tempat tidur sembari memeluk cuciannya.
“Sampai kapan kau akan membawa cucian itu, Bev?” tanya Devin. “Taruh di sudut sana.”
Beverly sedikit tertegun mendengar namanya disebut. Bev adalah panggilan kesayagannya, dan hanya orang-orang terdekatnya saya yang memanggilnya demikian. Namun entah kenapa, Devin diijinkannya memanggilnya dengan nama itu. Padahal dia selalu menolak bila bukan orang terdekatnya memanggil Bev.
Beverly mengikuti arah telunjuk Devin, tenyata di sudut kamar ada sebuah keranjang dari anyaman bambu. Tertutup oleh jacket yang digantung dan menjuntai ke atas keranjang. Sepatu kotor Devin ada di sudut seberangnya. Beverly segera mengambilnya dan meletakkan di dekat keranjang. Dia lalu berdiri di sebelah keranjang,
“Aku akan pergi selama beberapa hari, Marcus.” Marcus memandangi punggung Devin Chayton. Mereka berdua berada di kamar Devin dan mengunci pintu. Dibandingkan Andrew, Devin kerap memberikan instruksi pada Marcus di kamarnya, tertutup dan singkat. Dan pada kepala pelayan itu, Devin memberikan kepercayaan penuh sebagaimana dulu sejak Sabrina Brice kabur dengan kekasih gelapnya--Devin hanya percaya pada Marcus. “Boleh saya tahu, apakah ini berkaitan dengan Salina Beauty atau Amanda Harper?” Devin terdiam. Marcus cukup cerdas untuk mengetahui bahwa dia punya pekerjaan lain di luar Salina Beauty, meski tidak tahu apa. Sebagaimana Levin yang menjadi playboy di luar sana, Marcus tak hendak mengurusnya dengan detail. Kecuali Andrew yang memerintahkan. “Keduanya.”
Levin baru saja keluar dari Bank ketika tiba-tiba lengannya digamit seseorang. Dengan cepat lelaki itu menyadari bahwa yang menyeretnya ke sisi samping halaman Bank adalah seorang gadis yang telah dibuatnya kesal.Cindy Lau. Seorang gadis blasteran Asia-Eropa dengan kulit kuning langsat. Wanita yang selalu bisa memenuhi hasratnya namun belakangan ayahnya menunjukkan bukti bahwa dia adalah anak dari mantan ibunya. Jadi, gadis yang menyeret tangannya tanpa peduli Levin berusaha melepasnya tak lain dan tak bukan adalah saudara sedarahnya.“Lepaskan aku,” sergah Levin dan sekali hentak tangannya sudah terlepas dari cengkeraman Cindy. Gadis bermata setengah sipit itu membeliak marah, mengetahui reaksi Levin menolaknya.“Levin!” serunya marah, berkacak pinggang di hadapan lelaki yang lebih ti
“Nurse, apa itu Bella?” Suara berat Cleve dari dalam kamar membuyarkan ketegangan ketiga orang itu di depan kamar Cleve yang terbuka. Levin melepaskan pelukannya dari Bella, lalu membungkuk mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Sumpah, Bella sangat ingin menginjak-injak buket bunga itu seperti saat mendapatkan buket bunga yang sama di cafe. “Benar, Tuan Cleve. Nona Bella Artwater.” Levin mengerti kenapa perawat di depan mereka berdua memberikan penekanan di nama Bella dan mengucapkannya dengan sedikit menjulurkan lidah--mengejek, sebelum dia berlalu dengan nampan yang sempat disenggolkannya ke lengan Levin. Levin mendenguskan hidung, demikian juga si perawat yang dalam sekejap sudah tak nampak karena berbelok ke selasar yang mengarah ke lift.
Devin sudah mendapatkan kamar hotel sekaligus tiket konser. Hotel itu terletak tepat di depan stadion sepak bola yang akan menyelenggarakan konser. Devin menyewa dua kamar. Satu kamar untuk dirinya sendiri, dan satu kamar tepat di sebelahnya untuk melakukan eksekusi. Dia akan melakukannya serapi mungkin hingga polisi akan mengira kalau hater yang melakukannya. Kekuatan media sangat membantu Devin menjalankan rencananya. Meski kandidat terkuat, Jack Northeen adalah orang yang paling dibenci di kotanya. Banyak bukti mengarah padanya terutama peredaran serbuk terlarang. Namun, produk amalnya untuk memerangi kecanduan narkoba jauh lebih dipublikasi daripada isu-isu di belakang. Uang, bagaimanapun telah memenangkan segalanya. Malam sudah larut. Devin bersiap memasang snipernya di kamar sebelah. Dia keluar dari jendela
Entah kenapa, sebelum melakukan pekerjaan kecilnya, Devin terpikir Beverly Brennon. Karena dia adalah target pembunuhan sebelumnya. The Vow berjanji memberikan konfirmasi terkait pekerjaannya yang direcoki oleh pekerja lain, meski Devin yakin jawabannya pasti perintah untuk bungkam dan tidak usah banyak bertanya.Urusan politik dan jalur hukum adalah urusan The Vow. Devin hanya eksekutor.“Marcus? Kau di rumah apa main bilyard?”Marcus yang sedang menerima sambungan telpon darinya, berpamitan pada Andrew Chayton untuk keluar dari ruang bilyard yang berisik. Dia meminta Devin menunggu hingga sampai di area parkir.“Ya, aku besama Tuan Andrew Chayton.”“Masuklah ke mobil, aku mau bica
Devin memutar otak, berpikir keras begitu mengetahui bahwa Kick101, wanita panggilan yang disewanya adalah ibu kandungnya sendiri. Keluarga Chayton sudah lama tahu bahwa Sabrina Brice berprofesi sebagai wanita panggilan dan menjadi simpanan orang-orang penting, baik itu di pemerintahan ataupun di dunia bisnis. Dia adalah wanita yang paling dibenci oleh istri-istri pejabat, namun tak ada yang bisa membuktikan perselingkuhan suami-suami mereka.Baik Devin maupun Levin sama jijiknya dengan Andrew mengetahui profesi Sabrina Brice. Wanita buruk selamanya akan buruk, meski dia bertemu dengan lelaki yang baik. Namun Devin tak pernah mengingkari bahwa Sabrina adalah wanita yang melahirkannya.Darah pendosa telah mengalir dalam tubuhnya. Membuatnya merasa bahwa melakukan sebuah dosa adalah bagian dari menangkap para penjahat yang tak tersentuh hukum. Bahkan Robinh
Devin membuka mata ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Dia sontak duduk dan mereload memorinya sejenak, dengan mengambil ponsel di sebelahnya dan melihat jam. Dia baru tidur dua jam. Dan sekarang masih dini hari.Sebuah panggilan dari ayahnya yang tak terjawab lima menit yang lalu. Lalu beberapa pesan. Belum sempat dia membukanya, pintu diketuk semakin keras. Perlahan Devin bangkit dan mengintip melalui lobang kecil di pintu.Andrew Chayton berdiri di depan pintu dengan mantel tebal selutut dan syal melilit leher. Andrew selalu melindungi dirinya dari dinginnya angin malam dengan mengenakan mantel dan syal seperti biasanya.Mana Amanda?Devin membuka pintu.“Lama sekali,” gerutu Andr
Dua jam sebelum matahari terbit, Beverly sudah membuka mata. Kebiasaan barunya di Mansion Batista yang mengharuskan pelayan untuk ON dua jam sebelum hari baru dimulai, mulai terasa ringan baginya. Semula Irene harus mengetuk pintu kamarnya berkali-kali untuk membangunkannya. Dia lalu melipat selimut yang menutupi badannya sepanjang malam, saat tidur di sofa. Keluarga Harper sangat baik padanya, meski sama sekali tidak mengenalnya. Saat dia hadir untuk menyampaikan pesan dari Lusie Harper bahwa dia tidak bisa datang untuk menghadiri pemakaman mertuanya--karena sakit, keluarga yang berduka itu menyambutnya hangat. Bahkan memberinya tempat menginap meski hanya satu malam. “Nona Brennon?” Seorang wanita sebaya Lusie Harper muncul di ruang tengah, tempat Beverly tidur. Sepasang mata keriputnya tam
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.“Siapa dia?”“Istr
“Anda tidak akan percaya, Devin Chayton ada di Paris.” Bella tercekat, ludahnya terasa tertahan di kerongkongannya. Bagaimana mungkin Devin bisa ada di kota romantis itu? Kota idamannya yang akan dikunjunginya dengan lelaki pujaannya, Devin. “Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Bella di sambungan telepon. Tangannya terasa gemetar dan dadanya serasa meledak, ketika mendengar kabar dari Detektif yang disewanya. Untuk mendapatkan Devin kembali, dia nekad melakukan apa saja, bahkan mengeluarkan uang tabungannya. Dia harus mendapatkan cinta Devin karena pada Levin dia tak lagi punya harapan. Meski sudah menyerahkan jiwa raganya pada bungsu Chayton, lelaki itu itu masih saja haus dan mereguknya dari wanita lain. Seolah Bella tak pernah bisa memuaskannya. Padahal setiap malam Bella selalu
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Andrew merasa hidup seorang diri. Makan malamnya sejak kepergian Devin, hanya ditemani Marcus. Dia meminta Marcus duduk di sebelahnya, bukan untuk melayaninya makan, tapi untuk makam malam bersamanya.“Sebentar lagi Tuan Levin pasti datang,” hibur Marcus, melihat gurat kecewa di wajah majikannya. Sudah hampir tengah malam, Levin belum juga memberi kabar apakah akan pulang ke Batista atau tidak. Sejak kepergok Marcus di cafe milik Bella, Marcus belum melihat Levin memasuki Batista hampir dua hari. Lelaki itu pasti disibukkan dengan memohon maaf pada Bella Artwater.Dan Andrew tak pernah menyebut nama Levin semenjak surat dari Devin datang. Lelaki sebaya Marcus itu diliputi kerinduan pada anak sulungnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kadang tanpa sadar dia menanyakan pada Marcus apakah Devin sudah pula
Andrew meremas surat di tangannya. Dadanya terasa berat, sepertinya sesak napasnya akan kambuh. Marcus yang berada di sebelahnya, sudah melihat gelagat majikannya. Napas Andrew mulai pendek dan berat.“Saya ambilkan obat, Tuan?”Andrew menggeleng. Dia lalu melemparkan surat yang sudah diremasnya ke lantai. Marcus hanya melirik gumpalan kertas itu jatuh tak berdaya. Masih bagus Andrew tidak merobeknya, jadi dia bisa menyimpan surat itu nanti. Biasanya Andrew akan mencari surat itu lagi bila hati dan kepalanya sudah dingin.“Mana Levin?”Marcus menelan ludah. Pertanyaan tentang Levin adalah soal yang paling sulit untuk dijawab. Marcus tidak ingin anak itu menjadi sasaran kemarahan ayahnya lagi. Lagipula dengan dimarahi, tidak akan membuat Levin menj
Devin tak melepas sedetik pun tangan istrinya. Meski Beverly berjanji untuk tidak melepaskan diri, namun kini Devin bukan lagi orang yang sama dengan dua puluh empat jam sebelumnya. Kini mereka sama-sama tahu bahwa pasangan mereka adalah orang yang diberi tugas untuk membunuh pasangannya.Bukan hal yang mudah bagi keduanya kini untuk membangun rasa saling percaya, meski setelah semua rahasia itu terbongkar, napas dan kulit mereka menyatu berbalur peluh. Baik Devin maupun Beverly tak hendak menanyakan apakah masih ada cinta di dada mereka masing-masing setelah apa yang terjadi. Bahwa mereka telah saling mengejar untuk saling membunuh–demi sebuah tugas dari organisasi tempat mereka bernaung.Kapal yang ditumpangi keduanya sudah memasuki perairan lepas dan mereka kini bebas hendak pergi ke manapun. Meski yakin para polisi pasti akan memburu bahkan mungkin me
Wajah Andrew mengerut, menampakkan usianya yang semakin renta. Ditambah dengan kemarahan yang tampak berusaha ditahannya. Napasnya tak lagi sesak, tapi semua orang bisa melihat lelaki yang masih tampak gagah di usianya itu, mengepal kedua tangan hingga gemetar. Marcus menarik lengan Levin, menyuruhnya menyingkir, masuk ke dalam kamar. Semula Levin menolak. Dia ingin menikmati momen di mana akhirnya Devin berhasil membuat Andrew Chayton murka. Selama ini, hanya Levin yang selalu berulah, membuat Mansion Batista berkali-kali heboh, kisruh dan pusing tujuh keliling. Kini giliran Devin, begitu mudahnya terkuak di depan semua orang. Dan tanpa ada yang bersangkutan hadir untuk membela diri. “Sejak kapan kau tahu, Irene? Apa yang sudah mereka lakukan?” tanya Andrew, sembari melangkah mendekati Irene, mengesampingk
Mansion Batista bangun sebelum waktunya. Para pelayan dikumpulkan di halaman oleh polisi, dan Irene menjadi orang yang paling sibuk. Semua pelayan diinterogasi, membuat suasana dini hari menjadi sangat kacau, karena mereka terpaksa dibangunkan oleh suara tembakan.Andrew berada di ruang kerjanya, mengenakan piyama. Duduk di kursi dengan kening berkerut. Polisi telah mengganggu istirahatnya, dan itu artinya harus ada harga yang harus dibayar. Mereka telah masuk dengan paksa dan membuat Andrew benar-benar marah.Komisaris berdiri di hadapannya dengan beberapa anak buahnya.“Kalian telah mengusik mansionku, tanpa seijinku!” sergah Andrew dengan nada meninggi, dan Marcus terpaksa menyentuh bahu majikannya, berusaha agar Andrew lebih tenang. Bagaimana tidak, Komisaris baru pengganti Komisaris Ho
“Berapa orang yang diperlukan untuk menangkap Devin Chayton?” gumam Devin, sembari merunduk di balik sebongkah batu. Cahaya senter tak satupun mengenainya. Para pengejar telah melewatinya, membuat Devin bisa beristirahat sejenak. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah mendekat. Devin mengintip dari balik batu, dan dia mengenali gestur dalam kegelapan–yang rupanya ketinggalan jauh dari teman-temannya. Saat gestur itu mendekat, Devin langsung melompat dan menyergapnya. Mereka berdua jatuh terguling-guling, dan semakin terguling-guling karena ternyata berada di lereng bahu sungai. Seingat Devin, sungai ini sudah lama kering karena hulunya sudah dibuntu. Orang yang berhasil ditangkapnya, hanya mengerang kesakitan dalam pelukannya saat mereka akhirnya terbanting dan sama-sama terkapar di dasar sungai yang dipenuhi daun kering.