"Woi neduh dulu baju lo basah semua itu."
Jantung Nara kembali heboh. Ia tahu itu suara Raffa. Dirinya tak menyangka Raffa akan menarik lengan bajunya lalu menyeret Nara seperti anak kucing.
"Engga ah gue mau langsung pulang." Nara melepaskannya. Sadar sedang diperhatikan keempat cowok itu, Nara menahan malu.
Nara dan Raffa berhadapan dan bertatapan cukup lama.
"Keras kepala." Celetuk Raffa.
Masa bodoh dengan ketiga temannya Raffa, ia berlari pergi begitu saja meninggalkan mereka.
#
Besoknya Nara demam, hari ini ia izin masuk sekolah.
Kemarin, pulang sekolah Kiki mengomelinya habis-habisan. Benar yang dibilang mamanya, Nara sakit hari ini. Badannya panas disertai flu.
Seharian ini dirinya cuma berbaring di kasur, tidur, makan, main handphone, tidur lagi. Begitu seterusnya sampai keesokan harinya, panasnya turun. Nara memutuskan masuk sekolah meski membujuk Mamanya tidak gampang.
Hari ini, Nara ke sekolah dengan membawa persediaan tissue sebab hidungnya meler. Pagi ini Kiki menyodorkannya sup ayam hangat guna meredakan flunya.
Papanya juga mengantarnya ke sekolah. Katanya Firdaus juga akan menjemput Nara pulang sekolah nanti. Jadi dia tidak perlu repot-repot jalan kaki naik angkot.
#
"Naraaa i miss you."
Baru saja masuk kelas, Nara langsung disambut teriakan Erika.
"Jangan lebay, ah. Baru sehari doang."
"Jadi gini, Na. Kita semua dikasih tugas sama Bu Dwi pelajaran bahasa inggris, disuruh praktek nyanyi dalam bahasa inggris. Nah, kalo kita bisa main alat musik, dapet nilai plus loh."
Nara mengerutkan alisnya. "Aduh, gimana dong. Gue gak berani!"
Erika menyentil jidat Nara, membuat korbannya mengaduh kesakitan.
"Suara lo bagus ya, Na. Gak usah gak berani segala. Suara gue nih cempreng tapi tetep pede nyanyi. Intinya mah berani dulu jelek atau bagus itu urusan belakangan, Nara."
"Iya. Tapi-"
Perkataan Nara harus terhenti karena Erika menutup mulutnya dengan tangan.
"Jangan banyak alasan. Lo pinter nyanyi, dan pinter main piano. Istirahat nanti kita pilih lagu. Kemarin, gue udah kasih tau Bu Dwi kalo lo bisa main piano. Dan tebak apa? Bu Dwi kaget, Na." Cerocos Erika tiada henti.
Hanya helaan napas lelah yang Nara keluarkan. Ia tahu suaranya bagus, meski jarang menyanyi. Masalahnya adalah, Nara terlalu takut berdiri di depan umum. Takut jadi pusat perhatian. Dan takut melakukan kesalahan. Level kepercayaan dirinya sangat buruk.
"Nanti kita latihan bareng. Tenang aja." Ujar Erika seraya menepuk-nepuk pundak Nara. Menenangkan sahabatnya.
"Gue gak sabar denger suara lo. Hehe kapan lagi coba bisa denger lo nyanyi."
Cewek itu paham sekali, Nara sering kali merasa insecure terhadap dirinya sendiri. Padahal, menurut Erika perempuan berambut sebahu itu mempunyai banyak kelebihan. Nara tidak begitu cantik, tapi dia sangat manis. Sifatnya juga tidak neko-neko. Kemampuan bela diri sejak kecil sudah dia tekuni. Menyanyi? Suara merdu, main piano juga bisa. Lantas, apa yang harus ditakuti? Itu semua hanya pikirannya saja. Nara harus menunjukkan ke dunia bahwa dia ada.
#
"Siniin hapenya!"
"Ya udah nih. Silakan diperiksa. Orang gak ada apa-apa juga."
Sebentar lagi bel masuk berbunyi tapi Raffa dan Thalia malah bertengkar di koridor. Semua orang yang berlalu lalang berbisik-bisik menyaksikannya. Sepasang kekasih yang dijuluki couple goals itu kini berantam.
Thalia kesal karena tadi malam Raffa online tapi gak membalas pesan darinya. Diperiksanya seluruh isi pesan di ponsel Raffa. Memantau apa saja aktifitas pacarnya semalam.
Raffa menyandarkan punggungnya ke tembok, tangannya bersidekap di dada. Memperhatikan Thalia yang sibuk memeriksa ponselnya sambil bersungut-sungut.
"Ayolah, kemarin aku capek banget abis latihan basket. Terus pulang ke rumah aku ngurus Vio, dan udah keburu ngantuk jadi ngecek hape cuma liat grup doang. Udah ya, sayang." Raffa menjelaskan dengan sabar. Ia tahu tidak ada gunanya bertengkar karena hal sepele.
"Oke. Kalo gitu ini hp kamu untuk sementara waktu aku simpen ya." Ucapnya sambil mengangkat ponsel Raffa.
Raffa tidak terima. Direbutnya benda pipih itu dari tangan Thalia. Sayangnya, cewek itu ikutan menarik. Terjadilah tarik-tarikan ponsel.
"Gak bisa, Lia. Nanti kalo papa aku nelpon gimana? Temen-temen aku ngehubungin gimana?"
"NANTI PULANG SEKOLAH AKU BALIKIN!"
"Lia-"
"Hei, kalian kenapa masih di luar kelas? Masuk sana!" Pak Rudi tiba-tiba datang membawa rotan.
Raffa dan Thalia kembali ke kelas masing-masing. Dan ya, ponsel Raffa berhasil direbut Thalia. Hal itu membuat Raffa kesal setengah mampus bahkan ketika memasuki kelas.
Sifat Thalia yang sangat cemburuan dan overprotective memang sering membuatnya sebal. Walaupun begitu, entah kenapa Raffa sangat susah untuk tidak mengalah padanya. Hanya saja ia terlalu gak enakan.
Langkahnya berjalan menuju tempat duduknya yang ada di meja paling belakang. Spot ternyaman untuk tidur. Tetapi sayang, Raffa jarang tidur di kelas. Palingan Bintang, teman sebangkunya.
"Kusut amat muke lu." Tegur Bintang.
"Belum gua setrika." Jawab Raffa asal.
Saat ini Bu Balqis, guru matematika belum masuk juga. Semua siswa berharap beliau tidak masuk sekalian. Siswa mana yang tidak pernah berdoa begitu?
Bintang membuat gesture seolah sedang meneropong dengan kedua tangannya, dia mengarahkan ke wajah Raffa.
"Paan, sih."
"Lo sama Thalia emang random, bro. Bentar baikan bentar berantem. Gitu aja terus sampe Salma nikahin gue." Yap, Salma adalah pacar Bintang saat ini.
Bola mata Raffa berputar, jengah dengan pembahasan ini. "Udahlah. Mau gimana lagi, emang gitu anaknya."
"Adem lamaan dikiiit aja."
"Dahlah ga usah dibahas."
#
Jam istirahat pertama.
Nara dan Erika sedang menunggu pesanan datang sembari memilih lagu apa yang cocok untuk mereka nyanyikan minggu depan. Ralat, lebih tepatnya Erika yang semangat mencari. Mengutak atik ponselnya yang hari ini dia bawa.
Sementara Nara hanya bengong tak bersemangat. Jujur, badannya masih lemas. Hidungnya juga gak berhenti mengeluarkan lendir. Entah sudah berapa kali dia mengganti tissue hari ini.
Matanya melihat sekeliling. Sangat ramai. Nara pasti akan sangat merindukan suasan kantin kalau sudah tamat nanti. Sampai ketika matanya berhenti di salah satu meja yang sedang diduduki sepasang kekasih.
Raffa dan Thalia.
Terlihat Thalia yang tengah menyuapi Raffa. Keduanya tertawa bersama ketika mulut Raffa penuh dengan makanan yang disuguhkan. Sekarang gantian, Raffa menggerakkan tangannya merebut sendok dan menyuapi Thalia.
Pemandangan itu membuat hati Nara teriris. Tak terasa air matanya menetes tanpa perintah. Matanya tidak lepas dari dua sosok itu.
Satu hari Nara gak melihat Raffa, sekalinya nampak malah keromantisan bersama pacarnya. Perih memang. Apalah daya perasaan ini gak bisa ia kendalikan.
"Jadi gitu, Nar."
Erika menyadari bahwa Nara sedari tadi tidak memperhatikannya. Ia mengikuti ke mana arah pandangan Nara. Kemudian, tangannya terangkat menyapu air mata Nara.
"Udah gak perlu ada yang disedihin."
"Gue udah usaha tau. Gue juga gak mau suka sama Raffa karena tahu ini pasti nyakitin. Tapi hati gue yang milih sendiri." Oceh Nara tanpa sadar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Erika mengelus pundak Nara. "Iya gue paham."
Beberapa saat kemudian, makanan datang. Erika membujuk Nara untuk makan.
"Ini kan bakso kesukaan lo. Makanlah kan udah pesen."
Erika memang sahabat yang baik. Nara sangat beruntung bertemu dengannya. Sangat bersyukur. Akhirnya, Nara memakan bakso itu. Tidak pedas, karena dia tidak suka. Berbeda dengan Erika yang penggemar pedas.
"Dorr!"
Sedang asyik makan, tiba-tiba Nara dan Erika dikejutkan oleh kedatangan Geovan.
Bahkan Erika sampai tersedak dibuatnya. Nara panik dan segera memberikannya minuman.
"Uhuk uhuk!"
"Eh, kak Erika. Sorry..." Ucapnya sambil menaruh mangkok mie ayam. Ia duduk berhadapan dengan kedua cewek itu.
Makanya jangan ngagetin." Nara bersuara.
"Iya iya maaf."
"Untung lagi makan. Kalo enggak udah gue tinju lo." Erika mengancam, lantas dia lanjut makan.
"Buset galak-galak amat, sih. Gue mau temenan sama kalian. Jangan pada galak, dong."
Nara sudah selesai makan. Dia minum air hangat yang dipesannya. "Ya makanya kalo gak mau digalakin jangan ngeselin! Ya adek.. "
Geovan mengangkat bahunya acuh. Dia melanjutkan makan mie dengan santai.
"Lo abis nangis, kak?" Telunjuknya mengarah ke Nara.
Tangan Nara mengibas-ngibas di udara seraya membersihkan ingusnya yang meler. "Enggak! Gue pilek."
"Dia sakit kemarin lusa main hujan-hujanan." Sahut Erika.
"Oh my god! Kak Dendiiii!"
"Ganteng banget Kak Bintang."
"Rizkiii i love you so much."
Sorak-sorak adik kelas yang paling heboh terdengar seisi kantin. Mengganggu acara makan Nara dan Erika.
"Apaan sih adik kelas yang baru masuk, alay banget. Kayak gak pernah liat cowok aja." Gerutu Erika tak suka.
Nara mematung menyadari siapa yang baru saja membuat kehebohan. Itu adalah ketiga teman Raffa kemarin di kedai. Sejujurnya, Nara hafal wajah-wajah mereka tapi tidak dengan namanya.
Diam-diam kemarin Nara ngestalking mereka berempat, termasuk Raffa. Fakta yang ia ketahui ; mereka bersahabat dan sama-sama masuk di klub basket sejak kelas satu.
Ketiga dari mereka sungguh bucin. Bintang punya pacar namanya Salma, Rizki punya pacar namanya Veni, Raffa gak usah ditanya. Dendi? Nara tidak tahu, isi instagramnya dipenuhi video game. Kalau soal stalking, Nara jagonya.
Semakin dia kepo lebih dalam, semakin Nara merasa tidak ada apa-apanya dibanding circle Raffa.
"Kak Nara, lo suka kodok zuma gak?"
"Hah?" Lamunan Nara harus terbuyar ketika pertanyaan random Geo ditujukan padanya.
Erika dan Geo tertawa bersama melihat ekspresi cengonya Nara.
"Lagian lo bengong mulu, sih. Hahaha."
Nara tertawa canggung sambil minta maaf. Ia sadar akhir-akhir ini sering melamun.
Percakapan mereka semakin seru. Geo sering melontarkan lelucon garing yang bikin Erika dan Nara ingin meninjunya. Sampai Nara tertawa terbahak-bahak hingga ingusnya keluar tanpa sengaja. Lantas mereka bertiga tertawa bersama menyaksikan itu.
#
Sepulang sekolah, Nara ingin membantu mamanya mengemas barang. Tapi perempuan paruh baya itu melarangnya dengan alasan Nara harus istirahat karena masih terlihat lemas. Ah iya, pulang tadi Nara dijemput papanya jadi tak payah menunggu lama.
Habis shalat ashar, Nara mengerjakan PR catatan sejarah. Alasannya, dia malas kalau harus menunda. Rasanya kurang bebas saja.
Nara juga video call-an dengan Erika, membahas tentang lagu. Finalnya, Nara memilih lagu Love Story dari Tailor Swift. Dan Erika memilih lagu At My Worst dari Pink Sweets.
Rencananya besok istirahat kedua, mereka ingin latihan di ruang ekskul musik. Meminjam piano dan gitar di sana. Ah iya, Erika akan bermain gitar nantinya.
Hari berganti malam. Sang Surya bergantian dengan bulan demi menghiasi langit.
Malamnya sehabis maghrib, Nara minta izin ke Papa Mamanya ke minimarket dekat rumah mereka untuk membeli susu full cream. Bisa dibilang Nara itu maniak susu. Stok susu di kulkasnya sudah habis. Dia tidak mungkin diam saja. Setelah membujuk Kiki-Mamanya, Nara akhirnya diberi izin.
Cewek itu keluar memakai hoodie hitam yang menutupi sampai kepala, celana training warna hitam dengan dua garis putih, serta sendal jepit kebanggaannya.
Jalan menuju ke minmarket tersebut gak terlalu jauh. Letaknya di pinggir jalan raya. Nara harus melewati tiga gang untuk ke sana. Omong-omong, Nara tinggal di gang yang padat penduduk. Banyak bocah-bocahnya ketimbang remaja seperti Nara.
Sampai di sana, Nara mengambil dua kotak susu berukuran sedang. Lalu langsung pulang ke rumahnya sesuai amanah Tata.
Sambil bersenandung kecil, Nara berjalan sambil memeluk kotak susu. Namun, ketika melewati tempat yang sepi dekat minimarket, Nara mendengar suara berisik. Ia penasaran. Kakinya mendekat, mengintip lewat tembok besar yang menghalangi.
Tampak seorang cewek berpakaian baju tidur sedang diganggu oleh dua orang cowok yang bisa ditebak adalah preman, penampilan keduanya yang sangat nyentrik disertai tato.
Amarah Nara membuncah saat salah satu dari mereka mencoba memegang tangan cewek itu. Dan yang satunya lagi mengelus rambut si cewek.
Dia tidak bisa tinggal diam. Dengan segala keberanian yang ada, Nara menghampiri mereka. Susu kotaknya ia sembunyikan di sana.
"WOI, CUPU!"
Ketiga orang itu melihat ke sumber suara. Cewek yang diganggu itu cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Nara.
Dua preman tersebut menertawakan Nara. "Hahaha. Haduh dek ngapain sih sok ngebentak gitu? Mau abang godain juga?"
Tangan Nara dipegang, segera dia hempaskan.
Kaki Nara melayang di pipi preman yang berkumis, membuatnya kaget dengan apa yang dilakukan Nara.
Gesture Nara bersiap meninju, kedua tangannya dia kepalkan. "Berani kok sama cewek. Cih, dasar cemen!"
Preman berambut pirang maju duluan. Ditariknya rambut Nara dengan kuat, wajah Nara mendongak ke atas. "Jangan sok jagoan deh lu." Ucapnya.
Nara gak tinggal diam. Sikunya meninju perut si preman berambut pirang. Hingga dia kesakitan memegang perutnya.
"Akh! Cewek sialan!"
Preman berkumis maju menarik kerah hoodie milik Nara, lalu menampar pipi Nara dengan tenaganya. Nara kesakitan. Seperti kesetanan, wajahnya kini memerah menahan amarah.
Nara maju dan baku hantam dengan dua preman tersebut. Karena mereka dua orang, tubuhnya juga lebih besar, akhirnya Nara kalah. Pipinya ditampar dua kali. Kakinya juga terkilir kena tendangan si preman. Sekarang, Nara tersungkur. Ia meringis, lututnya lecet terkena batu jalanan.
"Mampus kalah kan lo!"
"Makanya jangan sok jago!"
Si cewek yang diganggu kembali ditarik oleh dua preman.
"Bangsat, lo ya!"
Tiba-tiba seorang cowok datang menghajar dua preman itu habis-habisan. Tenaganya sangat kuat.
Nara melotot menyadari siapa orang itu. Otaknya mendadak sulit mencerna ini semua. Bagaimana bisa Raffa ada di sini? Entah dari mana datangnya anak itu.
"Kamu gak papa dek?" Tanya cewek yang diganggu tadi. Dia berlutut di hadapan Nara. "Ya ampun, bibir kamu."
Gelengen pelan Nara berikan sebagai jawaban. "Mbak gak papa? Cepetan kabur, mbak. Udah ada aku sama dia yang ngatasin. Mbak aman sekarang."
"Iya makasih banyak ya, dek. Titip makasih juga sama temennya ya."
"Sama-sama. Pulang terus mbak. Lain kali hati-hati."
"Iya. Mbak pulang ya." Perintah Nara dituruti cewek itu, dia pergi sambil menangis.
Nara masih terduduk di bawah. Ia melihat dua preman itu lari terbirit-birit sehabis dihajar Raffa.
"Lu gak papa?" Tanya Raffa panik. Ia berlari mendekati Nara dan memeriksa lukanya.
Mata Nara membola menyaksikan darah mengalir dari tangan Raffa. Sepertinya itu luka kena benda tajam. Juga sudut pipinya yang lebam kebiruan.
"Heh lu ditampar kan? Ini sudut bibir lu berdarah."
Ditanya begitu, Nara malah menangis. Tangan gemetarnya memegang lengan Raffa yang berdarah. Ia tidak sanggup, ini semua karenanya.
"Kok nangis? Nara. Pasti sakit kan luka lo." Raffa memegang bahu Nara. "Mana lagi yang sakit?" Cowok itu semakin panik sebab Nara tidak menjawab, tetapi menangis.
Raffa membantu Nara berdiri.
"Pasti sakit kan, Raff. Sini gue obatin. Lo juga ngapain nolongin, sih. Kan jadi ikutan luka." Air mata memenuhi pipi Nara. Tidak seharusnya Raffa datang. Lihat? Lukanya bahkan lebih parah tapi laki-laki itu sibuk menanyai keadaan dirinya.
Tidak mau banyak bicara lagi, Raffa membantu Nara yang kakinya sakit itu berjalan keluar gang. Membawanya duduk di kursi dekat minimarket, tempat dimana motornya masih terparkir.
"Eh susu yang gue beli di sana."
"Susu?"
Akhirnya, Raffa membantu Nara berjalan mengambil dua kotak susu yang diletakannya di atas tanah.
Nara membuka hoodie miliknya lalu melilitkannya di tangan Raffa yang berdarah karena luka sayatan.
"Nara, lo pake kaos doang ini dingin hei!"
"Diem, gak!"
"Ayo, pulang. Gua antar lu." Ajak Raffa sambil bangkit berdiri. Dia kelihatan baik-baik saja. Hoodie tebal Nara terikat asal di lengannya.
Nara menatap Raffa lamat-lamat. "Gak usah gue bisa pulang sendiri." Tolaknya.
"Ck. Jangan keras kepala. Ayo buruan gua antar. Gua tau rumah lu di sekitar sini, kan?"
Nara berdiri, lalu mengekori Raffa menuju motornya. Dia gak mau diantar, takut ada anak sekolah mereka yang melihatnya dan jadi gosip. "Pulang sana. Gue bisa sendiri."
"Nara, please. Jalan lo aja pincang gitu."
Gelengen pelan Nara berikan. "Gue takut ada yang salah paham."
Hembusan napas jengah Raffa terdengar. Cewek di depannya ini terlalu banyak basa-basi. Tanpa mau mendengar lagi, Raffa menuntun Nara untuk naik ke motornya.
Setelah perdebatan cukup lama, Nara pun mau diantar. Ia harap papa dan mamanya tidak salah paham nanti.
Motor hitam itu berjalan memasuki gang rumah Nara yang lumayan ramai anak kecil. Mereka berhenti di depan pagar rumah bercat biru. Rumah Nara.
Nara turun dari motor dibantu Raffa. Nara gak paham, Raffa sama sekali tidak meringis padahal lukanya lebih parah. Hoodie hitam Nara menutupi luka itu.
"Ya ampun, Nara. Kamu kenapa, Nak? Mama tungguin loh dari tadi kok gak pulang-pulang padahal cuma beli susu doang katanya." Ceriwis Kiki sampai tak menyadari keberadaan Raffa di sana.
"Panjang ceritanya, Ma." Nara berjalan dibantu Raffa.
"Loh ini siapa?"
"Loh ini siapa? Kok muka kalian pada luka gitu?Sini masuk nak masuk."Kiki membantu Nara yang kesusahan berjalan karena betisnya sakit ditendang. Ia juga mempersilakan Raffa duduk di sofa."Kalian tunggu di sini dulu ya. Mama bawa kompres dan obat-obatan lainnya." Kiki panik, dia berlari cepat ke dapur."Papa anaknya ini lukaaa."Firdaus buru-buru keluar dari kamarnya. "Ya ampun. Kok bisa gini, Ra? Ini temennya juga lebam gitu."Nara menceritakan kronologinya. Kedua orang tua Nara terkejut.Nara dan Raffa duduk bersebelahan di sofa yang sama."Sini sini Mama obatin. Nama kamu siapa nak? Temennya Nara ya?" Tanya Kiki sembari menyiapkan kompres handuk pakai air hangat.Gadis itu membuka balutan hoodie di tangan Raffa. "Ma, Pa. Luka Raffa harus cepet diobatin nanti infeksi.""Ya Allah. Pa, papa obatin Nak Raffa. Mama ngurusin Nara ya. Sana cepetan!" Perintah Kiki."Iya
"Ma, Nara jogging ya ma. Boleh ya?""Gak usah. Di rumah aja. Nanti kamu kehujanan." Timpal Kiki yang sedang mencuci piring.Nara meletakkan kepalanya di atas meja makan. "Papa aja ngizinin masa mama enggak."Masih pukul tujuh pagi, Nara membujuk Kiki. Ia ingin pergi jogging di pagi ini. Tetapi, Tata melarangnya dengan alasan cuaca sedang mendung. Nara sudah bilang kalo mendungnya palingan cuma sebentar, nanti matahari pasti terbit lebih cerah. Tetap saja mamanya itu kekeuh. Sifat keras kepala Nara memang turunan dari Ibunya."Ya udah cuci dulu sepatu kamu, tuh. Baru boleh pergi.""Udah dicuci, Ma. Kemarin pulang sekolah langsung Nara cuci."
Pulang sekolah, selesai makan Nara membantu Papanya membersihkan ubi ungu dari tanah yang menempel. Di belakang rumah Nara, ada gubuk khusus yang dibuat Firdaus. Biasanya tempat itu digunakan untuk keperluan hasil kebun.Nara memakai kaos oblong warna biru dan celana panjang hitam. Keringat membasahi baju. Tangannya dengan sigap merontokkan tanah di ubi dengan sikat.Firdaus juga di sana. Dia sedang memisahkan wortel, ubi ungu, tomat, dan timun ke keranjang masing-masing."Nih, minuman sama rotinya ya." Kiki datang membawa nampan berisi makanan. Lalu ikut duduk di sana."Makasih, Ma." Ucap Nara."Nara, yang kemarin itu beneran temen kamu?" Tanyanya kepo. Nara merasakan ada maksud lain."Iya, temen, Ma. Kenapa?"Kiki menggeser duduknya menjadi lebih dekat ke Nara."Ganteng tau. Kamu gak mau sama dia?"Nara mengangguk semangat. "Maulah. Aku kan emang suka sama dia, Ma. Tapi dia udah puny
Nara sedang menemani Papanya mengantar hasil kebun dengan menggunakan mobil maxim, untuk diantar ke penjual buah yang sudah memesan. Mobil ini hanya pinjaman dari sahabatnya Firdaus."Wih seger-seger ya, Daus." Puji Pak Toni, si pembeli yang seumuran dengan Firdaus."Yo jelas. Baru semua ini boss." Firdaus menanggapi.Nara membantu mereka menurunkan buah-buahan dan sayuran ke tempat yang disediakan."Dek Nara, sehat?" Tegur Hesti, istri Pak Toni."Alhamdulillah, Bu sehat." Nara menyunggingkan senyum.Ya, suami istri itu memang langganan Firdaus. Nara sudah mengenal mereka karena dia sering menemani Papanya.Selesai.Firdaus berbincang sebentar dengan Pak Toni. Nara memutuskan kembali ke mobil. Saat Nara baru saja akan membuka pintu mobil, ia mendengar teriakan dari arah kiri."COPET!""COPET!""TOLONG ADA COPET!"Seorang Ibu-ibu berter
Sore ini Nara sedang asyik memotret pemandangan sore di taman yang biasa dia datangi kalau suntuk mau ngapain. Mengandalkan kamera ponsel, Nara berhasil menjepret beberapa gambar aesthetic. Cewek itu lumayan tertarik di bidang fotografi, foto-foto miliknya ia kumpulkan di instagram.Mata Nara terpaku pada suatu objek di ujung sana, dekat danau. Ada seseorang yang sangat mirip dengan Raffa. Nara sampai mengucek mata lalu melihatnya lagi. Benar. Tidak salah lagi, itu adalah Raffa. Memakai jaket hitam, celana pramuka sekolah, serta sendal jepit.Perlahan tapi pasti, Nara melangkah mendekati cowok yang berada di bawah pohon itu. Nara membuat langkah tanpa suara, berjalan di balik pohon.Samar-samar Nara mendengar suara isak tangis dari sana. Ia tertegun menyadari itu."Raffa."Nara menampakkan diri, duduk di samping Raffa yang terlihat tengah menghapus air matanya.Hening beberapa saat."Astaga, Raffa.
Sabtu. Akhirnya, hari ini Erika masuk sekolah. Nara dan Erika melompat kesenangan sambil berpegangan tangan. Keduanya sedang duduk di dalam kelas, menunggu bel berbunyi. "Er, lo tau gak. Geo kemarin nanyain lo." Ungkap Nara terus terang. Erika terdiam. Ingin senang, tapi ia tahu bahwa Geo sukanya sama Nara. Sudah dua hari ini Erika dan Geo tidak saling bertukar pesan. Rasanya kosong. Melihat Erika terdiam, Nara menggoyangkan tubuh cewek itu. "Kok bengong, sih. Gue gak bohong. Serius." Ucapnya seraya mengangkat dua jari. "Udah, ah. Ngapain sih bahas dia." Tutur Erika. Ketukan di jendela membuat dua orang itu menoleh. Geo di sana, sedang menyengir lebar. Kepala dia masukkan melalui jendela. "Kayak biasa, Kak. Pulpen." Nara memberikan pulpen miliknya. "Pulpen lo udah sama gue. Hati lo kapan?" Tawa Nara menyembur mendengarnya. Bahkan dia sampai memukul meja.&nb
Pagi ini Nara sangat lemas dan kepalanya pusing. Tadi dia buru-buru datang ke sekolah karena bangun terlambat, makanya Nara tidak sempat sarapan. Ditambah lagi, sejak kemarin asam lambung Nara kambuh, perutnya sakit.Untuk berdiri di bawah panas matahari seperti ini butuh tenaga, mendengarkan amanat pembina upacara yang sangat panjang membuat Nara semakin pusing.Berulang kali Nara menguatkan dirinya agar bisa bertahan minimal sampai selesai upacara. Namun, pandangannya mengabur. Suara di sekitar bahkan tidak lagi terdengar. Akhirnya, tubuh Nara ambruk seketika."Eh, Nara!" Erika yang di sebelah Nara segera menahan agar tidak jatuh.Anak PMR yang berjaga dengan cepat membantu, serta menyiapkan tandu untuk mengangkat Nara.Tiba-tiba tak disangka, Kevin datang dan mengangkat tubuh Nara dengan tangannya."Kelamaan. Udah biar gue aja." Ucapnya sebelum pergi, berjalan menuju UKS. Diikuti Erika yang mengekor.
Sesuai janji, Erika dan Geo akan pergi sore ini. Cowok itu akan menjemput Erika ke rumahnya, untuk pertama kali. Rencananya mereka akan menonton bioskop dulu, tujuan selanjutnya terserah Geo, itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting jalan bareng.Saat ini Erika tengah bersemangat memilih baju mana yang akan ia pakai. Seisi lemari habis berantakan dibongkarnya. Vano masuk ke kamar, seperti biasa berdiri di ambang pintu tanpa alasan yang jelas."Ngapain sih lo. Ntar dimarahin Mama loh." Komentar Vano."Bacot pengangguran. Cari kerja sana.""Eh mulutnya minta di tempel pake dollar ya." Ucapnya nyolot."Berisik! Sana, ah!"Erika mendorong tubuh Vano, memaksanya keluar kamar. Kemudian, dia mengunci pintu.Setelah memilih beberapa lama, akhirnya pilihan Erika jatuh pada kaos putih, celana ripped jeans, serta luaran jaket jeans. Simple. Erika tidak suka ribet. Untuk tatanan rambut, ia biarkan saja rambut hitamnya terge
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga. Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja. Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh. Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Nara mematung mendengar penjelasan panjang dari Geo. Cewek itu membelakanginya sejak tadi."Kak Nara, maaf. Maafin gue sama Erika, ya." Ujar Geo menyesal, dia menundukkan kepala.Keduanya sedang berbincang di halaman depan rumah Erika. Sore ini Nara memutuskan menjenguk Erika dan ya, dia melihat sendiri bagaimana keadaan sahabatnya itu. Bahkan ketika ia mengetahui yang sebenarnya, Nara belum mau berbicara dengan Erika maupun Geovan.Hembusan angin sore membuat daun dari pohon mangga berjatuhan ke atas rumput. Rambut pendek Nara menari-nari bersama udara. Kelopak matanya dipenuhi air yang sekali kedip saja bisa tumpah membasahi pipi.Hatinya terlalu nyeri untuk mengatakan sepatah kata. Nara terisak sampai menutup mulutnya sendiri, takut tangisnya terlalu keras.Dia hanya tidak menyangka ini akan terjadi. Sahabatnya. Masa depan Erika sudah hancur. Kena
Hari ini adalah pembagian rapor anak SMA Nusantara. Sabtu pagi ini sekolah dipenuhi para orangtua siswa yang akan bertemu dengan wali kelas anaknya. Nara mengajak Firdaus untuk mengambilkan rapornya. Kebetulan hari ini Papanya itu sedang libur kerja. Nara tidak mau Mamanya yang datang karena itu akan berbahaya, beliau pasti akan menceramahi Nara jika nilai rapotnya di semester ini sangat jelek. Berbeda dengan Papanya yang santai saja."Sabar ya, Pa. Nama Nara sebentar lagi dipanggil, kok." Bisik Nara pelan. Ia menepuk paha Firdaus.Saat ini ayah dan anak itu tengah duduk di bangku kelas Nara, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas.Mama Erika baru saja selesai mengobrol dengan wali kelas, entah kenapa dia tampak terburu-buru ingin pulang ke rumah. Nara mengerutkan kening keheranan, Bu Lia sama sekali tidak menyapa dirinya dan juga Papanya. Padahal, selama ini mereka kenal dekat. Dan juga Erika, cewe
Sorak sorai penonton bergema di lapangan basket pagi itu. Pertandingan berlangsung seru. Kemeriahan Hari Kamis ini semakin menggebu kala tim Raffa berhasil mencetak poin kemenangan.Semua supporter berdiri sambil berteriak dan memukul balon tepuk. Nara bertepuk tangan, sesekali ia menutup gendang telinganya yang berdengung akibat suara teriakan itu.Ada yang aneh pada Raffa hari ini. Nara menyadari itu. Caranya bermain tak gesit seperti biasanya sampai-sampai teman satu timnya berkali-kali menegur Raffa. Mereka kehilangan poin karena Raffa."Oi, Nara!"Erika dan Geovan kembali dari kantin. Mereka memberi Nara satu minuman kaleng. Nara pun langsung meneguknya."Tim Raffa mah gak usah diraguin lagi. Tapi kayaknya tim adek kelas pada gak mau kalah ya." Komentar Geo.Semuanya kembali duduk ketika tim basket istirahat sejenak. Para pelatih menghampiri anak asuhnya, memberi arahan."Kalian liat Kevi
"Kok pada diem?" Tanya Raffa sambil mengunyah gado-gado santai.Dua orang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara yang menetralkan detak jantungnya dan Kevin yang menahan kekesalannya. Pemuda itu membuang muka."Minggu depan classmeet, kan? Kalian udah persiapkan apa aja?" Nara berusaha mencairkan suasana."Gue sama tim udah sepakat. Untuk pertandingan kali ini kami gak peduli mau menang atau kalah. Yang terpenting nikmati jalannya permainan. Karena ini pertandingan terakhir kami sebelum lulus." Jelas Raffa."Lo gimana, Vin?"Nara menatap Kevin yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. Ia melihat tangan Kevin yang mengepal kuat. Sebenarnya ada apa? Nara sama sekali tak mengerti."Gue udah keluar dari tim futsal."Raffa dan Nara serentak menatap si pembicara."Kenapa?""Males aja. Mau fokus ujian.""Keren." Nara mengacungkan dua jempol untuk Kevin.&nbs
Memasuki minggu remidial adalah suatu hal yang paling membosankan dalam hidup Nara. Ini baru hari Senin, tapi rasa bosannya serasa menggerogoti jiwa.Suatu keberuntungan untuk Nara ketika melihat pengumuman di mading. Di semua mata pelajaran Nara tidak ada yang remidial. Erika pun sama. Mungkin karena mereka berdua belajar bersama mempersiapkan ujian.Berbeda dengan keduanya, Geovan justru banyak mendapatkan remidi. Mulai hari ini cowok tengil itu disibukkan dengan belajar untuk mengulang ujian. Nilainya benar-benar buruk. Erika lelah mengomeli pacarnya itu.Sementara itu, Nara dengar Raffa dan teman-temannya harus mengikuti remidi juga di beberapa mata pelajaran. Ya, Raffa bilang, sih, sudah biasa karena di antara mereka tidak ada yang begitu pintar.Entah sudah berapa kali Nara menghela napas lelah. Tumpukan buku tebal yang dia bawa sangatlah berat. Tadi, ketika melewati rua
Kevin mempercepat langkahnya menuju ruang ujian. Keringat mengucur di pelipisnya karena berlari sangat jauh, dari gerbang sampai ke lantai dua. Hari ini dia terlambat sepuluh menit. Ujian sudah dimulai.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Bu. Mohon maaf saya terlambat." Ucapnya di depan pintu kelas. Seluruh pasang mata menatap ke arah Kevin.Pengawas ujian hari pertama ini adalah wali kelas mereka sendiri. Jadi sangatlah mudah mendapatkan maaf. Kevin menghela napas lega saat diperbolehkan duduk di kursi yang sudah dipisah-pisah, diberi jarak. Masing-masing dari mereka duduk dengan adik kelas.Entah kebetulan atau tidak, Kevin kedapatan duduk di sebelah Nara. Di barisan paling belakang. Seiring mendekat ke kursi, bisa Kevin lihat Nara sedang memberinya senyuman. Ia pun membalas senyum itu."Jangan ada yang mencontek, ya. Kerjakan yang jujur."
Bersama teman-temannya, Nara semakin hari mulai berangsur membaik. Orang-orang yang kemarin mencibir dan menatapnya aneh satu persatu meminta maaf. Nara kembali menjadi pribadi yang ceria. Bersama Erika tentunya.Hubungannya dengan Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang juga baik-baik saja. Pertemanan mereka semakin erat. Sayangnya perasaan Nara pada Raffa belum juga pudar, malah semakin luas. Nara ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu.Namun, ada yang berbeda dari pemuda itu. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua minggu belakangan ini Raffa tampak murung. Nara menduga ada hubungannya dengan Thalia. Cewek mirip selebgram itu sudah tidak pernah terlihat lagi di sekolah. Ia seakan menghilang, pindah sekolah mungkin.Seperti sekarang, di saat yang Dendi, Rizki, Bintang, Geo, dan Erika asyik menikmati waktu sore di rooftop rumah Raffa, si tuan rumah malah menyendiri di sudut- tempat melihat senja di ujung.