Nara sedang menemani Papanya mengantar hasil kebun dengan menggunakan mobil maxim, untuk diantar ke penjual buah yang sudah memesan. Mobil ini hanya pinjaman dari sahabatnya Firdaus.
"Wih seger-seger ya, Daus." Puji Pak Toni, si pembeli yang seumuran dengan Firdaus.
"Yo jelas. Baru semua ini boss." Firdaus menanggapi.
Nara membantu mereka menurunkan buah-buahan dan sayuran ke tempat yang disediakan.
"Dek Nara, sehat?" Tegur Hesti, istri Pak Toni.
"Alhamdulillah, Bu sehat." Nara menyunggingkan senyum.
Ya, suami istri itu memang langganan Firdaus. Nara sudah mengenal mereka karena dia sering menemani Papanya.
Selesai.
Firdaus berbincang sebentar dengan Pak Toni. Nara memutuskan kembali ke mobil. Saat Nara baru saja akan membuka pintu mobil, ia mendengar teriakan dari arah kiri.
"COPET!"
"COPET!"
"TOLONG ADA COPET!"
Seorang Ibu-ibu berteriak. Pencopet tersebut berlari sembari membawa dompet. Dan kebetulan dia akan berlari melewati Nara.
Grep.
Dengan cekatan Nara berhasil menarik kaos si pencopet sampai tubuh pria itu termundur ke belakang.
"Mampus. Kena lo!"
"Apasih lo cewek gak jelas."
Entah bagaimana caranya, Nara bisa memegang kedua tangan pria itu ke belakang. Menjepitnya hingga berbunyi "klek". Nyaris terkilir.
"Aduh aduh. Tangan gue." Rintihnya kesakitan.
Firdaus datang menghampiri, dia mencekik leher pria itu di antara sikunya.
"Gimana? Enak?" Tanya Firdaus.
Nara berancang-ancang akan menendang kaki si pencopet.
Bugh!
"Aakkh-"
Kemudian, beberapa warga sekitar datang beramai-ramai. Membawa copet itu ke kantor polisi.
Nara mengambil dompet hitam yang terletak di tanah. Lalu memberikannya pada seorang Ibu-ibu yang bisa Nara tebak sangat sosialita.
"Makasih ya, dek. Kalo gak ada kamu saya gak tau lagi deh."
"Sama-sama, bu. Ibu gak papa, kan?"
Ibu itu mengangguk. Menurut Nara, beliau masih cantik meskipun sudah ada sedikit kerutan di wajahnya.
#
Rabu.
Hari yang ditunggu pun tiba.
Hari di mana jantung Nara berdebar selain karena Raffa penyebabnya.
Sepanjang berjalan di koridor Nara tidak sengaja menabrak orang beberapa kali. Efek terlalu deg-degan. Ia meremas tangan yang dingin. Sejak dari rumah Nara gugup gak karuan. Dia gugup bukan karena disuruh bernyanyi, tapi tampil di depan.
Sampai di ruang musik, Nara mencari keberadaan Erika. Ah iya, para siswa diperintahkan langsung ke ruang musik.
Di dalam sana sudah disediakan kursi untuk para siswa duduk. Jika kalian bingung, posisinya itu seperti panggung dan di depannya ada tersusun kursi untuk penonton, yang mana siswa kelas Nara sendiri. Nah, di sebelah kanan dekat penonton ada meja khusus untuk Bu Dwi.
"Erika!"
Erika melambaikan tangan. "Sini!"
Nara menghampiri Erika yang sudah duduk di bangku paling depan, cewek itu sedang berlatih main gitar.
"Ingat nomor absen masing-masing ya, Na. Jangan bengong."
"Iya iya."
"Liat, Er. Gue tremor, gila." Nara menunjukkan tangannya yang gemetar.
"Calm down, girl. Absen lo masih jauh."
Nara menetralkan napas, menarik, menahan, dan mengembuskannya.
Acara pun dimulai.
Absen pertama dari huruf A.
"Anna Syahputri." Panggil Bu Dwi.
Anna naik ke atas panggung. Senyuman tidak lepas dari wajahnya.
"Anna, mau nyanyi lagu apa?" Tanya Bu Dwi, ia memakai microfon agar suaranya terdengar seruangan.
"Perfect dari Ed Sheeran." Kata gadis itu sembari berdiri di tengah panggung. Ia tidak bermain alat musik apapun.
Anna mulai bernyanyi.
Semuanya tidak menyangka bahwa Anna memiliki suara yang merdu.
Di tempat duduknya, Nara terus menenangkan diri. Melihat Anna yang terlihat percaya diri membuatnya tidak yakin pada diri sendiri. Memang, ia pandai menyanyi tapi Nara takut ketika sudah sampai di atas panggung dan ditonton semua orang, bisa saja konsetrasi menyanyinya buyar seketika.
Anna selesai bernyanyi. Semua bertepuk tangan untuknya.
"Santai aja. Absen lo masih jauh," bisik Erika tiba-tiba.
Nara mengangguk paham.
Waktu terasa sangat cepat. Kini, giliran Erika yang tampil. Nara menyemangatinya dari bangku penonton, Erika melihat itu kemudian tersenyum.
"Mau nyanyi lagu apa?"
"At my worst dari Pink Sweets."
Erika mulai memetik senar gitar, satu bait lagu ia nyanyikan.
Damn.
Nara salut pada Erika. Ketekunan ia dalam belajar gitar sungguh patut diapresiasi. Suaranya bagus meskipun ketika berbicara Erika terdengar cempreng.
Erika sangat rileks dan tenang. Senyumnya merekah. Tidak ada gelagat panik, takut, dan cemas.
Tepuk tangan menggema di ruangan itu ketika Erika menyelesaikan lagunya. Erika turun, menghampiri Nara dengan semangat yang membara.
"Erika, lo berhasil!"
"Ya ampun akhirnya kelar juga. Lega gue."
"Bagus, Er pernampilan lo."
"Gue harap lo juga berhasil."
Siswa satu persatu dipanggil. Sebentar lagi giliran Nara. Jantungnya sudah berdetak gak karuan. Tak hentinya dia terus merapalkan doa.
"Nara Amanda."
Nara melangkah dengan kaki gemetar seperti jeli.
"Semangat, Nara!" Teriak Erika di bangku penonton.
Nara menduduki dirinya di kursi piano. Kini, seluruh pasang mata tertuju ke arahnya. Untuk kali ini, Nara berusaha fokus menyanyi saja, tak ingin menatap penonton. Ia tahu, meskipun mereka adalah teman-teman sekelas sendiri, tetap saja rasanya sulit.
"Nara mau nyanyi lagu apa?"
"Love Story dari Taylor Swift."
"Oke, go."
Hembusan napas berulang kali Nara keluarkan. Kemudian, jari cewek itu mulai menekan tuts piano, menghasilkan alunan nada yang merdu. Ia pun bernyanyi.
Segerombolan anak basket tidak sengaja melewati ruang musik. Ketika rombongannya sudah berlalu, Raffa membuka pintu sedikit, mengintip apa yang sedang terjadi di dalam sana. Matanya otomatis terarah ke panggung, melihat Nara sedang bermain piano dan... Bernyanyi.
Raffa tidak melepaskan padangannya ke Nara. Ia terkejut, suara Nara sangat merdu, alunan nada piano yang dimainkannya pun sangat luar biasa. Membuat suasana di sana sangat hening, benar-benar cuma fokus ke Nara.
Sebelumnya, Raffa gak pernah sekalipun suka dengan acara musik. Tapi kali ini, penampilan Nara sukses membuat Raffa mematung. Suara bising dari siswa lain sama sekali tidak masuk ke gendang telinganya, Raffa terpaku beberapa saat. Raffa ingin cewek yang ada di atas panggung sana tahu bahwa dirinya layak mendapat apresiasi lebih dari orang-orang.
Nara selesai bernyanyi. Semua bertepuk tangan.
Dengan cepat Raffa keluar dan menutup pintu. Lantas berlari menyusul temannya.
"Apa gue bilang? Lo bisa, Na."
Tangan Nara meremas seragam. Gugup. Ia duduk dan langsung memeluk Erika.
"Thanks ya, Er. Udah support gue."
"Iya, sama-sama. Yang jelas lo keren sumpah. Ini satu ruangan kek cuma fokus ke lo doang. Oh iya, lu ga tau kan ekspresi Bu Dwi tadi takjub liat lo." Erika melepas pelukan.
"Untung aja gak ada kepeleset nih lidah."
"Nara gue gak nyangka suara lo bagus woi." Ujar Sisil yang duduk di sebelah Erika.
"Bener. Gue juga gak nyangka lo bisa main piano. Buset kalo gue pinter main piano udah gue pamerin ke orang-orang tau gak." Itu suara Tuti.
Nara hanya tersenyum malu. "Makasih ya semua."
#
Pukul dua belas pas, anak kelas Nara diperbolehkan makan siang terlebih dahulu. Sisa sepuluh siswa yang belum tampil. Nanti setelah istirahat akan dilanjutkan. Sepertinya hari ini mereka bisa pulang ke rumah lebih cepat dari kelas lain.
Nara dan Erika tengah menyantap makanan kantin.
Seisi kantin sepi, jam istirahat kedua belum dimulai. Hanya ada beberapa siswa itupun dari kelas Nara. Karena mereka telat istirahat.
"Enak gak mie ayamnya?" Tanya Nara.
Erika mengangguk. "Banget, cuy."
"Akhir-akhir ini gue alergi makan ayam. Selalu gatel-gatel gitu."
"Tapi kemarin yang waktu kita makan ayam mekdi lo gak papa, kan?"
"Dulu mah enggak. Ini baru-baru aja. Kayaknya udah saatnya gue makan makanan sehat, deh."
"Harus itu. Lo ga doyan sayur kan. Banyakin makan sayur sama buah. Bokap lo punya kebun buah dan sayur tapi anaknya malah gak doyan."
Nara tertawa receh. "Gue usahain."
Beberapa menit kemudian, Nara melihat Raffa bersama ketiga temannya memasuki kantin. Mereka mencari tempat kosong.
Jantung Nara kembali berulah. Ia berhenti memakan corndog.
Erika sadar akan situasi yang terjadi. Tangannya menyikut Nara yang salah tingkah.
"Na, mas crush lo, tuh." Goda Erika.
Mata Nara memelototi Erika. "Ya Allah pacar orang, Er."
"Becanda. Haha."
"Lo pernah bilang ke gue kalo gue harus tau batas. Tapi sekarang lo malah godain gue. Gimana ceritanya."
"Ih. Becanda doang."
Nara meneguk air putihnya. "Gue sadar gue gak tau diri. Beberapa hari belakangan ini, Tuhan kayak sengaja pertemuin gue dan dia."
Erika memegang bahu Nara. "Denger ya. Terkadang kita dipertemukan dengan seseorang bukan tanpa sebab. Dan.. Ya, bertemu bukan berarti lo udah pasti jodohnya dia."
"Er, kata-kata lo menusuk. Tapi fakta."
Raffa yang sedang memesan makanan langsung menyadari keberadaan Nara di sana. Tampak cewek itu sedang asyik mengobrol dengan Erika. Sebuah ide terlintas di otaknya.
"Oi, duduk di sana aja." Telunjuk Raffa mengarah ke meja Nara dan Erika.
"Maksudnya sama dua cewek itu?" Tanya Dendi.
"Iya. Kenapa? Salah?"
"Ya enggak. Yang gak pernah-pernah aja lo duduk sama cewek lain selain Thalia." Ucap Rizki.
Raffa berjalan menuju meja Nara. Diikuti ketiga temannya di belakang.
"Mampus! Dia jalan ke sini, Er?"
"Kayaknya, deh. Persiapin diri lo biar gak kebablasan, Na. Haha."
"Lo mah ngeselin." Nara menyenggol Erika.
Tanpa aba-aba, Raffa, Rizki, Dendi, dan Bintang menarik kursi dan duduk satu meja dengan Nara dan Erika. Jadi sekarang posisinya, Nara dan Erika duduk bersebelahan. Nah, Raffa duduk berhadapan dengan Nara. Sementara itu, Dendi, Rizki, dan Bintang duduk sejajar dengan Raffa. Singkatnya, dua cewek sedang duduk berhadapan dengan empat cowok.
"Hai," sapa Bintang. Cowok itu memang terkenal ramah.
"Ngapain duduk di sini, Raffa?" Nara bertanya dengan wajah serius.
Raffa tersenyum jail. "Kasian liat kalian berdua doang. Mending kita ikut gabung."
"Baik, kan kita?" Tanya Bintang.
Dendi dan Rizki membuka ponsel, Dendi mulai bermain game sementara Rizki menghubungi pacarnya.
Bintang menyadari sesuatu. "Eh, bentar. Guys, gue keknya pernah liat lo, deh. Tapi di mana ya?" Telunjuknya mengarah ke Nara.
"Gue?" Nara menunjuk dirinya sendiri.
"Salah liat kali." Celetuk Erika.
Rizki menatap Nara dengan seksama. "Lah lo yang ujan-ujanan kemarin, kan? Yang di kedai itu."
Nada bicaranya seperti meledek. Membuat Nara malu, ingin rasanya dia lari dan menyembunyikan wajahnya ke dalam loker.
"Udah ah gak usah diinget gak penting." Nara mengibas tangannya di udara.
Bintang tertawa. "Haha iye bener. By the way baswey, nama kalian siapa?"
"Nara."
"Erika."
"Kelas berapa?" Bintang bertanya lagi.
"Ngapain, sih. Mau interview kerja lo?" Ketus Erika.
"Jangan galak-galak dong. Kan sayah jadih takudh." Bintang melawak.
Erika melempar tissue ke Bintang.
"Ra, sumpah penampilan lu tadi keren banget." Raffa berbicara sembari jari-jarinya menekan meja, seakan sedang mempraktekkan main piano.
Nara bingung kapan cowok itu melihatnya? Setahu Nara pintu ruang musik tertutup, di dalam ruangan pun hanya ada anak kelasnya.
"Lo.. Liat?"
"Gua ngintip bentar tadi."
"Buat apa?"
"Suara lu bagus ternyata."
Deg.
Ingin rasanya Nara salto sekarang juga, namun itu tidak mungkin. Harga dirinya jauh lebih berharga. Raffa pikir muji begitu membuatnya berdebar? Ya jelaslah. Banget.
"Thanks." Kata Nara cuek, agar tidak terlalu ketara saltingnya.
"Banyak juga bakat terpendam lu."
"Ih, udahlah. Berhenti muji gue."
"Tapi muka lu serius banget. Kek gini, nih." Raffa mencontohkan ekspresi Nara saat itu.
"Ngeselin ya, lo."
Kedua tangan Nara meninju Raffa, membuat cowok itu menutupi tangannya demi berlindung diri. Tak lupa tawa khasnya menyembur. Suara tawa, cuma Raffa yang punya.
Rizki, Erika, Dendi, dan Bintang mendadak awkward dengan situasi ini. Mereka semua terheran menyaksikan kedekatan Raffa dan Nara sekaligus tidak pernah menyangka jika kedua orang itu sudah sedekat ini.
Dendi berdehem pelan. " He'em em em."
Bintang berpura-pura batuk.
"Batuk Pak Haji?" Rizki menambahkan.
Erika mengibaskan tangannya seakan sedang kepanasan. "Haduh, gue mencium bau-bau kecanggungan di sini."
Dua orang yang sedang asyik berdua itu langsung diam.
Gak lama kemudian, makanan keempat cowok itu datang. Mereka mulai menyantap makanan masing-masing.
"Serius, kalian kelas mana?" Rizki yang bersuara.
"Dua belas IPS lima." Sahut Erika. Ia selesai menghabiskan semangkuk mie ayam.
"Hampir tiga taun gue sekolah di sini gue gak pernah liat muka kalian." Papar Bintang.
"I know right! Gua juga bilang hal yang sama kemarin." Canda Raffa.
Erika mencibir, "shombong amat." Muka julidnya langsung on.
"Iyalah jelas. Kami berdua bukan most wanted girl in this school. Juga bukan cewek yang pantes dikenal banyak orang. Beda sama kalian yang anak basket populer, incaran anak cewek." Nara berkomentar.
"Ih, engga bermaksud gitu." Bintang mengecilkan suaranya, ia gak bermaksud menyinggung.
"Iya iya paham."
Setelahnya, keenam orang itu masih melempar candaan ke satu sama lain. Tanpa disadari ada seseorang yang merekam kebersamaan mereka.
#
Raffa baru saja mengantar Thalia ke depan pintu gerbang. Kali ini cewek itu dijemput pak supir suruhan Papa Thalia.
Setelah itu, Raffa membawa tasnya ke dalam ruang ekskul basket, tempat berkumpulnya anggota basket. Hari ini mereka kedatangan pelatih baru dari luar kota.
Sambil menunggu semuanya datang, Raffa berbaring di lantai yang dingin, tas ransel itu dia jadikan sebagai bantal. Raffa membuka ponsel.
"Bro!"
Rizki datang dan ikut berbaring di lantai.
"Gimana kabar, Vio?" Geng Raffa mengenal Vio. Raffa kadang membawa Vio ikut nongkrong.
"Baik, alhamdulillah."
"Pa, kapan kita bisa main ke rumah lo lagi? Udah lama gak ke sana. Gue kangen main PS 5 punya lo."
"Ntar kapan-kapan. Kalo situasi udah kondusif."
"Okelah."
Rizki tidak ingin bertanya lagi. Dia paham itu adalah privasi keluarga Raffa. Bintang dan Dendi juga memahami. Tidak ingin bertanya kecuali kalau Raffa yang cerita sendiri.
#
Pukul lima sore, Raffa membelah jalanan Jakarta dengan motornya. Tadi, ia sempat membeli ciki untuk Vio.
Sampai di depan pintu rumah, Raffa mengintip lewat jendela. Pemandangan yang sangat dibencinya. Terlihat Tata sedang bermesraan dengan pacarnya, Vio datang ingin memeluk Mamanya. Namun, Vio malah dihempas kasar oleh Tata. Mbak Sri menggendong Vio, membawa anak itu masuk ke kamar. Vio berteriak, menangis memanggil Mamanya.
Rahang Raffa mengeras, tangannya mengepal kuat. Raffa membuka pintu dengan kasar. Ia menaruh ciki yang dibelinya di atas laci.
Kedua orang itu kaget bukan main.
"Raffa! Ngagetin tau gak." Ucap Tata cerewet.
"Ganggu aja nih bocah." Sahut Pacar Tata.
Napas Raffa memburu menahan amarah.
"Vio itu anak Mama! Kenapa Mama tega kayak gitu?"
Tata berdiri, wajahnya mengerut tak suka. "Kamu ini gak sopan ya sama orang tua. Didikan papa kamu nih pasti."
Kesal, Raffa melempar tasnya ke hadapan Tata dengan kasar.
Kedua orang itu kaget dengan apa yang dilakukan.
"Sadar gak sih ini masih rumah kita, Ma. Rumah keluarga kita! NGAPAIN KALIAN HARUS PACARAN DI SINI!" Raffa berteriak.
"Lu juga." Raffa menarik kerah pacar Tata. "Tau diri dong, bangsat! Ini rumah keluarga gua, setan!"
Bugh!
Tangan Raffa meninju laki-laki itu.
"Mau mesra-mesraan? Di luar sana banyak tempat. Gak harus di sini, biadab!"
"Anak kurang ajar." Tata marah, ia menampar pipi Raffa hingga bunyi.
Respons Raffa hanya tertawa miris. "Anda yang kurang ajar. Gak pernah ngehargain anak dan suami!"
Raffa membanting vas bunga berukuran kecil ke lantai, membuatnya pecah dan berserakan. Menimbulkan teriakan lantang dari Tata.
"RAFFA! SOPAN SANTUN KAMU DI MANA?"
"NGACA, DONG! SOPAN SANTUN KALIAN YANG DI MANA?" Telunjuk Raffa menunjuk kedua orang itu.
"Kalo kelakuan kamu kayak gini. Mama nyesel lahirin kamu. Mending kamu lahir dari rahim orang lain aja. Percuma, gak bisa ngehargain orang tua. Ini pilihan Mama, kamu harus tau."
"Kenapa juga gua harus tau? Gak guna."
Pacar Tata meninju wajah dan perut Raffa. Tidak tinggal diam, Raffa pun membalas dengan brutal. Dia meninju rahang pacar Tata berkali-kali.
"Udah, heri. Udah, stop! Kasian kamunya."
Akhirnya, Tata bisa memisahkan mereka. Perempuan itu memeluk Heri.
Wajah Raffa lebam, sudut bibir sobek, hidungnya mengeluarkan darah. Tanpa banyak bicara lagi, Raffa pergi dari rumah itu. Melajukan motornya menuju taman dekat komplek.
Raffa memarkirkan motornya, lalu duduk di bawah pohon dekat danau, menjauh dari orang-orang. Punggungnya dia sandarkan ke batang pohon, kedua kakinya dia selonjorkan. Dia memandang danau dengan tatapan kosong.
Menyedihkan.
Ia bingung harus bagaimana. Realita kehidupan memang menyakitkan. Kata-kata Tata terus terngiang di pikiran.
/Kalo kelakuan kamu kayak gini. Mama nyesel lahirin kamu. Mending kamu lahir dari rahim orang lain aja. Percuma, gak bisa ngehargain orang tua./
"Siapa juga yang pengen dilahirin ke dunia?"
Air mata Raffa turun menetes. Ia benci menangis. Apalagi jika orang lain melihat. Mereka pasti akan menertawakannya.
Raffa melempar batu-batu kecil ke dalam air danau yang tenang. Melampiaskan kekesalannya. Membuang segala amarah. Ia terisak, kemudian tertawa. Antara tawa dan tangis bercampur jadi satu.
Sore ini Nara sedang asyik memotret pemandangan sore di taman yang biasa dia datangi kalau suntuk mau ngapain. Mengandalkan kamera ponsel, Nara berhasil menjepret beberapa gambar aesthetic. Cewek itu lumayan tertarik di bidang fotografi, foto-foto miliknya ia kumpulkan di instagram.Mata Nara terpaku pada suatu objek di ujung sana, dekat danau. Ada seseorang yang sangat mirip dengan Raffa. Nara sampai mengucek mata lalu melihatnya lagi. Benar. Tidak salah lagi, itu adalah Raffa. Memakai jaket hitam, celana pramuka sekolah, serta sendal jepit.Perlahan tapi pasti, Nara melangkah mendekati cowok yang berada di bawah pohon itu. Nara membuat langkah tanpa suara, berjalan di balik pohon.Samar-samar Nara mendengar suara isak tangis dari sana. Ia tertegun menyadari itu."Raffa."Nara menampakkan diri, duduk di samping Raffa yang terlihat tengah menghapus air matanya.Hening beberapa saat."Astaga, Raffa.
Sabtu. Akhirnya, hari ini Erika masuk sekolah. Nara dan Erika melompat kesenangan sambil berpegangan tangan. Keduanya sedang duduk di dalam kelas, menunggu bel berbunyi. "Er, lo tau gak. Geo kemarin nanyain lo." Ungkap Nara terus terang. Erika terdiam. Ingin senang, tapi ia tahu bahwa Geo sukanya sama Nara. Sudah dua hari ini Erika dan Geo tidak saling bertukar pesan. Rasanya kosong. Melihat Erika terdiam, Nara menggoyangkan tubuh cewek itu. "Kok bengong, sih. Gue gak bohong. Serius." Ucapnya seraya mengangkat dua jari. "Udah, ah. Ngapain sih bahas dia." Tutur Erika. Ketukan di jendela membuat dua orang itu menoleh. Geo di sana, sedang menyengir lebar. Kepala dia masukkan melalui jendela. "Kayak biasa, Kak. Pulpen." Nara memberikan pulpen miliknya. "Pulpen lo udah sama gue. Hati lo kapan?" Tawa Nara menyembur mendengarnya. Bahkan dia sampai memukul meja.&nb
Pagi ini Nara sangat lemas dan kepalanya pusing. Tadi dia buru-buru datang ke sekolah karena bangun terlambat, makanya Nara tidak sempat sarapan. Ditambah lagi, sejak kemarin asam lambung Nara kambuh, perutnya sakit.Untuk berdiri di bawah panas matahari seperti ini butuh tenaga, mendengarkan amanat pembina upacara yang sangat panjang membuat Nara semakin pusing.Berulang kali Nara menguatkan dirinya agar bisa bertahan minimal sampai selesai upacara. Namun, pandangannya mengabur. Suara di sekitar bahkan tidak lagi terdengar. Akhirnya, tubuh Nara ambruk seketika."Eh, Nara!" Erika yang di sebelah Nara segera menahan agar tidak jatuh.Anak PMR yang berjaga dengan cepat membantu, serta menyiapkan tandu untuk mengangkat Nara.Tiba-tiba tak disangka, Kevin datang dan mengangkat tubuh Nara dengan tangannya."Kelamaan. Udah biar gue aja." Ucapnya sebelum pergi, berjalan menuju UKS. Diikuti Erika yang mengekor.
Sesuai janji, Erika dan Geo akan pergi sore ini. Cowok itu akan menjemput Erika ke rumahnya, untuk pertama kali. Rencananya mereka akan menonton bioskop dulu, tujuan selanjutnya terserah Geo, itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting jalan bareng.Saat ini Erika tengah bersemangat memilih baju mana yang akan ia pakai. Seisi lemari habis berantakan dibongkarnya. Vano masuk ke kamar, seperti biasa berdiri di ambang pintu tanpa alasan yang jelas."Ngapain sih lo. Ntar dimarahin Mama loh." Komentar Vano."Bacot pengangguran. Cari kerja sana.""Eh mulutnya minta di tempel pake dollar ya." Ucapnya nyolot."Berisik! Sana, ah!"Erika mendorong tubuh Vano, memaksanya keluar kamar. Kemudian, dia mengunci pintu.Setelah memilih beberapa lama, akhirnya pilihan Erika jatuh pada kaos putih, celana ripped jeans, serta luaran jaket jeans. Simple. Erika tidak suka ribet. Untuk tatanan rambut, ia biarkan saja rambut hitamnya terge
"Wah, gak kerasa minggu depan udah lomba ekskul aja. Mana lawannya anak SMA bakti lagi." Gumam Nara sembari membaca poster di mading yang baru ditempel.Hari jum'at dan Sabtu depan dikosongkan karena lomba ekskul. Sesuai jadwal yang tertulis, pengumuman pemenangnya di hari Senin. Bisa dipastikan akan segabut apa siswa yang tidak ikut ekskul manapun, termasuk Nara dan Erika.Nara berjalan di koridor dengan senyum tipis, senang hari ini tidak terlambat alias Nara datang tepat waktu. Saat menaiki tangga, Nara berpapasan jalan dengan Raffa dan Bintang."Naraaaaa." Bintang membuat suara seolah sedang seriosa, Nara tertawa."Bintang kecil... Di langit yang biru... Amat banyak.." Nara membalas dengan nyanyian merdu."Bentar." Bintang mengangkat telapak tangannya di udara. "Salah lirik, harusnya dilangit yang tinggi." Protes Bintang.Terakhir, mereka duet menyanyikan lagu tersebut. Orang yang lewat hanya memandang
Hari jum'at ini para siswa pulang jam setengah dua belas, seperti biasa. Jadi, Nara dan Erika punya waktu untuk kerja kelompok. Saat ini, Nara baru saja turun dari gojek, di depan rumah Erika. Nara cuma punya satu motor, itupun dipakai Papanya kerja. Makanya dia sangat susah untuk keluar-keluar.Baru saja Nara mau masuk, Kevin datang dengan motornya. Nara mempercepat langkah, masuk ke dalam rumah."Assalamu'alaikum." Ucap Nara."Wa'alaikumsalam. Masuk masuk, Nara."Ternyata di sana sudah ada Tuti dan Ifan juga. Mereka sedang berkumpul di ruang tivi. Tuti bermain ponsel, Ifan membaca buku, dan Erika memandang layar laptop. Nara ikut bergabung, ia duduk di lantai bersama mereka."Judul kita apa, Tuti?" Tanya Erika."Pengaruh tulisan sastra terhadap remaja."Tak lama kemudian, Kevin masuk. Duduk di sebelah Ifan. Setelah semuanya berkumpul, Tuti sebagai ketua kelompok memberi tahu mereka harus melakukan
Hari berikutnya.Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Seperti biasa semua siswa berhamburan keluar kelas. Nara dan Erika masih di dalam, merapikan buku-buku pelajaran dan membuang sampah di laci."Tes tes 1 2 3. Maaf bikin keributan sebentar."Suara orang memakai toa mengambil perhatian semua orang termasuk Nara dan Erika."Ngomong-ngomong, gue udah izin ke guru ya. Jangan salah paham. Yang gak suka boleh lewat aja.""Kek kenal tu suara." Gumam Erika.Beberapa dari siswi di sana penasaran dan mencari di mana asal suara."Emang ada pengumuman apa, sih?" Nara ikutan bingung. Dia melangkah keluar kelas, diikuti Erika.Di lapangan bawah sana, ada Geovan yang berbicara menggunakan toa. Orang-orang di sekitar hanya melihat saja."Mau buat ulah apa lagi coba." Erika mengerutkan kening.Nara malah tertawa. "Keknya dia mau ngelakuin apa yang ada di pikiran gue deh."
Nara melihat tumpukkan kursi yang pernah jadi tempat dia dan Raffa sembunyi dari kejaran anak OSIS. Mengingat itu membuat Nara menghela napas.Dia beralih ke sisi kiri, duduk di atas meja tak terpakai, mengambil tempat membelakangi sinar matahari yaitu di balik tembok. Lalu, membuka youtube, mencari lagu Rasa Ini karaoke versi, lantas mulai bernyanyi."Ku tak percaya kau ada di sini""Menemaniku di saat dia pergi""Sungguh bahagia kau ada di sini""Menghapus semua sakit yang ku rasa"Suara Nara mengalun merdu bersama hembusan angin siang itu."Mungkinkah kau merasakan""Semua yang kupasrahkan kenanglah kasih""Kusuka dirinya mungkin aku sayang""Namun apakah mungkin kau menjadi milikku""Kau pernah menjadi menjadi miliknya""Namun salahkah aku bila kupendam-""RASA INI.."Seseorang menyambung lagu, Nara terkejut dan menoleh ke sumber suara. Dia menghentikan pemut
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga. Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja. Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh. Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Nara mematung mendengar penjelasan panjang dari Geo. Cewek itu membelakanginya sejak tadi."Kak Nara, maaf. Maafin gue sama Erika, ya." Ujar Geo menyesal, dia menundukkan kepala.Keduanya sedang berbincang di halaman depan rumah Erika. Sore ini Nara memutuskan menjenguk Erika dan ya, dia melihat sendiri bagaimana keadaan sahabatnya itu. Bahkan ketika ia mengetahui yang sebenarnya, Nara belum mau berbicara dengan Erika maupun Geovan.Hembusan angin sore membuat daun dari pohon mangga berjatuhan ke atas rumput. Rambut pendek Nara menari-nari bersama udara. Kelopak matanya dipenuhi air yang sekali kedip saja bisa tumpah membasahi pipi.Hatinya terlalu nyeri untuk mengatakan sepatah kata. Nara terisak sampai menutup mulutnya sendiri, takut tangisnya terlalu keras.Dia hanya tidak menyangka ini akan terjadi. Sahabatnya. Masa depan Erika sudah hancur. Kena
Hari ini adalah pembagian rapor anak SMA Nusantara. Sabtu pagi ini sekolah dipenuhi para orangtua siswa yang akan bertemu dengan wali kelas anaknya. Nara mengajak Firdaus untuk mengambilkan rapornya. Kebetulan hari ini Papanya itu sedang libur kerja. Nara tidak mau Mamanya yang datang karena itu akan berbahaya, beliau pasti akan menceramahi Nara jika nilai rapotnya di semester ini sangat jelek. Berbeda dengan Papanya yang santai saja."Sabar ya, Pa. Nama Nara sebentar lagi dipanggil, kok." Bisik Nara pelan. Ia menepuk paha Firdaus.Saat ini ayah dan anak itu tengah duduk di bangku kelas Nara, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas.Mama Erika baru saja selesai mengobrol dengan wali kelas, entah kenapa dia tampak terburu-buru ingin pulang ke rumah. Nara mengerutkan kening keheranan, Bu Lia sama sekali tidak menyapa dirinya dan juga Papanya. Padahal, selama ini mereka kenal dekat. Dan juga Erika, cewe
Sorak sorai penonton bergema di lapangan basket pagi itu. Pertandingan berlangsung seru. Kemeriahan Hari Kamis ini semakin menggebu kala tim Raffa berhasil mencetak poin kemenangan.Semua supporter berdiri sambil berteriak dan memukul balon tepuk. Nara bertepuk tangan, sesekali ia menutup gendang telinganya yang berdengung akibat suara teriakan itu.Ada yang aneh pada Raffa hari ini. Nara menyadari itu. Caranya bermain tak gesit seperti biasanya sampai-sampai teman satu timnya berkali-kali menegur Raffa. Mereka kehilangan poin karena Raffa."Oi, Nara!"Erika dan Geovan kembali dari kantin. Mereka memberi Nara satu minuman kaleng. Nara pun langsung meneguknya."Tim Raffa mah gak usah diraguin lagi. Tapi kayaknya tim adek kelas pada gak mau kalah ya." Komentar Geo.Semuanya kembali duduk ketika tim basket istirahat sejenak. Para pelatih menghampiri anak asuhnya, memberi arahan."Kalian liat Kevi
"Kok pada diem?" Tanya Raffa sambil mengunyah gado-gado santai.Dua orang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara yang menetralkan detak jantungnya dan Kevin yang menahan kekesalannya. Pemuda itu membuang muka."Minggu depan classmeet, kan? Kalian udah persiapkan apa aja?" Nara berusaha mencairkan suasana."Gue sama tim udah sepakat. Untuk pertandingan kali ini kami gak peduli mau menang atau kalah. Yang terpenting nikmati jalannya permainan. Karena ini pertandingan terakhir kami sebelum lulus." Jelas Raffa."Lo gimana, Vin?"Nara menatap Kevin yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. Ia melihat tangan Kevin yang mengepal kuat. Sebenarnya ada apa? Nara sama sekali tak mengerti."Gue udah keluar dari tim futsal."Raffa dan Nara serentak menatap si pembicara."Kenapa?""Males aja. Mau fokus ujian.""Keren." Nara mengacungkan dua jempol untuk Kevin.&nbs
Memasuki minggu remidial adalah suatu hal yang paling membosankan dalam hidup Nara. Ini baru hari Senin, tapi rasa bosannya serasa menggerogoti jiwa.Suatu keberuntungan untuk Nara ketika melihat pengumuman di mading. Di semua mata pelajaran Nara tidak ada yang remidial. Erika pun sama. Mungkin karena mereka berdua belajar bersama mempersiapkan ujian.Berbeda dengan keduanya, Geovan justru banyak mendapatkan remidi. Mulai hari ini cowok tengil itu disibukkan dengan belajar untuk mengulang ujian. Nilainya benar-benar buruk. Erika lelah mengomeli pacarnya itu.Sementara itu, Nara dengar Raffa dan teman-temannya harus mengikuti remidi juga di beberapa mata pelajaran. Ya, Raffa bilang, sih, sudah biasa karena di antara mereka tidak ada yang begitu pintar.Entah sudah berapa kali Nara menghela napas lelah. Tumpukan buku tebal yang dia bawa sangatlah berat. Tadi, ketika melewati rua
Kevin mempercepat langkahnya menuju ruang ujian. Keringat mengucur di pelipisnya karena berlari sangat jauh, dari gerbang sampai ke lantai dua. Hari ini dia terlambat sepuluh menit. Ujian sudah dimulai.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Bu. Mohon maaf saya terlambat." Ucapnya di depan pintu kelas. Seluruh pasang mata menatap ke arah Kevin.Pengawas ujian hari pertama ini adalah wali kelas mereka sendiri. Jadi sangatlah mudah mendapatkan maaf. Kevin menghela napas lega saat diperbolehkan duduk di kursi yang sudah dipisah-pisah, diberi jarak. Masing-masing dari mereka duduk dengan adik kelas.Entah kebetulan atau tidak, Kevin kedapatan duduk di sebelah Nara. Di barisan paling belakang. Seiring mendekat ke kursi, bisa Kevin lihat Nara sedang memberinya senyuman. Ia pun membalas senyum itu."Jangan ada yang mencontek, ya. Kerjakan yang jujur."
Bersama teman-temannya, Nara semakin hari mulai berangsur membaik. Orang-orang yang kemarin mencibir dan menatapnya aneh satu persatu meminta maaf. Nara kembali menjadi pribadi yang ceria. Bersama Erika tentunya.Hubungannya dengan Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang juga baik-baik saja. Pertemanan mereka semakin erat. Sayangnya perasaan Nara pada Raffa belum juga pudar, malah semakin luas. Nara ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu.Namun, ada yang berbeda dari pemuda itu. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua minggu belakangan ini Raffa tampak murung. Nara menduga ada hubungannya dengan Thalia. Cewek mirip selebgram itu sudah tidak pernah terlihat lagi di sekolah. Ia seakan menghilang, pindah sekolah mungkin.Seperti sekarang, di saat yang Dendi, Rizki, Bintang, Geo, dan Erika asyik menikmati waktu sore di rooftop rumah Raffa, si tuan rumah malah menyendiri di sudut- tempat melihat senja di ujung.