"Pak kiri, Pak!"
Angkot hitam itu segera menepi setelah mendengar instruksi seorang penumpangnya. Cewek dengan seragam putih abu-abunya itu turun dan memberikan selembar uang lima ribu pada supir.
"Makasih ya, Pak!"
"Yo!"
Hari ini adalah hari pertama Nara Amanda duduk di kelas dua belas. Dia sangat senang menjadi kakak kelas paling tua di SMA Harapan Abadi. Libur semester kemarin membuat dia merindukan teman-temannya.
Saking senangnya. Nara tak memperhatikan jalan. Sampai-sampai ada mobil yang menyipratkan genangan air sisa hujan semalam. Alhasil, seragam Nara basah dan kotor.
"Heh! Sopan gak langsung kabur kayak gitu!?" Teriaknya kesal. Orang-orang di sekitar sana memperhatikannya. Tak sedikit yang menahan tawa. Rasanya Nara ingin menangis saat itu juga.
"Gimana dong ini? Masa iya gue harus pulang ke rumah."
Ia tidak punya ide. Sayang sekali. Padahal sedikit lagi sampai gerbang. Dan 7 menit lagi akan tutup. Setelah berpikir sejenak, Nara memutuskan balik arah, ke tempat biasanya angkot lalu lalang.
Dia tidak mungkin pergi sekolah dengan keadaan kacau seperti itu.
"Apes banget hidup gue." Gumamnya sembari menendang-nendang kerikil kecil di jalan.
Sebuah motor mendekat, dia menaikkan pandangannya dengan raut bertanya.
Sang pengendara motor tersebut membuka helmnya. "Lo pulang ke rumah? Gak sekolah?"
aNra kaget bukan main. Dia tidak salah kan? Seorang Raffa Alfariansyah, salah satu cowok terpopuler di sekolah mengajaknya bicara. Ini suatu keajaiban. Mereka bahkan tidak pernah saling tegur sapa sebelumnya. Ya gimana tidak, Nara kan siswi biasa-biasa saja. Pintar tidak, cantik juga tidak.
"Iya. Mana mungkin gue masuk kelas dengan keadaan kayak gini."
"Naik!"
"Hah? Maksud lo?"
"Naik. Kita ke sekolah sekarang. Gua kasih lu seragam lain."
Butuh waktu lama untuk Nara mencerna semua kata-kata Raffa. "Emang baju siapa? Gak usah. Ngerepotin aja. Mending gue pulang."
Raffa semakin kesal dibuatnya. "Allahuakbar! Cepetan naek, ah elah. Gua kasih seragam temen gua. Nanti gua pinjemin. Buruan bentar lagi telat, kita bisa dihukum."
Karena tak sabar, Raffa menarik pergelangan tangan Nara untuk mendekatinya.
"Eh Eh iya iya gue naik." Segera Nara lepaskan tangan itu lalu dia naik ke jok belakang.
Motor itupun melaju menuju gerbang sekolah yang sayangnya sudah ditutup oleh satpam.
***
Di sinilah mereka sekarang, di lapangan kecil yang ada di dekat lapangan utama. Tempat yang sengaja dibuat khusus untuk para siswa yang terlambat. Sekarang sedang berlangsung upacara. Kata Pak ido, mereka akan diberi hukuman setelah upacara bendera selesai.
"Lu sih kelamaan mikir tadi. Jadi telat kan." bisik Raffa pada Nara yang berdiri di sebelahnya.
Tak terima dituduh. Nara melotot. "Idih. Emangnya ada gue suruh lo nungguin? Coba aja lo biarin gue pulang ke rumah."
"Gini-gini gua masih punya empati terhadap orang susah."
"Lo-"
"Heh itu yang dua orang ngapain ngobrol?"
Teguran dari Pak Ido- guru BK yang piket hari ini membuat keduanya diam.
Omong-omong, Nara sudah ganti seragam. Raffa menepati janji meminjamkan seragam milik temannya. Cowok itu tadi bertukar pesan dengan salah satu teman. Dia bilang Nara harus mengembalikannya sendiri pada teman Raffa yang kalau tidak salah Nara ingat namanya Afika kelas 12 IPA 1. Syukurlah. Nara mendapatkan pertolongan di hari pertamanya masuk sekolah.
Upacara terasa sangat lama karena pembina upacara menyampaikan ceramah dan pesan-pesan yang sangat panjang melebihi gerbong kereta api. Tidakkah beliau menyadari para siswa sudah seperti ikan asin yang sedang dijemur. Mana mungkin mereka benar-benar mendengarkan.
Nara mengeluh kepanasan. Tangannya menyapu keringat yang menetes di wajah dan lehernya. Tenggorokannya sangat kering, ia begitu haus.
Ia menoleh ke sebelahnya. Raffa masih berdiri tegap dengan tangan di belakang. Tak bisa berbohong, Nara mengakui ketampanan Raffa. Bahkan jika dilihat dari samping, wajah cowok itu terlihat sempurna dengan tambahan tahi lalat di atas bibirnya. Sekarang dia mengerti kenapa Raffa menjadi idola di sekolah ini. Tubuhnya juga sangat tinggi, kepala Nara hanya sampai bahu Raffa. Wajar sih, dia anak basket sementara Nara anak rebahan.
Objek yang Nara perhatikan dari tadi ternyata menyadari sesuatu.
BOM!
Nara tertangkap basah.
"Ngapain liatin? Ada yang salah sama gua?"
Canggung. Nara hanya bisa menyengir dan mengalihkan wajahnya. Duh, kapan sih Nara Amanda gak mempermalukan diri sendiri.
Waktu berjalan sangat lambat. Setelah upacara selesai, para siswa tadi sempat harus mendengarkan ceramah tambahan kepala sekolah mengenai keterlambatan di hari pertama seekolah. Sangat membosankan.
Hukuman belum dimulai. Kini semua siswa yang terlambat harus mengelilingi lapangan utama sebanyak sepuluh putaran.
Nara berlari di belakang Raffa. Langkah kaki Raffa yang lebar sangat sulit Nara sejajarkan.
"Sembilan putaran." Teriak Pak Ido dari pinggir lapangan.
"Oi!" Panggil Nara pada Raffa. Sayangnya cowok itu tak mendengar. Napas Nara sudah ngos-ngosan. Tadi pagi dia sarapan sedikit sekali. Jadinya dia lemas sekarang.
"Oke. Sepuluh putaran. Selesai!" Peluit ditiupkan Pak Aldi- guru olahraga kelas sepuluh. Dia membantu Pak Ido mengerjakan piket hari ini.
Semua siswa dengan serentak terduduk di lantai lapangan. Termasuk Nara dan Raffa. Mereka semua diperbolehkan istirahat sebentar karena hukuman masih ada yaitu mengutip sampah.
Raffa mendekati Nara yang wajahnya sudah pucat pasi. Cowok itu mendadak panik. "Eh lu sakit kan? Kabur aja yuk! Ke kantin belakang tempat gua biasa nongkrong."
Tak ada jawaban dari Nara, dadanya sudah sesak. Membuatnya kesusahan merespon.
Tak sabaran, Raffa mengambil tas mereka berdua yang ada di dekat pohon lalu diam-diam tanpa sepenglihatan Pak Ido dan Pak Aldi, Raffa membawa Nara pergi dari sana. Dia menyampirkan tangan Nara di bahunya dan membantu cewek itu berjalan dengan cepat sebelum ketahuan. Untungnya semua orang saat itu sibuk dengan urusannya masing-masing.
#
Sementara semua kelas sudah memulai pelajaran, Nara dan Raffa akhirnya berhasil lolos ke rooftop. Ia tidak jadi membawa Nara ke kantin belakang karena anak osis saat ini pasti sedang patroli. Mereka berdua bersembunyi di sudut dekat tumpukan kursi kayu. Kebanyakan anak osis dan guru tidak tahu ada tempat tersembunyi semacam itu di rooftop.
"Lemes banget gue." Ucap Nara pelan. Dia bersandar di dinding.
Cepat-cepat Raffa mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya. Lalu menyodorkannya pada Nara setelah dia membuka tutupnya.
Diambilnya air itu lantas Nara teguk sampai setengah. "Thanks ya."
Raffa menutup air mineral itu dan menyimpannya kembali.
L"o bawa air ke sekolah?"
"Iya. Tadi sebelum berangkat sekolah gua beli. Rencananya abis upacara mau gua kasih ke cewek gua. Tapi ya udahlah buat lu aja."
Hening. Tidak ada yang berbicara setelah itu.
"Nama lo siapa?"
Nara terkesiap. "N-Nara Amanda. Kelas 12 IPS 5."
"Hampir tiga tahun sekolah di sini, kok gua ga pernah liat elu ya," katanya dengan nada sedikit sombong.
Umpatan-umpatan Nara layangkan dalam hati. Mengesalkan sekali. "Ya iyalah. Gue kan bukan anak hits kayak lo sama cewek lo. Apalagi lo, Raffa. Siapa sih yang gak kenal Raffa Alfariansyah di sekolah ini?
Raffa terkekeh kecil. "Gua juga gak mau terkenal. Apalah daya wajah tampan ini udah takdir buat gua ya jadi syukuri apa yang ada."
"Idih. Narsis amat."
"Jam berapa sekarang?" tanya Nara.
Raffa membuka ponselnya. "Sepuluh pas. Setengah sebelas kan istirahat tuh, kita balik ke kelas langsung."
"Lo ke sekolah bawa hp? Kalo ada razia gimana? Apalagi ini hari senin cuy."
"Santai aja. Gua dan temen-temen selalu nitip sama Ibu kantin."
30 menit berlalu, tak terasa mereka berdua tertidur lelap. Hembusan angin pagi yang sejuk membuai mereka. Sekarang posisinya, Nara bersandar di bahu Raffa, dan kepala Raffa menempel di dinding. Awalnya, Nara tidur duluan. Kepala cewek itu hampir saja terbentur, karena ia merasa kasihan, dia bergerak memberikan bahunya untuk disandarkan.
Nara bangun lebih dulu. Perlahan matanya melebar, dan mulai menyadari posisi mereka.
"Eh, copot!" Ucapnya spontan.
"Apanya yang copot?" Tanya Raffa sembari mengucek mata.
Nara membeku. Dia jadi salah tingkah. Tak sadar jantungnya kini tengah berpacu dengan ritme yang cepat.
"Udah jam isitirahat. Gue balik dulu ya, terima kasih bantuannya." Dia pergi tanpa mendengar jawaban dari Raffa.
"Eh? "
Raffa heran sendiri melihatnya. Tawa kecil terdengar. "Aneh."
#
Benar saja. Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Para siswa berhamburan keluar kelas menuju tempat tujuan mereka. Ada yang ke kantin, perpustakaan, ruang OSIS, ruang ekskul.
Nara masih menggendong tas. Sebelum dia pergi ke kelasnya yang ada di lantai dua, Nara melihat ke mading yang menarik perhatiannya sejenak.
"Ooh akhir bulan ada lomba ekskul. Bakal rame nih kayaknya. Tapi percuma juga sih. Gue 'kan ga ikut ekskul apapun." Gumamnya pada diri sendiri.
Baru saja Nara akan melangkah, matanya menangkap sosok Raffa yang sedang bersama pacarnya, Thalia. Ya, Nara tahu namanya. Mereka berdua kan couple goalsnya sekolah ini. Sudah berpacaran sejak kelas 1, hanya itu yang dia tahu. Sejujurnya Nara sendiri bukan orang yang suka ngikut gosip-gosip, sih. Paling itu kerjaannya Erika, teman sebangkunya.
"Naraaaa. Lo telat kan?"
Teriakan itu menggema di sepanjang koridor. Siapa lagi kalau bukan Erika. Bahkan Raffa dan Thalia ikut menoleh ke arah Nara.
"Temenin gue taruh tas dulu ke kelas, baru kita jajan di kantin, Er." Pinta Nara sembari menarik tangan Erika menaiki tangga.
"Eh iya iya. Santai dong, bun."
Tatapan Nara dan Raffa bertemu. Tak lupa, Nara juga bisa menangkap ekspresi kesal dari wajah Thalia.
**
"Aduh! Hari ini bener-bener hari yang melelahkan. Capek banget Ya Allah."
Sekarang kedua cewek itu sedang di meja kantin, menunggu makanan yang dipesan datang.
"Lo abis berpetualang ke mana aja hari ini? Gue liat-liat itu bukan seragam lo, Nar." Erika menyipitkan matanya curiga.
Telunjuk Nara menyentil telinga Erika, menimbulkan ringisan kesal darinya.
"Heh! Jangan mikir yang aneh-aneh. Tadi pas pergi sekolah gue dicipratin becekan. Udah gitu yang punya mobil gak minta maaf sama sekali. Kotor tuh seragam gue. Nah untungnya di jalan gue ketemu orang baik, jadi dipinjemin deh. Lupa gue namanya siapa. Nanti gue kembaliin." Jelasnya panjang kali lebar dengan semangat.
Erika mengangguk percaya. "Eh eh lo kenal Dita anak kelas sebelas gak, Nara?"
Hembusan napas lelah Nara keluarkan. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Gak. Kenapa dia?"
Erika tertawa. "Baju dia kan ngetat, dateng Bu Sasmita dirobek dong di depan ruang guru. Pake gunting juga. Hahaha. Tau rasa dia. Kecentilan, sih."
Gibahan Erika dimulai.
Bukannya menyimak Erika yang asik bercerita, Nara malah mengantuk.
Gak lama kemudian, makanan datang. Mulut Erika pun sudah diam mengunyah.
#
"Woi ada yang kosong gak?"
"Penuh."
"Penuh semua."
"Haduh gimana dong ini? Gue kebelet oi! Cepetan kek. Duh."
Seorang cowok sibuk mondar-mandir keluar masuk kamar mandi. "Boker di mana dong gue.."
Karena tak punya pilihan lain, cowok berambut gondrong menutupi mata itu nekat masuk toilet cewek. Untungnya sekarang sudah bel masuk. Kelas-kelas sudah mulai belajar lagi. Jadi toilet cewek yang terdekat sudah sepi.
Toilet cewek yang ada di paling ujung ini sering sepi, sih. Jadi dia yakin-yakin saja tidak akan ada orang.
Ketika sedang asyik mengeluarkan tinja, cowok itu mendengar segerombolan cewek masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu utama.
Dia panik bukan main. Dia bergegas membereskan dirinya. Lalu mulai berpikir bagaimana caranya keluar dari sana.
"Mamaaa anakmu terjebak di sini. Alamak masuk BK nih gue." Gumamnya pada diri sendiri.
"Permisi, mohon maaf ya cewek-cewek di sini ada cowok lagi terjebak. Please help me!"
"Aaaakkkk!"
Segerombolan cewek itu berteriak dan buru-buru memakai baju olahraga mereka.
***
Sekarang kelas Nara diisi oleh pelajaran Olahraga. Pak Iman memberi amanah melalui ketua kelas agar semua siswa segera mengganti baju olahraga, sementara beliau menunggu di lapangan untuk mengabsen.
Cewek-cewek di kelasnya memang terbiasa mengganti di toilet, nah yang cowok mengganti di kelas karena mereka lebih simple.
Nara dan Erika selesai berganti pakaian. Seragam putih abu-abu sudah mereka simpan di loker. Kenapa cepat? Karena Nara dan Erika memilih berganti baju di toilet cewek dekat kantin. Nah, saat akan melewati lapangan, mereka mendengar teriakan cewek-cewek kelas mereka.
"Itu anak kelas kita kan? Kok pada teriak?"
"Gue juga gak tau, Er. Samperin, yuk ke sana."
"Yuk yuk."
Baru saja Nara ingin membuka pintu, seseorang menerobos tubuh Erika.
Tangan Nara dengan sigap berhasil menarik kerah baju cowok yang mau kabur tersebut.
"Eh eh mau kabur lo ya!"
"Ampun! Ampun, Kak. Gue kebelet boker jadi masuk toilet cewek!" Cerocosnya heboh. Tangannya menutupi wajah demi menghindari pukulan-pukulan dari para cewek-cewek teman kelas Nara.
Erika menyubit gemas lengan adik kelas itu. "Awas ya lo kita aduin ke BK!"
"Ayok tunggu apa lagi? Girls, kita seret dia ke BK." Gina berseru. Disetujui oleh sepuluh cewek lainnya.
"Guys, dua orang aja cukup nganterin. Gak perlu rame. Kasian Pak Iman sama anak cowok udah pada nungguin di lapangan." Saran Nara. Dia menenangkan keributan sejenak.
#
"Jadi, Geovan Abimana ini udah kasus ke berapa?"
Bu Lita, guru BK sudah lelah menghadapi kelakuan Geovan yang banyak sekali masalah.
Sementara itu, yang ditanya hanya diam saja.
"Bu, dia masuk toilet cewek."
Cika dan Rissa menjadi perwakilan yang lainnya. Mereka-lah yang mengadukan semuanya pada Bu Lita.
Geo menggaruk rambutnya yang panjang. Bingung harus menjelaskan dari mana. "Gini, Bu. Saya tahu saya gak sopan masuk toilet cewek. Tapi jujur deh, saya kebelet buang air besar dan gak ada pilihan lain. Kebetulan pas saya masuk toiletnya gak ada orang. Sumpah!" Dua jari dia naikkan sebagai tanda kejujuran.
"Terserah kamu, Geo. Ibu udah capek sama kelakuan kamu. Cika, Rissa, balik ke lapangan aja. Biar Geo ibu yang urus."
Kedua perempuan itu berpamitan pada Bu Lita dan tak lupa memandang sinis ke arah Geo. Rissa sempat mengacungkan jari tengah ke arah Geo dengan sembunyi-sembunyi. Geo yang melihatnya melotot seketika.
Bu Lita mengeluarkan gunting dari laci mejanya. Mata Geovan membelalak menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Bu Lita, please besok saya pangkas kok." Panik, dia menutupi rambutnya.
"Sini, Ibu juga jago pangkas kok. Rapi lagi. Kamu ga perlu ke salon. Haduh udah kelas sebelas bukannya tobat."
#
Olahraga kali ini Pak Iman membebaskan siswanya bermain apa saja. Setelah mengabsen, beliau izin ke kantor guru karena dipanggil Kepala Sekolah.
Nara dan Erika memilih permainan bulu tangkis. Keduanya sedang asyik bermain berdua, sampai mata Nara melihat Raffa dan anggota basket lainnya sedang berkumpul di bawah pohon besar.
Lagi lagi jantung Nara berdegup cepat dibuatnya. Jaraknya dan Raffa tidak begitu jauh. Wajah Raffa masih bisa terlihat begitu jelas dari tempatnya berdiri.
Nara lo kok bengong, sih. Ayo buruan lempar kocknya."
Teriakan Erika menyadarkan lamunan Nara. "Ah iya hehe." Kemudian, dia bermain kembali.
Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Raffa. Berpura-pura berputar, tertawa sampai terduduk, sampai mengajak Erika tos.
Nara tidak tahu sejak kapan jantungnya seperti ini. Padahal, dulu melihat Raffa dia biasa saja. Cewek itu merasa aneh dengan tingkahnya sendiri. Aneh bukan? Hanya dengan kejadian hari ini bisa membuat Nara memusatkan seluruh perhatiannya pada cowok itu.
"Ups, sorry hehe."
Erika melempar kock terlalu jauh. Entah bagaimana caranya, kock itu mendarat di jarak lima meter dekat anak-anak basket.
"It's okay. Gue aja yang ambil. Bentar."
Nara memutuskan ke sana. Langkah kakinya gemetar seiring mendekat. Ketika Nara membungkuk, segerombolan anak cewek hits tak sengaja menabrak bokongnya. Alhasil, Nara terjerembab ke dalam genangan air yang belum kering.
Lagi, baju olahraga Nara basah.
Semua yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Termasuk Raffa, ia ikut tertekeh kecil.
"Hahaha. Sorry ya, siapa nama lo? Sorry banget gak sengaja."
Angel, Nara tahu namanya. Tak lama, mereka pergi begitu saja meninggalkan Nara yang basah. Untungnya, genangan airnya tidak kotor.
"Aduh, Nara. Maafin gue ya. Ini gara-gara gue lo jadi kena apesnya. Yuk yuk kita ganti baju dulu. Ini kasih aja sama Clarissa, dia mau main sama Sisil." Erika mengambil alih kock di tangan Nara lantas memberikannya pada Clarissa.
Nara diam saja saat Erika membawanya. Sejujurnya dia tak masalah jadi kotor seperti ini. Yang bikin mengenaskan adalah, dia jatuh di depan Raffa dan itu sangat memalukan. Sakitnya sih engga, malunya itu lho.
Selesai berganti baju ke seragam putih abu-abu milik teman Raffa, Nara bersama Erika kembali ke lapangan untuk membantu teman yang lain membereskan peralatan olahraga. Tanggungjawab bersama.Alat-alat seperti bola sepak, bola basket, bola voli, raket badminton, kock, tali skipping harus tersusun rapi di dalam gudang penyimpanan.Yang lain sudah selesai. Nara dan Erika terakhir datang, makanya mereka jadi yang paling terakhir.Nara meletakkan satu bola voli yang tersisa, namun bola tersebut ternyata menggelinding dari tempatnya. Hingga saat Nara mengejarnya, bola itu sampai di kaki seseorang yang tak Nara harapkan.Raffa.Entah mengapa rasanya hari ini semesta seakan sengaja mempertemukan mereka.Nara menatap Raffa lamat-lamat. Bingung harus berbuat apa."Bolanya gue ambil." Ujarnya seraya memeluk bola itu."Eoh? O-oke-" Nara mengangguk kaku. Detik itu juga Nara pergi keluar gudang, meny
Esok paginya di sekolah, Nara disambut kegaduhan. Jalannya menuju kelas jadi terhambat karena kerumunan siswa menghalangi jalan di koridor kelas dua belas."Demi Tuhan, ini masih pagi." Gerutunya sambil berusaha bertahan.Desak-desakan membuat tubuh kurusnya terombang ambing.Menyerah. Nara berjalan mundur ke belakang. Napasnya pengap seketika.Nara tidak tahu apa yang sedang terjadi di pusat kerumunan. Tubuh siswa siswi di sini menghalanginya. Hanya suara keributan yang dapat dia dengar.Mata Nara melihat sekeliling. Dia menemukan kursi kosong di balik pintu kelas IPA. Diambilnya kursi itu lalu naik ke atasnya. Kini, tubuhnya lebih tinggi dari siapa pun.Terlihat seorang cewek menarik rambut Tasya-anak IPA kelas dua belas. Fathur, sepupunya Tasya berusaha menenangkan anak cewek yang diketahui kelas sepuluh.Beberapa siswi di sana juga berusaha menengahi adik kelas yang seperti kesetanan itu.&
"Woi neduh dulu baju lo basah semua itu."Jantung Nara kembali heboh. Ia tahu itu suara Raffa. Dirinya tak menyangka Raffa akan menarik lengan bajunya lalu menyeret Nara seperti anak kucing."Engga ah gue mau langsung pulang." Nara melepaskannya. Sadar sedang diperhatikan keempat cowok itu, Nara menahan malu.Nara dan Raffa berhadapan dan bertatapan cukup lama."Keras kepala." Celetuk Raffa.Masa bodoh dengan ketiga temannya Raffa, ia berlari pergi begitu saja meninggalkan mereka.#Besoknya Nara demam, hari ini ia izin masuk sekolah.Kemarin, pulang sekolah Kiki mengomelinya habis-habisan. Benar yang dibilang mamanya, Nara sakit hari ini. Badannya panas disertai flu.Seharian ini dirinya cuma berbaring di kasur, tidur, makan, main handphone, tidur lagi. Begitu seterusnya sampai keesokan harinya, panasnya turun. Nara memutuskan masuk sekolah meski memb
"Loh ini siapa? Kok muka kalian pada luka gitu?Sini masuk nak masuk."Kiki membantu Nara yang kesusahan berjalan karena betisnya sakit ditendang. Ia juga mempersilakan Raffa duduk di sofa."Kalian tunggu di sini dulu ya. Mama bawa kompres dan obat-obatan lainnya." Kiki panik, dia berlari cepat ke dapur."Papa anaknya ini lukaaa."Firdaus buru-buru keluar dari kamarnya. "Ya ampun. Kok bisa gini, Ra? Ini temennya juga lebam gitu."Nara menceritakan kronologinya. Kedua orang tua Nara terkejut.Nara dan Raffa duduk bersebelahan di sofa yang sama."Sini sini Mama obatin. Nama kamu siapa nak? Temennya Nara ya?" Tanya Kiki sembari menyiapkan kompres handuk pakai air hangat.Gadis itu membuka balutan hoodie di tangan Raffa. "Ma, Pa. Luka Raffa harus cepet diobatin nanti infeksi.""Ya Allah. Pa, papa obatin Nak Raffa. Mama ngurusin Nara ya. Sana cepetan!" Perintah Kiki."Iya
"Ma, Nara jogging ya ma. Boleh ya?""Gak usah. Di rumah aja. Nanti kamu kehujanan." Timpal Kiki yang sedang mencuci piring.Nara meletakkan kepalanya di atas meja makan. "Papa aja ngizinin masa mama enggak."Masih pukul tujuh pagi, Nara membujuk Kiki. Ia ingin pergi jogging di pagi ini. Tetapi, Tata melarangnya dengan alasan cuaca sedang mendung. Nara sudah bilang kalo mendungnya palingan cuma sebentar, nanti matahari pasti terbit lebih cerah. Tetap saja mamanya itu kekeuh. Sifat keras kepala Nara memang turunan dari Ibunya."Ya udah cuci dulu sepatu kamu, tuh. Baru boleh pergi.""Udah dicuci, Ma. Kemarin pulang sekolah langsung Nara cuci."
Pulang sekolah, selesai makan Nara membantu Papanya membersihkan ubi ungu dari tanah yang menempel. Di belakang rumah Nara, ada gubuk khusus yang dibuat Firdaus. Biasanya tempat itu digunakan untuk keperluan hasil kebun.Nara memakai kaos oblong warna biru dan celana panjang hitam. Keringat membasahi baju. Tangannya dengan sigap merontokkan tanah di ubi dengan sikat.Firdaus juga di sana. Dia sedang memisahkan wortel, ubi ungu, tomat, dan timun ke keranjang masing-masing."Nih, minuman sama rotinya ya." Kiki datang membawa nampan berisi makanan. Lalu ikut duduk di sana."Makasih, Ma." Ucap Nara."Nara, yang kemarin itu beneran temen kamu?" Tanyanya kepo. Nara merasakan ada maksud lain."Iya, temen, Ma. Kenapa?"Kiki menggeser duduknya menjadi lebih dekat ke Nara."Ganteng tau. Kamu gak mau sama dia?"Nara mengangguk semangat. "Maulah. Aku kan emang suka sama dia, Ma. Tapi dia udah puny
Nara sedang menemani Papanya mengantar hasil kebun dengan menggunakan mobil maxim, untuk diantar ke penjual buah yang sudah memesan. Mobil ini hanya pinjaman dari sahabatnya Firdaus."Wih seger-seger ya, Daus." Puji Pak Toni, si pembeli yang seumuran dengan Firdaus."Yo jelas. Baru semua ini boss." Firdaus menanggapi.Nara membantu mereka menurunkan buah-buahan dan sayuran ke tempat yang disediakan."Dek Nara, sehat?" Tegur Hesti, istri Pak Toni."Alhamdulillah, Bu sehat." Nara menyunggingkan senyum.Ya, suami istri itu memang langganan Firdaus. Nara sudah mengenal mereka karena dia sering menemani Papanya.Selesai.Firdaus berbincang sebentar dengan Pak Toni. Nara memutuskan kembali ke mobil. Saat Nara baru saja akan membuka pintu mobil, ia mendengar teriakan dari arah kiri."COPET!""COPET!""TOLONG ADA COPET!"Seorang Ibu-ibu berter
Sore ini Nara sedang asyik memotret pemandangan sore di taman yang biasa dia datangi kalau suntuk mau ngapain. Mengandalkan kamera ponsel, Nara berhasil menjepret beberapa gambar aesthetic. Cewek itu lumayan tertarik di bidang fotografi, foto-foto miliknya ia kumpulkan di instagram.Mata Nara terpaku pada suatu objek di ujung sana, dekat danau. Ada seseorang yang sangat mirip dengan Raffa. Nara sampai mengucek mata lalu melihatnya lagi. Benar. Tidak salah lagi, itu adalah Raffa. Memakai jaket hitam, celana pramuka sekolah, serta sendal jepit.Perlahan tapi pasti, Nara melangkah mendekati cowok yang berada di bawah pohon itu. Nara membuat langkah tanpa suara, berjalan di balik pohon.Samar-samar Nara mendengar suara isak tangis dari sana. Ia tertegun menyadari itu."Raffa."Nara menampakkan diri, duduk di samping Raffa yang terlihat tengah menghapus air matanya.Hening beberapa saat."Astaga, Raffa.
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga. Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja. Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh. Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Nara mematung mendengar penjelasan panjang dari Geo. Cewek itu membelakanginya sejak tadi."Kak Nara, maaf. Maafin gue sama Erika, ya." Ujar Geo menyesal, dia menundukkan kepala.Keduanya sedang berbincang di halaman depan rumah Erika. Sore ini Nara memutuskan menjenguk Erika dan ya, dia melihat sendiri bagaimana keadaan sahabatnya itu. Bahkan ketika ia mengetahui yang sebenarnya, Nara belum mau berbicara dengan Erika maupun Geovan.Hembusan angin sore membuat daun dari pohon mangga berjatuhan ke atas rumput. Rambut pendek Nara menari-nari bersama udara. Kelopak matanya dipenuhi air yang sekali kedip saja bisa tumpah membasahi pipi.Hatinya terlalu nyeri untuk mengatakan sepatah kata. Nara terisak sampai menutup mulutnya sendiri, takut tangisnya terlalu keras.Dia hanya tidak menyangka ini akan terjadi. Sahabatnya. Masa depan Erika sudah hancur. Kena
Hari ini adalah pembagian rapor anak SMA Nusantara. Sabtu pagi ini sekolah dipenuhi para orangtua siswa yang akan bertemu dengan wali kelas anaknya. Nara mengajak Firdaus untuk mengambilkan rapornya. Kebetulan hari ini Papanya itu sedang libur kerja. Nara tidak mau Mamanya yang datang karena itu akan berbahaya, beliau pasti akan menceramahi Nara jika nilai rapotnya di semester ini sangat jelek. Berbeda dengan Papanya yang santai saja."Sabar ya, Pa. Nama Nara sebentar lagi dipanggil, kok." Bisik Nara pelan. Ia menepuk paha Firdaus.Saat ini ayah dan anak itu tengah duduk di bangku kelas Nara, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas.Mama Erika baru saja selesai mengobrol dengan wali kelas, entah kenapa dia tampak terburu-buru ingin pulang ke rumah. Nara mengerutkan kening keheranan, Bu Lia sama sekali tidak menyapa dirinya dan juga Papanya. Padahal, selama ini mereka kenal dekat. Dan juga Erika, cewe
Sorak sorai penonton bergema di lapangan basket pagi itu. Pertandingan berlangsung seru. Kemeriahan Hari Kamis ini semakin menggebu kala tim Raffa berhasil mencetak poin kemenangan.Semua supporter berdiri sambil berteriak dan memukul balon tepuk. Nara bertepuk tangan, sesekali ia menutup gendang telinganya yang berdengung akibat suara teriakan itu.Ada yang aneh pada Raffa hari ini. Nara menyadari itu. Caranya bermain tak gesit seperti biasanya sampai-sampai teman satu timnya berkali-kali menegur Raffa. Mereka kehilangan poin karena Raffa."Oi, Nara!"Erika dan Geovan kembali dari kantin. Mereka memberi Nara satu minuman kaleng. Nara pun langsung meneguknya."Tim Raffa mah gak usah diraguin lagi. Tapi kayaknya tim adek kelas pada gak mau kalah ya." Komentar Geo.Semuanya kembali duduk ketika tim basket istirahat sejenak. Para pelatih menghampiri anak asuhnya, memberi arahan."Kalian liat Kevi
"Kok pada diem?" Tanya Raffa sambil mengunyah gado-gado santai.Dua orang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara yang menetralkan detak jantungnya dan Kevin yang menahan kekesalannya. Pemuda itu membuang muka."Minggu depan classmeet, kan? Kalian udah persiapkan apa aja?" Nara berusaha mencairkan suasana."Gue sama tim udah sepakat. Untuk pertandingan kali ini kami gak peduli mau menang atau kalah. Yang terpenting nikmati jalannya permainan. Karena ini pertandingan terakhir kami sebelum lulus." Jelas Raffa."Lo gimana, Vin?"Nara menatap Kevin yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. Ia melihat tangan Kevin yang mengepal kuat. Sebenarnya ada apa? Nara sama sekali tak mengerti."Gue udah keluar dari tim futsal."Raffa dan Nara serentak menatap si pembicara."Kenapa?""Males aja. Mau fokus ujian.""Keren." Nara mengacungkan dua jempol untuk Kevin.&nbs
Memasuki minggu remidial adalah suatu hal yang paling membosankan dalam hidup Nara. Ini baru hari Senin, tapi rasa bosannya serasa menggerogoti jiwa.Suatu keberuntungan untuk Nara ketika melihat pengumuman di mading. Di semua mata pelajaran Nara tidak ada yang remidial. Erika pun sama. Mungkin karena mereka berdua belajar bersama mempersiapkan ujian.Berbeda dengan keduanya, Geovan justru banyak mendapatkan remidi. Mulai hari ini cowok tengil itu disibukkan dengan belajar untuk mengulang ujian. Nilainya benar-benar buruk. Erika lelah mengomeli pacarnya itu.Sementara itu, Nara dengar Raffa dan teman-temannya harus mengikuti remidi juga di beberapa mata pelajaran. Ya, Raffa bilang, sih, sudah biasa karena di antara mereka tidak ada yang begitu pintar.Entah sudah berapa kali Nara menghela napas lelah. Tumpukan buku tebal yang dia bawa sangatlah berat. Tadi, ketika melewati rua
Kevin mempercepat langkahnya menuju ruang ujian. Keringat mengucur di pelipisnya karena berlari sangat jauh, dari gerbang sampai ke lantai dua. Hari ini dia terlambat sepuluh menit. Ujian sudah dimulai.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Bu. Mohon maaf saya terlambat." Ucapnya di depan pintu kelas. Seluruh pasang mata menatap ke arah Kevin.Pengawas ujian hari pertama ini adalah wali kelas mereka sendiri. Jadi sangatlah mudah mendapatkan maaf. Kevin menghela napas lega saat diperbolehkan duduk di kursi yang sudah dipisah-pisah, diberi jarak. Masing-masing dari mereka duduk dengan adik kelas.Entah kebetulan atau tidak, Kevin kedapatan duduk di sebelah Nara. Di barisan paling belakang. Seiring mendekat ke kursi, bisa Kevin lihat Nara sedang memberinya senyuman. Ia pun membalas senyum itu."Jangan ada yang mencontek, ya. Kerjakan yang jujur."
Bersama teman-temannya, Nara semakin hari mulai berangsur membaik. Orang-orang yang kemarin mencibir dan menatapnya aneh satu persatu meminta maaf. Nara kembali menjadi pribadi yang ceria. Bersama Erika tentunya.Hubungannya dengan Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang juga baik-baik saja. Pertemanan mereka semakin erat. Sayangnya perasaan Nara pada Raffa belum juga pudar, malah semakin luas. Nara ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu.Namun, ada yang berbeda dari pemuda itu. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua minggu belakangan ini Raffa tampak murung. Nara menduga ada hubungannya dengan Thalia. Cewek mirip selebgram itu sudah tidak pernah terlihat lagi di sekolah. Ia seakan menghilang, pindah sekolah mungkin.Seperti sekarang, di saat yang Dendi, Rizki, Bintang, Geo, dan Erika asyik menikmati waktu sore di rooftop rumah Raffa, si tuan rumah malah menyendiri di sudut- tempat melihat senja di ujung.