“Ah ... akhirnya.”Melanie berteriak kegirangan ketika melihat laki-laki yang begitu diharapkannya terlihat berjalan ke arah sofanya.“Zan!” Melanie melambaikan tangannya.Veronica yang duduk di sampingnya menghela napas dalam. “Nona Melanie Ann, bukankah sudah jelas kalau Zan akan ke sini?”Melanie melirik sinis. “Nggak usah ngurusin aku!”Veronica geleng-geleng kelapa. “Untung di Victory ini nggak ada wartawan yang bisa masuk. Coba saja ada, pasti penggemarmu pada ilfil.”Melanie mengedikan bahu dengan tak acuh. “Itu kenapa aku nongrong di klub ini, aku bisa berbuat sesuka hati tanpa khawatir dengan apa yang akan keluar di media besok.”“Sini, Zan!” Melanie menarik tangan Zan. Lalu, ia memiringkan kepala dan menatap tajam ke arah Veronica. “Geser!”Lalu, Melanie membuat Zan duduk di tengah-tengah karena mau nggak mau Veronica harus mengalah dengan sedikit bergeser ke tepi sofa.Melanie tersenyum lebar, ia menggandeng lengan Zan dan menyandarkan kepala di bahu Zan.“Aku speechless,”
“Hans.” Akhirnya, Hana membuka mata, ia melayangkan pandangannya ke bawah jalan layang di mana bertahun lalu Hans menemui ajalnya.Ia menangis menuntaskan kesedihannya yang lama terpendam. “Aku nggak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi, tapi benar apa yang dikatakan ayah, aku nggak mau membuat kematianmu sia-sia.”Ia mengucapkan itu seolah Hans ada di dekatnya. Lalu, ia mencoba melepaskan rasa bersalah yang selama ini membebaninya.Hana mengembuskan napas panjang untuk membuat dadanya terasa lebih lapang. “Hans, ada hal penting yang harus kulakukan, menemukan ayah. Dan Kamu telah meninggalkan bantuanmu pada Andro dan Alex.”Hana segera meninggalkan jalan layang itu dan kembali ke tempat tinggalnya.***Waktu berlalu. Hana baru saja menyelesaikan robot hexapod. Robot berkaki enam itu bergerak meniru cara jalan laba-laba.“Tring!” Alarm yang terpasang di gerbang depan terdengar, pertanda seseorang baru saja masuk ke dalam halamanan rumah kecil itu.“Alex!” sapa Hana begitu melihat
“Begini ....” Alex mengubah posisi duduknya dengan makin mencondongkan bahunya ke arah Hana. “Majestic memang bangunan kuno, tapi pengamanannya melebihi Victory.”“Melebihi?” Kening Hana berkerut.Alex mengangguk. “Secara teknologi, boleh jadi Majestic kalah dengan Victory, tapi restoran ekslusif itu meletakan keamanan pada program keesklusifannya, juga pada pengecekan per orang.”“Begitu?” Seketika otak Hana berusaha mencari celah dari halangan yang baru ia dengar. “Ah ....” Ia menghempas punggung dengan kasar ketika pikirannya buntu.“Kecuali Kamu bisa datang sebagai tamu undangan VIP dari member tertutup Majestic.” Alex mencetuskan ide.Hana menekan-nekan pelipisnya ketika ide itu makin membuatnya bingung.“Drrt!” Kebingungan Hana disela oleh telepon genggamnya yang bergetar. Satu panggilan masuk terdeteksi.Gadis itu segera melongok layar yang menyala dan melihat sebuah nomor asing tanpa nama. Lalu, setelah sekilas melihat ke arah Alex, ia mengangkat panggilan itu.“Hanasta,” sapa
“Minta Max ke sini!” perintah Zan begitu menekan satu tombol pada interphone yang ada di atas meja kerjanya.“Siap, Bos.” Sahutan patuh dari sekretaris pribadi Zan langsung terdengar.Dan beberapa saat kemudian pintu ruang kerja Zan terbuka. Max masuk dengan tatapan ingin tahu. “Apa yang membuatmu memanggilku, Zan?”“Siapa yang mengizinkan Henry dibawa ke Majestic?!” Suara Zan meninggi.“Ah ...,” desah Max lelah. Ia yang baru saja duduk di kursi yang ada di depan meja kerja menekan-nekan pangkal hidungnya yang mancung. “Jadi, karena itu?”“Ini bukan masalah sepele, Max. Jika kolega kita dari Itali dan pihak lain mengetahui bahwa Henry masih hidup, kita akan dapat masalah,” keluh Zan kesal. Ia nggak dapat menahan kekesalannya.“Aku tahu itu, Max. Tapi-” Max menggaruk-nggaruk kepalanya yang nggak gatal. “Aku nggak mengizinkannya, cuma aku nggak bisa menolaknya, jadi aku membiarkannya untuk pergi sejenak dengan ... ayahnya Melanie Ann.”“Ah ....” Zan, yang sejak semula sama sekali nggak
“Nak, jangan khawatir! Aku bukan orang yang akan berdiri berlawanan denganmu.” Neo tersenyum.Hana mengembuskan napas dalam. “Sepertinya mata Anda lebih jeli dari yang kukira, Neo. Tapi, meskipun aku nggak bisa membohongimu, tapi aku juga nggak bisa mengatakan dengan jujur. Jadi, maaf.”Neo tersenyum. “Aku paham, berurusan dengan para Ducan itu memang harus berhati-hati.”Hana menatap tajam pada lawan bicaranya. “Bolehkan kita bicara dengan bahasa informal, Neo?”Neo terkekeh. “Tentu saja! Aku akan senang sekali, Nak.”Hana mengangguk. “Sebelumnya Kamu mengatakan akan berdiri di pihakku, apa Kamu sadar akan bahaya yang mungkin menimpamu?”Neo tersenyum. “Aku sudah setua ini dan aku juga sudah malang melintang di dunia bisnis. Jadi, aku sudah cukup mengenal para Ducan dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Hana, jangan khawatir! Aku akan berada di pihakmu dengan cara yang cerdas.”“Seperti?” kejar Hana ingin tahu.“Jika Kamu butuh bantuanku, katakan secara teknis, tapi jangan mence
“Petunjuk?” Kening Hana berkerut. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi beberapa sebelum kepergiannya keluar negeri.Dan detik itu juga, ingatannya memutar ulang kejadian itu.Malam itu Hana keluar dari kamarnya dengan bingung. Ayahnya yang biasanya sudah pulang dari bekerja di restoran belum terlihat. Rumahnya yang terletak di lantai dua itu terlihat lengang.“Hana!” Ayahnya muncul bersamaan dengan pintu yang terbuka. Ia terlingat terengah.Hana menyambut ayahnya dan segera mengambil alih dua kantong belanjaan dari tangan ayahnya. “Ayah sibuk banget ya?”“Lumayan.” Ayah Hana duduk di sofa.Lalu, Hana ikut duduk bersamanya. “Gimana kalau Hana bantuin kerja di restorannya, Ayah?”“Nggak! Nggak usah!” Ayah Hana menggeleng dengan cepat.“Hana ‘kan belajar mandiri, jadi sebagian waktunya bisa buat bantuin Ayah.” Hana bersikeras.Ayahnya tetap menggeleng ketika Hana menyodorkan air putih ke arahnya. “Setelah pendaftaran melalui sekolahmu dibatalkan, ini kesempatan terakhirmu, belaja
“Apa Kamu nggak ingin menjawab pertanyaanku, Henry?” desak Zan tersamar.Tapi, alih-alih menjawab, desakan itu membuat laki-laki paro baya itu menunduk.“Ah ...,” sela Max lelah. “Sepertinya sekarang ia sudah mulai berani melawan.”Laki-laki paro baya itu menggeleng pelan, tapi ia tahu jika ia nggak bisa berdiam lama-lama. “Saya nggak mengerti, Bos. Ini gadis muda yang mana?” ia mencoba berkelit.Sudut-sudut mata Zan menyempit. Tapi, ia tersenyum penuh arti. “Apa aku harus menjelaskan ciri-ciri gadis ini dengan detail?”Max terkekeh mengejek.Tapi, Henry mengangguk pelan. “Saya khawatir salah orang, Bos.”“Oke.” Zan mengangguk. “Gadis muda ini cantik, tinggi sekitar 160 cm, rambut lurus sebahu. Orang kita mengidentifikasinya sebagai Hanasta. Dan gadis itu juga terlihat mengunjungi bekas tempat tinggalmu di bangunan Halle. Jadi, masihkah Kamu bersikeras tak mengenalnya?”Mendadak Henry merasa dadanya sangat sesak. Tapi, ia menahan diri untuk bersikap mencurigakan, ia memilih tetap tena
“Saatnya istirahat, Hana!” seru Neo begitu memasuki salah satu ruangan di tower Robotic Tech yang diperuntukan untuk gadis itu.“Sebentar!” Hana menyelesaikan pengecekan pada sistem mekanisme salah satu robot yang sedang ia garap. Lalu, sekian menit kemudian, ia berhenti dan berjalan menuju meja di mana Neo telah menunggu.“Aku bawakan makanan paling enak dari restoran terdekat. Aku tahu Kamu malas pergi ke kantin.” Neo mendorong bungkusan ke arah Hana.Hana duduk dan melepas kaca mata anti silaunya. Lalu, ia membaui aroma menggugah selera yang menguar dari dalam bungkusan itu. “Aku jadi sangat lapar.”Neo tersenyum ketika dengan terburu Hana kemudian membuka bungkusan itu dan mulai melahap isinya.“Semua hasil karyamu yang sebelumnya berada di kediamanmu telah dipindahkan ke gedung ini. Orang-orangku sedang merancangnya untuk mengaplikasikan prototipe yang Kamu buat pada calon produk masal Robotic Tech.” Lalu, Neo membuka minuman kaleng dan menyesapnya.Sedangkan Hana mengangguk pela