“Petunjuk?” Kening Hana berkerut. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi beberapa sebelum kepergiannya keluar negeri.Dan detik itu juga, ingatannya memutar ulang kejadian itu.Malam itu Hana keluar dari kamarnya dengan bingung. Ayahnya yang biasanya sudah pulang dari bekerja di restoran belum terlihat. Rumahnya yang terletak di lantai dua itu terlihat lengang.“Hana!” Ayahnya muncul bersamaan dengan pintu yang terbuka. Ia terlingat terengah.Hana menyambut ayahnya dan segera mengambil alih dua kantong belanjaan dari tangan ayahnya. “Ayah sibuk banget ya?”“Lumayan.” Ayah Hana duduk di sofa.Lalu, Hana ikut duduk bersamanya. “Gimana kalau Hana bantuin kerja di restorannya, Ayah?”“Nggak! Nggak usah!” Ayah Hana menggeleng dengan cepat.“Hana ‘kan belajar mandiri, jadi sebagian waktunya bisa buat bantuin Ayah.” Hana bersikeras.Ayahnya tetap menggeleng ketika Hana menyodorkan air putih ke arahnya. “Setelah pendaftaran melalui sekolahmu dibatalkan, ini kesempatan terakhirmu, belaja
“Apa Kamu nggak ingin menjawab pertanyaanku, Henry?” desak Zan tersamar.Tapi, alih-alih menjawab, desakan itu membuat laki-laki paro baya itu menunduk.“Ah ...,” sela Max lelah. “Sepertinya sekarang ia sudah mulai berani melawan.”Laki-laki paro baya itu menggeleng pelan, tapi ia tahu jika ia nggak bisa berdiam lama-lama. “Saya nggak mengerti, Bos. Ini gadis muda yang mana?” ia mencoba berkelit.Sudut-sudut mata Zan menyempit. Tapi, ia tersenyum penuh arti. “Apa aku harus menjelaskan ciri-ciri gadis ini dengan detail?”Max terkekeh mengejek.Tapi, Henry mengangguk pelan. “Saya khawatir salah orang, Bos.”“Oke.” Zan mengangguk. “Gadis muda ini cantik, tinggi sekitar 160 cm, rambut lurus sebahu. Orang kita mengidentifikasinya sebagai Hanasta. Dan gadis itu juga terlihat mengunjungi bekas tempat tinggalmu di bangunan Halle. Jadi, masihkah Kamu bersikeras tak mengenalnya?”Mendadak Henry merasa dadanya sangat sesak. Tapi, ia menahan diri untuk bersikap mencurigakan, ia memilih tetap tena
“Saatnya istirahat, Hana!” seru Neo begitu memasuki salah satu ruangan di tower Robotic Tech yang diperuntukan untuk gadis itu.“Sebentar!” Hana menyelesaikan pengecekan pada sistem mekanisme salah satu robot yang sedang ia garap. Lalu, sekian menit kemudian, ia berhenti dan berjalan menuju meja di mana Neo telah menunggu.“Aku bawakan makanan paling enak dari restoran terdekat. Aku tahu Kamu malas pergi ke kantin.” Neo mendorong bungkusan ke arah Hana.Hana duduk dan melepas kaca mata anti silaunya. Lalu, ia membaui aroma menggugah selera yang menguar dari dalam bungkusan itu. “Aku jadi sangat lapar.”Neo tersenyum ketika dengan terburu Hana kemudian membuka bungkusan itu dan mulai melahap isinya.“Semua hasil karyamu yang sebelumnya berada di kediamanmu telah dipindahkan ke gedung ini. Orang-orangku sedang merancangnya untuk mengaplikasikan prototipe yang Kamu buat pada calon produk masal Robotic Tech.” Lalu, Neo membuka minuman kaleng dan menyesapnya.Sedangkan Hana mengangguk pela
“Pucat?” Zan menyeringai sinis. “Kenapa wajahmu mendadak pucat, Henry?”Henry menghela napas dalam. Ia menahan diri dengan keras agar apa yang bergejolak di hatinya tak tergambar di jelas pada gerak-geriknya. “Saya sangat terkejut dengan pertanyaan itu, Bos.”“Terkejut?” Zan terkekeh geli. “Bukankah di dunia kita pertanyaan seperti itu sudah biasa?” Suaranya terdengar mengejek.Henry mengangguk tanpa ragu. “Saya terkejut karena seperti dimintai persetujuan pembunuhan.”“Ah!” Zan geram. Ia merasa Max benar, lawan bicaranya itu kini pandai berkelit. “Ini berhubungan dengan orang yang mungkin Kamu kenal. Aku nggak ingin melenyapkannya tanpa persetujuanmu.” Ia mengedikan bahu dengan santai.Henry kembali menghela napas dalam. “Bos, saya memang pernah melakukan kesalahan beberapa waktu lalu, tapi saat ini saya sama sekali nggak ingin melakukan kesalahan yang lebih fatal, termasuk menyetujui sebuah rencana pembunuhan.”“Bukan karena ia seseorang yang mungkin dekat denganmu?” Zan mengepalkan
“Drrt!” Telepon dalam saku baju Hana bergetar.Gadis itu mengambil telepon genggamnya dan melihat nama Xenon terpampang di layar. Ia keluar dari ruang yang riuh dengan suara tangan-tangan robot yang sedang merangkai bagian-bagian dari satu produk yang akan dibuat secara masal.Ia duduk di salah satu sudut ruangan dari tower milik Robotic Tech yang berada di lantai 5. “Ya?” Ia tak mengucapkan salam sapa.“Suit!” Suara siulan Xenon menjawab kata tanya singkatnya.“Berita gembira?” tebak Hana dengan cepat.“Tepat!” sahut Xenon riang. “Aku akan bacakan sesuatu.”Hana menunggu.“Teta Tech mengadakan penjajagan pada Robotic Tech untuk melakukan kerja sama dalam pengembangan salah satu bisnisnya. Teta Tech mulai mengadakan profiling pada Robotic Tech yang merupakan perusahaan yang lebih kecil dari korporasi raksasa itu.” Xenon kembali bersiul. “Dan itu merupakan langkah awal kita.”“Itu artinya kita bisa mulai menyusup ke sistem Teta Tech?” harap Hana dengan antusias. Ia melayangkan pandanga
“Ugh!” Hana memegang perutnya.“Apa yang terjadi?” Sopir itu melirik sekilas dengan cemas.“Sepertinya dia sakit perut?” sahut Alex dengan cepat. “Iya, kan?” Alex menoleh ke arah Hana.“He em.” Hana mengangguk-angguk cepat.“Oh, oke.” Sopir itu menekan pedal gas dan mobil itu makin kencang melaju.“Turunkan saja kami di pertokoan terdekat,” cetus Alex seraya menoleh ke arah sopir itu.“Jadi, kalian nggak akan ikut aku ke toko kita?” Sopir itu sekilas melirik Alex.“Aku akan menyusulmu ke sana setelah mengantarkannya.” Alex pura-pura menunjukan wajah khawatir.“Oh, oke.” Kemudian sopir itu mempercepat laju kendaraannya.Dan sekian kilometer kemudian pertokoan yang dimaksud terlihat. Deretan mobil yang terparkir di sisi jalan mulai nampak.“Apa kalian akan turun di sini?” Mobil itu berjalan makin pelan.“Ya, ada klinik di sekitar ini,” jawab Alex dengan cepat.Dan mobil itu pun berhenti di dekat deretan mobil di tepi jalan itu.Hana segera keluar disusul dengan Alex. Mereka berdua mengu
“Ah! Aku merasa sudah hampir seabad nggak mendengar panggilan itu,” sambut Hana santai. Ia malah sibuk memanjakan matanya dengan fokus ke arah deretan mobil mewah di lantai dasar yang terlihat dari kantor Saga.“Itu karena setelah membuat onar Kamu kabur keluar negeri,” balas Saga tak acuh. “Dan kalian, kenapa membawa aktor di belakang layar di setiap perkelahian dulu ke sini?”“Kami merindukanmu, Saga,” timpal Alex, juga tak acuh.“Dan Andro, apa Kamu juga merindukanmu?” Saga menatap Andro dengan kesal.Andro menggeleng dengan santai. “Aku ingin memperlihatkan bengkelmu yang terkenal di antara para orang kaya di kota ini.”“Ah ....” Saga menghempaskan punggungnya ke sandaran kursinya yang tinggi. “Tapi, entah kenapa aku mencium bau masalah!”Lalu, laki-laki gondrong itu memperhatikan Hana yang bergerak menuju sisi lain dinding kaca kantornya. Dan ia bisa membaca apa yang ada di pikiran Hana ketika melihat gadis itu menatap kosong pada halaman kosong di bawah sana. “Ah ... ternyata Si
“Wah! Kenapa tiba-tiba Zan merayakan ulang tahun?” Melanie menatap penuh rasa ingin tahu ke arah Veronica.“Ah ....” Veronica memutar kedua bola matanya. “Gadis sepertimu tahu apa? Tahu pun juga untuk apa. Udah nggak usah ingin tahu! Fokus saja pada kegiatan keartisanmu!”Melanie melirik kesal. “Tapi-”“Ssst!” Telunjuk Veronica berada di depan bibirnya, wanita itu mengedarkan pandangannya ke arah satu ruangan luas yang berada di sisi lain kolam renang di Blue House. “Sepertinya para tamu mulai berdatangan.”Di salah satu ruangan di Blue Mansion, Veronica dan Melanie sedang duduk menunggu meeting mereka dimulai. Ruanga itu berdinding kaca sehingga dari sana pemandangan danau dan sebagian ruang-ruang di lantai satu rumah megah itu terlihat.Beberapa orang yang baru datang disambut oleh para pegawai Blue Mansion ditambah dengan beberapa pegawai didatangkan dari Victory. Sedangkan, para beberapa bodyguard keluarga Ducan ditempatkan di beberapa titik untuk menjaga acara itu dan mengecek ta