Helikopter Robinson 22 hitam mendarat dengan sempurna di helipad jasa penerbangan swasta.“Taksi sudah menunggu Anda, Nona.” Pilot itu menunjuk satu arah.Hana melihat ke arah yang ditunjuk dan melihat sebuah taksi warna putih sedang bergerak ke arahnya.Gadis itu mengucapkan terima kasih dan turun dari helikopter itu.Taksi berhenti di depan Hana.Dan ketika gadis itu masuk kedalamnya, “Ah ... Kamu nggak tahu betapa bahagianya aku melihatmu.”Hana mengangkat pandang dan melihat Alex tersenyum lebar. “Alex!” Ia menepuk bahu Alex dari jok penumpang.“Kita ngobrol sambil jalan.” Dan Alex menjalankan mobil itu keluar dari markas jasa penerbangan swasta itu.“Aku juga kangen ingin ngobrol denganmu.” Hana tersenyum.“Tapi, ada yang lebih kangen denganmu. Ia nggak sabar untuk mendengar suaramu.” Lalu, Alex menekan tanda speaker di layar kecil yang berada di dashboard mobilnya.“Hana!” teriak seseorang dari sambungan telepon itu.“Andro!” balas Hana antusias. Gadis itu mencondongkan badannya
“Ah ... Hana, Kamu nggak berpikir untuk-”“Ya, aku nggak bisa menunggu lebih lama lagi!” seru Hana tegas. “Tidak juga menunggu untuk-”Robot autonomus mendekat. Robot humanoid itu membawa nampan berisi makanan-makanan lezat.“Untuk ini.” Hana melihat isi nampan yang dibawa robot itu.“Ah ... padahal robot pintar ini baru kumasukan menu baru khusus untuk penyambutanmu,” sesal Neo lelah.Hana beranjak. “Aku akan melakukan semua yang Kamu sarankan setelah ini, Neo.”Dan Neo terpaksa mengikuti langkah gadis itu.Mereka berdua berjalan menuju ruang ANFIS.“Selamat datang Hanasta!” sambut beberapa tim orang laki-laki yang mengenakan jas dokter putih.Hana mengangguk hormat. “Terima kasih. Senang bertemu dengan kalian lagi.”“Kalian standby!” perintah Neo pada mereka.Mereka mengangguk patuh.“Sambungkan ke Xenon! Kita mulai sekarang!” pinta Hana tegas.Neo menjalankan permintaan itu.“Hana!” Suara riang Xenon seketika terdengar begitu panggilan itu tersambung.“Xenon! Terima kasih sudah men
Hana terdiam beberapa saat dengan tatapan menerawang. Sedangkan, Neo menunggunya dengan sabar.“Zan bekerja sama dengan orang-orang jahat itu. Dan jika mereka menginginkan salah satu orang yang melakukan kesalahan mati, Zan menyelamatkannya tanpa sepengetahuan mereka.” Hana kembali terdiam ketika teringat pengakuan orang-orang di The Hidden Slope.“Apa Kamu dibawa ke tempat penyelamatan itu?” Neo menatap penuh selidik.Hana mengangguk.“Tapi, di lain pihak, jika orang lain menginginkan mereka celaka, Zan juga berusaha melindunginya.” Kepala gadis itu sedikit meneleng dan raut wajahnya mencerminkan keheranan. “Sesungguhnya, apa yang diinginkan Ducan itu?”“Wah!” Neo menggeleng-nggelengkan kepala. “Ternyata Mr. Ducan adalah orang yang sangat menarik. Kita nggak tahu alasan personal apa dibalik tindakan-tindakannya, bukan?”“Drrt!”Telepon genggam Neo bergetar ketika Hana hendak menjawab pernyataan itu.Ia mengambil gadget itu dan melihat nama sekretaris pribadinya terpampang di layar. “
“Silakan!” balas Hana enteng.“Aku akan langsung pada inti masalah. Di sini, aku akan menuduhmu sebagai otak dari kebangkrutan mendadak dari Teta Tech, Blacksteel, Tencez dan beberapa korporasi yang mengalami nasib sama.” Zan menjeda tuduhannya.Hana diam.“Kamu nggak bisa mengelak karena korporasi-korporasi itu terkait dengan kasus informan ganda yang dilakukan oleh Henry Gail,” desak Zan tegas.Hana tersenyum. “Tepat. Aku memang melakukan itu.”Seketika Zan menoleh dengan cepat. Ia terkejut ketika gadis itu begitu saja mengakui itu.Hana melirik sinis. “Dan aku juga punya tuduhan yang sama. Kamu dan korporasi-korporasi brengsek itu ada dibalik penyerangan di dekat Hotel Majestic, termasuk penembakan yang mengakibatkan kematian ayahku!”Zan mengembuskan napas dalam. “Itu karena aku terlambat datang menolongmu. Seseorang telah menyadap informasi penjemputan itu.”“Apapun itu, sekarang ayahku sudah meninggal,” sesal Hana lirih.“Aku turut berduka cita. Aku sudah berusaha semampuku untu
Hana tak kunjung menjawab pertanyaan itu. Ia malah menatap wajah Zan selama beberapa saat.“Aku tahu aku seganteng itu. Kamu nggak perlu terlalu mengagumiku. Jawab saja pertanyaanku!” Zan mengerling.“Ihh!” Hana menyengirkan hidung. “Kamu benar-benar mengenal pembuat pengendali itu?” Ia masih tak percaya.Zan mengambil telepon genggamnya, lalu mengutak-atik layarnya. “Ini.” Ia memperlihatkan gambar seorang laki-laki berambut putih yang mengenakan kaca mata. “Theo.”Hana mengamati wajah dalam layar menyala itu. “Ha!” Ia mengenalinya.Zan seolah menikmati keterkejutan di wajah Hana. “Dia adalah Theodoric Ducan.”“Du-”“Ducan?!!” seru Hana tak percaya.“Kenapa? Kamu nggak percaya jika ia seorang Ducan?” tanya Zan penasaran.Hana mengangguk mengakui itu. “Namanya hanya Theo tanpa Du-”Tapi, ia terdiam ketika ingatannya menayangkan satu peristiwa ketika Theo pertama kali datang ke rumahnya di bangunan Halle.Ketika itu, Theo datang dengan luka-luka di tubuhnya. Dan ayahnya menolongnya dan
Waktu berlalu.Sore datang menggantikan pagi.Hana masuk ke ruang kerja Neo.Laki-laki itu sedang merawat tanaman indoornya yang berada di dekat jendela kaca berukuran besar.“Aku nggak setuju dengan rencanamu, Nak,” ucap Neo tanpa menoleh ke arah Hana.Gadis yang semula memperhatikan apa yang dilakukan Neo itu berjalan ke arah kursi yang ada di depan meja kerja Neo.“Jadi, apa yang Kamu sarankan?” tanya gadis itu seraya duduk di kursi itu.“Kita bisa menunggu. Orang-orang yang saat ini sudah tertangkap itu akan diproses. Dan penyidikan itu akan membuat mereka mengaku siapa orang yang menjadi otak penembakan ayahmu,” ucap Neo tegas.“Itu akan terlalu lama.” Hana bersungut-sungut. “Dan lagi, belum tentu mereka akan mengungkap itu. Bukankah mereka masih memiliki orang yang melindungi mereka?”“Pengacara-pengacara yang kita sediakan untuk menuntut mereka akan mengupayakan itu,” dalih Neo mempertahankan pendapatnya.“Neo ...,” rengek Hana seraya menggoyang-nggoyangkan kakinya. “Rencanaku
Hana mengulang nama Dans dengan penuh penekanan.“Kenapa Kamu memintanya? Kamu menyukainya? Nggak mungkin! Apa yang terjadi selama ia ikut bersamamu?” cerocos Zan kesal.Zan meletakan sendok di tangannya dengan kasar. Sendok itu berdenting ketika mengenai pinggiran piring.“Aku mengkhawatirkannya,” balas Hana singkat.“Khawatir?” Zan tak percaya. “Dia adalah salah satu dari orangku. Kamu juga nggak tahu siapa sebenarnya Dans. Bagaimana mungkin Kamu bisa mengkhawatirkannya? Kamu hanya mengenalnya selama beberapa saat.”Alih-alih segera menjawa kekesalan Zan, gadis itu justru mengernyit. “Kamu nggak membuatnya dalam kondisi setengah mati, bukan?”“Ah ....” Zan mendesah lelah.“Sudah?” sahut Hana cepat ketika membaca raut wajah Zan. “Kamu hanya mencurigainya sebagai pengkhianat, dan dengan itu Kamu membuatnya dalam kondisi setengah mati?”Hana menatap tajam. “Atau memang dia sudah mati?”Zan menghela napas dalam. “Dia orangku, apa pun yang kubuat dengannya, itu nggak ada hubungannya deng
“Eh?!” Hana pura-pura terkejut. Tanpa melepas tangannya dari menggenggam tangan Zan, ia menoleh ke arah Melanie. “Ada yang salah?”“Hentikan kekurangajaranmu, Brengsek!” umpat Melanie dengan wajah membesi.Hana menyipitkan kedua mata, raut wajahnya membentuk ekspresi heran. “Kurang ajar? Yang mana? Ini?” Ia sedikit mengangkat tangan Zan.Melanie menggemeretakan gigi.Tapi, Hana justru berpaling ke arah Zan. “Zan, apa menurutmu ini kurang ajar?” Pun ia sama sekali nggak melepaskan genggaman tangannya.“A- em- tidak. Tentu saja tidak,” balas Zan dengan sedikit tergagap.“Ah ... syukurlah.” Lalu, Hana berpaling ke arah Melanie dan tersenyum. “Kamu dengar itu, bukan? Aku nggak kurang ajar.”“Tapi ....” Hana sedikit menelengkan kepalanya ketika menelisik wajah marah Melanie. “Jika makan malam ini terlalu mengganggu matamu, aku akan mengakhirinya.”Hana beranjak, tapi tanpa melepaskan tangan Zan. Gadis itu berjalan ke arah Zan dan berhenti di antara kursi Zan dan Melanie.Lalu, ia mendekatk