“Ugh!” Seketika Hana menahan napasnya ketika bau menyengat yang menguar dari truk sampah di dekatnya masuk ke hidungnya.“Andro, ini benar harus menyalib truk bau ini?” Suara Hana berubah menjadi sengau.“Ya. Gas!” Andro juga menjawab dengan suara sengau karena melakukan yang sama.Hana terpaksa terus menahan napas dan melakukan apa yang diperintahkan Andro. Dan ia heran ketika truk sampah itu terlihat pelan-pelan bergeser untuk memberikan jalan untuknya.“Hufft!” Hana yang baru saja melewat truk itu terus bernapas melalui mulutnya.Ia juga harus kembali menahan kesal ketika di depan truk sampah itu ternyata ada truk lain yang membawa besi-besi berukuran panjang hingga ujung-ujungnya keluar dari baknya.“Terus?” Tanpa menoleh Hana kembali bertanya dengan suara sengau.“Salip truk besi itu!” Sekilas Andro melihat ke arah truk yang memuat besi itu dan kembali memelototi layar telepon genggam.Hana kembali melakukan perintah itu dan sekali lagi ia melihat bagaimana pelan-pelan truk besi
“Andro! Lepaskan dia!” Hana mendekat dan berdiri di dekat ketiganya.Dengan kesal, terpaksa Andro melepas cekalan tangannya dari baju Hans. Tapi, wajahnya bersungut-sungut. Sedangkan, Alex menepuk bahu Dans dengan kasar.“Biarkan Dans melakukan tugasnya di sini. Ia juga diperintah. Dia nggak punya pilihan lain,” ucap Hana dengan tenang.“Tapi, dia membahayakan Kamu dan Henry,” balas Alex kesal.Hana tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Dia orang baik.”“A?” Andro dan Alex ternganga seraya menatap Hana dengan heran. Lalu, keduanya menoleh ke arah Dans dan menemukan laki-laki muda berambut cepak itu sedang tersipu.“Woi!” Alex memukul bahu Dans sedikit keras. “Nggak usah mikir macam-macam!”“Hufft.” Andro menghela napas dalam. “Dia memang menyebalkan!”Dans tersenyum. “Aku nggak mikir macam- macam. Aku hanya kaget karena nggak pernah ada yang mengatakan aku baik.”“Uu!” Andro dan Alex memukul kedua bahu Hans dengan pelan.“Sudah! Sudah!” Hana kemudian kembali duduk di dekat ayahnya
“Ah ....” Zan mendesah lelah. “Tunggu! Kenapa kita terus mengulang-ulang masalah ini? Padahal berapa kali pun pembicaraan ini diulang, jawabanku akan tetap sama.”“Jangan pura-pura tak tahu, Zan! Kamu tentu sudah melihat apa yang terjadi di hotel kemarin. Kamu mengingkari janji untuk tak melepaskan Henry!” Laki-laki itu meninggikan suaranya.Zan mengangkat telapak tangannya. “Tunggu! Aku sedang dalam proses melihatnya.” Ia menunjuk layar komputer yang ada di dekatnya.“Tak perlu!” Veronica menyela dengan ketus. “Intinya kami semua tahu bahwa Henry Gail saat ini nggak berada di Blue Mansion lagi!”“Veronica, aku masih berhak mengutus Henry ke tempat-tempat yang kutunjuk, dengan pengawalan. Jadi, aku sama sekali nggak mengingkari perjanjian kita.” Zan menegaskan setiap kalimatnya.“Huft.” Veronica menghela napas dalam seraya memalingkan wajah. “Kamu nggak bisa lagi bersandar dengan kata-katamu itu, Zan.”“Ehem.” Arnold berdehem untuk memecah perhatian. “Aku setuju. Lebih baik Kamu berik
“Terima kasih.” Hana mengangguk pelan pada laki-laki muda yang diperintahkan Saga untuk mengantarkannya sampai ke tower Robotic Tech.Anak buah Saga itu balas mengangguk, lalu dengan cepat melarikan mobilnya dari halaman parkir tower itu.Tanpa menoleh lagi, Hana segera bergerak menuju lift khusus yang akan membawanya pada ruangan yang spesial dibuat untuk dirinya.Pintu lift terbuka.“Ah! Inilah sosok yang hampir membuat jantungku berhenti tadi malam!” sambut Neo begitu melihat Hana memasuki ruangannya.“Kamu menungguku?” balas Hana santai.“Ah ...,” desah lelah Neo seketika terdengar. “Aku sudah standby di sini sejak sejam yang lalu.”Hana tersenyum dan langsung berjalan ke arah sebuah kursi. Ia menghempaskan tubuhnya seraya menghela napas lega. Lalu, ia menekan satu tombol yang berada di tangan kursi.Seketika bagian bawah kursi itu terangkat untuk menopang kakinya. Sedangkan, pada bagian sandaran bergerak turun ke bawah secara bersamaan.Kini tubuh Hana seolah sedang rebah di kurs
“Neo.” Hana memejamkan mata.“Ya?” Neo memperhatikan layar hologram yang masih menampilkan slide gambar-gambar yang ia jelaskan tadi.“Em ... sistem kerja Anfis-”Seketika Neo mengangkat pandang ketika gadis itu menyebutkan metode kecerdasan buatan yang adalah gabungan dari sitem logika fuzzy dan jaringan saraf tiruan. “Kenapa dengan sistem itu?”Hana tak terburu menjawab. Ia malah memerintahkan percakapan dengan Xenon diakhiri.Neo bertanya-tanya. “Hana?” kejarnya ketika gadis itu seolah kembali tersedot dalam pikirannya.Hana membuka mata. “Em, sepertinya ... aku akan menerapkan sistem itu pada manusia.”“Ha?!” Seketika Neo terhenyak.Meskipun, Hana selalu menghadirkan ide-ide revolusioner untuk robotic, tapi pernyataan gadis itu membuatnya berpikir keras.“Apa ... eng ... Robotic sudah masuk ke tahap itu?” Alfa terkesan berhati-hati.Hana menggeleng pelan. “Belum.”“Lalu?” Kali ini Neo bingung.“Karena itu akan melakukan uji coba?” Tapi, pandangan mata Hana terlihat kembali meneraw
"Ayah." Hana memeluk ayahnya begitu laki-laki paro baya itu menyambutnya. "Apa semua baik-baik saja? Kenapa setelah dua hari baru ke sini?" Henry memeluk putrinya erat. "Ada beberapa hal yang harus dikerjakan," bohong Hana tanpa melepas pelukan. Ia menikmati momen itu. "Oh, syukurlah jika tidak ada hal buruk." Henry mengusap-usap kepala Hana dengan penuh kasih. Tapi, sesaat kemudian ia menyadari ada yang salah dengan suhu tubuh putrinya itu. "Nak, Kamu sakit?"Henry melepas pelukannya, lalu meletakan punggung tangannya ke dahi anak gadisnya itu. Ia merasakan suhu tubuh Hana sedikit diatas suhu normal. Hana menggeleng pelan. "Aku hanya capek.""Sini! Istirahat dulu!" Henry menuntun Hana ke sofa yang ada di ruang tengah. "Ayah akan membuat sup pereda demam."Dans yang sejak kedatangan Hana terus memperhatikan interaksi antara ayah dan anak itu mendekat setelah mengambil sebuah selimut. "Ini.""Terima kasih." Henry mengambil selimut itu dan menyelimuti tubuh Hana. Hana memperhatik
“Hana?” Suara Xenon kembali terdengar saat Hana tengah fokus pada ketidaksukaannya.“Apa akan aman menerima panggilan Zan di tempat ini?” Hana menjawab dengan cepat.“Aman. Panggilan itu akan dilaihkan ke tempat lain,” jelas Xenon tanpa ragu.“Oke. Kalau begitu aku akan menerimanya,” putus Hana dengan cepat.“Tunggu!” perintah Xenon membuat Hana menurunkan telepon genggam yang tengah menempel di telinganya.Dalam jeda tunggu itu, Hana melihat Dans masuk kembali ke rumah itu.“Sudah?” Hana heran.Dans mengangguk. “Aku hanya mengirimkan pesan teks bahwa melapor akan membahayakan jiwaku.”“Begitu?” Hana mengernyit.“Hei! Apa Kamu bilang?” Andro yang baru saja dari dapur mendekat.“Kamu membahayakanku.” Lalu, Dans mengedikan bahu.“Hei! Hei! Tak tau diuntung manusia satu ini!” Lalu Andro menghambur ke arah Dans dan memitingnya.Tapi, pitingan becanda itu membuat Dans tertawa-tawa.“Ah ....” Hana menghela napas dalam. “Sepertinya Zan Ducan bakal pusing dengan perubahan dari salah satu anak
“Ah, dari reaksimu, sepertinya apa yang kuduga benar.” Suara Neo terdengar melalui speaker yang bocor.Andro menoleh ke arah telepon genggam yang sejengkal berjarak dari telinganya. “Iya, benar.” Ia menjawab dengan polos.“Kalau saat ini Kamu berada dekat dengan Hana, tolong berikan telepon ini! Aku akan bicara dengannya sebentar,” pinta Neo dengan santun.“Oh,” sahut Andro singkat. Lalu, ia menyerahkan telepon genggamnya pada Hana.Hana menyusut air matanya, kemudian beranjak dan berjalan menuju kamarnya.Sementara itu, Andro dan ayah gadis itu hanya bisa memandanginya dalam diam.“Sepertinya apa yang sedang kita kerjakan berhasil dengan baik.” Neo memulai penjelasannya.“Ha? Tentang apa ini?” Hana yang masih terfokus pada kesedihannya sedikit bingung. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur.“Ini tentang alat kendali jarak jauh,” balas Neo pelan.“Oh.” Hana mengangguk paham meskipun saat itu Neo sama sekali nggak melihat keadaannya secara langsung. “Aku siap mendengarkan.”“Seperti y