Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa.
"Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua.
"Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.
Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa.
"Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman.
"Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku yang disalahin? Kita 'kan sama-sama melakukan dengan sukarela? Nggak bisa nyalahin aku saja dong." Lukman tidak mau kalah. Mereka selingkuh bukan paksaan, kok, kenapa hanya dia yang disalahkan?
"Gara-gara kamu sering godain aku, aku jadi terjerumus seperti ini," tuduh Ririn, "Aku nggak mau kalau Mas Harun sampai menceraikanku!" Ririn membuang muka. Mata Ririn memerah, entah karena kelamaan menangis atau mungkin karena amarah yang saat ini dipendamnya?
"Harusnya jika kamu memang wanita baik-baik, kamu nggak usah tanggepin aku. Kamu aja nanggepin, kok, kenapa nyalahin aku terus?" Lukman tak kalah berang. Bukankah perselingkuhan terjadi karena dua orang yang sama-sama mau? Harusnya Ririn tidak hanya menyalahkan dia.
"Kamu berengsek, Lukman!" Ririn histeris dan memukuli dada lelaki itu.
"Sudah ... sudah ...! Ini kenapa malah bertengkar? Waktu berzinah saja kalian lupa dosa, nggak inget kalau udah punya istri sama suami. Kenapa sekarang malah saling menyalahkan?" sela polisi yang juga jengah melihat kelakuan keduanya. Bisa-bisanya mereka bertengkar di dalam kantor polisi?
Ririn langsung berhenti memukul Lukman, tetapi tangisnya masih saja memenuhi ruangan itu. Penyesalan memang datang terlambat. Seperti yang Ririn rasakan. Dia tidak tahu apa reaksi Harun jika tahu istrinya berselingkuh? Dia tidak sanggup menjalaninya.
***
Lukman dan Ririn dibebaskan setelah mendekam selama dua puluh empat jam di sana. Mereka juga diberi penyuluhan bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Nayla sama sekali tidak peduli dengan sang suami, mau dia pulang apa tidak. Hatinya telah mati semalam.
Seperti biasa, wanita itu selalu bekerja setiap harinya dengan membawa Kina bersamanya. Untung saja majikan tempatnya bekerja sangat baik. Dia bahkan membiarkan Kina bermain dengan mainan anaknya selagi ibunya bekerja.
"Nay ...." Tepukan Bu Gita--majikan Nayla--menyadarkan wanita itu dari lamunan. Nayla yang sedang terbengong di depan mesin cuci. Tidak biasanya dia seperti itu. Nayla sangat cekatan dan juga rapi dalam pekerjaannya.
"Ada apa, Bu?" Wanita itu merasa bersalah karena Bu Gita memergokinya sedang melamun.
"Kamu kalau nggak enak badan, kamu istirahat saja. Nggak perlu masuk kerja." Berita tentang Lukman dan Ririn tentu saja telah berhembus dengan cepat di wilayah kampung itu dan telah sampai di telinga Bu Gita.
"Saya ...." Nayla menunduk, tidak kuat mengangkat wajahnya. Ada beban berat yang sedang dia tanggung, yang dia tidak pernah ceritakan pada semua orang. Tanpa sanggup melanjutkan ucapannya, buliran bening meluncur dari sudur matanya. Bibirnya terus terisak, betapa sakit hatinya saat ini.
Bu Gita yang trenyuh segera mengelus punggungnya. Dia ikut prihatin dengan musibah yang dialami oleh Ririn. "Kalau kamu mau cerita, Ibu bisa kok dengerin cerita kamu." Suara lembut Bu Gita begitu meneduhkan hati.
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" Akhirnya kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Nayla. Wanita yang selalu memendam semuanya seorang diri. Semua perlakuan dan suara Lukman yang merendahkannya, tidak pernah dia katakan pada orang lain.
"Bagaimana perasaan kamu?"
"Entahlah, Bu. Saya bingung. Setelah semua yang Mas Lukman lakukan pada saya, saya seolah tidak merasakan sakit lagi. Tetapi, saya tetap merasa bingung. Jalan mana yang akan saya tempuh?"
Nayla menangis bukan karena dia takut kehilangan Lukman tetapi karena dia sudah merasa lelah dengan semua ini. Dia tidak ingin hidup seperti ini, menjadi wanita miskin yang selalu dihina dan direndahkan, bahkan oleh suamnya sendiri.
Bu Gita langsung memeluk Nayla. Sebagai sesama wanita, dia mengerti bagaimana perasaan Nayla saat ini. Meski dari luar dia terlihat baik-baik saja tetapi Bu Gita yakin jika di dalam sudah remuk redam. Walau bagaimana pun Lukman dan Nayla telah menikah selama bertahun-tahun dan sekarang kehancuran rumah tangga itu sudah ada di depan mata.
"Kamu yang sabar. Ibu yakin kamu pasti kuat melewatinya. Kamu wanita yang hebat dan tegar, Nay."
Pulang bekerja, sudah ada Lukman di dalam rumah. Lelaki itu terlihat gelisah ketika melihat Nayla. Dia bahkan tidak berani memandang mata Nayla. Ada sedikit rasa bersalah yang dia rasakan karena telah mengkhianati Nayla.
Nayla memutar mata malas ketika melihat Lukman. Dia begitu muak dengan suaminya itu. Bahkan dia hanya melewati dan tidak menyapa Lukman sama sekali, seolah lelaki itu tidak ada di depan matanya. Dia menggendong anaknya dan berjalan menuju ke arah dapur.
Lukman yang merasa diabaikan lantas berbalik dan memanggil Nayla dengan keras. Dia merasa terhina dan direndahkan sebagai seorang laki-laki.
"Kenapa kamu melewatiku begitu saja? Apa kamu sudah tidak menganggap aku sebagai suami?!" teriak Lukman dengan suara yang keras hingga terdengar dari luar rumah. Bahkan tetangga di samping kanan dan kirinya bisa mendengar suara Lukman karena dinding mereka saling menempel.
Nayla hanya diam dan terus berjalan. Kina menyembunyikan wajahnya di dada Lukman seolah dia takut pada ayahnya tersebut. Nayla mendudukkan Kina di kursi yang ada di dapur dan dia membuka kulkas untuk mengambil air dingin.
Dia begitu kelelahan setelah mengayun sepeda dari tempat Bu Gita hingga sampai ke rumah. Matahari begitu terik sehingga keringat mengucur deras dari tubuhnya. Dia begitu haus sehingga dia langsung menghabiskan satu botol air mineral dingin yang baru saja diambilnya.
"Nayla! Apa kamu tuli? Kenapa kamu tidak menjawabku?" Lukman terlihat mendekat dan bersikap seperti seorang preman yang angkuh. Dia terlihat begitu marah dan menakutkan, membuat Kina ketakutan. Bibir gadis cilik itu bahkan bergetar, bersiap untuk menangis.
Nayla masih enggan menanggapi dan malah menghampiri Kina dan menggendong kembali bocah itu. Namun kesabaran Lukman sepertinya sudah habis. Dia bahkan menjambak Nayla hingga kepala wanita itu tertarik ke belakang. Dia nyaris terjatuh karena berusaha untuk tetap mempertahankan Kina di dalam gendongan. Melihat sang ibu diperlakukan seperti itu, bocah kecil itu menangis kencang.
"Jangan seperti orang bisu! Kamu punya mulut, kan?" bentak Lukman. Nayla menjerit karena merasakan kulit kepalanya panas seperti akan terlepas. "Jangan hanya karena aku melakukan kesalahan kecil, kamu bisa bersikap seenaknya sendiri?" Lukman kembali berteriak dan semakin menarik rambut Nayla ke belakang. Dia bahkan melempar tubuh itu hingga terjatuh ke lantai.
Tangis Kina semakin kencang ketika kepalanya membentur lantai karena Nayla tidak bisa menahan tangannya agar tetap memeluk Kina. Melihat anaknya menangis kesakitan, Nayla langsung bangkit. Dia bahkan tidak merasakan sakit di tubuhnya dan langsung menghampiri Kina.
"Kina! Sayang! Kamu baik-baik saja, kan?" Nayla terlihat sangat panik dan berusaha mengangkat tubuh Kina. Namun rambutnya kembali ditarik sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Nayla menjerit karena apa yang dilakukan Lukman sangat tiba-tiba.
"Lepaskan aku, Mas! Aku harus menolong Kina. Dia pasti kesakitan!" Setelah cukup lama menutup mulutnya, akhirnya Nayla bersuara. Dia merasa harus mengiba agar Lukman melepaskannya. Kina terus menangis dan hal itu sangat melukai hati Nayla.
"Biarkan dia menangis. Dia harus diajarkan menjadi kuat dan tidak pembangkang seperti ibunya."
Lukman justru semakin melakukan hal gila pada Nayla di depan Kina. Dia berpikir jika Kina harus melihatnya menyiksa Nayla agar anaknya itu memiliki rasa takut padanya. Dia tidak mau diribetkan oleh anak yang pembangkang.
"Gila kamu, Mas! Dia masih kecil! Tidak pantas melihat hal seperti ini!"
Lukman semakin terlihat marah ketika mendengar Nayla menyebutnya gila. Wajahnya menggelap dan kedua matanya memerah. Dia mulai mendekat pada Nayla dan menendang punggung wanita itu.
"Kamu bilang apa tadi? Gila? Rasakan ini karena kamu telah berani menyebutku gila!"
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
"Ck!" Seorang lelaki tengah memakai celananya lagi. Setelah sebelumnya dia usai melampiaskan hasratnya pada seorang wanita yang juga memunguti baju yang tergeletak di lantai."Kapan tubuh kamu itu bisa seksi, Nay? Kayak yang lainnya. Tubuh kok adanya cuman tulang sama kulit saja!" Laki-laki melihat wanita yang bernama Nayla itu dengan tatapan jijik."Aku juga pengen gemuk, Mas. Tapi, nyatanya makan banyak juga nggak gemuk-gemuk," jawab Nayla santai. Dia merasa tidak ada yang salah dengan makannya. Seperti yang lainnya, sehari makan tiga kali. Tapi, mungkin Tuhan menganugerahkan tubuh yang tidak bisa gemuk kepadanya. Bukankah dia harus bersyukur? sedang banyak temannya yang sering mengeluh dengan berat badan yang selalu naik tiap bulannya."Mas itu pengen punya istri yang semok, yang mantep kalau dipegang. Nggak kayak gini, sana sini adanya cuma tulang doang." Perkataan seperti ini, bukan hanya sekali Nayla dengar dari mulu
Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu."Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya."Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dib
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in