"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?
Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah.
"Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya.
"Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.
Nayla masuk kedalam rumah yang luas itu. Rumah dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Lantai rumah Mbak Ririn telah berkeramik tidak seperti miliknya. Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk membandingkan semua ini.
Nayla tertegun ketika melihat Lukman dan juga Mbak Ririn duduk berdampingan dengan wajah tertunduk. Dan apa itu? Kenapa Lukman hanya memakai celana kolor saja, sedang rambut Mbak Ririn awut-awutan.
Nayla menutup mulutnya, berharap apa yang ada di pikirannya itu salah. Dia ingin mengingkari apa yang dilihat oleh matanya.
Di sebelah Lukman dan Mbak Ririn ada Pak RW dan juga babinsa. Bu Yayuk menyusul wanita itu dan menawarkan untuk menggantikannya menggendong Kina. Nayla menyerahkan Kina kepada Bu Yayuk karena mungkin dia sebentar lagi akan ambruk.
"Pak ... ini ada apa dengan suami saya?" tanya Nayla dengan suara bergetar. Sepertinya sebentar lagi dirinya akan menangis.
"Begini, Bu. Silahkan duduk dulu." Salah satu pria yang mengenakan seragam babinsa berdiri dan memberikan tempat duduknya pada Nayla. Kaki Nayla terasa begitu lemas dan juga tubuhnya seakan tak bertulang lagi.
Nayla melirik ke arah Lukman, laki-laki itu masih menunduk. Mungkin malu, tapi entah pada siapa. Mbak Ririn pun sama. Bahkan dia sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mendiamkan anaknya yang tengah menangis.
Ririn, seorang ibu muda dengan seorang anak laki-laki. Usia anaknya tak beda jauh dari Kina. Satria, anak Ririn berusia 2,5 tahun, selisih setengah tahun dengan Kina. Kasihan sekali, Satria kini tengah menangis ingin dipeluk oleh ibunya, sedang ibunya tak sanggup mengangkat wajahnya.
Pak RW membuang napas kasar, "Ini hal yang sangat memalukan bagi lingkungan RW 03 ini, terlebih untuk warga RT 08. Jujur, saya sendiri bingung bagaimana caranya untuk memulai pembahasan ini. Pasalnya Mas Harun-suami Ririn-juga tidak berada di rumah."
"Suami saya dan Mbak Ririn ini, sebenarnya kenapa, Pak?" Merasa Pak RW tak juga menjawab pertanyaannya, Nayla menjadi sedikit jengah. Dia ingin orang lain segera menjelaskan tentang keadaan ini, bukan hanya menurut pemikirannya sendiri.
"Begini Mbak Nayla. Tapi sebelumnya, Mbak Nayla mesti tenangkan diri dulu. Jangan sampai terbawa emosi." Perasaan Nayla semakin memburuk. Dan yang pasti, pikirannya kini hanya tertuju pada satu kemungkinan.
Nayla mengangguk, dia harus menerima apa pun konsekuensinya.
"Pak Lukman ini, ketahuan warga sedang melakukan hal yang senonoh di rumah Mbak Ririn ini." Sebenarnya, tak sampai hati Pak RW mengatakan hal itu pada wanita beranak satu itu. Mereka bertetangga selama ini dan Pak RW sedikit banyak tahu tentang kehidupan rumah tangga mereka. Terlebih tentang pengorbanan Nayla selama ini.
"Senonoh? Maksud Pak RW?" Suaranya nyaris tak terdengar. Lebih tepatnya seperti cicitan tikus yang sedang terjepit pintu. Hatinya ingin menolak, tapi nyatanya semua pembicaraan ini dia tahu akan mengarah ke mana.
"Mereka berdua telah berzina." Terlihat dengan jelas kalau Pak RW juga berat mengucapkannya. Semua orang yang ada di ruangan itu pun juga sama. Ada rasa malu dan juga iba. Malu karena menemukan perbuatan mesum di lingkungan itu, juga iba pada Nayla akan kelakuan bejat Lukman.
"Astaghfirullahal'adzim." Nayla hanya bisa mengelus dadanya. Dia menatap tajam ke arah Lukman, "jahat kamu, mas!" teriak Nayla. Lukman mengangkat wajahnya, rautnya terlihat merah padam. Dia melotot ke arah istrinya itu.
"Sudah! Arak saja mereka berdua keliling kampung, Pak RW!" usul salah satu warga pada Pak RW. Kebanyakan warga merasa emosi dengan kejadian ini. Pasalnya, daerah itu masih kental dengan adat dan ajaran agama. Dan mereka percaya, tindakan perzinahan itu akan membawa dampak buruk bagi seluruh desa.
Baik Lukman maupun Ririn, keduanya saling menatap lantas kompak menggeleng. Mereka akan sangat malu jika hal itu benar-benar terjadi. Akan ditaruh di mana muka mereka setelah ini?
"Jangan, Pak! Jangan! Tolong ... kami tidak mau diarak," pinta Ririn. Memikirkan apa reaksi suaminya saja, sudah membuatnya merasa begitu ketakutan. Kini ditambah mereka hendak mengarak keduanya keliling kampung.
"Iya, Pak! Maafkan kami. Kami khilaf." Lukman menelungkupkan tangannya di depan dada, dia benar-benar kehabisan akal kali ini. Dia juga takut akan menanggung malu setelah ini.
"Nay!" Kini Lukman beralih melihat ke arah Nayla. Wanita itu masih berusaha menguatkan hatinya akan kejadian yang baru saja dia alami. Rasanya, hatinya penuh dengan kubangan nanah yang mulai membusuk. Yang semakin lama terasa semakin nyeri.
"Nay! Aku suami kamu! Kamu mesti belain aku. Bilang sama Pak RW dan warga agar tidak mengarak kami. Apa kamu ikhlas suami kamu dipermalukan seperti ini?" Melihat Lukman seperti ini, sungguh membuatnya terenyuh. Jika terus-terusan seperti ini, Nayla takut akan kembali goyah.
Nayla memalingkan wajahnya dan ingin buta akan semua itu. Ini sudah terlalu menyakitkan baginya. Bu Yayuk mengelus bahu Nayla, seolah memberi kekuatan untuk wanita itu. Sebagai sesama wanita, pastinya akan tahu bagaimana sakitnya dikhianati seperti ini. Terlebih pasangan itu malah ketahuan mesum oleh warga.
"Nay! Ngomong! Apa kamu bisu, woy!" Lukman terlihat kehilangan kesabarannya. Dia saat ini sangat ingin memaki Nayla yang hanya diam saja tanpa membela dia sedikit pun.
Mendengar makian Lukman pada istrinya, semua orang yang ada di situ hanya bisa mengelus dada sambil beristighfar. Dalam keadaan seperti ini saja, Lukman berani berkata kasar pada Nayla. Sungguh malang nasib gadis itu, memiliki suami tak tahu diri seperti Lukman.
Hidup selama ini hanya sebagai parasit untuk istrinya dan kini malah dengan tak tahu diri selingkuh dengan istri orang. Mungkin jika Harun ada di rumah, Lukman akan habis dihajar oleh laki-laki itu. Perawakannya yang tinggi besar, langsung bisa membuat takut siapa pun yang melihatnya.
Keduanya kini benar-benar diarak keliling kampung. Pembelaan Lukman dan juga Ririn, sama sekali tidak membuat amarah warga meredam. Mereka tidak mau kampung ini kotor karena kegiatan yang melanggar norma seperti itu. Jika kali ini dibiarkan, takutnya tidak ada efek jera bagi pelakunya. Dan akan banyak lagi pasangan yang mencoba berselingkuh karena warga tidak akan bertindak.
Lukman dan juga Ririn hanya berani menunduk. Mana berani mereka mengangkat kepalanya saat ini. Orang-orang yang tadinya sudah tertidur dengan nyenyak, mendadak bangun untuk menyaksikan kejadian langka ini.
Hal ini tentu saja membuat warga berbisik-bisik. Mereka sudah bisa mengira apa alasannya Lukman dan Ririn diarak kali ini. Para warga sudah mengetahui perihal hubungan keduanya selama ini. Lukman juga sudah berkali-kali diingatkan, namun dia selalu marah jika ada yang berkomentar. Hingga membuat beberapa warga tersinggung dan melaporkan hal itu pada Pak RW dan juga babinsa.
Jadi, penggerebekan kali ini sudah terencana. Mereka geram dengan sikap Lukman yang bisa saja membuat bencana bagi kampung itu.
Dan mungkin bisa dikatakan hanya Nayla yang tidak tahu kelakuan bejat suaminya itu. Mereka tidak tega untuk memberi tahu wanita itu. Karena mereka tahu, Nayla sangat mencintai Lukman dan akan sangat sakit jika tahu kebenarannya. Meski malam ini akhirnya terbongkar semua dan Nayla tetap merasakan sakit yang luar biasa.
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
"Ck!" Seorang lelaki tengah memakai celananya lagi. Setelah sebelumnya dia usai melampiaskan hasratnya pada seorang wanita yang juga memunguti baju yang tergeletak di lantai."Kapan tubuh kamu itu bisa seksi, Nay? Kayak yang lainnya. Tubuh kok adanya cuman tulang sama kulit saja!" Laki-laki melihat wanita yang bernama Nayla itu dengan tatapan jijik."Aku juga pengen gemuk, Mas. Tapi, nyatanya makan banyak juga nggak gemuk-gemuk," jawab Nayla santai. Dia merasa tidak ada yang salah dengan makannya. Seperti yang lainnya, sehari makan tiga kali. Tapi, mungkin Tuhan menganugerahkan tubuh yang tidak bisa gemuk kepadanya. Bukankah dia harus bersyukur? sedang banyak temannya yang sering mengeluh dengan berat badan yang selalu naik tiap bulannya."Mas itu pengen punya istri yang semok, yang mantep kalau dipegang. Nggak kayak gini, sana sini adanya cuma tulang doang." Perkataan seperti ini, bukan hanya sekali Nayla dengar dari mulu
Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu."Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya."Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dib
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in