Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.
Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli.
"Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya
"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya.
"Eh! Kenapa, Bu?" Nayla berusaha menghentikan tangisnya. Dia mengusap wajahnya yang telah basah oleh air mata. Sungguh malam ini begitu berat baginya. Dia sama sekali tak bisa berpikir. Bahkan saat Lukman memintanya untu membatunya, Nayla hanya diam saja. Dia tak tahu harus berlaku bagaimana terhadap suaminya itu.
"Kamu nggak papa?" Bu Yayuk tahu jika tak mungkin Nayla baik-baik saja setelah melihat semua ini. Pastinya hatinya hancur dan terluka. Namun, wanita paruh baya itu bingung bagaimana caranya agar bisa menghiburnya.
Nayla mengangguk, mencoba tersenyum. "Makasih, Bu." Nayla mendekap Kyna dalam pelukan. Telah lama dia mengabaikan anaknya itu. Kasihan Kyna, dia tak tahu apa-apa. Tak seharusnya Kyna tahu tentang masalah yang dialami orang tuanya.
"Ayah mana, Bu?" tanya Kyna. Dia yang sedari tadi tertidur, bingung karena di rumahnya ramai orang dan ayahnya tidak terlihat.
Setelah Lukman dan juga Ririn dibawa ke kantor polisi. Para ibu-ibu itu sepakat untuk mengantar Nayla ke rumahnya. Mencoba untuk menemaninya. Mereka takut jika Nayla akan mencoba untuk bunuh diri. Meski itu hanyalah kekhawatiran saja.
Bagaimanapun Lukman adalah suaminya, ayah dari anaknya. Terlebih selama ini, Nayla terlihat begitu mencintai Lukman. Baginya, kehidupan rumah tangga sebagai seorang wanita adalah pengabdian. Jadi, dia lebih memilih diam saat Lukman sering berlaku acuh tak acuh terhadapnya. Dia selalu membuat alasan agar dirinya bisa memaklumi perbuatan Lukman
"Ayah ... ayah kamu ...." Belum selesai Nayla menjawab pertanyaan Kyna, lagi-lagi air mata menerobos sudut matanya. Melesak ingin keluar. Meski sedari tadi mencoba menahannya, tetap saja keluar dengan sendirinya.
"Ibu napa nanis," tanya bocah itu. Dia terlihat kalut kala ibunya malah menangis. Ada apa ini? Apa ayahnya baik-baik saja? Kira-kira seperti itulah yang ada dalam pikiran anak kecil itu. Kyna berusaha meraih pipi ibunya dan mengusapnya dengan tangan mungilnya.
Nayla menggeleng, tak mungkin dia menceritakan jika ayahnya kini tengah digiring ke kantor polisi karena ketahuan mesum. Dia takut itu akan berpengaruh pada kondisi Kyna. Dan pasti akan mempengaruhi mental dia nanti. Nayla takut jika Kyna akan menjadi bahan bullya-an teman-temannya.
"Nggak papa. Sekarang Kyna bobok lagi, ya?" Nayla berdiri. Dia hendak menggendong Kyna masuk ke dalam kamarnya. Dia tak mau anaknya itu ikut tertekan oleh beban yang kini dia rasakan. Biarlah dia sendiri yang menanggung ini semua.
"Makasih, Bu Yayuk. Saya bawa Kyna tidur dulu. Kalian juga sebaiknya istirahat. Jangan khawatirkan kami," ucap Nayla. Dia berusaha tetap tersenyum ketika mengucapkannya. Dia tak mau merepotkan banyak orang dengan masalah keluarga mereka.
"Tapi ... kamu beneran nggak papa 'kan, Nay?" Rasanya belum tega meninggalkan wanita itu sendirian. Bagaimanapun masalah yang dia hadapi begitu berat.
Nayla mengangguk, "Insyaallah saya nggak papa, Bu. Saya masih ingat sama Allah." Tanpa sadar Bu Yayuk membuang napas lega. Sedari tadi, memang itu yang dia khawatirkan. Dia takut Nayla kalap dan akhirnya melakukan tindakan yang akan membahayakan diri dan anaknya.
"Ya sudah. Kalau begitu, kami pulang dulu, ya?" Bu Yayuk dan beberapa ibu-ibu tetangga Nayla akhirnya pamit pulang ke rumah masing-masing. Mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Nayla dan juga anaknya.
Sepeninggalan ibu-ibu itu, Nayla segera mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar. Kyna dengan cepat, sudah tertidur dalam gendongan. Memang seharusnya dia tidak bangun tadi. Nayla segera saja menidurkan Kyna di atas kasur.
Dipandanginya wajah kecil itu, yang bisa memberinya kedamaian dan juga kehangatan. Kyna terlihat begitu tenang. Tak terlihat ada beban maupun masalah di wajahnya. Tanpa sadar, Nayla manyunggingkan senyumnya.
Nayla meletakkan kepalanya pada bantal sebelah kepala Kyna. Dia merasakan berat di sana dan ingin istirahat sebentar saja. Untuk sejenak, Nayla ingin berhenti memikirkan tentang Lukman dan juga Ririn. Dua orang yang telah menggores luka di hatinya. Dua orang yang sama sekali tidak dia duga akan melakukan tindakan seperti itu.
Mata Nayla terpejam. Dia benar-benar lelah dan saat bangun. Dia ingin melupakan semuanya. Tentang Lukman, tentang Ririn, dan hanya mengingat Kyna dalam hidupnya.
Pagi hari saat terbangun, Nayla melakukan kegiatan seperti biasanya, seakan semuanya baik-baik saja. Dia tak mau ikut pusing dengan Lukman yang masih berada di penjara. Rasanya, segala yang ada dalam dirinya telah mati untuk Lukman.
Cinta yang beberapa saat yang lalu masih merekah indah, kini tandus dan kering kerontang. Dan Nayla merasa sangat malas untuk menyirami. Dia sengaja membiarkannya hingga mungkin tak akan ada apa pun yang bisa hidup di dalamnya.
"Ibu ...." Kyna berlari, memeluk kaki ibunya, seolah dia sangat takut kehilangan Nayla.
"Kamu kenapa, Kyna?" Nayla sedikit berjongkok, dia mengelus rambut Kyna dengan sayang. Dia tak mau putrinya itu ikut sedih jika tahu yang sebenarnya.
"Ni na, tatut, Bu," ucap Kyna dengan nada cadelnya yang lucu. Gadis kecil itu nangis sesenggukan di antara kedua paha ibunya. Nayla bingung, kenapa Kyna tiba-tiba saja menangis seperti ini?
"Takut apa, Sayang? Hei! Di sini ada Ibu." Nayla melepaskan tangan Nayla yang melingkar di kakinya. Dia memeluk anak itu dan terus mengelus punggungnya.
"Apa yang kamu takutkan? Ibu akan selalu jaga kamu." Apa pun akan Nayla lakukan untuk membahagiakan putrinya itu. Dan melihatnya menangis seperti ini, sungguh sangat membuatnya merasa sedih.
"Ni na, ngga mau tendiri ...." Kyna mengusap pipinya menggunakan punggung tangannya. Sesekali dia juga mengusap ingus yang seda*i tadi terus menetes bersamaan dengan a*i mata di sudut mata.
"Kyna nggak sendiri. Ada Ibu." Entah kenapa dia begitu terluka saat Kyna mengucapkan hal itu. Apa mungkin Kyna merasakan apa yang terjadi dengan ayahnya?
Setelah drama antara ibu dan anak, Nayla pun kembali berangkat bekerja. Sebenarnya dia sadar jika banyak mata yang melihat ke arahnya.
Bisik-bisik pun samar-samar dia dengar. Dia mencoba tersenyum, menutup telinganya dan menutup mulutnya rapat. Meski hatinya sangat ingin menangis kini. Dari sekian banyak yang membicarakannya, tentu saja ada yang malah menyalahkan dirinya.
"Lihat itu!" Nayla melewati pedagang sayuran, tentu saja banyak ibu-ibu yang ada di sana. Nayla yakin jika mereka telah mengetahui perihal penangkapan Lukman semalam. Bukankah kabar buruk akan cepat tersebar?
"Kasihan ya, si Nayla. Tapi, salahnya sendiri. Dari dulu lakinya emang udah nggak bener, masih aja bertahan. Kalau aku jadi dia, udah aku tendang lelak itu. Bukankah rumah itu peninggalan orang tua Nayla?" Nayla hanya bisa membuang napas kasar. Meski diucapkan dengan bisik-bisik, tetapi telinga Nayla masih bisa mendengarnya.
"Nay!" panggil Bu Risma, salah satu tetangga Nayla yang juga berada di tukang sayur.
Nayla menoleh, dia berusaha tetap memberikan senyum terbaiknya. Tak akan dia biarkan orang lain tahu suasana hatinya. Karena Nayla tahu, tak banyak yang akan tulus mendengar keluh kesahnya, sebagian besar hanya ingin tahu untuk dijadikan bahan gunjingan.
"Iya, Bu," sahut Nayla.
"Kamu mau ke mana?" tanya Bu Risma.
"Kerja, Bu," jawab Nayla.
"Yang sabar, ya."
Nayla tersenyum, "Makasih, Bu. Permisi semua." Tak ingin mendengar banyak gunjingan lagi yang bisa membuat kuping panas, Nayla memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Nayla yakin, dia mampu untuk melewati semua ini.
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
"Ck!" Seorang lelaki tengah memakai celananya lagi. Setelah sebelumnya dia usai melampiaskan hasratnya pada seorang wanita yang juga memunguti baju yang tergeletak di lantai."Kapan tubuh kamu itu bisa seksi, Nay? Kayak yang lainnya. Tubuh kok adanya cuman tulang sama kulit saja!" Laki-laki melihat wanita yang bernama Nayla itu dengan tatapan jijik."Aku juga pengen gemuk, Mas. Tapi, nyatanya makan banyak juga nggak gemuk-gemuk," jawab Nayla santai. Dia merasa tidak ada yang salah dengan makannya. Seperti yang lainnya, sehari makan tiga kali. Tapi, mungkin Tuhan menganugerahkan tubuh yang tidak bisa gemuk kepadanya. Bukankah dia harus bersyukur? sedang banyak temannya yang sering mengeluh dengan berat badan yang selalu naik tiap bulannya."Mas itu pengen punya istri yang semok, yang mantep kalau dipegang. Nggak kayak gini, sana sini adanya cuma tulang doang." Perkataan seperti ini, bukan hanya sekali Nayla dengar dari mulu
Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu."Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya."Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dib
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in