Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu.
"Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.
Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya.
"Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.
Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dibukanya kontak milik suaminya.
"Baru saja online tapi hubungi istrinya saja tidak sempat." Bibir Nayla mengerucut. Dia merasa kesal saat Lukman tidak menjadikan keluarganya menjadi prioritas.
[Mas lagi di mana?] send to Mas Lukman.
Tak langsung mendapat jawaban, rasanya Nayla ingin sekali melempar handphone-nya ke tembok. Tapi, tidak jadi dilakukannya karena dia merasa masih sayang dengan benda pipih itu.
"Ini saja aku belum lunas kreditnya, masak sudah mau kulempar, sih?" gumamnya seorang diri. Nayla mungkin bukan termasuk istri yang beruntung. Bahkan dia harus ikut memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Namun, semua itu dia lakukan dengan ikhlas. Meski terkadang dia merasa capek dan juga jenuh, tapi itu bukan berarti jika dia sama sekali tidak bersyukur. Dia bersyukur memiliki Lukman sebagai suami, meski terkadang dia harus banting tulang hanya untuk bisa makan dan memberi uang jajan untuk anaknya.
Nayla melihat ke arah jam yang ada di handphone-nya. Ini sudah jam delapn malam dan Lukman belum pulang. Padahal tadi dia pergi dari jam tiga sore.
Wanita itu kembali meraba-raba tubuhnya. Pantas saja suaminya sering membandingkannya dengan Ririn, ternyata memang dia sama sekali tidak menarik.
"Jika KB bakalan beneran gemuk tidak ya? Tapi, aku 'kan takut jarum suntik." Nayla terus bergumam seorang diri. Dia masih terus berusaha untuk menarik perhatian Lukman. Bagaimanapun dia masih sangat mencintai suaminya itu.
"Besok aku pergi ke bu bidan saja. Aku mau KB!" tekad Nayla.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu dibuka. Tanpa mencari tahu pun, Nayla tahu siapa yang datang. Lukman masuk ke dalam rumah sembari bersiul senang. Entah dia habis dari mana hingga terlihat begitu bahagia.
"Sudah pulang, Mas?" tanya Nayla. Wanita itu langsung beranjak dari kasur saat mendengar suara siulan Lukman. Kina yang terbiasa tidur awal pun kini sudah terlelap dalam tidurnya.
"Sudah!" jawab Lukman ketus. Raut mukanya tak sama dengan tadi saat dia masuk. Kini dia terlihat masam seakan tak berselera. Bahkan Lukman pun seakan enggan melihat ke arah Nayla.
"Mau aku buatin kopi, Mas?" tawar wanita itu pada suaminya. Melihat Lukman begitu kelelahan, membuat Nayla merasa iba.
"Hm ...! Sudah tahu itu kewajiban kamu jika suami pulang. Masih saja nanya!" Lukman masih saja berlaku ketus pada istrinya. Tak ingin mendapat banyak kata-kata kasar lagi dari Lukman, Nayla segera pergi ke dapur untuk membuatkan Lukman kopi.
Hal seperti itu sudah biasa bagi Nayla dan selama ini dia masih bisa sabar menghadapi sifat buruk suaminya itu. Selama suaminya itu masih setia, dia akan mencoba bertahan seberat apa pun hidup yang dia lalui bersama Lukman, Bukankah dulu dia menerima lamaran Lukman karena mencintainya? Harusnya ujian seberat apa pun bakalan dia terima.
Nayla muncul dari dapur dengan membawa secangkir kopi untuk suaminya. Seperti biasa, perhatian Lukman ada pada handphone-nya. Dan hal itu sudah menjadi pemandangan tersendiri untuk Nayla.
"Ini, Mas. Kopinya." Nayla meletakkan cangkir itu di meja yang berada di sebelah kursi tempat Lukman duduk.
Lukman melirik sekilas dan kembali menatap layar gawainya.
"Taruh situ!"
"Kok w*-ku nggak dibales, Mas?" Mencoba menanyakan hal yang terus mengusik hatinya. Membalas pesan dari orang lain saja dia bisa senyum-senyum sendiri, tapi pesan dari istrinya sedari tadi dibaca pun tidak.
"Ck! Kan udah ketemu? Nggak perlu lagi dibalas." Pandangan Lukman tak juga beralih dari layar gawainya.
Hati Nayla mendadak terasa sakit. Apa memang dia tidak berharga bagi suaminya itu?
"Kok baru pulang, Mas?" Nayla masih terus membuat percakapan dengan suaminya . Sungguh rasanya dia sangat kangen dengan Lukman . Sepertinya sudah lama mereka tidak bermesraan. Selain bercinta tentunya.
Lukman mulai terusik dengan pertanyaan Nayla, dia menoleh sekilas. Melihat istrinya dari atas sampai bawah, "Tahu sendiri jawabannya." Nayla masih terus berusaha membesarkan hatinya akan perilaku Lukman yang memang seringkali melecehkannya. Meski hanya secara lisan. Dia kembali menarik napas panjang agar amarah dalam hatinya dapat cepat teredam.
"Ehm ... liat apaan, sih, Mas? Kok senyum-senyum sendiri ?" Nayla melongokkan kepalanya hendak ikut melihat handphone suaminya. Namun, dengan secepat kilat, Lukman segera mengalihkan layar Hp-nya agar Nayla tidak melihatnya.
"Ck! Nggak usah kepo, Nay! Aku aja nggak pernah lihat HP kamu!" hardik Lukman. Hati Nayla tambah terasa sakit. Sejak kapan melihat HP pasangan dilarang. Biasanya juga mereka saling melihat ponsel masing-masing.
"Pelit, ah, Mas!" Nayla berlagak ngambek. Berharap suaminya itu bakalan peka dan merayunya. Namun kenyataannya nihil. Lukman tetap tidak menggubris keberadaan Nayla. Fokusnya tetap pada benda kecil yang ada di genggaman tangannya.
"Ck!" Merasa tidak diindahkan, Nayla segera beranjak dari duduknya. Lebih baik kembali ke kamar dan ikut tidur bersama Kina.
Sepeninggalan Nayla, Lukman sama sekali tidak merasa bersalah. Dia tetap asyik dengan gawainya sembari tersenyum-senyum sendiri.
Sampai di kamar, tetap saja Nayla tidak bisa memejamkan matanya. Sebenarnya dia sangat merindukan perlakuan manis dari Lukman, namun sepertinya dia harus menelan pil pahit lagi kali ini. Sudah hampir dua tahun ini hubungan mereka begitu hambar.
Perasaannya sungguh tidak tenang kali ini. Hati Lukman sudah tidak seutuhnya untuknya.
"Aku harus bagaimana?"
***
Nayla berencana menemui bidan pagi ini. Semua ini dia lakukan agar dia bisa gemuk, sehingga Lukman tidak akan berpaling lagi darinya.
"Ayo, Mas, anterin aku," ajaknya pada Lukman. Laki-laki itu sedang nongkrong di kursi depan, tentu saja dia tidak melupakan handphone-nya.
"Ke mana?" tanya Lukman singkat. Lukman menyesap rokok yang ada di tangan kanannya lalu meniupkan asapnya ke atas.
"Katanya suruh KB? Antar ke bidan, dong," rengek Nayla. Dia berharap Lukman akan melihat usahanya kali ini. Meski dia sangat takut jarum suntik, dia akan berusaha melawannya demi Lukman.
Raut wajah Lukman terlihat sedikit sumringah, "Baik, Nay. Mas ganti baju dulu, ya."
Melihat Lukman yang terlihat senang, Nayla tersenyum bahagia. Semoga saja usahanya kali ini membuahkan hasil untuk rumah tangganya. Jika dia menjadi gemuk, Nayla harap Lukman bakalan lebih perhatian sama dia.
Tanpa menunggu lama, Lukman sudah keluar lagi untuk mengantar istrinya ke bidan.
"Buk! Kita mau ke mana?" tanya Kina pada Nayla. Pasalnya hari masih pagi saat Nayla membangunkan putrinya tadi. Saat ini pun Kina mengucek matanya karena masih mengantuk.
"Ke bidan, Nak. Ibu mau berobat dulu," jawab Nayla.
"Ibu ta-kit," tanya gadis kecil itu lagi.
Nayla mengangguk, "Makanya Ibu berobat dulu, biar nanti sembuh dan bisa kerja lagi."
Kina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan ibunya . Entah paham atau tidak, nyatanya gadis kecil itu sudah tidak bertanya lagi.
"Ayo!" Nayla segera naik ke atas motor. Harapannya besar kali ini untuk membahagiakan suaminya.
'Semoga saja ... Mas Lukman bisa lebih betah di rumah,' harapnya dalam hati. Bayangan rumah tangganya yang kembali harmonis kembali menari-nari dalam kepalanya. Dia sudah tidak sabar menunggu waktu itu.
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
Setelah dari rumah sakit, Bu Gita menyuruh Nayla untuk pulang saja dan beristirahat. Dia kasihan ketika melihat tubuh wanita itu yang babak belur karena dihajar Lukman. Dia berharap Nayla agar menjadi lebih tegas agar tidak ada orang yang bisa semena-mena padanya. Hasil visum akan keluar dua minggu lagi. Namun sebelum pulang, Bu Gita memberi nasihat pada Nayla agar lebih tegas lagi. Dari pada merawat benalu, lebih baik Nayla membuang benalu itu dari hidupnya agar dia bisa lebih fokus pada dirinya dan anaknya."Nay, pikirkan lagi saran Ibu. Ibu cuma nggak mau kamu mati konyol. Melihat perangai Lukman saat ini, bukan tidak mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih lagi pada kalian. Otaknya itu sudah rusak karena banyak minum alkohol jadi tidak bisa berpikir waras." Bu Gita adalah salah satu orang yang sangat membenci Lukman. Dia memang tidak mengenal lelaki itu secara pribadi tetapi dari cerita Nayla, dia bisa menyimpulkannya. Beberapa kali juga Lukman pernah datang ke rumah ini untuk
“Wajah kamu kenapa, Nay?” Bu Gita yang melihat wajah Nayla lebam terlihat khawatir. Dia lantas beralih pada Kina yang juga memiliki lebam di lengannya. “Kalian jatuh?” tanyanya sembari mengamati tubuh Nayla dengan saksama.“Ayah jahat! Dia pukul ibu dan Kina.” Gadis cilik itu menyahut, menjawab pertanyaan Bu Gita karena Nayla hanya diam. Dia tidak pernah mengeluh dan malu jika harus menceritakan kelakuan Lukman. Mendengar jawaban anaknya, Nayla langsung menegur gadis cilik itu.“Kina jangan bicara seperti itu. Ayah kamu tidak jahat.”“Nay! Apa yang Kina bilang itu benar?” tanya Bu Gita yang ikut geram ketika mendengarnya. Rasanya dia ingin menghajar lelaki itu karena sudah keterlaluan. Mungkin jika Lukma adalah anaknya, dia akan memilih membunuh Lukman dari pada terus menyakiti anak dan istrinya.Nayla hanya diam dan Bu Gita bisa dengan mudah menyimpulkannya. Bukan hanya pada Lukman dia merasa geram tetapi juga pada Nayla. Wanita itu sudah sering disakiti tetapi kenapa masih tetap ber
"Sialan kamu, Nayla!" Lukman membanting gelas yang ada di tangannya hingga hancur berkeping-keping ketika membentur lantai. Semua orang melihat padanya karena suara yang ditimbulkan begitu mengganggu.Pemilik warung remang-remang yang dikunjungi Lukman langsung mendekat dan memukul kepala laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membuang gelas itu? Kamu mau membuatku bangkrut, hah?" Dia terlihat marah karena itu artinya dia kehilangan satu barangnya dan juga dia harus membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai. "Kamu memang kalau mabuk selalu membuat masalah. Aku tidak akan mengizinkanmu masuk ke warungku lagi." Sembari mengomel, pemilik warung berjalan ke arah belakang. Tidak lama dia keluar dengan membawa sapu dan juga pengki. Dengan gerakan agak kasar dia membersihkan pecahan itu. Gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Namun Lukman tidak memedulikan hal itu. Lelaki itu sedang mabuk dan pikirannya sedang tidak berfungsi dengan baik.Setelah ketahuan oleh Pak RT s
Kina yang melihat ibunya disiksa langsung berlari dan memeluk erat kaki Lukman. Dia berpikir jika tubuh kecilnya itu bisa menghalangi Lukman terus menendang ibunya."Ayah! Dangan sakiti Ibuk! Kacihan!" Kina memohon sembari terus menangis. Suaranya cedalnya yang biasanya terdengar lucu, kini terdengar memilukan. Hal itu justru membuat Nayla histeris karena takut Kina akan terluka."Kamu jangan mendekat, Kina! Pergi dari kaki ayah kamu!" teriak Nayla yang takut jika Lukman akan menyakiti Kina juga. Lelaki itu seperti sudah kehilangan perasaan. Dia bahkan tega memukulnya dan membiarkan Kina terluka. Nayla berusaha untuk bangkit dan meraih anaknya. Setelah memeluk tubuh Kina, Nayla berbalik untuk melindungi anaknya. Dia memberikan punggungnya sebagai tameng agar tidak mengenai Kina."Sial! Kenapa kalian sangat menyebalkan!" Lukman yang sudah dikuasai amarah mengangkat kakinya dan hendak menendang Nayla kembali. Namun teriakan yang berasal dari arah luar menghentikannya. "Lukman! Berhenti
Saat ini Lukman tengah berada di kantor polisi. Dia dan juga Ririn sedang disidang oleh polisi dan warga. Tentu saja mereka murka karena pasangan itu telah berbuat mesum di desa."Kami harus menghubungi suami Anda, Mbak," ucap salah satu polisi yang menangani mereka berdua."Jangan, Pak! Saya mohon untuk tidak menghubungi suami saya. Saya ... saya tidak mau diceraikan." Wanita itu menunduk dalam. Wajah yang biasanya terlihat begitu segar dan menggoda, kini tampak layu dan sembab. Bagaimana tidak, air matanya tumpah sejak warga menggiring mereka mengelilingi desa. Dia yang biasa tampil mewah dan angkuh, hanya bisa menunduk malu dan terus menangis.Lukman berusaha menghibur Ririn dengan mengelus punggungnya, tetapi wanita itu menolak sentuhannya. Dia kesal, entah pada siapa."Jangan pegang-pegang! Ini gara-gara kamu, tahu nggak?!" bentak Ririn sembari menunjuk ke arah Lukman. Dari tatapannya saja terlihat jika wanita itu begitu kesal dengan Lukman."Lho, kok aku, Mbak? Kenapa hanya aku
Lukman dan Ririn digiring ke kantor polisi, meski Lukman sedari tadi minta untuk diampuni, tetapi warga sudah kadung geram. Ini bukan kejadian sekali dua kali soalnya, sudah kesekian kali. Namun, sepertinya Lukman memang tidak bakalan jera.Nayla masih sesenggukan di rumahnya. Dia nyaris tak percaya jika itu adalah Lukman, suaminya. Pandangan Nayla kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Dia seolah seperti mayat hidup yang tak memiliki jiwa. Bahkan saat Kyna mendekat ke arahnya, Nayla sama sekali tidak peduli."Bu, Ibu." Kyna mengguncang bahu ibunya. Gadis kecil itu menangis. Mungkin ikut merasakan juga apa yang dirasakan oleh ibunya. Nayla tetap terdiam, seolah tak ada orang lain di sekitarnya. Ini terlalu berat untuknya"Nay ...." Bu Yayuk menepuk lembut bahu Nayla. Dia terlihat prihatin melihat kondisi Nayla yang seperti itu. Semua tetangga tahu bagaimana kehidupan Nayla. Dia menjadi tulang punggung di rumah tangganya."Eh! Kenapa, Bu?
"Nay, kamu yang sabar, ya." Bu Yayuk, istri Pak Fajar memeluk Nayla sesaat setelah wanita itu tiba di halaman rumah Mbak Ririn. Hal itu menambah kekhawatiran di hati Nayla. Kenapa banyak warga ada di sini dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi? Dan di mana Lukman?Bu Yayuk melepaskan pelukannya pada Nayla. Bendungan di sudut mata Nayla sepertinya sebentar lagi akan jebol. Ingin rasanya segera masuk ke dalam untuk tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, namun kakinya terlalu lemas untuk terus melangkah."Hati-hati, Nay." Bu Yayuk memegangi lengan Nayla kala wanita itu hendak ambruk. Kenapa rasanya takut untuk masuk ke dalam? Sepertinya ini bukan hal baik untuknya."Masuk, Nay. Kamu harus tahu apa yang terjadi." Pak Fajar mendorong pelan bahunya. Nayla sejenak menatap ke arah Pak Fajar, seakan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan di depan sana.Nayla masuk kedalam rumah yang luas it
Sudah 2 minggu sejak kejadian malam itu, saat Lukman pulang dengan keadaan mabuk. Nayla tidak berani mengungkit masalah itu lagi. Takut hubungannya akan semakin buruk.Dan sudah sekitar sebulan ini Nayla tidak berhenti siklus menstruasinya. Wanita itu sedikit frustasi karena Lukman menjadi semakin tak terkendali."Nay! Masak sudah sebulan kamu nggak selesai, sih?" Lukman berkaca pinggang di sebelah wanita itu. Nayla kini tengah bermain bersama Kina, anaknya. Nayla hanya menunduk, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya."Ck! Kalau suami nanya jawab, kek. Jangan cuma diem kayak orang bisu aja." Lukman benar-benar geram kali ini. Sudah hasratnya lama tak terpenuhi kini malah punya istri yang jika diajak berbicara hanya diam saja."Aku mesti jawab apa, Mas? Aku sendiri nggak tahu alasannya," lirih Nayla. Bukan maunya dia mengalami menstruasi sepanjang hari, tapi apa mau dikata. Hingga detik ini, belum ada ta
Nayla sedang duduk di depan kaca saat ini. Dia habis mandi dan ingin tampil cantik di depan Lukman, meski itu tak banyak membantu. Riasannya sama sekali tidak berdampak apa pun pada wajahnya."Kapan sih, Nay, kamu selesai?" Nayla hanya menunduk menghadapi kemarahan Lukman. Sudah dua minggu ini Nayla datang bulan dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dua minggu setelah KB, Nayla mendapatkan tamu bulanannya seperti biasa. Dipikirnya itu hanya sekitar 6 sampai 7 hari, nyatanya hinggga dua minggu tak kunjung usai."Seksi enggak, malah sekarang kamu nggak selesai-selesai. Emang dasarnya aku yang apes punya istri seperti kamu! Dan ini kenapa?" Tangan Lukman mengarah ke arah bedak seharga 10 ribu yang sedang ada di tangan Nayla, "pakai apa pun, kamu itu nggak bakalan cantik!" Lukman merampas bedak itu dari tangan Nayla dan membantingnya ke lantai."Aaa ...!" Nayla menjerit karena kaget. Dia tak menyangka Lukman bisa sekasar in