Pramudya.
Sewaktu mendengar alasan Cinta memutuskan ikatan pertunangannya dengan Jamie, ia terbatuk-batuk tersedak saliva sendiri. Bahkan ia nyaris terjatuh dari kursinya, jika saja tangannya tak sigap menggapai tepi meja.
‘Cowok itu gay?’
‘Ya Tuhan. Untuk apa wanita cantik bertebaran di dunia, jika akhirnya memilih sesama pria?’
Hampir saja ia meledakkan tawa membayangkan Cinta yang mempunyai sex appeal tinggi menjalani pernikahan dengan pria yang tak bernafsu pada perempuan. Merana tanpa kehangatan, sudah pasti itu yang akan Cinta rasakan.
Namun ia tetap memasang wajah prihatin ketika Cinta mengganti mode panggilan menjadi mode video. Tentu saja ia tak ingin Cinta melihatnya tersenyum lebar saat gadis itu tengah merasakan duka karena pertunangan yang telah kandas.
Akan tetapi Cinta justru tertawa bahagia saat menggodanya, “Kamu tambah cakep, Pram. Jangan-jangan sudah punya pengganti aku di sana?&rdqu
Pramudya.“Hallo, Pram. Sudah pulang?” Suara lembut itu menyapa dengan senyuman terkembang disertai gugup yang menyerang.“Bu ... Ocha?” Ia balik menyapa meyakini penglihatannya.Wanita setengah baya, mantan tetangganya di Jakarta, dan sudah seperti ibu baginya, kini berada tepat di hadapannya. Namun dengan penampilan yang sangat jauh berbeda.Tak ada lagi daster panjang dan sandal jepit menyelubungi tubuh dan kakinya, rambut di kuncir atau dicepol seadanya, dan wajah yang pucat tanpa sedikit pun polesan make up.Kini yang tampak adalah seorang wanita anggun dengan blazer dan rok ketat sepanjang betis warna hijau muda. Sepatu high heel warna senada. Rambut legamnya digelung rapi dengan bagian depan di sasak tinggi. Dan wajahnya yang putih bersih berpoles riasan tak berlebihan namun terkesan elegan. Persis seperti seorang wanita bangsawan.“Ini serius? Bu Ocha?” Lagi, Pram ternganga masih tak
30 tahun lalu. Bandung Selatan.Wanita cantik itu tengah terbaring di tepi ranjang dengan hati yang mengembang penuh kebahagiaan. Rasa sakit yang menyertai perjuangannya di atas meja bersalin tadi seketika menghilang entah kemana saat memandangi bayi mungil yang tergolek lelap di samping tubuhnya.Bayi mungil yang sangat tampan. Rambutnya yang halus, kulit kemerahan, bibir yang mungil dan hidung yang tegak, menyempurnakan keelokan rupanya.Wanita itu mengulum senyum saat bayi itu menggeliat di tengah lelapnya. Tangannya yang lemah terjulur dan membelai pipi kecil merona itu dengan punggung jemarinya.Pria yang menitiskan ketampanannya pada bayi itu juga tersenyum lebar. Tangan besarnya ikut terjulur membelai tubuh mungil yang dibebat kain biru itu.“Tampan, persis seperti ayahnya.” Wanita cantik berwajah Latin itu meliriknya sekilas. Lalu kembali memandangi mahluk hidup terindah yang baru saja keluar dari rahimnya.
Sebelum memasuki rumah sederhana itu, Pratama melempar pandangan ke belakang. Memperhatikan ke sekelilingnya dan memastikan bahwa keadaan aman untuknya.Dua hari sudah ia dan Rosa bersama bayi mungil mereka menempati rumah kawan kakaknya, Surtini, di perkampungan lain yang jauh dari kediaman Rossa. Jika menggunakan kendaraan roda empat, menempuh waktu sekitar empat jam untuk menjangkau tempat itu.Setelah dirasa aman, ia melangkah masuk ke dalam, langsung menuju kamar. Senyuman seketika terbit di bibir ketika melihat Rosa duduk di tepi ranjang, tengah berbincang-bincang dengan bayi mungil mereka.Sepasang mata bening bayi itu menatap lurus wajah Rosa sembari menjulurkan ujung lidah kecilnya berulang-ulang, seolah-olah bayi tampan itu mengerti apa yang Rosa bicarakan.Sesaat Rosa menoleh padanya lalu tersenyum manis dan membiarkan ia menempatkan diri tepat di sebelah Rosa, lalu mengecup kening Rosa, berlanjut pada kening putra pertamanya yang berada di dal
“Nona Rosalinda sudah tidak ada di tempat itu lagi, Tuan. Kata salah satu tetangga di kampung itu, dia lihat Nona dengan bayinya pergi tengah malam bersama seorang wanita.”“Dan tadi pagi salah satu anggota saya lihat perempuan yang mirip Nona Rosa keluar dari rumah Ayu, Tuan.”‘”Itu pasti Rosa.”“Dari awal aku sudah menduga, si Ayu babu sialan itu pasti tahu pernikahan Rosa dengan adiknya yang brengsek itu. Dan selama ini dia ikut andil menyembunyikan mereka.”“Dan sekarang Rosa punya bayi dari laki-laki miskin itu. Aku nggak nyangka anakku sebodoh itu!”“Jaka, tugas kau dan anggotamu: segera bawa pulang Rosalinda. Lalu kau habisi bayi itu, antar anak itu menyusul bapaknya ke akhirat, terserah mau kau apakan. Aku nggak sudi suatu hari nanti anak itu menuntut harta dariku!”“Tapi, Tuan. Anak itu darah daging Tuan juga.”Braaak!Meja
Pramudya.Ia beranjak dari kursi di ruang tunggu, setelah terdengar suara panggilan boarding untuk para penumpang tujuan Jakarta harus segera memasuki pesawat.Dengan langkah tegap namun bahu yang terlihat menurun, seakan sedang memikul beban berat, ia berjalan melewati gerbang pemeriksaan tiket, lalu menyusuri garbarata menuju pesawat yang akan ia tumpangi.Setelah menghenyakkan diri di kursi tepat di samping jendela kiri, ia merebahkan kepala ke sandaran dengan pandangan terlempar ke arah luar. Terlihat dataran luas bandara Syamsuddin Noor yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.Pening yang hebat pun melanda, saat semua pengakuan yang terucap dari Bu Ocha, Burhan dan Mak Ayu terngiang-ngiang kembali mengaduk isi kepala. Pengakuan yang seharusnya terucap puluhan tahun silam di saat ia membutuhkan kasih sayang orangtua, justru ia dengar ketika stigma dirinya sebagai anak terbuang sudah terpaku kuat.Bu Ocha, Rosalinda, entah siapapun namanya, kini b
Pramudya.Mata elang yang dibingkai alis legam itu terpaku menatap lurus pada sosok wanita yang berdiri anggun di depan pintu.Sekujur tubuhnya terasa bergetar saat memandangi senyuman rikuh yang menghiasi bibir merah itu.Jantungnya berdentum kencang seakan sedang bertrampolin di dalam dada ketika melihat wajah cantik dengan bola mata hazel yang berkaca-kaca.Dan wajah berahang tegas itu terlihat memerah kala wanita yang ia rindukan itu melangkah perlahan menghampirinya.Pandangannya kian mengabur saat wanita itu berdiri tepat di hadapannya. Pertanda ada air hangat yang siap tumpah dari sudut mata.Kini tak ada lagi rasa kecewa yang menyesakkan dada. Tak ada lagi dendam yang membelenggu diri. Tak ada lagi prasangka buruk yang menyiksa hati nurani. Yang ada hanya kerinduan yang kian bergejolak. Dan penyesalan yang semakin memberontak.“Maafkan aku ...”“Maafkan Ibu ...”Keduany
Di sofa itu, meluncurlah semua cerita masa lalu. Tentang pernikahan Bu Ocha dengan Pratama. Bagaimana keduanya mempertahankan pernikahan mereka yang mendapat pertentangan hebat dari kedua orangtua Bu Ocha. Lalu kematian tragis yang dialami suaminya. Hingga alasan mengapa ia terpaksa menitipkan Pram sewaktu bayi di panti asuhan milik Bu Ningsih dan Pak Surya.Semuanya diungkapkan dengan air mata yang kembali menggenangi sudut mata Bu Ocha juga Mak Ayu sebagai saksi hidup dan orang yang punya andil besar dalam perjalanan hidupnya.“Jadi Mak Ayu sempat masuk penjara karena difitnah?” tanya Pram menatap iba pada Mak Ayu ketika mendengar penderitaan yang Mak Ayu alami waktu itu.Wanita tua itu mengangguk lemah, lalu mengembuskan napas panjang seakan ingin melenyapkan jauh-jauh kenangan buruk itu. “Aku rasa dia sudah sakit jiwa. Entahlah. Aku nggak nyangka Tuan Sudiro, Opamu itu senekat itu memasukkan sendiri racun serangga ke dalam kopi yang aku bua
Rosalinda/Bu Ocha.Pak Surya, walaupun sudah tua, tentu saja tak begitu saja mempercayai seseorang yang mengaku-ngaku sebagai orangtua kandung anak-anak asuhannya. Karena seringkali ia menghadapi orang yang berniat tak baik pada anak-anak panti. Untuk itulah ia menginterogasi Rosalinda yang mengaku sebagai Ibu Kandung Pramudya, walaupun dengan suara tersendat-sendat karena harus mengalah dengan napasnya yang sesak lantaran asma yang menyerang paru-parunya.“Bayi itu saya taruh di dalam kardus, saya selimuti dengan selimut biru dan topi biru. Bersama sebuah surat, saya selipkan sebuah kalung berliontin matahari di balik bantalnya, Pak. Surat itu tulisan tangan saya,” tutur Rosalinda dengan gamblang, padahal denyut jantungnya demikian menggila karena melihat raut Pak Surya yang menatap curiga padanya. Terlebih saat Pak Surya memindai tampilannya yang begitu elegant, ciri khas seorang bangsawan. Sepertinya tak mungkin wanita anggun berwajah blast