“Nona Rosalinda sudah tidak ada di tempat itu lagi, Tuan. Kata salah satu tetangga di kampung itu, dia lihat Nona dengan bayinya pergi tengah malam bersama seorang wanita.”
“Dan tadi pagi salah satu anggota saya lihat perempuan yang mirip Nona Rosa keluar dari rumah Ayu, Tuan.”
‘”Itu pasti Rosa.”
“Dari awal aku sudah menduga, si Ayu babu sialan itu pasti tahu pernikahan Rosa dengan adiknya yang brengsek itu. Dan selama ini dia ikut andil menyembunyikan mereka.”
“Dan sekarang Rosa punya bayi dari laki-laki miskin itu. Aku nggak nyangka anakku sebodoh itu!”
“Jaka, tugas kau dan anggotamu: segera bawa pulang Rosalinda. Lalu kau habisi bayi itu, antar anak itu menyusul bapaknya ke akhirat, terserah mau kau apakan. Aku nggak sudi suatu hari nanti anak itu menuntut harta dariku!”
“Tapi, Tuan. Anak itu darah daging Tuan juga.”
Braaak!
Meja
Pramudya.Ia beranjak dari kursi di ruang tunggu, setelah terdengar suara panggilan boarding untuk para penumpang tujuan Jakarta harus segera memasuki pesawat.Dengan langkah tegap namun bahu yang terlihat menurun, seakan sedang memikul beban berat, ia berjalan melewati gerbang pemeriksaan tiket, lalu menyusuri garbarata menuju pesawat yang akan ia tumpangi.Setelah menghenyakkan diri di kursi tepat di samping jendela kiri, ia merebahkan kepala ke sandaran dengan pandangan terlempar ke arah luar. Terlihat dataran luas bandara Syamsuddin Noor yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.Pening yang hebat pun melanda, saat semua pengakuan yang terucap dari Bu Ocha, Burhan dan Mak Ayu terngiang-ngiang kembali mengaduk isi kepala. Pengakuan yang seharusnya terucap puluhan tahun silam di saat ia membutuhkan kasih sayang orangtua, justru ia dengar ketika stigma dirinya sebagai anak terbuang sudah terpaku kuat.Bu Ocha, Rosalinda, entah siapapun namanya, kini b
Pramudya.Mata elang yang dibingkai alis legam itu terpaku menatap lurus pada sosok wanita yang berdiri anggun di depan pintu.Sekujur tubuhnya terasa bergetar saat memandangi senyuman rikuh yang menghiasi bibir merah itu.Jantungnya berdentum kencang seakan sedang bertrampolin di dalam dada ketika melihat wajah cantik dengan bola mata hazel yang berkaca-kaca.Dan wajah berahang tegas itu terlihat memerah kala wanita yang ia rindukan itu melangkah perlahan menghampirinya.Pandangannya kian mengabur saat wanita itu berdiri tepat di hadapannya. Pertanda ada air hangat yang siap tumpah dari sudut mata.Kini tak ada lagi rasa kecewa yang menyesakkan dada. Tak ada lagi dendam yang membelenggu diri. Tak ada lagi prasangka buruk yang menyiksa hati nurani. Yang ada hanya kerinduan yang kian bergejolak. Dan penyesalan yang semakin memberontak.“Maafkan aku ...”“Maafkan Ibu ...”Keduany
Di sofa itu, meluncurlah semua cerita masa lalu. Tentang pernikahan Bu Ocha dengan Pratama. Bagaimana keduanya mempertahankan pernikahan mereka yang mendapat pertentangan hebat dari kedua orangtua Bu Ocha. Lalu kematian tragis yang dialami suaminya. Hingga alasan mengapa ia terpaksa menitipkan Pram sewaktu bayi di panti asuhan milik Bu Ningsih dan Pak Surya.Semuanya diungkapkan dengan air mata yang kembali menggenangi sudut mata Bu Ocha juga Mak Ayu sebagai saksi hidup dan orang yang punya andil besar dalam perjalanan hidupnya.“Jadi Mak Ayu sempat masuk penjara karena difitnah?” tanya Pram menatap iba pada Mak Ayu ketika mendengar penderitaan yang Mak Ayu alami waktu itu.Wanita tua itu mengangguk lemah, lalu mengembuskan napas panjang seakan ingin melenyapkan jauh-jauh kenangan buruk itu. “Aku rasa dia sudah sakit jiwa. Entahlah. Aku nggak nyangka Tuan Sudiro, Opamu itu senekat itu memasukkan sendiri racun serangga ke dalam kopi yang aku bua
Rosalinda/Bu Ocha.Pak Surya, walaupun sudah tua, tentu saja tak begitu saja mempercayai seseorang yang mengaku-ngaku sebagai orangtua kandung anak-anak asuhannya. Karena seringkali ia menghadapi orang yang berniat tak baik pada anak-anak panti. Untuk itulah ia menginterogasi Rosalinda yang mengaku sebagai Ibu Kandung Pramudya, walaupun dengan suara tersendat-sendat karena harus mengalah dengan napasnya yang sesak lantaran asma yang menyerang paru-parunya.“Bayi itu saya taruh di dalam kardus, saya selimuti dengan selimut biru dan topi biru. Bersama sebuah surat, saya selipkan sebuah kalung berliontin matahari di balik bantalnya, Pak. Surat itu tulisan tangan saya,” tutur Rosalinda dengan gamblang, padahal denyut jantungnya demikian menggila karena melihat raut Pak Surya yang menatap curiga padanya. Terlebih saat Pak Surya memindai tampilannya yang begitu elegant, ciri khas seorang bangsawan. Sepertinya tak mungkin wanita anggun berwajah blast
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A