Diantara ratusan pelajar yang ada di dunia ini, pasti diantaranya ada yang membenci sekolah, kan? Tidak mungkin hanya aku saja kan?
Sejujurnya sekolah ku ini sangat bagus. Sekolah yang cukup elit dan kebanyakan pelajarnya adalah anak orang kaya. Aku sangat bersyukur karena ayahku memiliki gaji yang cukup banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhanku dan menyekolahkan ku disini.
Tapi... Karena sekolah ini elit kadang malah sangat membebaniku. Dengan uang yang banyak anak-anak orang kaya itu pun banyak yang dituntut untuk menjadi yang terbaik. Mereka dimasukan les ketempat yang mahal. Sedangkan aku, jangankan les melihat buku saja sudah merasa mual. Untungnya ayahku bilang, "tidak masalah. Ayah tidak akan memaksa kamu untuk pintar disegala bidang. Cukup fokus dengan apa yang aku sukai."
Dan akhirnya aku hanya fokus bermalas-malasan karena itu yang aku sukai.
Tidak, tidak.. aku hanya bercanda. Ah, walaupun itu setengah dari kejujuranku tapi aku punya beberapa hal yang ku suka yaitu mengambil foto dan menggambar. Tapi kamu tahu sendirilah gimana sekolah di sini. Yang pintar itu yang cuma jago soal angka, kalau yang kayak aku? Haha.. hanya jadi beban sekolah saja.
Dengan malas-malasan aku berjalan menuju kelasku. Jaraknya cukup jauh dari gerbang sekolah tapi karena efek malas masuk kelas dan belajar, rasanya jadi sangat dekat.
Ketika sampai didepan pintu kelas, aku melihat beberapa teman kelasku sudah ada ditempat duduknya masing-masing. Aku juga melihat Irish si gembul itu melambaikan tangannya kepadaku.
Irish itu teman sebangku ku. Kami memutuskan untuk sebangku karena merasa cocok. Tapi bukan berarti aku dengan teman sekelasku tidak cocok dan bermusuhan. Hanya saja diantara dua puluh lima orang di kelas hanya Irish yang punya banyak kemiripan denganku.
"Masih pagi loh An. Yakali muka udah kusut gitu!" Dia menyenggol bahuku cukup kencang membuatku berlagak tersakiti.
"Sakit loh Rish." Ucapku sambil memasang wajah imut walaupun jatuhnya malah keliatan menjijikan.
"Halah, alay banget sih lo." Dia mengucapkan itu sambil meraup mukaku. Membuatku langsung mendorong tangannya sambil misuh-misuh.
"Gila lo ya. Rusak ini riasan inceus." Omelku yang langsung mendapat sambutan wajah Irish yang berlagak muntah-muntah.
Ya, begitulah persahabatanku dengan Irish. Kami bukan tipe yang romantis dan akan saling memuji tapi kami tipe sahabat yang saling menghina dan tetap saling menyayangi.
"By the way mbul, nggak ada gosip gitu?"
Eh, aku bertanya seperti ini karena Irish ini itu lambe turah disekolahku. Jadi walaupun aku anti sosial, aku tetap tahu info-info penting disekolah.
"dasar ye anak mude. Dikit-dikit pengennya ngegosip." Irish mencibir, "tapi ada sih. Lo mau yang mana? Ada tentang kak Tristan, ada tentang kak Mauryn si anak musik itu, terus ada tentang si Jen---"
"Nah tentang si Jenan!" Potongku semangat.
"Lo masih demen sama dia?" Irish bertanya sambil memandangku tidak percaya.
Aku mengangguk, "emang kenapa si Rish? Jenan kan perfect."
"Iya. Kalau nggak kaya anjing buldozer." Irish bergidik ngeri buatku langsung memberinya tatapan tak terima. "Lagian dia kan bucinnya Alice? Nggak ada kesempatan buat lo deketin dia. Apalagi tuh anak senggol bacok." Sambungnya yang membuatku merasa tertampar secara tidak langsung.
Aku mengumpat pelan, "gue kan nggak ada niat ngedeketin. Gue tuh cuma mencintai dalam diam."
Irish malah mengejekku, "nyenyenye. Dasar bucin yang cintanya tidak terbalas." Hujatnya kejam, "lagian gua nggak bilang Jenan ya, gue mau bilang Jeni."
Aku kembali mengumpat dan Irish semakin mengejekku.
"Awas aja ya lo!"
Baru saja Irish membuka mulutnya tiba-tiba bel masuk berbunyi dan tidak lama guru masuk ke kelasku.
Ah sial. Kenapa jam pertama harus matematika?
*******
Sebenarnya aku bukan tipe yang suka pergi ke kantin apalagi bik Inah selalu membuatkan bekal untukku. Tapi semenjak menyukai Jenan, semuanya berubah.
Aku akan buru-buru ke kantin karena mengincar tempat dimana aku bisa melihat Jenan dengan jelas. Tepat dipojok baris kedua dari kiri.
Seperti sekarang aku sudah berada di kantin, ditempat duduk yang sangat strategis untuk melihat Jenan. Aku menggoyang-goyangkan kaki sambil sesekali menengok ke arah tempat duduk Jenan yang berada di tengah baris pertama. Tempatnya masih kosong, kemungkinan dia belum keluar kelas.
Aku juga melihat ke arah Irish yang sedang berdesak-desakan untuk memesan makanan. Irish juga memberi kode kepadaku untuk bersabar, padahal aku tidak menyuruhnya untuk buru-buru. Sejujurnya aku tidak terlalu peduli soal makanan di kantin karena tujuan ku ke sini pun bukan itu tapi karena Jenan.
Puncuk dicinta ulam pun tiba. Orang yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku melihat Jenan masuk ke kantin bersama dengan perempuan tercinta nya Alice. Mereka duduk di tempat biasa, tempat dimana aku bisa melihat Jenan dengan jelas.
Ku lihat Jenan dengan seenaknya menyuruh salah satu siswa untuk memesan makanannya dan tentu juga untuk Alice. Tanpa membantah siswa itu lansung menurut. Setelah itu Jenan berbincang-bincang dengan Alice bahkan sesekali aku melihat Jenan membenarkan rambut Alice dan mengusapnya pelan.
Sirik. Aku merasa iri dengan Alice yang sangat beruntung bisa ada diposisi itu. Andai aku yang ada diposisi itu aku pasti akan jadi manusia paling bahagia.
"Udah jangan diliatin mulu. Nih makan sempol ayam lo!" Irish menyodorkan piring berisi sempol ayam dan jus jeruk pesananku
Aku pun menerima piring itu, "gila, andai ya gue ada diposisi tuh cewe.." ucapku sambil mulai memakan sempol ayamku.
"Ck, jangan cari penyakit deh An." Ingat Irish dengan mulut penuh nasi goreng.
"Yaelah mbul. Bener-bener ya lo jadi temen nggak ada ngedukungnya sama sekali." Aku menatapnya malas.
"Nggak gitu An." Sanggah Anna, "gue bakalan dukung lo asal jangan sama si buldozer itu. Serius deh gue bisa kenalin lo sama temen gue yang lain. Ada Mario, ada Reandra, ada banyak yang mau sama lo. Cuma mata lo udah ketutup cinta." Sambungnya dengan nada serius.
"Nggak gitu mbul." Aku berusaha mengelak.
"Pala bapak lo nggak gitu," Irish menoyor kepalaku pelan membuatku mendecak kesal, "tapi serius An, menurut gue lo tuh harus move on. Sekarang lo liat tuh Jenan sama Alice mereka tuh lengket banget kemana-mana bareng. Sedangkan lo, Jenan tau lo aja nggak." Kan... Pada akhirnya ucapan Irish itu suka bikin hatiku nyut-nyutan.
"Syuuttttt. Udah sana makan."
"Halah. Nggak bisa ngelak kan lo?" Tanya Irish dengan nada menyebalkan.
Aku hanya menatapnya kesal tanpa menjawab. Anggap saja aku mengalah karena takut Irish kelaparan kalau terus-terusan meladeni ucapanku. Lagipula daripada berdebat dengan Irish lebih baik aku melihat Jenan yang sedang memakan Mie ayamnya dengan tenang.
Astaga... Dia sangat tampan. Benar-benar membuatku ingin terus-terusan menatapnya. Walaupun banyak sekali lelaki tampan di dunia ini, tapi dimataku Jenan itu beda. Semakin ku tatap wajahnya, semakin besar perasaanku untuknya.
Ah, andai ada keajaiban. Aku bisa mengungkapkan perasaanku dan dia menerimaku. Pasti itu akan menjadi hal yang paling indah dalam hidupku.
Tapi... Sepertinya Jenan memang bukan hal yang bisa aku raih. Mungkin dia keindahan yang hanya bisa aku nikmati tanpa bisa aku milikki.
Walaupun begitu bukan berarti aku tidak boleh mencintainya kan? Ya, meski tidak terbalas dan sepertinya tidak akan.
Apalagi melihat pemandangan didepanku sekarang. Jenan mengelus tangan Alice dengan lembut.
Kenapa aku jadi ngenes gini sih? Ini pasti karena ucapan Irish. Iya, ini semua salah Irish.
Aku pernah bilang tidak sih kalau aku benci semua mata pelajaran?Tapi diantara itu semua ada dua mata pelajaran yang paling aku benci. Pertama matematika dan yang kedua adalah olahraga.Yang pertama tentu saja karena aku benci dengan angka. Sebenarnya aku masih paham kalau hanya sekedar angka yang di tambah, kurang, bagi dan kali tapi kalau sudah ada hurufnya aku langsung pusing.Yang kedua aku benci olahraga karena itu sangat melelahkan. Sebagai kaum yang hobinya rebahan, olahraga itu termasuk bagian musuhku.Kabar buruknya jadwal pelajaran dikelasku menempatkan olahraga setelah matematika. Kebetulan yang sangat luar biasa, bukan? Aku curiga apa mungkin ini karma karena di masa lalu aku pernah jadi guru yang jahat.Dan disinilah aku sekarang. Berlindung di bawah pohon dekat lapangan bersama Irish dan Indri.Sebenarnya nama aslinya Indra, tapi dia memaksa teman sekelas untuk memanggilnya Indri karena menurutnya dia l
Sudah tiga hari sekolah ramai dengan berita Alice berpacaran. Sebenarnya beritanya tidak akan seramai ini kalau Alice berpacaran dengan Jenan tapi karena Alice berpacaran dengan laki-laki selain Jenan berita ini jadi semakin panas.Bagaimana tidak, seluruh penjuru sekolah tahu kedekatan mereka berdua. Untuk disebut sebagai sahabat rasanya juga tidak wajar, mereka terlalu dekat. walaupun tidak ada konfirmasi dari Alice ataupun Jenan tapi tetap saja beritanya semakin menjadi karena Alice dituduh berselingkuh dari Jenan. Apalagi semenjak itu Jenan dan Alice tidak pernah lagi ke kantin berdua.Untuk masalah kantin aku sudah mengecek sendiri. Tiga hari aku menunggu Jenan dikantin tapi kursi itu tetap kosong. Tidak ada Alice atau Jenan yang mengisi tempat itu.Dan sudah tiga hari juga ponselku ada di Jenan. Ini semua karena tragedi pingsanku itu, semuanya jadi serumit ini.Ditanganku sudah ada coklat. Aku berniat untuk meminta maaf dan berte
Aku mendadak jadi pusat perhatian. Sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah tidak ada yang tidak menatapku.Ini semua karena Jenan. Iya. Jenan tiba-tiba datang ke kelasku membuat kehebohan dengan mencariku untuk mengajak pulang bareng.Awalnya aku tidak percaya kalau Jenan mencariku. Tapi, setelah melihat wajah Sinta si biduan kelas itu aku baru percaya apalagi ketika melihat Jenan yang memberi kode kepadaku untuk cepat keluar.Jenan berjalan didepanku. Dia tidak berkata apa-apa daritadi. Dia bahkan tidak menyuruhku untuk berjalan disampingnya.Biasanya kalau didrama yang aku lihat kan begitu. Si laki-laki akan berhenti berjalan lalu menengok ke belakang dan bilang, "kenapa jalannya dibelakang? Kamu itu pacar aku jadi jalannya harus disampingku." Setelah itu mereka jalan bergandengan tangan dan perempuannya tersenyum malu-malu.Aku kembali menatap Jenan didepanku. Lalu mendesah pelan. Memang ya drama dan realita itu ber
Semalam Irish menelponku, dia benar-benar khawatir. Dia menanyakan keadaanku, dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apakah anggota tubuhku masih lengkap? Apakah aku masih hidup? Dia bertanya seolah-olah aku dibawa oleh monster, ya memang sih Jenan itu punya julukan monster tapi Jenan kan bukan monster sungguhan.Aku bilang pada Irish kalau aku baik-baik saja cuman mungkin aku akan jadi mayat dalam waktu dekat. Irish langsung memarahiku dan bilang, "ngomong dijaga!". Benar-benar tidak tahu diri.Aku juga tidak memberitahu tentang perjanjianku pada Irish. Aku takut Irish marah dan langsung menghinaku. Walaupun iya, tapi aku tidak mau mendengar itu darinya.Kami telponan cukup lama bahkan sampai larut malam.Dan pagi ini aku menjalankan rutinitasku seperti biasa. Mandi, pakai seragam, dan sarapan buatan bik Inah.Sampai akhirnya aku dibuat jantungan ketika membuka gerbang rumahku.Disana ada Jenan sedang duduk diatas motorny
Hampir 5 menit aku menepuk-nepuk punggung Irish yang terlihat mengkhawatirkan. Wajahnya merah, matanya berair, dan hidungnya ingusan.Kalau kalian berpikir dia menangis, kalian salah. Kalau kalian berpikir dia menangis karena merasa kasihan denganku.....Itu juga salah.Irish bukan menangis, dia tersedak.Jadi, tadi setelah dia menarikku dan membawaku kembali ke kelas. Irish berteriak-teriak kesetanan membuat anak-anak yang ada di kelas termasuk aku hanya bisa diam. Irish sedang dalam keadaan senggol bacok, jadi tidak ada yang mau mengambil resiko.Dia juga melampiaskan emosi dengan memakan cimol pedasnya. Karena terlalu bar-bar entah bagaimana dia tiba-tiba tersedak dan langsung batuk-batuk.Tentu saja aku langsung membantunya. Merelakan minumanku yang langsung diteguk sampai habis walaupun dalam hati aku agak mengatai tingkahnya."Sialan nih cimol. Pokonya gue benci sama cimol dan nggak akan m
Setelah Irish dan Ana pergi. Jenan berusaha menulikan telinganya karena orang-orang yang ada di kantin semakin kencang membicarakan mereka.Apalagi kumpulan geng yang disindir oleh Irish. Bukan merasa bersalah, mereka justru merasa kesal dan terhina."Siapa sih yang gebrak meja?" Tanya Clara dengan kesal. Dia bisa dibilang ketua di geng itu."Itu Irish anjir. Dia anak karate. Dia se eskul sama gue." Jawab Laras."Kita harus hajar dia sama si Asean pokoknya!" Titah Clara bak ratu."Bener banget. Sialan harga diri gue serasa jatoh banget." Timpal Tia."Tapi itu njir... Irish tuh anak karate tingkatannya udah tinggi nanti yang ada kita babak belur." Ingat Laras, "tapi kalo si Asean sih nggak masalah keliatan dia lemah gitu." Lanjutnya.Clara menganggukan kepalanya, "bener juga sih." Ucapnya setuju, "gini aja deh kita hajar aja tuh si Asean. Gimana? Lo setuju dit?""Gue?" Tanya nya, "gue sih jelas oke aja. Atu
Selama beberapa hari agenda jemput mejemput sudah seperti kewajiban, begitu juga dengan pulang sekolah. Dan setiap ke kantin Jenan pasti akan selalu duduk di bangku dimana aku duduk, untuk ini Irish sempat protes padaku tapi aku tidak bisa membantu apa-apa.Semuanya berjalan sangat normal, dalam pandanganku. Bahkan aku berusaha bertingkah seperti pacar sungguhan, walaupun responnya masih biasa saja setidaknya dia tidak memandangku aneh atau menolaknya.Sekarang pun aku dan dia sedang duduk berdua di taman sekolah atau biasa disebut 'tempatnya Jenan'.Tidak ada yang kami lakukan. Hanya duduk berdua dan dia melamun.Aku sesekali meliriknya kemudian mengalihkan pandanganku ke arah yang dia tatap. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Jenan, tapi jujur saja aku menikmati ini.Sebenarnya kami bisa kesini karena guru sedang ada rapat dadakan. Alih-alih di pulangkan, sekolahku lebih memilih untuk membebaskan siswa/siswinya tapi menutup pagar sekolah ra
"Ana kan?""Lo kenapa?"Aku mengangkat kepala dan mengerenyitkan alis melihat laki-laki yang ada dihadapanku.Wajahnya tidak asing. Dia itu Mario salah satu teman Irish yang mau dikenalkan padaku. Dia kakak kelas, beda setahun denganku."Kak Mario?" Tanyaku sambil mengusap mataku yang terasa perih karena menangis."Iya," jawabnya,"lo ngapain dipinggir jalan sambil nangis kayak gini?"Mendengar pertanyaannya wajahku kembali menyendu dan mataku berkaca-kaca.Kak Mario langsung menatapku panik, "eh, jangan nangis." Ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.Aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa menahan tangisanku dan mulai kembali terisak.Memang dari dulu aku itu cengeng. Apalagi kalau merasa disakiti aku akan menangis sangat lama."Udah dong nangisnya," bujuk kak Mario yang membuatku malah semakin ingin menangis."Kalau kayak
Sesuai janjinya, Jenana datang ke rumahku jam empat sore... Ah, bahkan dia datang jam empat kurang lima menit. Katanya, daripada telat lebih baik datang lebih cepat. Ya, bagus sih. Aku tidak suka orang telat. Seperti Irish contohnya. Sebelum Jenan kesini, aku sudah mempersiapkan diri dari jam dua, mengobrak-abrik lemari untuk mencari baju yang paling terlihat bagus di tubuhku, tapi semuanya sama aja. Tidak ada satupun baju yang berhasil membuatku jadi lebih cantik, jadi aku memutuskan untuk memakai kemeja abu dan rok sebatas lutut berwarna hitam. Untuk rambut aku hanya memakai beberapa jepitan bentuk mutiara di sebelah kanan. Wajahku juga ku poles sedikit dengan make up, terutama di bagian bibir yang ku rias dengan warna pink dibagian luar bibir dan merah di bagian dalam bibir. Saat berkaca aku merasa puas, ya walaupun wajahku tidak berubah seperti Irene tapi setidaknya aku terlihat lebih segar dan tidak pucat. Anggaplah aku sedang memuji di
Aku tidak paham dan sejujurnya tidak mau mengerti juga. Aku tidak bisa mengabaikan dia ketika datang kesini dengan wajah babak belur. Logikaku bilang kalau seharusnya aku tadi menutup pintu sekencang-kencangnya di depan wajahnya untuk menyuarakan kekesalanku. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Membeku, aku hanya diam, menunggu dia akan mengatakan apa. Malam-malam, tepat ketika aku mau tidur tiba-tiba handphoneku berbunyi. Jenan, iya laki-laki itu mengirimkan ku pesan kalau dia sudah ada di depan rumahku. Demi Tuhan, aku ingin sekali mengabaikannya. Dia hanya mengirimkan pesan sesingkat itu sekali, harusnya itu jadi hal mudahkan? Tapi nyatanya tidak. Dengan terburu-buru aku membuka pintu dan benar dia ada didepan rumahku dengan wajah penuh luka dan ekspresi datar. Seolah-olah dia bukan manusia yang bisa merasakan sakit. "Obatin." Dengan singkatnya dia menyuruhku seperti itu.
Sudah hampir sepuluh kali aku menghela nafas berat. Bukan tanpa sebab, aku sekarang benar-benar merasa seperti orang galau.Tiga hari, ah tidak dengan hari ini jadi empat hari, aku tidak melihat orang yang ku anggap sebagai pacarku.Jenan.Setelah kejadian itu entah kenapa dia seperti menghilang. Dia tidak menjemputku, dia tidak ku temukan disekolah apalagi ke rumahku.Kenapa kelas ini jadi membosankan sih?Tidak ada yang menyenangkan sama sekali apalagi ketika melihat Indri dan beberapa teman perempuan berjoget lagu DJ yang akhir-akhir ini sering aku dengar.Aku berdecak malas. Aish menyebalkan! Kenapa sih jam pertama malah kosong? Padahal aku suka pelajaran seni budaya."Lo kenapa sih anjir?" Tanya Irish yang tidak tahan melihatku seperti itu.Alih-alih menjawab aku hanya kembali berdecak dan ternyata itu mengundang niat Irish untuk menjitak kepalaku.Dengan sigap aku menghindari niat b
"Ana kan?""Lo kenapa?"Aku mengangkat kepala dan mengerenyitkan alis melihat laki-laki yang ada dihadapanku.Wajahnya tidak asing. Dia itu Mario salah satu teman Irish yang mau dikenalkan padaku. Dia kakak kelas, beda setahun denganku."Kak Mario?" Tanyaku sambil mengusap mataku yang terasa perih karena menangis."Iya," jawabnya,"lo ngapain dipinggir jalan sambil nangis kayak gini?"Mendengar pertanyaannya wajahku kembali menyendu dan mataku berkaca-kaca.Kak Mario langsung menatapku panik, "eh, jangan nangis." Ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.Aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa menahan tangisanku dan mulai kembali terisak.Memang dari dulu aku itu cengeng. Apalagi kalau merasa disakiti aku akan menangis sangat lama."Udah dong nangisnya," bujuk kak Mario yang membuatku malah semakin ingin menangis."Kalau kayak
Selama beberapa hari agenda jemput mejemput sudah seperti kewajiban, begitu juga dengan pulang sekolah. Dan setiap ke kantin Jenan pasti akan selalu duduk di bangku dimana aku duduk, untuk ini Irish sempat protes padaku tapi aku tidak bisa membantu apa-apa.Semuanya berjalan sangat normal, dalam pandanganku. Bahkan aku berusaha bertingkah seperti pacar sungguhan, walaupun responnya masih biasa saja setidaknya dia tidak memandangku aneh atau menolaknya.Sekarang pun aku dan dia sedang duduk berdua di taman sekolah atau biasa disebut 'tempatnya Jenan'.Tidak ada yang kami lakukan. Hanya duduk berdua dan dia melamun.Aku sesekali meliriknya kemudian mengalihkan pandanganku ke arah yang dia tatap. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Jenan, tapi jujur saja aku menikmati ini.Sebenarnya kami bisa kesini karena guru sedang ada rapat dadakan. Alih-alih di pulangkan, sekolahku lebih memilih untuk membebaskan siswa/siswinya tapi menutup pagar sekolah ra
Setelah Irish dan Ana pergi. Jenan berusaha menulikan telinganya karena orang-orang yang ada di kantin semakin kencang membicarakan mereka.Apalagi kumpulan geng yang disindir oleh Irish. Bukan merasa bersalah, mereka justru merasa kesal dan terhina."Siapa sih yang gebrak meja?" Tanya Clara dengan kesal. Dia bisa dibilang ketua di geng itu."Itu Irish anjir. Dia anak karate. Dia se eskul sama gue." Jawab Laras."Kita harus hajar dia sama si Asean pokoknya!" Titah Clara bak ratu."Bener banget. Sialan harga diri gue serasa jatoh banget." Timpal Tia."Tapi itu njir... Irish tuh anak karate tingkatannya udah tinggi nanti yang ada kita babak belur." Ingat Laras, "tapi kalo si Asean sih nggak masalah keliatan dia lemah gitu." Lanjutnya.Clara menganggukan kepalanya, "bener juga sih." Ucapnya setuju, "gini aja deh kita hajar aja tuh si Asean. Gimana? Lo setuju dit?""Gue?" Tanya nya, "gue sih jelas oke aja. Atu
Hampir 5 menit aku menepuk-nepuk punggung Irish yang terlihat mengkhawatirkan. Wajahnya merah, matanya berair, dan hidungnya ingusan.Kalau kalian berpikir dia menangis, kalian salah. Kalau kalian berpikir dia menangis karena merasa kasihan denganku.....Itu juga salah.Irish bukan menangis, dia tersedak.Jadi, tadi setelah dia menarikku dan membawaku kembali ke kelas. Irish berteriak-teriak kesetanan membuat anak-anak yang ada di kelas termasuk aku hanya bisa diam. Irish sedang dalam keadaan senggol bacok, jadi tidak ada yang mau mengambil resiko.Dia juga melampiaskan emosi dengan memakan cimol pedasnya. Karena terlalu bar-bar entah bagaimana dia tiba-tiba tersedak dan langsung batuk-batuk.Tentu saja aku langsung membantunya. Merelakan minumanku yang langsung diteguk sampai habis walaupun dalam hati aku agak mengatai tingkahnya."Sialan nih cimol. Pokonya gue benci sama cimol dan nggak akan m
Semalam Irish menelponku, dia benar-benar khawatir. Dia menanyakan keadaanku, dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apakah anggota tubuhku masih lengkap? Apakah aku masih hidup? Dia bertanya seolah-olah aku dibawa oleh monster, ya memang sih Jenan itu punya julukan monster tapi Jenan kan bukan monster sungguhan.Aku bilang pada Irish kalau aku baik-baik saja cuman mungkin aku akan jadi mayat dalam waktu dekat. Irish langsung memarahiku dan bilang, "ngomong dijaga!". Benar-benar tidak tahu diri.Aku juga tidak memberitahu tentang perjanjianku pada Irish. Aku takut Irish marah dan langsung menghinaku. Walaupun iya, tapi aku tidak mau mendengar itu darinya.Kami telponan cukup lama bahkan sampai larut malam.Dan pagi ini aku menjalankan rutinitasku seperti biasa. Mandi, pakai seragam, dan sarapan buatan bik Inah.Sampai akhirnya aku dibuat jantungan ketika membuka gerbang rumahku.Disana ada Jenan sedang duduk diatas motorny
Aku mendadak jadi pusat perhatian. Sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah tidak ada yang tidak menatapku.Ini semua karena Jenan. Iya. Jenan tiba-tiba datang ke kelasku membuat kehebohan dengan mencariku untuk mengajak pulang bareng.Awalnya aku tidak percaya kalau Jenan mencariku. Tapi, setelah melihat wajah Sinta si biduan kelas itu aku baru percaya apalagi ketika melihat Jenan yang memberi kode kepadaku untuk cepat keluar.Jenan berjalan didepanku. Dia tidak berkata apa-apa daritadi. Dia bahkan tidak menyuruhku untuk berjalan disampingnya.Biasanya kalau didrama yang aku lihat kan begitu. Si laki-laki akan berhenti berjalan lalu menengok ke belakang dan bilang, "kenapa jalannya dibelakang? Kamu itu pacar aku jadi jalannya harus disampingku." Setelah itu mereka jalan bergandengan tangan dan perempuannya tersenyum malu-malu.Aku kembali menatap Jenan didepanku. Lalu mendesah pelan. Memang ya drama dan realita itu ber