Aku mendadak jadi pusat perhatian. Sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah tidak ada yang tidak menatapku.
Ini semua karena Jenan. Iya. Jenan tiba-tiba datang ke kelasku membuat kehebohan dengan mencariku untuk mengajak pulang bareng.
Awalnya aku tidak percaya kalau Jenan mencariku. Tapi, setelah melihat wajah Sinta si biduan kelas itu aku baru percaya apalagi ketika melihat Jenan yang memberi kode kepadaku untuk cepat keluar.
Jenan berjalan didepanku. Dia tidak berkata apa-apa daritadi. Dia bahkan tidak menyuruhku untuk berjalan disampingnya.
Biasanya kalau didrama yang aku lihat kan begitu. Si laki-laki akan berhenti berjalan lalu menengok ke belakang dan bilang, "kenapa jalannya dibelakang? Kamu itu pacar aku jadi jalannya harus disampingku." Setelah itu mereka jalan bergandengan tangan dan perempuannya tersenyum malu-malu.
Aku kembali menatap Jenan didepanku. Lalu mendesah pelan. Memang ya drama dan realita itu berbeda.
Sesampainya di parkiran Jenan menyuruhku untuk menunggunya mengeluarkan motor.
Iya, motor besar yang biasanya dipakai memboncengi Alice.
Setelah mengeluarkan motornya, Jenan menyuruhku naik. Dia juga memberikan helm berwarna putih, helm yang biasa dipakai Alice.
Dulu aku sering sekali menghayalkan ini, tapi setelah menjadi kenyataan kenapa rasanya beda. Rasanya tidak seindah imajinasiku. Apalagi ketika sadar yang kupakai ini semuanya milik Alice rasanya ada yang sakit gitu.
Sepanjang perjalanan aku dan Jenan tidak banyak bicara. Aku sebenarnya mau bertanya apa dia tahu arah rumahku, tapi ku perhatikan daritadi Jenan tidak berniat bertanya.
Dan ketika melewati daerah perumahanku Jenan juga tidak berhenti. Aku sedikit panik sih, tapi tidak mungkinkan Jenan mau menculikku apalagi membunuhku?
Jenan memberhentikan motornya ketika sampai disebuah cafe. Akupun hanya mengikuti Jenan dari belakang. Aku benar-benar merasa seperti anak ayam yang mengekori induknya. Tapi mana ada induk ayam yang setampan Jenan.
Jenan menyuruhku duduk dan aku langsung menurutinya tanpa berbicara apapun.
"Pesan." Suruhnya ketika dia sudah memesan. Sekali lagi aku langsung menurut dan memesan minuman karena aku tidak lapar.
Setelah itu aku dan dia kembali diam. Suasananya benar-benar terasa canggung.
"Gue ngajak lo kesini mau bahas yang tadi." Ucapnya memecahkan keheningan antara kami.
Aku hanya mengangguk. Walaupun dalam hati sebenarnya aku deg-degan. Apa jangan-jangan Jenan sadar dan mau memutuskanku? Atau dia mau bilang kalau yang tadi dia cuma khilaf saja?
"Gue ngajak lo pacaran, tapi gue nggak suka sama lo."
Hm.. brengsek. Musnah sudah hayalanku soal Jenan yang menyukaiku diam-diam.
"Tapi bukan berarti gue nggak serius soal itu. Gue tetep ngajak lo pacaran karena setelah gue liat lo jauh lebih baik dari cewek-cewek yang deketin gue."
Astaga. Mendadak aku merasa jauh lebih cantik daripada cewek-cewek cheers yang berusaha mendekati Jenan.
Aku berdeham pelan, "jadi tujuan kamu ngajak aku pacaran apa?" Tanyaku to the point.
Jenan tersenyum mendengar pertanyaanku, senyuman yang tentu saja tidak terlihat menyenangkan, "jujur aja alasan gue pacaran sama lo karena gue capek dideketin banyak cewek."
"Kenapa harus aku?"
"Kan udah gue bilang, lo jauh lebih baik dari cewek-cewek yang deketin gue."
Aku menatap Jenan bingung. Perasaan ku juga sedikit merasa sakit sih, apalagi mendengar alasannya ingin memacariku hanya karena capek didekati cewek-cewek. Secara tidak langsung dia hanya memanfaatkanku saja. Memang sih aku menyukainya tapi bukan berarti begini juga kan?
"Gue yakin sekarang Dimata lo gue keliatan brengsek banget dan gue juga sadar kalo gue sekarang jahat banget. Untuk itu gue bakal ngasih penawaran ke lo. Gue bakalan nurutin lima permintaan lo dan lo cukup nurutin satu permintaan gue." Jenan mengeluarkan kertas dan pulpen lalu menaruhnya ditengah.
"Apa aku boleh nolak?" Tanyaku.
Sekali lagi Jenan malah tersenyum tapi kali ini malah jauh kelihatan lebih menyeramkan, "bagus kalo lo nolak soal permintaan itu, jadi gue nggak harus nurutin permintaan lo. Dan Lo tetep jadi pacar gue."
Aki menganga tidak terima, "nggak gitu!" Ucapku kesal.
Dia hanya menaikan alisnya.
Aku bimbang. Aku bingung. Aku tidak tahu harus apa. Setengah logikaku menyuruhku untuk berhenti, tapi setengahnya lagi menyuruhku untuk terus maju. Kapan lagi bisa memanfaatkan Jenan? Apalagi aku sudah terlanjur dimanfaatkan.
Soal kedekatanku dengan dia pun sudah terlanjur menyebar di sekolah. Dan aku yakin setelah ini pasti aku akan jadi pusat perhatian.
Setelah kerugian yang aku alami karena Jenan setidaknya aku juga harus mendapatkan keuntungan.
Juga, ada kemungkinan kalau aku membuatnya jatuh cinta kan? Tiba-tiba sudut perasaanku berteriak kalau ini bagian dari kesempatanku untuk mendapatkan hati Jenan.
Benar. Aku harus memanfaatkan ini.
Aku tersenyum kearah Jenan lalu mengambil kertas dan pulpen itu. Aku menuliskan lima hal yang aku inginkan dari Jenan.
Setelah menulis lima hal itu aku memberikan kertasnya ke Jenan. Dan dia langsung menulis satu keinginannya dan yang kulihat dia hanya menulis lima kata.
Jenan kembali memberi kertasnya padaku untuk membaca keinginanku.
"Satu, bicara menggunakan aku-kamu."
"Oke."
"Dua, tidak boleh ada perselingkuhan." Aku menatap wajahnya, dia kelihatan tidak keberatan.
"Oke."
"Tiga, kalau aku meminta tolong harus dituruti." Dia menatapku bingung, "kalau-kalau ada yang berusaha mencelakakan ku." Jenan itu terkenal, walaupun seperti monster penggemarnya cukup banyak, belum lagi fans-fans yang mendukung Jenan-Alice pacaran. Jadi aku harus jaga-jaga.
"Oke."
"Empat, kalau ada masalah harus bilang." Kali ini aku menerima tatapan tidak terima,
"Itu agak sulit, nggak semua masalah bisa gue ceritain." Jawabnya.
"Aku bukan gue," aku mengoreksinya, "kalau gitu masalah yang mau kamu ceritain aja." Lanjutku memberi pengertian.
Akhirnya dia hanya mengangguk.
"Lima, harus selalu ada ketika dibutuhkan."
"Tapi kalau gu-- aku ada urusan gimana?" Tanyanya.
"Aku nggak butuhin kamu setiap saat, kalau ada hal yang menurut kamu lebih penting aku bakal ngalah." Jelasku
"Oke kalau gitu. Tapi aku bakalan usahain selalu ada." Ucapnya.
Aku mengumpat tertahan ketika membaca keinginan Jenan. Tidak kusangka ternyata dia selicik ini.
"Keinginan Jenan. Satu, menuruti apa yang jenan suruh."
Jenan tersenyum puas mendengarku membaca keinginannya. Demi Tuhan, aku ingin sekali memukulnya kencang. Dan bodohnya kenapa aku tidak kepikiran membuat permintaan seperti Jenan?!
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan ku setelah ini.
Tamat sudah riwatku.
Semalam Irish menelponku, dia benar-benar khawatir. Dia menanyakan keadaanku, dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apakah anggota tubuhku masih lengkap? Apakah aku masih hidup? Dia bertanya seolah-olah aku dibawa oleh monster, ya memang sih Jenan itu punya julukan monster tapi Jenan kan bukan monster sungguhan.Aku bilang pada Irish kalau aku baik-baik saja cuman mungkin aku akan jadi mayat dalam waktu dekat. Irish langsung memarahiku dan bilang, "ngomong dijaga!". Benar-benar tidak tahu diri.Aku juga tidak memberitahu tentang perjanjianku pada Irish. Aku takut Irish marah dan langsung menghinaku. Walaupun iya, tapi aku tidak mau mendengar itu darinya.Kami telponan cukup lama bahkan sampai larut malam.Dan pagi ini aku menjalankan rutinitasku seperti biasa. Mandi, pakai seragam, dan sarapan buatan bik Inah.Sampai akhirnya aku dibuat jantungan ketika membuka gerbang rumahku.Disana ada Jenan sedang duduk diatas motorny
Hampir 5 menit aku menepuk-nepuk punggung Irish yang terlihat mengkhawatirkan. Wajahnya merah, matanya berair, dan hidungnya ingusan.Kalau kalian berpikir dia menangis, kalian salah. Kalau kalian berpikir dia menangis karena merasa kasihan denganku.....Itu juga salah.Irish bukan menangis, dia tersedak.Jadi, tadi setelah dia menarikku dan membawaku kembali ke kelas. Irish berteriak-teriak kesetanan membuat anak-anak yang ada di kelas termasuk aku hanya bisa diam. Irish sedang dalam keadaan senggol bacok, jadi tidak ada yang mau mengambil resiko.Dia juga melampiaskan emosi dengan memakan cimol pedasnya. Karena terlalu bar-bar entah bagaimana dia tiba-tiba tersedak dan langsung batuk-batuk.Tentu saja aku langsung membantunya. Merelakan minumanku yang langsung diteguk sampai habis walaupun dalam hati aku agak mengatai tingkahnya."Sialan nih cimol. Pokonya gue benci sama cimol dan nggak akan m
Setelah Irish dan Ana pergi. Jenan berusaha menulikan telinganya karena orang-orang yang ada di kantin semakin kencang membicarakan mereka.Apalagi kumpulan geng yang disindir oleh Irish. Bukan merasa bersalah, mereka justru merasa kesal dan terhina."Siapa sih yang gebrak meja?" Tanya Clara dengan kesal. Dia bisa dibilang ketua di geng itu."Itu Irish anjir. Dia anak karate. Dia se eskul sama gue." Jawab Laras."Kita harus hajar dia sama si Asean pokoknya!" Titah Clara bak ratu."Bener banget. Sialan harga diri gue serasa jatoh banget." Timpal Tia."Tapi itu njir... Irish tuh anak karate tingkatannya udah tinggi nanti yang ada kita babak belur." Ingat Laras, "tapi kalo si Asean sih nggak masalah keliatan dia lemah gitu." Lanjutnya.Clara menganggukan kepalanya, "bener juga sih." Ucapnya setuju, "gini aja deh kita hajar aja tuh si Asean. Gimana? Lo setuju dit?""Gue?" Tanya nya, "gue sih jelas oke aja. Atu
Selama beberapa hari agenda jemput mejemput sudah seperti kewajiban, begitu juga dengan pulang sekolah. Dan setiap ke kantin Jenan pasti akan selalu duduk di bangku dimana aku duduk, untuk ini Irish sempat protes padaku tapi aku tidak bisa membantu apa-apa.Semuanya berjalan sangat normal, dalam pandanganku. Bahkan aku berusaha bertingkah seperti pacar sungguhan, walaupun responnya masih biasa saja setidaknya dia tidak memandangku aneh atau menolaknya.Sekarang pun aku dan dia sedang duduk berdua di taman sekolah atau biasa disebut 'tempatnya Jenan'.Tidak ada yang kami lakukan. Hanya duduk berdua dan dia melamun.Aku sesekali meliriknya kemudian mengalihkan pandanganku ke arah yang dia tatap. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Jenan, tapi jujur saja aku menikmati ini.Sebenarnya kami bisa kesini karena guru sedang ada rapat dadakan. Alih-alih di pulangkan, sekolahku lebih memilih untuk membebaskan siswa/siswinya tapi menutup pagar sekolah ra
"Ana kan?""Lo kenapa?"Aku mengangkat kepala dan mengerenyitkan alis melihat laki-laki yang ada dihadapanku.Wajahnya tidak asing. Dia itu Mario salah satu teman Irish yang mau dikenalkan padaku. Dia kakak kelas, beda setahun denganku."Kak Mario?" Tanyaku sambil mengusap mataku yang terasa perih karena menangis."Iya," jawabnya,"lo ngapain dipinggir jalan sambil nangis kayak gini?"Mendengar pertanyaannya wajahku kembali menyendu dan mataku berkaca-kaca.Kak Mario langsung menatapku panik, "eh, jangan nangis." Ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.Aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa menahan tangisanku dan mulai kembali terisak.Memang dari dulu aku itu cengeng. Apalagi kalau merasa disakiti aku akan menangis sangat lama."Udah dong nangisnya," bujuk kak Mario yang membuatku malah semakin ingin menangis."Kalau kayak
Sudah hampir sepuluh kali aku menghela nafas berat. Bukan tanpa sebab, aku sekarang benar-benar merasa seperti orang galau.Tiga hari, ah tidak dengan hari ini jadi empat hari, aku tidak melihat orang yang ku anggap sebagai pacarku.Jenan.Setelah kejadian itu entah kenapa dia seperti menghilang. Dia tidak menjemputku, dia tidak ku temukan disekolah apalagi ke rumahku.Kenapa kelas ini jadi membosankan sih?Tidak ada yang menyenangkan sama sekali apalagi ketika melihat Indri dan beberapa teman perempuan berjoget lagu DJ yang akhir-akhir ini sering aku dengar.Aku berdecak malas. Aish menyebalkan! Kenapa sih jam pertama malah kosong? Padahal aku suka pelajaran seni budaya."Lo kenapa sih anjir?" Tanya Irish yang tidak tahan melihatku seperti itu.Alih-alih menjawab aku hanya kembali berdecak dan ternyata itu mengundang niat Irish untuk menjitak kepalaku.Dengan sigap aku menghindari niat b
Aku tidak paham dan sejujurnya tidak mau mengerti juga. Aku tidak bisa mengabaikan dia ketika datang kesini dengan wajah babak belur. Logikaku bilang kalau seharusnya aku tadi menutup pintu sekencang-kencangnya di depan wajahnya untuk menyuarakan kekesalanku. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Membeku, aku hanya diam, menunggu dia akan mengatakan apa. Malam-malam, tepat ketika aku mau tidur tiba-tiba handphoneku berbunyi. Jenan, iya laki-laki itu mengirimkan ku pesan kalau dia sudah ada di depan rumahku. Demi Tuhan, aku ingin sekali mengabaikannya. Dia hanya mengirimkan pesan sesingkat itu sekali, harusnya itu jadi hal mudahkan? Tapi nyatanya tidak. Dengan terburu-buru aku membuka pintu dan benar dia ada didepan rumahku dengan wajah penuh luka dan ekspresi datar. Seolah-olah dia bukan manusia yang bisa merasakan sakit. "Obatin." Dengan singkatnya dia menyuruhku seperti itu.
Sesuai janjinya, Jenana datang ke rumahku jam empat sore... Ah, bahkan dia datang jam empat kurang lima menit. Katanya, daripada telat lebih baik datang lebih cepat. Ya, bagus sih. Aku tidak suka orang telat. Seperti Irish contohnya. Sebelum Jenan kesini, aku sudah mempersiapkan diri dari jam dua, mengobrak-abrik lemari untuk mencari baju yang paling terlihat bagus di tubuhku, tapi semuanya sama aja. Tidak ada satupun baju yang berhasil membuatku jadi lebih cantik, jadi aku memutuskan untuk memakai kemeja abu dan rok sebatas lutut berwarna hitam. Untuk rambut aku hanya memakai beberapa jepitan bentuk mutiara di sebelah kanan. Wajahku juga ku poles sedikit dengan make up, terutama di bagian bibir yang ku rias dengan warna pink dibagian luar bibir dan merah di bagian dalam bibir. Saat berkaca aku merasa puas, ya walaupun wajahku tidak berubah seperti Irene tapi setidaknya aku terlihat lebih segar dan tidak pucat. Anggaplah aku sedang memuji di
Sesuai janjinya, Jenana datang ke rumahku jam empat sore... Ah, bahkan dia datang jam empat kurang lima menit. Katanya, daripada telat lebih baik datang lebih cepat. Ya, bagus sih. Aku tidak suka orang telat. Seperti Irish contohnya. Sebelum Jenan kesini, aku sudah mempersiapkan diri dari jam dua, mengobrak-abrik lemari untuk mencari baju yang paling terlihat bagus di tubuhku, tapi semuanya sama aja. Tidak ada satupun baju yang berhasil membuatku jadi lebih cantik, jadi aku memutuskan untuk memakai kemeja abu dan rok sebatas lutut berwarna hitam. Untuk rambut aku hanya memakai beberapa jepitan bentuk mutiara di sebelah kanan. Wajahku juga ku poles sedikit dengan make up, terutama di bagian bibir yang ku rias dengan warna pink dibagian luar bibir dan merah di bagian dalam bibir. Saat berkaca aku merasa puas, ya walaupun wajahku tidak berubah seperti Irene tapi setidaknya aku terlihat lebih segar dan tidak pucat. Anggaplah aku sedang memuji di
Aku tidak paham dan sejujurnya tidak mau mengerti juga. Aku tidak bisa mengabaikan dia ketika datang kesini dengan wajah babak belur. Logikaku bilang kalau seharusnya aku tadi menutup pintu sekencang-kencangnya di depan wajahnya untuk menyuarakan kekesalanku. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Membeku, aku hanya diam, menunggu dia akan mengatakan apa. Malam-malam, tepat ketika aku mau tidur tiba-tiba handphoneku berbunyi. Jenan, iya laki-laki itu mengirimkan ku pesan kalau dia sudah ada di depan rumahku. Demi Tuhan, aku ingin sekali mengabaikannya. Dia hanya mengirimkan pesan sesingkat itu sekali, harusnya itu jadi hal mudahkan? Tapi nyatanya tidak. Dengan terburu-buru aku membuka pintu dan benar dia ada didepan rumahku dengan wajah penuh luka dan ekspresi datar. Seolah-olah dia bukan manusia yang bisa merasakan sakit. "Obatin." Dengan singkatnya dia menyuruhku seperti itu.
Sudah hampir sepuluh kali aku menghela nafas berat. Bukan tanpa sebab, aku sekarang benar-benar merasa seperti orang galau.Tiga hari, ah tidak dengan hari ini jadi empat hari, aku tidak melihat orang yang ku anggap sebagai pacarku.Jenan.Setelah kejadian itu entah kenapa dia seperti menghilang. Dia tidak menjemputku, dia tidak ku temukan disekolah apalagi ke rumahku.Kenapa kelas ini jadi membosankan sih?Tidak ada yang menyenangkan sama sekali apalagi ketika melihat Indri dan beberapa teman perempuan berjoget lagu DJ yang akhir-akhir ini sering aku dengar.Aku berdecak malas. Aish menyebalkan! Kenapa sih jam pertama malah kosong? Padahal aku suka pelajaran seni budaya."Lo kenapa sih anjir?" Tanya Irish yang tidak tahan melihatku seperti itu.Alih-alih menjawab aku hanya kembali berdecak dan ternyata itu mengundang niat Irish untuk menjitak kepalaku.Dengan sigap aku menghindari niat b
"Ana kan?""Lo kenapa?"Aku mengangkat kepala dan mengerenyitkan alis melihat laki-laki yang ada dihadapanku.Wajahnya tidak asing. Dia itu Mario salah satu teman Irish yang mau dikenalkan padaku. Dia kakak kelas, beda setahun denganku."Kak Mario?" Tanyaku sambil mengusap mataku yang terasa perih karena menangis."Iya," jawabnya,"lo ngapain dipinggir jalan sambil nangis kayak gini?"Mendengar pertanyaannya wajahku kembali menyendu dan mataku berkaca-kaca.Kak Mario langsung menatapku panik, "eh, jangan nangis." Ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.Aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa menahan tangisanku dan mulai kembali terisak.Memang dari dulu aku itu cengeng. Apalagi kalau merasa disakiti aku akan menangis sangat lama."Udah dong nangisnya," bujuk kak Mario yang membuatku malah semakin ingin menangis."Kalau kayak
Selama beberapa hari agenda jemput mejemput sudah seperti kewajiban, begitu juga dengan pulang sekolah. Dan setiap ke kantin Jenan pasti akan selalu duduk di bangku dimana aku duduk, untuk ini Irish sempat protes padaku tapi aku tidak bisa membantu apa-apa.Semuanya berjalan sangat normal, dalam pandanganku. Bahkan aku berusaha bertingkah seperti pacar sungguhan, walaupun responnya masih biasa saja setidaknya dia tidak memandangku aneh atau menolaknya.Sekarang pun aku dan dia sedang duduk berdua di taman sekolah atau biasa disebut 'tempatnya Jenan'.Tidak ada yang kami lakukan. Hanya duduk berdua dan dia melamun.Aku sesekali meliriknya kemudian mengalihkan pandanganku ke arah yang dia tatap. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Jenan, tapi jujur saja aku menikmati ini.Sebenarnya kami bisa kesini karena guru sedang ada rapat dadakan. Alih-alih di pulangkan, sekolahku lebih memilih untuk membebaskan siswa/siswinya tapi menutup pagar sekolah ra
Setelah Irish dan Ana pergi. Jenan berusaha menulikan telinganya karena orang-orang yang ada di kantin semakin kencang membicarakan mereka.Apalagi kumpulan geng yang disindir oleh Irish. Bukan merasa bersalah, mereka justru merasa kesal dan terhina."Siapa sih yang gebrak meja?" Tanya Clara dengan kesal. Dia bisa dibilang ketua di geng itu."Itu Irish anjir. Dia anak karate. Dia se eskul sama gue." Jawab Laras."Kita harus hajar dia sama si Asean pokoknya!" Titah Clara bak ratu."Bener banget. Sialan harga diri gue serasa jatoh banget." Timpal Tia."Tapi itu njir... Irish tuh anak karate tingkatannya udah tinggi nanti yang ada kita babak belur." Ingat Laras, "tapi kalo si Asean sih nggak masalah keliatan dia lemah gitu." Lanjutnya.Clara menganggukan kepalanya, "bener juga sih." Ucapnya setuju, "gini aja deh kita hajar aja tuh si Asean. Gimana? Lo setuju dit?""Gue?" Tanya nya, "gue sih jelas oke aja. Atu
Hampir 5 menit aku menepuk-nepuk punggung Irish yang terlihat mengkhawatirkan. Wajahnya merah, matanya berair, dan hidungnya ingusan.Kalau kalian berpikir dia menangis, kalian salah. Kalau kalian berpikir dia menangis karena merasa kasihan denganku.....Itu juga salah.Irish bukan menangis, dia tersedak.Jadi, tadi setelah dia menarikku dan membawaku kembali ke kelas. Irish berteriak-teriak kesetanan membuat anak-anak yang ada di kelas termasuk aku hanya bisa diam. Irish sedang dalam keadaan senggol bacok, jadi tidak ada yang mau mengambil resiko.Dia juga melampiaskan emosi dengan memakan cimol pedasnya. Karena terlalu bar-bar entah bagaimana dia tiba-tiba tersedak dan langsung batuk-batuk.Tentu saja aku langsung membantunya. Merelakan minumanku yang langsung diteguk sampai habis walaupun dalam hati aku agak mengatai tingkahnya."Sialan nih cimol. Pokonya gue benci sama cimol dan nggak akan m
Semalam Irish menelponku, dia benar-benar khawatir. Dia menanyakan keadaanku, dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apakah anggota tubuhku masih lengkap? Apakah aku masih hidup? Dia bertanya seolah-olah aku dibawa oleh monster, ya memang sih Jenan itu punya julukan monster tapi Jenan kan bukan monster sungguhan.Aku bilang pada Irish kalau aku baik-baik saja cuman mungkin aku akan jadi mayat dalam waktu dekat. Irish langsung memarahiku dan bilang, "ngomong dijaga!". Benar-benar tidak tahu diri.Aku juga tidak memberitahu tentang perjanjianku pada Irish. Aku takut Irish marah dan langsung menghinaku. Walaupun iya, tapi aku tidak mau mendengar itu darinya.Kami telponan cukup lama bahkan sampai larut malam.Dan pagi ini aku menjalankan rutinitasku seperti biasa. Mandi, pakai seragam, dan sarapan buatan bik Inah.Sampai akhirnya aku dibuat jantungan ketika membuka gerbang rumahku.Disana ada Jenan sedang duduk diatas motorny
Aku mendadak jadi pusat perhatian. Sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah tidak ada yang tidak menatapku.Ini semua karena Jenan. Iya. Jenan tiba-tiba datang ke kelasku membuat kehebohan dengan mencariku untuk mengajak pulang bareng.Awalnya aku tidak percaya kalau Jenan mencariku. Tapi, setelah melihat wajah Sinta si biduan kelas itu aku baru percaya apalagi ketika melihat Jenan yang memberi kode kepadaku untuk cepat keluar.Jenan berjalan didepanku. Dia tidak berkata apa-apa daritadi. Dia bahkan tidak menyuruhku untuk berjalan disampingnya.Biasanya kalau didrama yang aku lihat kan begitu. Si laki-laki akan berhenti berjalan lalu menengok ke belakang dan bilang, "kenapa jalannya dibelakang? Kamu itu pacar aku jadi jalannya harus disampingku." Setelah itu mereka jalan bergandengan tangan dan perempuannya tersenyum malu-malu.Aku kembali menatap Jenan didepanku. Lalu mendesah pelan. Memang ya drama dan realita itu ber