Tangan Inara lekas menyembunyikan surat nikah siri antara suami dan mantan sahabatnya tersebut. Syukurnya, Bu Dila tidak sampai memahami tentang selebaran itu. Ia hanya fokus kepada jumlah orang yang ada di pos satpam tersebut."Kalian kelihatan akrab banget. Nggak kayak biasanya." Entah kenapa, Inara seolah menangkap adanya kecemburuan di hati Bu Dila, karena menantunya dekat dengan lelaki lain, meskipun sosok itu adalah penjaga rumah mereka sendiri."Tetapi, dia tak pernah memikirkan perasaanku yang sesungguhnya telah diduakan ini," batin Inara.Manik mata hitam itu kelihatan menyimpan rasa penasaran yang amat besar. Mungkin sudah sejak tadi ia memantau gerak-gerik Inara bersama Pak Sentot. Maklum saja, karena selama ini siapapun yang mengobrol dengan security itu, memang tak pernah awet. Cuma hal tertentu saja."Lagi nasehatin Pak Sentot supaya jangan sering ketiduran lagi, Bu." Kata-kata bullshit Inara keluar. Garis bibirnya melengkung."Oh, begitu. Kirain lagi PDKT," sindir Bu Di
"Ya, Allah, Bi. Mulut Abi kenapa ndower begitu?"Perkataan itu mengakhiri permainan ponsel Inara di ranjang. Jujur, dia juga kaget sekali sebenarnya. Bibir atas dan bawah Angga membengkak, warnanya merah kebiruan. Seperti habis kena tonjok.Lelaki itu meraba mulutnya yang jelas terasa pegal. Bagaimana tidak? Bibir tipis nan seksi berubah menjadi buah tomat yang jelas bobotnya lebih berat."Abi kenapa cepet banget pulangnya? Nggak jadi ketemu kepala sekolah? Abi dilabrak preman, ya?" Deretan pertanyaan Inara belum satu pun ada yang terjawab. Manusia pemilik muka layu itu duduk bersandar pada tembok kamar."Di g- git emut, Mi.""Ha?" Inara memiringkan kepala. Suaminya antara berbicara dan berkumur-kumur."Digigit semut?" ulang Inara, begitu otaknya berhasil menerjemahkan perkataan Angga.Pria itu mengangguk. Untuk pertama kalinya Inara melihat Bebek Donal secara nyata. "Abi sudah jadi ketemu kepala sekolahnya belum?""Dah." Sekarang ini Angga tidak bisa banyak berbicara."Jadi, digigi
Semenjak dekat diam-diam dengan Aina, Angga tak pernah lagi memanjakan istrinya dengan sentuhan harta. Dia juga tak segan-segan meminta agar Inara berhemat. Sebagai istri pertama, jelas dia iri kepada Aina, apalagi ada oknum yang memang sengaja menyembunyikan pernikahan siri tersebut. Inara tentu juga ingin menikmati hasil jerih payah suaminya seperti sedia kala."Buang-buang duit maksudnya gimana, Mi?""Masak Abi nggak tahu, sih? Ya, kita belanja-belanja di mall. Beli baju kek, makan enak dan membeli apapun yang Umi inginkan nanti. Selama ini Umi sudah baik dengan menuruti permintaan Abi supaya hidup lebih berhemat, jadi tak apalah, kalau besok kita boros sedikit saja." Inara menatap Angga dengan pandangan memelas. Menjadikan dirinya seperti anak-anak yang memohon permen pada orang dewasa.Angga mendongak. Menyesap oksigen di kamar yang sudah menjadi ruangan bagi Aina juga. "Abi nggak mau!" tolaknya mentah-mentah. Angga menepis kepala Inara yang bersembunyi di dadanya, lalu menuju k
Ciiiit!Thin... Tit... tit...Mata Angga sampai mau keluar biji hitamnya. Mobil direm mendadak, sampai membuat ia dan Inara nyaris menabrak dashboard. Adegan itu membuat pengendara di belakang transportasi mereka heboh. Bariton klakson bertabur di mana-mana.Angga mendesah panjang. Menjalankan kembali mobilnya daripada harus menelan amukan orang-orang. "Dompet warna hitam?" Nada bicara pria itu meninggi."Iya."Angga spontan menubrukkan kepalanya di kemudi. Beberapa kali, sementara kuda besi itu terus berjalan. Jadilah kendaraan tersebut melipir ke kiri melipir ke kanan."Abi, perhatikan jalan!" seru Inara mulai khawatir.Angga kelihatan begitu pusing. Wajahnya menyerupai kepiting rebus. Mendengar pernyataan Inara membuat amarahnya membumbung tinggi."Mengapa Umi lancang sekali menggunakan uang itu? Kan, sudah Abi bilang jangan pernah boros lagi!""Habisnya Abi pelit banget! Sesekali perlu dikasih pelajaran.""Jangan main-main soal uang, Mi. Abi sudah susah payah banting tulang, kok,
Air mata Inara merebak ke mana-mana. Bayangan ketika Angga memarahinya, karena belanja banyak kembali berputar, menghiasi seisi kepala. Bahkan, sampai sekarang mereka masih bertengkar perkara kejadian beberapa hari silam. Namun, tiba-tiba saja Aina mengupload foto barang-barang hasil shopping dengan kata "suami" di sana, yang sudah jelas itu adalah Angga. Terbukti bahwa laki-laki itu mempunyai banyak tempat simpanan duit yang sejatinya akan ia hambur-hamburkan untuk istri keduanya.Dada Inara serasa hendak meletup menahan kecemburuan. Isakannya hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu.Beberapa detik setelahnya, Aina kembali mengunggah foto tangannya dan tangan sang suami. Mungkin tujuannya adalah untuk menyamarkan identitas pria tersebut, terutama dari Inara sendiri. Namun, siapa yang lebih dulu memiliki Angga, maka dialah yang paling memahami. Walaupun hanya sebatas 5 jari, tetapi dia tanda betul, bahwa yang memiliki jemari kokoh dan berisi seperti itu adalah suaminya."Keparat!" gumam
Di luar dugaan, pukulan itu malah membuat Aina tercampak dengan posisi dahi menubruk batang pinang terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya sekujur tubuh itu nyemplung ke lumpur. Inara refleks membeliakkan netra dengan posisi mulut berbentuk huruf O. Namun, kepuasan tersendiri berhasil ia peroleh sehabis menghajar Aina dan membuat pelipis gadis itu mengeluarkan darah segar.Semula para penonton tertawa, menghadiahi Inara dengan tepuk tangan yang meriah. Namun, begitu tahu apa yang terjadi dengan Aina, seketika suasana menjadi kacau. Orang-orang menarik kembali ucapan selamat itu dan langsung mengerubungi Aina.Inara turun perlahan dari batang pinang selaku saksi bisu pembalasan dendam yang tidak seberapa itu. Ia berjongkok untuk melihat Aina yang sudah diamankan oleh warga pria dan sekarang sedang tergeletak di tanah sambil mengaduh kesakitan. "Ya, Allah. Ai! Aina! Kamu kenapa?" kalau Aina bisa berakting, lalu kenapa Inara harus kalah. Alhasil, dia berlagak lugu sebagaimana tingkah Ain
Minta ditabok pakai ekor bunglon si Aina ini. Bisa-bisanya dia tersenyum di pojokan sana, sedangkan Inara digas habis-habisan oleh keluarga Angga. Pasti dipikirnya Inara sedang tertunduk menyesal saat ini. Mana tahu dia, kalau Inara memergokinya tersimpul licik seperti sekarang.Sepasang tangan Inara mengeras. Tak sabar ingin menonjok muka manipulatif milik madunya."Luka Aina nggak seberapa. Tadi juga dia bisa berjalan dengan normal." Inara mencoba membela diri."Itu kan menurut kamu. Lagi pula kamu melihatnya sudah berapa jam yang lalu, Inara? Sekarang tengoklah Aina! Dia bahkan nggak sadar-sadar dari pingsannya.""Kenapa Umi terlalu anarkis, padahal itu cuma perlombaan biasa? Kalau menang pun, paling hadiahnya cuma piring cantik dan bukan emas batangan." Rambut lebat dan berkilau kepunyaan Angga diacak-acak."Loh, kenapa kalian jadi sepanik ini? Seakan-akan yang terbaring di sana adalah keluarga kalian sendiri."Suasana sempat hening selama beberapa saat."Heran aku," sambung Inara
Tangannya bergerak, memahat sesuatu di atas kertas putih sambil sesekali menengok ke arah layar ponsel. Pandangannya fokus, mengalahkan perhatian ketika membaca buku. Tak dihiraukan lingkungan sekitar. Toh, sampai detik ini dia juga masih sendiri di ruangan bernuansa putih tersebut.Seorang lelaki yang tak asing baginya memasuki kamar. Tanpa menyapa, sosok itu langsung melucuti pakaian dan menyisakan bagian dalamnya saja. Ia menggendong keseluruhan kain yang telah terlepas dari tubuh dan membawanya ke kamar mandi.Sor...Inara menjatuhkan pulpen serta menegakkan badannya. Ia menarik rambut yang menutupi telinga dan membelokkan kepala ke arah pintu toilet.Percikan air terdengar dan membuat ia tersadar, kalau seseorang baru saja masuk ke wilayah tersebut. Inara menengok tulisannya yang terhampar di meja belajar, lalu termenung barang sesaat."Angga? Sudah pulang dia?" batinnya. Saking telitinya dengan pekerjaan itu, sampai-sampai Inara tidak sadar kalau ada manusia lain yang menyembul