Di luar dugaan, pukulan itu malah membuat Aina tercampak dengan posisi dahi menubruk batang pinang terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya sekujur tubuh itu nyemplung ke lumpur. Inara refleks membeliakkan netra dengan posisi mulut berbentuk huruf O. Namun, kepuasan tersendiri berhasil ia peroleh sehabis menghajar Aina dan membuat pelipis gadis itu mengeluarkan darah segar.Semula para penonton tertawa, menghadiahi Inara dengan tepuk tangan yang meriah. Namun, begitu tahu apa yang terjadi dengan Aina, seketika suasana menjadi kacau. Orang-orang menarik kembali ucapan selamat itu dan langsung mengerubungi Aina.Inara turun perlahan dari batang pinang selaku saksi bisu pembalasan dendam yang tidak seberapa itu. Ia berjongkok untuk melihat Aina yang sudah diamankan oleh warga pria dan sekarang sedang tergeletak di tanah sambil mengaduh kesakitan. "Ya, Allah. Ai! Aina! Kamu kenapa?" kalau Aina bisa berakting, lalu kenapa Inara harus kalah. Alhasil, dia berlagak lugu sebagaimana tingkah Ain
Minta ditabok pakai ekor bunglon si Aina ini. Bisa-bisanya dia tersenyum di pojokan sana, sedangkan Inara digas habis-habisan oleh keluarga Angga. Pasti dipikirnya Inara sedang tertunduk menyesal saat ini. Mana tahu dia, kalau Inara memergokinya tersimpul licik seperti sekarang.Sepasang tangan Inara mengeras. Tak sabar ingin menonjok muka manipulatif milik madunya."Luka Aina nggak seberapa. Tadi juga dia bisa berjalan dengan normal." Inara mencoba membela diri."Itu kan menurut kamu. Lagi pula kamu melihatnya sudah berapa jam yang lalu, Inara? Sekarang tengoklah Aina! Dia bahkan nggak sadar-sadar dari pingsannya.""Kenapa Umi terlalu anarkis, padahal itu cuma perlombaan biasa? Kalau menang pun, paling hadiahnya cuma piring cantik dan bukan emas batangan." Rambut lebat dan berkilau kepunyaan Angga diacak-acak."Loh, kenapa kalian jadi sepanik ini? Seakan-akan yang terbaring di sana adalah keluarga kalian sendiri."Suasana sempat hening selama beberapa saat."Heran aku," sambung Inara
Tangannya bergerak, memahat sesuatu di atas kertas putih sambil sesekali menengok ke arah layar ponsel. Pandangannya fokus, mengalahkan perhatian ketika membaca buku. Tak dihiraukan lingkungan sekitar. Toh, sampai detik ini dia juga masih sendiri di ruangan bernuansa putih tersebut.Seorang lelaki yang tak asing baginya memasuki kamar. Tanpa menyapa, sosok itu langsung melucuti pakaian dan menyisakan bagian dalamnya saja. Ia menggendong keseluruhan kain yang telah terlepas dari tubuh dan membawanya ke kamar mandi.Sor...Inara menjatuhkan pulpen serta menegakkan badannya. Ia menarik rambut yang menutupi telinga dan membelokkan kepala ke arah pintu toilet.Percikan air terdengar dan membuat ia tersadar, kalau seseorang baru saja masuk ke wilayah tersebut. Inara menengok tulisannya yang terhampar di meja belajar, lalu termenung barang sesaat."Angga? Sudah pulang dia?" batinnya. Saking telitinya dengan pekerjaan itu, sampai-sampai Inara tidak sadar kalau ada manusia lain yang menyembul
"Hah!"Desahan napas yang keluar dari bibir Aina menembus telinga Inara, juga beberapa guru yang ada di kantor sekolah. Muka wanita itu semakin pias saat mengenakan kerudung putih. Dia tak ubah mayat yang tidak diterima tanah dan terus mengapung di dunia. Inara tahu, bahwa kondisi Aina kali ini benar-benar pelik, lebih parah dari kepentok batang pinang saat acara kemerdekaan waktu itu. Kalau yang ini dia memang tidak mengada-ngada, karena Inara sendirilah yang telah menyebabkan wanita itu meringis secara diam-diam.Sudah lama ke sepuluh jemari tangan Aina bermain di perut. Meremas bagian sakit yang dilapisi dengan baju berwarna coklat tersebut. Wajahnya memutih. Ia pun tak banyak bicara seperti hari biasanya.Inara sengaja menyebrangi mejanya sendiri dan mendekati dispenser yang berada di dekat meja Aina. Orang yang telah menyebabkan Aina jadi tidak nyaman itu, kemudian berbisik, "Ai, apa yang terjadi sama kamu? Kamu kelihatan kayak orang sakit." Mulutnya hampir menempel di telinga A
Hiruk pikuk kantor mulai merambat ke beberapa kelas, terlebih dua bocil pengantar makanan tadi mempromosikan, bahwa ada guru yang kebablasan buang emas di celana. Mereka heboh setengah mati, berlari dan berhenti di setiap pintu kelas untuk memproklamirkan kejadian yang ada. Berawal dari situlah satu sekolahan menjadi ramai. Bahkan, kantin yang semula dipenuhi siswa-siswa lapar, kini sepi saking sibuknya mereka untuk menyaksikan tragedi hangat tersebut. Parahnya lagi para penjual makanan di kantin sekolah juga turut berhamburan.Guru-guru mencibir. meneriaki Aina supaya membuang sisa-sisa yang terjatuh di lantai. Namun, perempuan yang sudah kadung malu itu tak berani berbalik badan. Dia berlari sekencang mungkin dan membuat beberapa bongkah berlian semakin laju berjatuhan ke bawah.Uwih. Kotor sekali. "Bu Aina, bersihin dulu ini! Kenapa Ibu malah pergi?" pekik guru bahasa Inggris seraya melambai-lambai.Seluruh tenaga pendidik berkerumun di halaman sekolah. Siapa juga yang mau menginj
Senyum Inara mengembang melepas kepergian madunya tersebut. Jangan bilang dia tidak merasa miris. Dia hanya mencoba menepis kesakitan itu dan berkhayal, kalau rencananya akan berjalan mulus. Keperihan yang ia alami saat ini akan berbuah manis nantinya.Sesaat setelah memastikan, kalau mobil mereka tak akan kembali, Inara bergegas membuka pintu rumah itu lagi dan masuk ke kamar Aina langsung. Akibat terburu-buru, jadilah pintu bilik itu ternganga. Katakanlah Inara sebagai maling saat ini. Namun, bukankah yang mengajaknya seperti ini adalah Aina duluan? Kalau perempuan itu berhasil mencuri suami Inara, maka Inara cukup mengambil selembar kertas yang terselip di laci bagian paling bawah punya Aina."Ah, ini dia! Untung kamu nggak susah dicari," batin Inara.Dipegangnya sesuatu yang berharga itu, kemudian mendekapnya di dada. Inara segera ngacir ke tempat semula."Pak, tolong jaga kunci rumah Aina. Nanti Bapak kasih ke mereka, ya, karena saya mau pergi." Inara berpesan kepada satpam rumah
Detik demi detik melaju, menghantarkan para makhluk bumi ke masa mendatang. Inilah peluang bagi Inara untuk bereksperimen tentang segala sesuatu yang telah ia pikirkan matang-matang selama ini, bahkan progresnya juga diam-diam telah berjalan.Inara tak pernah menemukan bekas kawan dekatnya lagi di sekolah, karena wanita itu telah resign dan kini resmi menjadi pengangguran. Namun, apa yang dikhawatirkan Aina. Toh, sejauh ini hidupnya ada yang menanggung. Justru, gaji menjadi guru honorer kalah jauh dengan pesangon yang saban waktu suaminya berikan.Tibalah saat di mana Angga menepati janjinya pada istri kedua. Hari ini sengaja Inara berkeliling kawasan rumah demi memastikan keadaan. Ia menjelma bak CCTV. Baik suami, keluarga mertua maupun madunya kelihatan sibuk sekali. Inginnya Inara menendang mereka semua, tetapi biarlah sejenak orang-orang dzalim itu menikmati masa kejayaan di detik-detik terakhir.Mula-mula Inara memasuki kediaman mertuanya. Dua buah koper yang ditaksir berisi paka
Rupanya permintaan Aina tentang liburan selama 3 hari di Bali adalah bohong. Faktanya mereka justru berada di sana sampai 1 minggu lamanya. Pekerjaan Angga terbengkalai. Sengaja Inara mencari tahu dan ternyata pria itu izin kepada kepala sekolah dengan mengatakan bahwa dirinya telah kehilangan saudara di kampung dan akan terus mendekam di sana hingga acara 7 harian. Lagi pula, dia diupah oleh negara. Kerja tidak kerja honor tetap masuk, walaupun jatuhnya seperti memakan gaji buta. Tidak ada tanda-tanda kepergian mereka, kalau dilihat dari sosial media. Tidak ada yang berani mengunggah foto apapun. Palingan cuma Aina yang terkadang mengupload gambar barang belanjaan, pemandangan pepohonan ataupun tangan laki-laki. Yang pada intinya mereka benar-benar membungkusnya serapat mungkin.Malam ini Angga pulang tanpa kabar. Mukanya kusam terbakar terik mentari di pulau Bali. Angga memasuki rumah tanpa salam dan langsung membongkar seisi ransel dan dimasukkan ke mesin cuci. "Selamat datang, Bi
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Degh!Angga yang sedang sibuk melayani pembeli di warung baksonya lantas tunggang langgang menghampiri Rina yang telah dihakimi oleh sosok tak dikenal. Nyaris saja Angga terpelanting ke tanah, karena tersandung oleh kakinya sendiri. Dia ingin cepat-cepat sampai di depan sana demi mempertanyakan Apa yang terjadi.Ia melihat seorang ibu-ibu berkaos ungu yang baru saja turun dari motornya dan tampak sangat marah entah sebab apa sambil menuding-nuding Rina. Angga belum bisa mendengar percakapan mereka sepenuhnya. Dia harus lebih cepat sampai ke sana.Tanpa berpikir panjang, Angga bergegas menyelamatkan situasi. Ia meninggalkan warung baksonya dan berlari menghampiri mereka. "Maaf Bu, kenapa ibu malah marah-marahi teman saya? Ada apa ini? Mungkin kita bisa bicarain dengan tenang," titah Angga mencoba meredakan suasana.Namun, ibu itu tak kunjung reda dan terus memarahi Rina, "Kamu ini guru atau apa, tega sekali memarahi anak saya!"Rina dengan nada cemas menjawab, "Maaf Bu, saya enggak pe
Matahari sudah lama terbenam ketika Angga perlahan membuka matanya, kebingungan menyelimutinya saat dia mencoba memahami di mana dia berada. Kepalanya berdenyut dan sinar lampu yang temaram di ruangan itu tidak membantu. Sambil mencoba mengumpulkan kekuatannya, dia menoleh dan terkejut melihat sosok yang duduk dengan tenang di sisi tempat tidurnya."Mas Angga, kamu sudah sadar?" Rina bertanya dengan suara yang penuh kelegaan. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Rina?" Angga berkata dengan suara serak, masih mencoba memproses apa yang terjadi. "Ada di mana kita?""Kita di rumah sakit, Mas. Tadi aku mau beli bakso, tapi pas aku mengetuk pintu rumahmu, tidak ada yang menjawab. Aku minta maaf karena sudah lancang masuk rumah kamu tanpa izin, tapi , aku melihat Mas pingsan," jelas Rina dengan detail, matanya tidak lepas dari wajah Angga.Angga berusaha mengingat kejadian sebelumnya, "Aduh, iya. Aku memang merasa pusing banget. Tapi aku nggak menyangka bakalan pingsan.
Beberapa bulan berlalu, lelaki bernama Angga itu kini telah memiliki rumah sendiri dan warung bakso yang berdiri di depan kediamannya. Dia berhasil mengatur hidupnya menjadi insan yang jauh lebih baik. Angga juga masih berusaha untuk menghindari perempuan. Dia masih trauma kejadian bersama Lala dulu terulang kembali. Lagi pula, Angga juga sudah bolak-balik menikah. Angga takut pernikahannya akan gagal lagi dan gagal lagi.Dia tinggal sendiri. Memasak dagangannya seorang diri pula. Sesekali Angga sakit, tetapi dia masih bisa menahan semuanya. Angga lebih bahagia sekarang, meski tak siapapun yang dapat diajak bicara. Terkadang Angga sampai mengobrol dengan tembok mati di kamarnya. Warung bakso Angga selalu dipenuhi pembeli, dari pagi hingga malam, tak pernah sepi. Dia selalu menjaga kualitas dan keramahan dirinya sendiri selaku sang empunya dagang.Suasana hari itu pun tidak berbeda, warungnya penuh sesak dengan pembeli yang antri untuk menikmati bakso buatannya.Di tengah kesibukan it