Share

MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA
Penulis: Ayraki96

1

Penulis: Ayraki96
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

MELETUSNYA PERUT ANTIKA RANDU

****

"Aduh, Bu! Perutku sakit sekali." Seorang perempuan muda datang bersama Ibunya ke rumah seorang Bidan Desa. Ia terus merintih sambil memegang perut buncitnya yang bergerak tak beraturan.

Bidan itu menautkan alis, ia heran sebab gerakan perut perempuan tersebut sangatlah tidak normal. Ia bahkan sudah memasang infus untuk berjaga-jaga jika pasien mengalami keadaan gawat darurat.

"Tu-tunggu sebentar, saya teleponkan Dokter kandungan yang saya kenal." ia gelagapan mencari telepon genggam yang entah terselip dimana.

Perempuan itu mulai meracau tidak jelas, keringat sebesar biji jagung meleleh dari dahinya.

"Oh, ya Allah. Ya Rabbi, sakit sekali!" pekik perempuan itu. Wajahnya memerah sebab menahan sakit.

Bidan itu akhirnya menemukan teleponnya, tak mau membuang waktu ia segera menelepon seseorang. Darsinah, melihat sang Bidan berjalan menjauhi mereka.

"Bu, apa Bidannya nggak bisa keluarin ini dari perutku? Minimal, dilihat dulu ini isinya apa. Antika nggak hamil." rintihnya sambil menahan perut yang bergerak ke kiri-kanan secara terus menerus.

"Sabar, Nduk. Mungkin Bidan mau kasih yang terbaik buat kamu. Tunggu, ya, Istighfar." ia berusaha menenangkan putrinya.

Antika kembali mengaduh, baju yang ia gunakan tersingkap hingga Darsinah bisa melihat permukaan kulit perut anaknya memar dan juga lebam di beberapa bagian. Ia mengelus perut Antika, dan bisa merasakan sesuatu bergerak di dalam sana.

"Ambulans akan segera datang, maaf, saya nggak bisa menangani anak Ibu. Ini keadaan darurat, Bu, Mbak, saya takut sesuatu terjadi pada Ibu dan bayi-"

"Saya tidak hamil, Bu, Demi Allah." potong Antika dengan napas tersengal.

"Apa?" Bidan itu terkejut.

Darsinah mengangguk, malam tadi perut anaknya baik-baik saja. Ia bahkan masih sempat membantu Antika memijat punggungnya yang katanya terasa sangat pegal.

"Anak saya benar, Bu. Tadi malam, perutnya rata. Tidak begini." ia berusaha meyakinkan.

Bidan itu menelan ludah, "Banyak kemungkinan, Bu, mungkin anak Ibu tidak merasa hamil. Sudah tepat jika kita memeriksakannya langsung ke rumah sakit. Disana peralatannya lebih lengkap. Nanti, kita akan tau keadaan yang sebenarnya."

Antika memalingkan kepalanya, ia menangis tersedu-sedan. Rasa sakit yang menyiksa berpusat pada perut dan punggungnya. Ia bahkan kesulitan bernapas. Saat bertarung melawan rasa sakit, ia melihat alat ultrasonografi.

"Bidan, tolong USG saya. Saya benar-benar tidak hamil. Setidaknya, lihat sekali saja." Antika memohon.

Bidan itu tampak ragu, namun melihat Antika yang sangat kesakitan membuatnya merasa kasihan. Ia sejujurnya yakin jika Antika itu tengah berbadan dua, namun dirinya tidak menyadarinya.

Ia segera mendekat, membantu Antika melepaskan celana agar bisa bergerak leluasa. Ia mengecek bagian bawah perempuan itu, berusaha mencari tau apa sudah terjadi pembukaan. Nihil, tak ada tanda-tanda pada orang yang akan melahirkan. Ia lantas mengambil sebuah benda berbentuk kecil dengan ujung lebar. Setelah mengoleskan gel pada permukaan perut Antika, ia lalu mulai memeriksa.

Gerakan di dalam perut semakin menggila, Antika berteriak karena rasa sakit yang teramat sangat. Bidan itu kembali menautkan alis saat melihat layar monitor, ia benar-benar tidak menemukan janin. Ia menatap perut Antika dan layar monitor secara bergantian.

"Tidak ada bayi, kan, Bu. Saya tidak hamil." Antika kembali berucap.

Bidan itu meletakkan alat USG, ia kemudian menekan bagian perut yang bergerak dan menonjol. Ia bisa merasakan jika apapun yang ada di dalam sana, memanglah bukan bayi. Gerakannya terasa kuat, ia seolah tengah menyentuh lengan manusia dewasa.

Suara ambulans terdengar, beberapa menit kemudian dua orang perawat laki-laki sudah berdiri di depan kamar yang biasa ia gunakan untuk praktek.

"Ada kursi roda? Pasien tidak bisa berjalan sendiri." ucap Bidan itu.

Satu lelaki mengangguk, lalu keluar untuk mengambil kursi roda. Antika yang terbaring di atas kasur menjerit, ia bahkan menghentak-hentakan kakinya.

"Allah, Allaaah!" pekiknya.

Perut Antika perlahan bertambah besar, Darsinah menjerit histeris sebab urat-urat kemerahan muncul di permukaan kulit.

"La ilaaha illallah!" Bidan itu membekap mulutnya.

Rasa takut menyelimuti siapapun yang melihat keadaan Antika, perempuan itu kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan busa kemerahan. Ujung jari tangan dan kakinya membiru. Wajahnya seputih mayat.

"Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" teriak sang Bidan.

Dua lelaki itu berusaha mendekati Antika, dengan keadaan seperti itu mereka memilih akan menggendongnya saja. Perut pasien terus membesar dengan gerakan yang sangat mengerikan.

Tonjolan-tonjolan muncul dan berpindah-pindah dari sisi kiri ke kanan, lalu ke atas dan bawah. Mereka melihat selang infus yang berubah menjadi merah, seolah darah pasien naik dan mulai bercampur dengan air infus. Semuanya panik, Darsinah menepuk pipi Antika yang kini tak bergerak lagi.

"Bangun, Nak, bangun!" pekiknya.

Mata Antika terbuka, ia melotot lebar tak lama perempuan muda itu menggeram. Satu di antara perawat pria berusaha mengangkat kepala Antika, namun perempuan itu menyemburkan darah dari mulutnya. Semua orang kembali terkejut.

"Allahu Akbar!"

Suasana semakin genting ketika perut Antika berhenti bergerak. Perempuan itu menatap sang Ibu, tak lama air mata meleleh di pipinya. Darsinah mendekatinya dan berusaha mengangkat kepala putrinya.

Tangan Antika terulur, bibirnya bergerak kaku menyunggingkan senyuman yang terasa aneh.

"I-bu, to-long!" rintih Antika.

Terdengar suara dengungan dari perutnya, lalu ....

PLASSS!

Perut Antika meledak seperti balon yang meletus karena terlalu banyak diisi air. Aroma amis menguar, cairan kental berwarna merah itu mengenai seisi ruangan termasuk semua orang yang ada di dalam sana. Bidan yang berdiri di ambang pintu menjerit histeris, sedang Darsinah jatuh tak sadarkan diri di sebelah ranjang. Dua perawat laki-laki yang juga ikut melihat kejadian itu muntah-muntah, lalu tak lama ikut jatuh pingsan.

"A-apa ini?"

Bidan itu mundur perlahan, ia menelan ludah sedangkan pandangannya tak mampu beralih dari Antika yang terlentang di atas kasur. Perut perempuan itu robek, sedang isinya berhamburan keluar. Aroma anyir memenuhi penciumannya. Ia akan lari namun langkahnya terhenti saat melihat wajah Antika.

Dengan tubuh bersimbah darah, perempuan yang perutnya baru saja meletus itu tiba-tiba menyeringai ke arahnya.

Bab terkait

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Dua

    MIASTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (2) ****"Bu, tolong pijet punggung Tika, dong. Rasanya pegal sekali." Antika yang baru saja menunaikan salat Isya itu mendatangi Darsinah yang tengah menonton tv di ruang tengah. Perempuan itu bahkan belum sempat melepaskan mukena yang ia gunakan. "Sakit lagi? Besok Ibu panggilin Mak paraji saja, ya, Nduk," ucap Darsinah, ia mematikan tv dan bangkit dari duduknya. Kedua perempuan itu masuk ke dalam kamar, Antika melepaskan mukena lalu menaruhnya sembarangan di atas kasur. Darsinah mengambil sebuah botol kecil berisi minyak urut dengan aroma sereh yang menenangkan. Perlahan, ia duduk di sebelah sang putri yang tidur tertelungkup. Rumah masih sepi, sebab Bapak Antika belum pulang dari acara tahlilan di desa tetangga. Sedangkan dua adiknya, keluar sejak tadi sore dan belum kembali. "Punggungmu terasa panas, Tika." gumam Darsinah sambil mengoleskan minyak urut. Antika hanya mengangguk, sentuhan tangan Ibunya membuat rasa pegal yang ia rasakan perlah

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Tiga

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (3) ****Darsinah terduduk di atas kasur. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Lemari, meja rias, baju yang tergantung dibelakang pintu, make-up, dan semua barang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Mukena berwarna putih susu dengan hiasan renda berwarna biru muda kesayangan Antika, bahkan masih ada di atas tempat tidurnya bersama dengan piyama yang ia gunakan sebelum keduanya berangkat menuju ke rumah Bidan. Ia pikir, Antika hanya sakit perut biasa. Putrinya memang sering mengeluh sakit ketika akan kedatangan tamu bulanan. Bukan tidak pernah, Darsinah sudah sering mengajak Antika untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan, demi mencaritahu apa penyebab yang membuatnya selalu kesakitan. Sayang, anak itu selalu menolak, berkata jika dirinya baik-baik saja. Bulir air mata mulai menetes di pipi tua Darsinah, tak menyangka jika dirinyalah yang akan ditinggal pergi terlebih dahulu. Dalam bayangan Darsinah, dirinyalah yang akan meninggal lebih du

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Empat

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (4) ****Andaru jatuh, tungkai kakinya lemas. Matanya tak dapat berpindah dari sosok yang sekilas mirip Antika. Saat ia mengedipkan mata, sosok itu sudah tidak ada. Dada lelaki itu berdegup kencang, napasnya tak beraturan. "Tanya pada bidan, siapa yang membersihkan darah, Tika, Pak!" Andaru mendengar suara Darsinah dari dalam ruang praktek. Ia memegang dada yang terasa sakit, lalu berusaha bangkit dan berdiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya? Rahman keluar dengan wajah sendu, ia menatap Andaru lekat. "Duduk saja, Le. Nanti kami akan ceritakan semua, Bapak harap kamu bisa menerima meskipun Bapak sendiri masih tidak percaya." ucapnya, lalu meninggalkan Andaru sendirian. Lelaki itu berjalan tertatih, ia menemukan Darsinah duduk di atas lantai sambil memukul dadanya sendiri. "Bu, katakan sebenarnya ada apa? Antika kenapa?"Darsinah menoleh, tampak matanya sembap karena habis menangis. Andaru berlutut, ia kembali menangis saat membayangkan w

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Lima

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (5)**** Andaru terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya. Jam dinding menunjukkan jika pagi masih lama. Tubuhnya sakit, matanya terasa bengkak. “Tika?” lirihnya.Tak ada sosok Antika, tangan-tangan dengan kuku tajam yang menggelepar di atas lantai kamar, atau genangan darah. Jendela pun masih dalam keadaan tertutup rapat.“Apa tadi aku bermimpi?” tanya Andaru bermonolog.Ia akan berbalik untuk naik ke tempat tidur saat matanya menangkap sosok putih berdiri tegak dihadapannya. Andaru terkejut hingga kembali terduduk.“A-astaga, Bu. Ibu mengagetkanku.” Ucap Andaru merasa lega saat mengetahui jika yang berdiri dihadapannya adalah Darsinah yang tengah menggunakan mukena putih.“Apa yang kamu lihat?” tanya Darsinah dengan wajah datar.Lelaki itu menggeleng, ia meremas piyama istrinya. “Ti-tidak ada, Bu.” jawabnya.Darsinah masih mematung dihadapan anak menantunya, “Katakan saja apa yang kamu k

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Enam

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6) ****Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai."Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya. Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika. "Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan. Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebu

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Tujuh

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (7) ****"Bu! Cukup!"Suara bariton Rahman memecah keheningan. Darsinah sendiri terkejut mendapat bentakan dari suaminya. Seketika wajah Rahman berubah menjadi merah, napasnya memburu. Denok dan Alfi yang mungkin baru akan menunaikan ibadah salat subuh berlarian menghampiri orang tua mereka. "Hentikan semua ini, Bu! Bapak tau sekali, kalau Ibu sangat kehilangan. Bapak juga sama, Bu! Tika itu anak Bapak, darah daging yang Bapak besarkan sepenuh hati. Mana mungkin Ibu bisa menuduh Bapak yang telah melenyapkan anak sendiri?" suara lelaki itu bergetar, ia mengepalkan tinjunya kuat. "Kalau selama ini Ibu berpikir jika Bapak abai pada anak-anak, Ibu salah besar! Ibu tau sendiri, Bapak jarang di rumah karena pekerjaan Bapak. Bapak mati-matian mencari uang demi kalian semua, agar Ibu dan anak-anak hidup sejahtera. Tidak kekurangan sama sekali. Ibu juga tau kalau Bapak tak pandai menunjukkan rasa kasih secara terang-terangan, tapi itu bukan berarti Bapak tida

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Delapan

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Sembilan

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a

Bab terbaru

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Duapuluh

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (20) ****"A--ah, ka-mu ngapain, Fi?" tanya Denok terbata. Ia benar-benar terkejut hingga bingung harus mengatakan apa. Rasanya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah tengah melakukan kejahatan. Alfi sendiri tetap diam, namun Denok bisa menangkap kilat amarah di mata adiknya. "Kamu mau pakai kamar mandi? Maaf, ya, Mbak lama." kali ini Denok segera pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan duduk ke atas tempat tidurnya. Beruntung Tini telah lebih kuat sehingga ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput jenazah Ningsih. Hanya ada Denok dan Alfi di rumah, karena orang tuanya dan saudara yang lain juga ikut ke rumah sakit. Jenazah Ningsih akan segera dimakamkan hari ini juga, mengingat kondisi tubuhnya yang tak utuh lagi. "Duh, tadi Alfi dengar nggak, ya?" tanyanya bermonolog.Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan gadis itu. Ia menerka-nerka apa sang adik menguping pembicaraannya dengan Danu. "Nok, kamu su

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Sembilanbelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (19) ****Alfi menyeka air mata dengan lengan bajunya, saat menengadahkan kepala ia bisa melihat sosok Denok yang berdiri mematung di ambang pintu. Kakak keduanya itu tampak ketakutan, sedang bibirnya terbuka sedikit. Ia beringsut dan mengubah posisinya. Tampaknya tak ada yang memperhatikan Denok, semua sibuk dengan perasaan masing-masing. Awan kelabu masih betah menaungi rumah keluarga Darsinah. Denok sendiri tak bisa bergerak ketika saling menatap dengan sosok Tini dan juga sosok ‘lain’ yang muncul di belakangnya. Perasaan takut yang tadi hanya ada dalam benaknya, seolah menjadi nyata sebab kejadian-kejadian yang telah terjadi di sekitarnya. Danu. Ya, dia harus menghubungi Danu. Satu-satunya orang yang membantu Denok menjalankan aksi bej4t terhadap Antika. "Kamu kenapa, Nok?" Gadis itu akhirnya bisa menggerakkan anggota tubuhnya saat salah satu tetangga dekat menepuk bahu Denok. Ia menoleh dan mendapati Bu Diman, tetangga sebelah rumah menatapny

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Delapanbelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (18) ****Alfi melajukan motornya dengan tatapan kosong. Aroma amis seolah melekat di indra penciumannya. Beruntung meski dalam keadaan syok berat, ia sampai dengan selamat ke rumahnya. Hendro adalah orang pertama yang bertemu dengan Alfi, ia sedikit heran melihat wajah keponakannya tampak begitu pucat. "Lho, cepat amat kamu baliknya, Fi? Lik Ningsih sudah sampai rumah?" tanyanya sambil meletakkan piring yang isinya telah dimakan habis. Mendengar nama Ningsih, membuat pemuda itu kembali lemas. Ia jatuh terduduk hingga membuat Hendro panik. Dengan cepat, lelaki itu membantu Alfi sambil memanggil nama Rahman berulang kali. Alfi yang akan dipapah masuk ke dalam rumah berhenti dsn ternyata muntah-muntah di teras. Apa yang terjadi segera membuat Rahman khawatir. Perasaannya kembali gelisah. "Ada apa, Le? Kamu kenapa?" tanya lelaki itu tak sabar. Alfi menutup mulutnya, matanya terasa berkunang-kunang. "Lik Ningsih ...," belum sempat menyelesaikan ucapa

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Tujubelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (17) ****Waktu terasa lamban bagi Andaru, lelaki itu sejak tadi gelisah. Sedikit-sedikit ia mengubah posisi tidurnya hingga membuat Muliani penasaran karena melihat sikap putranya. "Aku mau pulang ke rumah Tika," ucapnya saat Muliani menatapnya. Muliani menghela napas panjang, "Tapi kondisi kamu masih belum stabil, Le."Andaru menggigit bibir bawahnya, ia yakin pasti hal ini sengaja dilakukan supaya siapapun yang ingin menghabisi keluarga Antika bisa melancarkan aksinya tanpa gangguan apapun. "Ndaru sudah baik-baik saja, Bu. Biarkan Ndaru pulang hari ini." mohonnya sekali lagi. Widara hanya diam sambil memainkan jari, ia duduk di pojok dan malas menanggapi adiknya. Setelah perdebatan mereka, Widara bisa merasakan jika adiknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Lehermu--""Selain leher ini, tubuh Ndaru benar-benar sehat, Bu. Andaru janji tidak akan melakukan hal gil4 lagi. Percayalah," ujarnya berusaha membuat Muliani memberikan satu kepercayaa

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Enambelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (16) ****Tini tiba-tiba mengendurkan tangannya dan jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Denok masih dalam posisi terlentang sambil menangis tersedu. Nur yang masuk sambil membawa setumpuk selimut terkejut bukan main. Ia berteriak sehingga seluruh isi rumah heboh karenanya. Rahman lebih dulu masuk, dan segera membopong Denok untuk dibaringkan ke atas kasur. "Ada apa lagi ini, Ya Allah?" tanya lelaki itu. Darsinah masuk dan menatap Tini yang masih tidak sadar, ia segera mendekati Denok yang menutup wajahnya sendiri. Cepat Darsinah mendekati anak keduanya. "Ada apa, Nak? Katakan pada Ibu." Denok terus menangis, Darsinah menarik tangan Denok dan melihat bekas kemerahan pada leher putrinya. Matanya melotot. Amarahnya memuncak. Dengan satu tarikan ia memeluk Denok begitu erat. "Tidak apa-apa, Ibu akan berada disini, Nduk. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu." lirih Darsinah. Orang-orang mulai kelelahan menangani kejadian aneh yang terjadi di rumah Ant

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Limabelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (15) ****Mobil Danu berhenti di bahu jalan, ia tampak bingung sebab tak mungkin memaksakan kendaraannya untuk masuk ke dalam hutan. Denok sendiri yang duduk di sebelahnya menghela napas berulang kali. Ia menatap layar telepon genggam dan jalan bergantian. "Ini yakin titiknya disini?" tanya Danu memastikan. Denok mengangguk, tempat ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh perangkat penunjuk jalan. Danu keluar dan memastikan keadaan sekitar. Ia rasa sangat tidak aman memarkirkan mobil di tempat terbuka seperti itu. Gadis itu kembali menggerutu dan mulai menyumpahi Risma sebab sudah membohonginya. Ketika ia akan menelepon Risma, matanya terbelalak karena di luar muncul seorang perempuan tua yang tengah memperhatikannya. Danu yang tadi memperhatikan jalan ikut terkejut melihat seorang perempuan tua tengah menempelkan wajah pada jendela mobil. Denok beringsut dan keluar dari pintu mobil yang lain. Ia berdiri dekat dengan Danu, tangannya memegang erat len

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Empatbelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (14) ****Rasa dendam itu berubah menjadi benci yang teramat sangat hingga membuat Antika menjadi obyek kemarahan. Apapun yang ia lakukan terlihat menyebalkan di mata Denok. Ia semakin meradang saat Antika justru tersenyum meski Denok memperlakukannya dengan tidak baik. Ia tidak suka pada Antika yang selalu mengkhawatirkannya, ia tak suka ketika Antika yang selalu berusaha melindungi dan bersikeras menjadi kakak yang baik untuk dirinya. Ia muak saat teman-temannya mengatakan jika dirinya beruntung sebab memiliki kakak sebaik hati Antika. Dunia seakaan hanya berpusat pada Antika seorang. Semua orang menyukai Antika, dan menjadikannya panutan. Hal terakhir yang tak Denok sukai adalah ketidakmampuannya menyaingi dan mengalahkan sosok kakaknya sendiri. Ia ingat betul, semua itu diawali dengan kembalinya Antika saat dirinya berumur 8 tahun. Saat itu, Antika memang tak diasuh oleh Ibunya melainkan oleh seorang perempuan yang ia kenal sebagai Tante Mustika.

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Tigabelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja

  • MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA   Duabelas

    MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u

DMCA.com Protection Status