MIASTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (2)
****"Bu, tolong pijet punggung Tika, dong. Rasanya pegal sekali."Antika yang baru saja menunaikan salat Isya itu mendatangi Darsinah yang tengah menonton tv di ruang tengah. Perempuan itu bahkan belum sempat melepaskan mukena yang ia gunakan."Sakit lagi? Besok Ibu panggilin Mak paraji saja, ya, Nduk," ucap Darsinah, ia mematikan tv dan bangkit dari duduknya.Kedua perempuan itu masuk ke dalam kamar, Antika melepaskan mukena lalu menaruhnya sembarangan di atas kasur. Darsinah mengambil sebuah botol kecil berisi minyak urut dengan aroma sereh yang menenangkan. Perlahan, ia duduk di sebelah sang putri yang tidur tertelungkup. Rumah masih sepi, sebab Bapak Antika belum pulang dari acara tahlilan di desa tetangga. Sedangkan dua adiknya, keluar sejak tadi sore dan belum kembali."Punggungmu terasa panas, Tika." gumam Darsinah sambil mengoleskan minyak urut.Antika hanya mengangguk, sentuhan tangan Ibunya membuat rasa pegal yang ia rasakan perlahan mereda. Hampir dua minggu Antika berada di rumah, dan sudah seminggu belakangan ini ia merasakan sakit pada punggung serta bagian perut bawahnya."Aku masih mau di rumah, Bu, kira-kira Mas Ndaru marah nggak, ya?" tanya Antika dengan suara pelan.Darsinah tersenyum mendengar pertanyaan putri sulungnya. Tiga bulan lalu Antika telah dipersunting oleh seorang lelaki bernama Andaru. Ia diizinkan pulang ke rumah sebab tak mau ditinggal sendiri ketika sang suami pergi mengirim barang ke luar pulau. Seharusnya, dua hari lagi lelaki itu akan pulang."Ya, boleh sebenarnya, Nduk. Tapi sebagai pengantin baru, Ibu sarankan supaya kamu ikut suamimu. Nggak enak dilihat tetangga." jawab Darsinah.Ia menggerakkan ibu jarinya dengan lincah di atas punggung Antika yang sudah licin karena minyak urut. Sesekali, perempuan berusia 22 tahun itu akan meringis karena merasa sakit. Setelah selesai dengan punggung, Darsinah meminta agar Antika berbaring terlentang. Ia mulai mengusap perut putrinya dengan lembut."Bu, coba deh, cium tangan Tika. Baunya busuk."Antika mengulurkan tangannya pada Darsinah, membuat perempuan itu mengerutkan alis. Ia menuruti permintaan sang putri, dan mulai mengendus lengannya."Busuk gimana, Nduk? Nggak ada bau apa-apa, kok." jawab Darsinah jujur. Ia memang tak membaui apapun.Sang anak menghela napas, "Aku rasanya seperti mencium bau bangkai dari badanku, Bu. Aneh memang, tapi baunya muncul setiap aku mau tidur. Mimpiku juga nggak enak terus, selalu sama setiap malam." keluhnya.Darsinah memperhatikan jika beberapa hari ini, wajah Antika memang terlihat kuyu, serta sedikit pucat."Aku selalu mimpi ada cicak hitam masuk ke dalam mulutku, Bu. Saat terbangun pasti selalu di jam setengah 3 pagi." lanjut Antika.Darsinah menatap Antika lekat, "Sudah, jangan dipikirkan. Itu hanya bunga tidur, bangun dan meludah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu minta perlindungan pada Allah, Nak."Antika mengangguk lemah, ia lalu merubah posisinya. Sekarang, dirinya duduk berhadapan dengan sang Ibu."Bu, Antika itu sayang sekali sama Ibu, sama Bapak, sama Denok, juga sama Alfi."Antika menghambur dan memeluk Darsinah erat. Membuat perempuan berusia 49 tahun itu tertawa. Ia tak pernah menduga, jika itu akan menjadi pembicaraan serta pelukan terakhir dari Antika.****Wajah Darsinah benar-benar pucat, ia tidak mau makan atau minum sama sekali. Entah beruntung atau tidak, namun kedatangan suaminya yang berniat menjemput mereka di rumah bidan, membuat kabar tentang kematian Antika yang tak wajar bisa ditutup rapat-rapat. Bidan itu bersedia tutup mulut, saat Rahman--Ayah Antika--berjanji akan membersihkan dan mengganti kerusakan di dalam kamar praktek tempat putri sulungnya meregang nyawa."Bu, Mak Harti sudah datang. Kita harus memandikan jenazah, Tika." bisik Rahman pada sang istri.Darsinah tak menoleh, ia langsung bangkit dari duduknya. Dengan langkah gontai, perempuan itu berjalan menuju ke tempat yang sudah disediakan untuk memandikan jenazah Antika. Tak ada air mata yang menetes dari matanya, ia hanya menatap lurus ke depan. Di luar Mak Harti sudah menunggu."Sabar Darsinah, ikhlaskan putrimu. Insya Allah Tika Husnul Khatimah." ucap Mak Harti, iba."Siapa saja yang akan memandikan Tika?" tanya Darsinah.Mak Harti menyebut dua nama anak perempuannya. Darsinah mengenal keduanya sebab mereka memang selalu membantu Mak Harti saat memandikan jenazah."Tidak usah, Mak. Aku mau hanya kita berdua saja yang memandikan Tika." larang Darsinah.Mak Harti menautkan alis, "Denok juga bisa, Nah, dia boleh membantu--""Kalau keberatan, biar aku sendiri yang memandikan jenazah putriku." potongnya tegas.Rahman yang berdiri di belakangnya menatap iba, air matanya kembali mengalir. Di antara ketiga buah hatinya, Darsinah memang sangat dekat dengan Antika. Ia memberi kode agar Mak Harti bisa mengerti."Maafkan Darsinah, Mak," ucapnya penuh sesal.Mak Harti mengangguk, ia lantas meminta agar Rahman berjaga-jaga supaya tidak ada orang lain yang mengintip. Setelah itu ia ikut masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan. Di dalam, Darsinah berdiri di sebelah jenazah kaku Antika. Tubuh perempuan muda itu begitu pucat, seolah darahnya telah habis dan tak bersisa sama sekali. Mata tua Mak Harti lantas berpindah ke dalam gentong-gentong berisi air.Ia mengajak Darsinah untuk berdoa sebelum memandikan Antika. Perlahan, ia mulai mengerjakan tugasnya, menyentuh setiap jengkal tubuh Antika dengan sangat berhati-hati lalu menyiraminya dengan air. Ia membersihkan seluruh bagian tubuh si mayit tanpa melewatkan apapun.Sebagai orang yang sudah biasa memandikan jenazah, Mak Harti berusaha mengabaikan luka di bagian perut Antika. Ia memegang teguh janji untuk tidak mengorek infirmasi apapun sebagai bentuk penghormatan pada pihak keluarga Almarhumah. Meski begitu, Mak Harti bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kematian Antika."Mak Harti, apa Mak bisa menjaga rahasia ini?"Ia baru selesai dengan tugasnya saat Darsinah tiba-tiba bertanya dengan nada sangat pelan.Mak Harti berbalik, ia mendapati Darsinah menatapnya tajam. Matanya memerah, mungkin menahan tangis."Insya Allah, Na. Jangan risaukan tentang hal itu. Tidak akan ada manfaatnya juga jika aku mengumbar aib orang yang sudah meninggal." jawabnya membesarkan hati Darsinah.Darsinah mengelus puncak kepala Antika. Ia menggigit bibir bawahnya. "Anakku ini dibunuh dengan kejam. Ia pasti tidak akan tenang.""Astaghfirullah, istighfar, Na. Antika sudah tenang. Mari kita selesaikan semuanya agar ia bisa segera dikebumikan. Jangan berpikir aneh-aneh, aku tau pasti sangat berat, ditinggal selamanya oleh anak terkasih. Tapi kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu." sergahnya cepat.Ia merasa kasihan jika membiarkan Antika terlalu lama sebab tak ada lagi keluarga yang ditunggu. Darsinah sendiri juga meminta agar putrinya segera dimakamkan, dengan ada atau tak ada keluarga Andaru. Toh, menantunya itu juga masih dalam perjalanan pulang.****Antika kini terbujur kaku di ruang tamu, tubuhnya telah terbungkus kain kafan. Suara tangis keluarga yang ditinggal terdengar memilukan. Beberapa orang saling berbisik, bertanya apa gerangan yang menyebabkan perempuan cantik itu meninggal dunia secara tiba-tiba. Darsinah sendiri memilih bungkam. Setelah disalatkan, jenazah Antika dimakamkan hari itu juga.Awalnya Rahman menolak sebab ingin menunggu Andaru yang katanya sudah hampir sampai. Menantunya itu pulang tak lama setelah mendapat kabar tentang kematian istrinya. Namun hal itu urung, sebab Darsinah bersikeras untuk segera mengebumikan putrinya.Proses pemakaman Antika sendiri berjalan dengan lancar. Darsinah hanya menatap nanar ketika tubuh putrinya perlahan ditimbun oleh tanah, lagi-lagi ia tak bisa menangis. Denok, adik kedua Antika memeluk Ibunya. Gadis itu merasa bersalah sebab tak ada disisi sang kakak ketika ia meregang nyawa.Kepada anak-anaknya yang lain, Darsinah mengatakan jika Antika meninggal karena sakit. Beruntung dua perawat laki-laki yang ada di tempat kejadian juga bisa diajak bekerja sama. Dengan alasan kemanusiaan, mereka mau membantu mengantar pulang jenazah Antika."Lho, Bu, mau kemana?" tanya Denok saat melihat Darsinah berbalik dan berjalan menjauhi makam Antika.Para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman. Hanya tersisa Darsinah, Rahman, dan dua anaknya."Ibu mau pulang." jawabnya dingin.Darsinah melirik ke arah makam Antika, tangannya terkepal kuat. Tak ada rasa sedih, yang tertinggal dalam hati hanyalah perasaan marah, dan juga dendam. Sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarkan Antika, ia bersumpah akan mencaritahu siapa manusia keji yang telah membunuh putrinya dengan cara yang sangat kejam.MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (3) ****Darsinah terduduk di atas kasur. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Lemari, meja rias, baju yang tergantung dibelakang pintu, make-up, dan semua barang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Mukena berwarna putih susu dengan hiasan renda berwarna biru muda kesayangan Antika, bahkan masih ada di atas tempat tidurnya bersama dengan piyama yang ia gunakan sebelum keduanya berangkat menuju ke rumah Bidan. Ia pikir, Antika hanya sakit perut biasa. Putrinya memang sering mengeluh sakit ketika akan kedatangan tamu bulanan. Bukan tidak pernah, Darsinah sudah sering mengajak Antika untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan, demi mencaritahu apa penyebab yang membuatnya selalu kesakitan. Sayang, anak itu selalu menolak, berkata jika dirinya baik-baik saja. Bulir air mata mulai menetes di pipi tua Darsinah, tak menyangka jika dirinyalah yang akan ditinggal pergi terlebih dahulu. Dalam bayangan Darsinah, dirinyalah yang akan meninggal lebih du
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (4) ****Andaru jatuh, tungkai kakinya lemas. Matanya tak dapat berpindah dari sosok yang sekilas mirip Antika. Saat ia mengedipkan mata, sosok itu sudah tidak ada. Dada lelaki itu berdegup kencang, napasnya tak beraturan. "Tanya pada bidan, siapa yang membersihkan darah, Tika, Pak!" Andaru mendengar suara Darsinah dari dalam ruang praktek. Ia memegang dada yang terasa sakit, lalu berusaha bangkit dan berdiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya? Rahman keluar dengan wajah sendu, ia menatap Andaru lekat. "Duduk saja, Le. Nanti kami akan ceritakan semua, Bapak harap kamu bisa menerima meskipun Bapak sendiri masih tidak percaya." ucapnya, lalu meninggalkan Andaru sendirian. Lelaki itu berjalan tertatih, ia menemukan Darsinah duduk di atas lantai sambil memukul dadanya sendiri. "Bu, katakan sebenarnya ada apa? Antika kenapa?"Darsinah menoleh, tampak matanya sembap karena habis menangis. Andaru berlutut, ia kembali menangis saat membayangkan w
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (5)**** Andaru terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya. Jam dinding menunjukkan jika pagi masih lama. Tubuhnya sakit, matanya terasa bengkak. “Tika?” lirihnya.Tak ada sosok Antika, tangan-tangan dengan kuku tajam yang menggelepar di atas lantai kamar, atau genangan darah. Jendela pun masih dalam keadaan tertutup rapat.“Apa tadi aku bermimpi?” tanya Andaru bermonolog.Ia akan berbalik untuk naik ke tempat tidur saat matanya menangkap sosok putih berdiri tegak dihadapannya. Andaru terkejut hingga kembali terduduk.“A-astaga, Bu. Ibu mengagetkanku.” Ucap Andaru merasa lega saat mengetahui jika yang berdiri dihadapannya adalah Darsinah yang tengah menggunakan mukena putih.“Apa yang kamu lihat?” tanya Darsinah dengan wajah datar.Lelaki itu menggeleng, ia meremas piyama istrinya. “Ti-tidak ada, Bu.” jawabnya.Darsinah masih mematung dihadapan anak menantunya, “Katakan saja apa yang kamu k
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6) ****Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai."Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya. Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika. "Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan. Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebu
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (7) ****"Bu! Cukup!"Suara bariton Rahman memecah keheningan. Darsinah sendiri terkejut mendapat bentakan dari suaminya. Seketika wajah Rahman berubah menjadi merah, napasnya memburu. Denok dan Alfi yang mungkin baru akan menunaikan ibadah salat subuh berlarian menghampiri orang tua mereka. "Hentikan semua ini, Bu! Bapak tau sekali, kalau Ibu sangat kehilangan. Bapak juga sama, Bu! Tika itu anak Bapak, darah daging yang Bapak besarkan sepenuh hati. Mana mungkin Ibu bisa menuduh Bapak yang telah melenyapkan anak sendiri?" suara lelaki itu bergetar, ia mengepalkan tinjunya kuat. "Kalau selama ini Ibu berpikir jika Bapak abai pada anak-anak, Ibu salah besar! Ibu tau sendiri, Bapak jarang di rumah karena pekerjaan Bapak. Bapak mati-matian mencari uang demi kalian semua, agar Ibu dan anak-anak hidup sejahtera. Tidak kekurangan sama sekali. Ibu juga tau kalau Bapak tak pandai menunjukkan rasa kasih secara terang-terangan, tapi itu bukan berarti Bapak tida
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (10) ****Jam menunjukkan setengah lima sore saat Alfi masuk dengan tergesa, ia mencari sosok Antika yang tak ada dimana-mana. Alfi lantas nekat membuka pintu kamar kakak pertamanya. Pintu tidak terkunci, Alfi mengintip dam segera bernapas lega saat melihat Antika tengah duduk di atas sajadah. Ia baru akan melangkah masuk saat sosok Antika yang ada di tengah kamar berdiri dengan gerakan yang patah-patah. Mukena yang ia kenakan juga terlihat aneh karena berwarna hitam. "Mbak Tika?" panggil Alfi. "Hm," jawab sosok itu dengan suara serak. Alfi bisa segera tau jika itu bukanlah kakaknya. Ia akan lari, namun kakinya terasa berat. Seolah ada yang menahannya untuk tetap berdiri disitu. Sosok di dalam kamar mulai menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tangannya terangkat, lantas kakinya menghentak ke lantai. Bau busuk menyeruak, Alfi melotot karena aroma itu benar-benar terasa menyiksa indra penciumannya. Tangannya masih memegang gagang pintu. Ia tak
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (20) ****"A--ah, ka-mu ngapain, Fi?" tanya Denok terbata. Ia benar-benar terkejut hingga bingung harus mengatakan apa. Rasanya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah tengah melakukan kejahatan. Alfi sendiri tetap diam, namun Denok bisa menangkap kilat amarah di mata adiknya. "Kamu mau pakai kamar mandi? Maaf, ya, Mbak lama." kali ini Denok segera pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan duduk ke atas tempat tidurnya. Beruntung Tini telah lebih kuat sehingga ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput jenazah Ningsih. Hanya ada Denok dan Alfi di rumah, karena orang tuanya dan saudara yang lain juga ikut ke rumah sakit. Jenazah Ningsih akan segera dimakamkan hari ini juga, mengingat kondisi tubuhnya yang tak utuh lagi. "Duh, tadi Alfi dengar nggak, ya?" tanyanya bermonolog.Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan gadis itu. Ia menerka-nerka apa sang adik menguping pembicaraannya dengan Danu. "Nok, kamu su
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (19) ****Alfi menyeka air mata dengan lengan bajunya, saat menengadahkan kepala ia bisa melihat sosok Denok yang berdiri mematung di ambang pintu. Kakak keduanya itu tampak ketakutan, sedang bibirnya terbuka sedikit. Ia beringsut dan mengubah posisinya. Tampaknya tak ada yang memperhatikan Denok, semua sibuk dengan perasaan masing-masing. Awan kelabu masih betah menaungi rumah keluarga Darsinah. Denok sendiri tak bisa bergerak ketika saling menatap dengan sosok Tini dan juga sosok ‘lain’ yang muncul di belakangnya. Perasaan takut yang tadi hanya ada dalam benaknya, seolah menjadi nyata sebab kejadian-kejadian yang telah terjadi di sekitarnya. Danu. Ya, dia harus menghubungi Danu. Satu-satunya orang yang membantu Denok menjalankan aksi bej4t terhadap Antika. "Kamu kenapa, Nok?" Gadis itu akhirnya bisa menggerakkan anggota tubuhnya saat salah satu tetangga dekat menepuk bahu Denok. Ia menoleh dan mendapati Bu Diman, tetangga sebelah rumah menatapny
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (18) ****Alfi melajukan motornya dengan tatapan kosong. Aroma amis seolah melekat di indra penciumannya. Beruntung meski dalam keadaan syok berat, ia sampai dengan selamat ke rumahnya. Hendro adalah orang pertama yang bertemu dengan Alfi, ia sedikit heran melihat wajah keponakannya tampak begitu pucat. "Lho, cepat amat kamu baliknya, Fi? Lik Ningsih sudah sampai rumah?" tanyanya sambil meletakkan piring yang isinya telah dimakan habis. Mendengar nama Ningsih, membuat pemuda itu kembali lemas. Ia jatuh terduduk hingga membuat Hendro panik. Dengan cepat, lelaki itu membantu Alfi sambil memanggil nama Rahman berulang kali. Alfi yang akan dipapah masuk ke dalam rumah berhenti dsn ternyata muntah-muntah di teras. Apa yang terjadi segera membuat Rahman khawatir. Perasaannya kembali gelisah. "Ada apa, Le? Kamu kenapa?" tanya lelaki itu tak sabar. Alfi menutup mulutnya, matanya terasa berkunang-kunang. "Lik Ningsih ...," belum sempat menyelesaikan ucapa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (17) ****Waktu terasa lamban bagi Andaru, lelaki itu sejak tadi gelisah. Sedikit-sedikit ia mengubah posisi tidurnya hingga membuat Muliani penasaran karena melihat sikap putranya. "Aku mau pulang ke rumah Tika," ucapnya saat Muliani menatapnya. Muliani menghela napas panjang, "Tapi kondisi kamu masih belum stabil, Le."Andaru menggigit bibir bawahnya, ia yakin pasti hal ini sengaja dilakukan supaya siapapun yang ingin menghabisi keluarga Antika bisa melancarkan aksinya tanpa gangguan apapun. "Ndaru sudah baik-baik saja, Bu. Biarkan Ndaru pulang hari ini." mohonnya sekali lagi. Widara hanya diam sambil memainkan jari, ia duduk di pojok dan malas menanggapi adiknya. Setelah perdebatan mereka, Widara bisa merasakan jika adiknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Lehermu--""Selain leher ini, tubuh Ndaru benar-benar sehat, Bu. Andaru janji tidak akan melakukan hal gil4 lagi. Percayalah," ujarnya berusaha membuat Muliani memberikan satu kepercayaa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (16) ****Tini tiba-tiba mengendurkan tangannya dan jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Denok masih dalam posisi terlentang sambil menangis tersedu. Nur yang masuk sambil membawa setumpuk selimut terkejut bukan main. Ia berteriak sehingga seluruh isi rumah heboh karenanya. Rahman lebih dulu masuk, dan segera membopong Denok untuk dibaringkan ke atas kasur. "Ada apa lagi ini, Ya Allah?" tanya lelaki itu. Darsinah masuk dan menatap Tini yang masih tidak sadar, ia segera mendekati Denok yang menutup wajahnya sendiri. Cepat Darsinah mendekati anak keduanya. "Ada apa, Nak? Katakan pada Ibu." Denok terus menangis, Darsinah menarik tangan Denok dan melihat bekas kemerahan pada leher putrinya. Matanya melotot. Amarahnya memuncak. Dengan satu tarikan ia memeluk Denok begitu erat. "Tidak apa-apa, Ibu akan berada disini, Nduk. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu." lirih Darsinah. Orang-orang mulai kelelahan menangani kejadian aneh yang terjadi di rumah Ant
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (15) ****Mobil Danu berhenti di bahu jalan, ia tampak bingung sebab tak mungkin memaksakan kendaraannya untuk masuk ke dalam hutan. Denok sendiri yang duduk di sebelahnya menghela napas berulang kali. Ia menatap layar telepon genggam dan jalan bergantian. "Ini yakin titiknya disini?" tanya Danu memastikan. Denok mengangguk, tempat ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh perangkat penunjuk jalan. Danu keluar dan memastikan keadaan sekitar. Ia rasa sangat tidak aman memarkirkan mobil di tempat terbuka seperti itu. Gadis itu kembali menggerutu dan mulai menyumpahi Risma sebab sudah membohonginya. Ketika ia akan menelepon Risma, matanya terbelalak karena di luar muncul seorang perempuan tua yang tengah memperhatikannya. Danu yang tadi memperhatikan jalan ikut terkejut melihat seorang perempuan tua tengah menempelkan wajah pada jendela mobil. Denok beringsut dan keluar dari pintu mobil yang lain. Ia berdiri dekat dengan Danu, tangannya memegang erat len
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (14) ****Rasa dendam itu berubah menjadi benci yang teramat sangat hingga membuat Antika menjadi obyek kemarahan. Apapun yang ia lakukan terlihat menyebalkan di mata Denok. Ia semakin meradang saat Antika justru tersenyum meski Denok memperlakukannya dengan tidak baik. Ia tidak suka pada Antika yang selalu mengkhawatirkannya, ia tak suka ketika Antika yang selalu berusaha melindungi dan bersikeras menjadi kakak yang baik untuk dirinya. Ia muak saat teman-temannya mengatakan jika dirinya beruntung sebab memiliki kakak sebaik hati Antika. Dunia seakaan hanya berpusat pada Antika seorang. Semua orang menyukai Antika, dan menjadikannya panutan. Hal terakhir yang tak Denok sukai adalah ketidakmampuannya menyaingi dan mengalahkan sosok kakaknya sendiri. Ia ingat betul, semua itu diawali dengan kembalinya Antika saat dirinya berumur 8 tahun. Saat itu, Antika memang tak diasuh oleh Ibunya melainkan oleh seorang perempuan yang ia kenal sebagai Tante Mustika.
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u