MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (4)
****Andaru jatuh, tungkai kakinya lemas. Matanya tak dapat berpindah dari sosok yang sekilas mirip Antika. Saat ia mengedipkan mata, sosok itu sudah tidak ada. Dada lelaki itu berdegup kencang, napasnya tak beraturan."Tanya pada bidan, siapa yang membersihkan darah, Tika, Pak!"Andaru mendengar suara Darsinah dari dalam ruang praktek. Ia memegang dada yang terasa sakit, lalu berusaha bangkit dan berdiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya?Rahman keluar dengan wajah sendu, ia menatap Andaru lekat. "Duduk saja, Le. Nanti kami akan ceritakan semua, Bapak harap kamu bisa menerima meskipun Bapak sendiri masih tidak percaya." ucapnya, lalu meninggalkan Andaru sendirian.Lelaki itu berjalan tertatih, ia menemukan Darsinah duduk di atas lantai sambil memukul dadanya sendiri."Bu, katakan sebenarnya ada apa? Antika kenapa?"Darsinah menoleh, tampak matanya sembap karena habis menangis.Andaru berlutut, ia kembali menangis saat membayangkan wajah Antika. Kemarin pagi, ia bahkan masih sempat melakukan panggilan video. Ia tak menyangka jika itu adalah kali terakhirnya melihat senyuman manis, dan mendengar tutur kata lembut dari sang istri."Berjanjilah untuk tetap diam, Ndaru. Ibu akan mengatakan segalanya, asal kamu bisa menjaga mulutmu."Terkejut, itu adalah hal pertama yang Andaru rasakan. Darsinah adalah sosok Ibu mertua yang sempurna dimatanya. Sifat keibuannya, serta lemah lembutnya membuat Andaru sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri. Ia tak menyangka jika perempuan itu bisa mengucapkan hal seperti itu padanya."Antika meninggal karena terkena santet." lirihnya.Andaru terduduk, ia menatap tak percaya."Apa yang Ibu maksud?" tanyanya cepat.Darsinah memalingkan wajahnya, "Di kamar ini, Antika meregang nyawa. Perutnya membesar seperti orang hamil tua. Itu terjadi hanya dalam waktu sebentar, dia menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu pikir dia sakit biasa, tapi nyatanya ... perutnya meletus. Dan dia meninggal."Suara isak tangis Darsinah memecah keheningan. Andaru sendiri tak bisa berkata-kata. Otaknya masih memproses semua ucapan Ibu mertuanya."Bu, Ndaru tau Ibu kehilangan. Tapi tolong jangan membuat cerita macam-macam. Mana mungkin perempuan sebaik Antika meninggal dengan cara seperti itu." sangkal Andaru. Ia mengusap wajahnya kasar.Darsinah bergeming, ia menatap ubin yang terasa dingin."Istigfar, Bu. Sabar-""Diam kamu! Jangan meminta saya untuk bersabar. Kamu tidak tau arti sabar yang sesungguhnya! Antika itu darah daging saya! Saya bertaruh nyawa demi mengandung, dan membesarkannya sepenuh hati. Kamu pikir saya mengarang cerita seperti ini? Kamu pikir saya ikhlas kehilangan Antika? Atau jangan-jangan ... kamu tau sesuatu?" mata Darsinah menatap tajam ke arah menantunya.Lelaki itu tergagap, punggungnya menabrak pintu kamar sehingga benda itu berderit."Astaghfirullah! Nyebut, Bu! Saya mencintai Antika. Saya suaminya, mana mungkin saya melakukan hal sekeji itu. Ya Allah,"Andaru menekan dadanya, ia sungguh tak menyangka jika pernikahan dengan wanita yang ia damba menjadi Ibu dari anak-anaknya, akan berakhir seperti ini. Darsinah sendiri kembali membisu. Ia menerka-nerka, siapa saja yang mungkin bisa menjadi pelaku utama yang menyebabkan putrinya meninggal.Rahman datang sendirian, ia kaget melihat istri dan menantunya terduduk di atas lantai."Bidan itu bilang tidak ada orang yang masuk kemari, Bu. Dia sendiri tidak berani. Kita pulang saja. Tenangkan hati Ibu di rumah. Bapak juga baru mendapat pesan kalau keluarga Andaru sudah sampai. Ayo, Bu." Rahman mengusap lembut pundak Darsinah."Ayo, Le, kamu juga pasti lelah." Rahman juga menepuk bahu Andaru.Darsinah hanya diam saat Rahman berusaha memapahnya, dalam benaknya muncul ribuan pertanyaan. Siapa yang membunuh Antika? Siapa yang tega menyakiti anaknya dengan cara sesadis itu? Siapa? Siapa?!Ketiga orang itu berjalan dengan kepala tertunduk. Mereka tak menyadari jika sang bidan tengah mengintip dari balik gorden. Wajahnya pucat pasi, sedang ujung tangan dan kakinya terasa dingin."Cepat kunci ruangan itu, Mbok. Saya tidak tahan dengan aroma amis yang menyeruak keluar." perintahnya.Wanita tua yang bekerja untuknya mengangguk, ia segera melakukan apa yang diperintahkan. Sesaat sebelum pintu kamar tertutup, mata tuanya bisa menangkap sesosok perempuan yang tengah membelakanginya. Tak mengindahkan, ia segera menutup dan mengunci kamar praktek itu rapat-rapat, tanpa berusaha mencaritahu siapa sosok itu sebenarnya.****Andaru merasa kesepian meski tengah dikelilingi oleh keluarganya. Rasanya masih tak percaya jika kini Antika telah tiada. Ia baru saja mengecap manisnya hidup berumahtangga, dan kini takdir maut telah memisahkan mereka."Saya tidak bisa, saya selalu membayangkan seringai perempuan itu. Bahkan setelah perutnya meletus, ia masih sempat tersenyum--"Ucapan bidan tadi masih terngiang-ngiang ditelinga Andaru. Bagaimana bisa perut Antika meletus? Kalaupun memang istrinya terkena ilmu hitam, siapa gerangan orang yang tega melakukannya? Ia tak punya musuh, pun dengan Antika. Perempuan itu sangat baik, bahkan semua orang yang pernah bertemu dengannya meski hanya sekali, akan langsung jatuh hati kepadanya.Lalu, sosok di rumah bidan? Apa hubungannya dengan Antika?Ia melirik ke arah Darsinah yang terisak sambil membacakan surah Yasin. Ibu mertuanya itu pasti sangat terpukul. Tak jauh dari mereka, dua adik Antika juga dalam keadaan yang sama."Istrimu sakit apa, Ru? Ibu tanya ke mertuamu, tapi mereka cuma bilang kalau, Tika, sakit." tanya Muliana, berbisik.Andaru menoleh dan mendapati Ibunya tengah menatapnya. Mata perempuan itu juga bengkak karena menangis sejak tadi. Lelaki itu memilih diam. Kepalanya terasa sakit, ia lalu memejamkan mata yang terasa berat.****Suasana rumah sudah sepi meski masih ada keluarga yang terjaga. Setelah berdebat dengan Darsinah, Andaru akhirnya diizinkan untuk tidur di dalam kamar Antika. Ia memeluk baju terakhir yang digunakan oleh perempuan itu. Dalam diam, ia menangis menyebut nama istrinya."Mas Ndaru,"Andaru membuka mata, dalam keremangan ia bisa mendengar jika ada yang baru saja memanggil dirinya. Suara itu sangat familiar di telinganya."Tika? Itu kamu, Sayang?"Ia bangun dan duduk di tepi ranjang. Penerangan hanya berasal dari lampu tidur yang sengaja tidak dimatikan. Matanya menyapu ruangan."Tika ... jawab! Mas disini, Sayang. Mas sudah pulang."Andaru kembali mencari meski logikanya mengatakan jika tidak mungkin yang baru saja ia dengar adalah suara Antika. Ia kembali menangis saat menyadari dirinya dan Antika sudah dipisahkan oleh kematian."Mas ...,"Dengan cepat Andaru mengangkat kepala, ia bisa melihat jendela kamar Antika telah terbuka lebar. Tirai tipis yang menutupinya berkibar tertiup angin malam. Sosok Antika berdiri di depannya."Sayang? Tunggu, Mas! Jangan pergi!" serunya sambil berusaha untuk bangkit. Andaru terjatuh, kakinya tersandung sesuatu."Tolong, Tika, Mas ... tolong, Tika. Sakit sekali! Perut Tika, sakiiit!" jerit Antika.Perempuan itu melayang menembus tembok kamar, ia memegangi perutnya yang membuncit dan seperti orang hamil tua. Tubuh Andaru bagai dipaku ke bumi, ia tak bisa bergerak sama sekali."Sakit, Mas! Sakiiit! Hu ... hu ... hu,"Antika menangis, wajahnya seputih mayat.Andaru ingin berteriak, namun bibirnya terasa kelu.Sosok mirip Antika itu berhenti tepat di depan Andaru. Aroma kemenyan tercium. Perut Antika bergerak tak beraturan, menonjol dan membuatnya sangat kesakitan. Mata Antika melotot, bersamaan dengan itu perutnya meletus bagaikan balon yang diisi air.Amis, lengket, dan hangat. Cairan itu membasahi wajah Andaru. Tangan-tangan tanpa tubuh bergerak di atas lantai. Menggelepar bagaikan ikan yang dilepaskan ke atas tanah. Kuku-kuku setajam silet mengkilat terkena cahaya dari lampu dan darah yang membasahinya.Andaru merasakan sakit teramat sangat di kepalanya, ia ingin berteriak, namun kegelapan telah menguasai kesadarannya. Sebelum ia benar-benar jatuh tidak sadarkan diri, jauh dibelakang tubuh Antika ... ia bisa melihat seseorang yang tengah berdiri sambil membawa sebuah wadah berisi dupa yang masih menyala.MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (5)**** Andaru terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya. Jam dinding menunjukkan jika pagi masih lama. Tubuhnya sakit, matanya terasa bengkak. “Tika?” lirihnya.Tak ada sosok Antika, tangan-tangan dengan kuku tajam yang menggelepar di atas lantai kamar, atau genangan darah. Jendela pun masih dalam keadaan tertutup rapat.“Apa tadi aku bermimpi?” tanya Andaru bermonolog.Ia akan berbalik untuk naik ke tempat tidur saat matanya menangkap sosok putih berdiri tegak dihadapannya. Andaru terkejut hingga kembali terduduk.“A-astaga, Bu. Ibu mengagetkanku.” Ucap Andaru merasa lega saat mengetahui jika yang berdiri dihadapannya adalah Darsinah yang tengah menggunakan mukena putih.“Apa yang kamu lihat?” tanya Darsinah dengan wajah datar.Lelaki itu menggeleng, ia meremas piyama istrinya. “Ti-tidak ada, Bu.” jawabnya.Darsinah masih mematung dihadapan anak menantunya, “Katakan saja apa yang kamu k
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6) ****Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai."Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya. Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika. "Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan. Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebu
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (7) ****"Bu! Cukup!"Suara bariton Rahman memecah keheningan. Darsinah sendiri terkejut mendapat bentakan dari suaminya. Seketika wajah Rahman berubah menjadi merah, napasnya memburu. Denok dan Alfi yang mungkin baru akan menunaikan ibadah salat subuh berlarian menghampiri orang tua mereka. "Hentikan semua ini, Bu! Bapak tau sekali, kalau Ibu sangat kehilangan. Bapak juga sama, Bu! Tika itu anak Bapak, darah daging yang Bapak besarkan sepenuh hati. Mana mungkin Ibu bisa menuduh Bapak yang telah melenyapkan anak sendiri?" suara lelaki itu bergetar, ia mengepalkan tinjunya kuat. "Kalau selama ini Ibu berpikir jika Bapak abai pada anak-anak, Ibu salah besar! Ibu tau sendiri, Bapak jarang di rumah karena pekerjaan Bapak. Bapak mati-matian mencari uang demi kalian semua, agar Ibu dan anak-anak hidup sejahtera. Tidak kekurangan sama sekali. Ibu juga tau kalau Bapak tak pandai menunjukkan rasa kasih secara terang-terangan, tapi itu bukan berarti Bapak tida
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (10) ****Jam menunjukkan setengah lima sore saat Alfi masuk dengan tergesa, ia mencari sosok Antika yang tak ada dimana-mana. Alfi lantas nekat membuka pintu kamar kakak pertamanya. Pintu tidak terkunci, Alfi mengintip dam segera bernapas lega saat melihat Antika tengah duduk di atas sajadah. Ia baru akan melangkah masuk saat sosok Antika yang ada di tengah kamar berdiri dengan gerakan yang patah-patah. Mukena yang ia kenakan juga terlihat aneh karena berwarna hitam. "Mbak Tika?" panggil Alfi. "Hm," jawab sosok itu dengan suara serak. Alfi bisa segera tau jika itu bukanlah kakaknya. Ia akan lari, namun kakinya terasa berat. Seolah ada yang menahannya untuk tetap berdiri disitu. Sosok di dalam kamar mulai menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tangannya terangkat, lantas kakinya menghentak ke lantai. Bau busuk menyeruak, Alfi melotot karena aroma itu benar-benar terasa menyiksa indra penciumannya. Tangannya masih memegang gagang pintu. Ia tak
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (11) ****Andaru hanya menatap lurus ke depan, sedang disebelahnya Muliani duduk sambil membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sejak siuman, lelaki itu tak bicara sama sekali. "Kuatkan imanmu, Le. Kamu jangan pernah berpikiran untuk meng-habisi nyawamu sendiri. Kasihanilah Ibumu ini, Nak," ucap Muliani setelah menyelesaikan bacaannya. Ia meletakkan Al-Qur’an di atas tangan Andaru. Lelaki itu bergeming. "Wida, Ibu mau membeli sarapan. Siapa tau adikmu nggak akan suka makanan dari rumah sakit. Temani dia, ya?" pinta Muliani. Widara beringsut dari tempat tidur yang kosong, dalam ruangan kelas tiga itu tak ada pasien lain selain adiknya. "Ibu duduk saja, biar Wida yang pergi.""Tidak usah. Ibu ingin menghirup udara segar. Temani Andaru." sergahnya. Widara hanya mengangguk, ia duduk di kursi yang tadi ditempati oleh sang Ibu. Sepeninggal Muliani, kedua kakak-beradik itu sama-sama terdiam. Andaru masih setia menatap tembok putih polos yang ada dihadapann
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (20) ****"A--ah, ka-mu ngapain, Fi?" tanya Denok terbata. Ia benar-benar terkejut hingga bingung harus mengatakan apa. Rasanya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah tengah melakukan kejahatan. Alfi sendiri tetap diam, namun Denok bisa menangkap kilat amarah di mata adiknya. "Kamu mau pakai kamar mandi? Maaf, ya, Mbak lama." kali ini Denok segera pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan duduk ke atas tempat tidurnya. Beruntung Tini telah lebih kuat sehingga ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput jenazah Ningsih. Hanya ada Denok dan Alfi di rumah, karena orang tuanya dan saudara yang lain juga ikut ke rumah sakit. Jenazah Ningsih akan segera dimakamkan hari ini juga, mengingat kondisi tubuhnya yang tak utuh lagi. "Duh, tadi Alfi dengar nggak, ya?" tanyanya bermonolog.Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan gadis itu. Ia menerka-nerka apa sang adik menguping pembicaraannya dengan Danu. "Nok, kamu su
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (19) ****Alfi menyeka air mata dengan lengan bajunya, saat menengadahkan kepala ia bisa melihat sosok Denok yang berdiri mematung di ambang pintu. Kakak keduanya itu tampak ketakutan, sedang bibirnya terbuka sedikit. Ia beringsut dan mengubah posisinya. Tampaknya tak ada yang memperhatikan Denok, semua sibuk dengan perasaan masing-masing. Awan kelabu masih betah menaungi rumah keluarga Darsinah. Denok sendiri tak bisa bergerak ketika saling menatap dengan sosok Tini dan juga sosok ‘lain’ yang muncul di belakangnya. Perasaan takut yang tadi hanya ada dalam benaknya, seolah menjadi nyata sebab kejadian-kejadian yang telah terjadi di sekitarnya. Danu. Ya, dia harus menghubungi Danu. Satu-satunya orang yang membantu Denok menjalankan aksi bej4t terhadap Antika. "Kamu kenapa, Nok?" Gadis itu akhirnya bisa menggerakkan anggota tubuhnya saat salah satu tetangga dekat menepuk bahu Denok. Ia menoleh dan mendapati Bu Diman, tetangga sebelah rumah menatapny
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (18) ****Alfi melajukan motornya dengan tatapan kosong. Aroma amis seolah melekat di indra penciumannya. Beruntung meski dalam keadaan syok berat, ia sampai dengan selamat ke rumahnya. Hendro adalah orang pertama yang bertemu dengan Alfi, ia sedikit heran melihat wajah keponakannya tampak begitu pucat. "Lho, cepat amat kamu baliknya, Fi? Lik Ningsih sudah sampai rumah?" tanyanya sambil meletakkan piring yang isinya telah dimakan habis. Mendengar nama Ningsih, membuat pemuda itu kembali lemas. Ia jatuh terduduk hingga membuat Hendro panik. Dengan cepat, lelaki itu membantu Alfi sambil memanggil nama Rahman berulang kali. Alfi yang akan dipapah masuk ke dalam rumah berhenti dsn ternyata muntah-muntah di teras. Apa yang terjadi segera membuat Rahman khawatir. Perasaannya kembali gelisah. "Ada apa, Le? Kamu kenapa?" tanya lelaki itu tak sabar. Alfi menutup mulutnya, matanya terasa berkunang-kunang. "Lik Ningsih ...," belum sempat menyelesaikan ucapa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (17) ****Waktu terasa lamban bagi Andaru, lelaki itu sejak tadi gelisah. Sedikit-sedikit ia mengubah posisi tidurnya hingga membuat Muliani penasaran karena melihat sikap putranya. "Aku mau pulang ke rumah Tika," ucapnya saat Muliani menatapnya. Muliani menghela napas panjang, "Tapi kondisi kamu masih belum stabil, Le."Andaru menggigit bibir bawahnya, ia yakin pasti hal ini sengaja dilakukan supaya siapapun yang ingin menghabisi keluarga Antika bisa melancarkan aksinya tanpa gangguan apapun. "Ndaru sudah baik-baik saja, Bu. Biarkan Ndaru pulang hari ini." mohonnya sekali lagi. Widara hanya diam sambil memainkan jari, ia duduk di pojok dan malas menanggapi adiknya. Setelah perdebatan mereka, Widara bisa merasakan jika adiknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Lehermu--""Selain leher ini, tubuh Ndaru benar-benar sehat, Bu. Andaru janji tidak akan melakukan hal gil4 lagi. Percayalah," ujarnya berusaha membuat Muliani memberikan satu kepercayaa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (16) ****Tini tiba-tiba mengendurkan tangannya dan jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Denok masih dalam posisi terlentang sambil menangis tersedu. Nur yang masuk sambil membawa setumpuk selimut terkejut bukan main. Ia berteriak sehingga seluruh isi rumah heboh karenanya. Rahman lebih dulu masuk, dan segera membopong Denok untuk dibaringkan ke atas kasur. "Ada apa lagi ini, Ya Allah?" tanya lelaki itu. Darsinah masuk dan menatap Tini yang masih tidak sadar, ia segera mendekati Denok yang menutup wajahnya sendiri. Cepat Darsinah mendekati anak keduanya. "Ada apa, Nak? Katakan pada Ibu." Denok terus menangis, Darsinah menarik tangan Denok dan melihat bekas kemerahan pada leher putrinya. Matanya melotot. Amarahnya memuncak. Dengan satu tarikan ia memeluk Denok begitu erat. "Tidak apa-apa, Ibu akan berada disini, Nduk. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu." lirih Darsinah. Orang-orang mulai kelelahan menangani kejadian aneh yang terjadi di rumah Ant
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (15) ****Mobil Danu berhenti di bahu jalan, ia tampak bingung sebab tak mungkin memaksakan kendaraannya untuk masuk ke dalam hutan. Denok sendiri yang duduk di sebelahnya menghela napas berulang kali. Ia menatap layar telepon genggam dan jalan bergantian. "Ini yakin titiknya disini?" tanya Danu memastikan. Denok mengangguk, tempat ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh perangkat penunjuk jalan. Danu keluar dan memastikan keadaan sekitar. Ia rasa sangat tidak aman memarkirkan mobil di tempat terbuka seperti itu. Gadis itu kembali menggerutu dan mulai menyumpahi Risma sebab sudah membohonginya. Ketika ia akan menelepon Risma, matanya terbelalak karena di luar muncul seorang perempuan tua yang tengah memperhatikannya. Danu yang tadi memperhatikan jalan ikut terkejut melihat seorang perempuan tua tengah menempelkan wajah pada jendela mobil. Denok beringsut dan keluar dari pintu mobil yang lain. Ia berdiri dekat dengan Danu, tangannya memegang erat len
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (14) ****Rasa dendam itu berubah menjadi benci yang teramat sangat hingga membuat Antika menjadi obyek kemarahan. Apapun yang ia lakukan terlihat menyebalkan di mata Denok. Ia semakin meradang saat Antika justru tersenyum meski Denok memperlakukannya dengan tidak baik. Ia tidak suka pada Antika yang selalu mengkhawatirkannya, ia tak suka ketika Antika yang selalu berusaha melindungi dan bersikeras menjadi kakak yang baik untuk dirinya. Ia muak saat teman-temannya mengatakan jika dirinya beruntung sebab memiliki kakak sebaik hati Antika. Dunia seakaan hanya berpusat pada Antika seorang. Semua orang menyukai Antika, dan menjadikannya panutan. Hal terakhir yang tak Denok sukai adalah ketidakmampuannya menyaingi dan mengalahkan sosok kakaknya sendiri. Ia ingat betul, semua itu diawali dengan kembalinya Antika saat dirinya berumur 8 tahun. Saat itu, Antika memang tak diasuh oleh Ibunya melainkan oleh seorang perempuan yang ia kenal sebagai Tante Mustika.
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u