MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (10) ****Jam menunjukkan setengah lima sore saat Alfi masuk dengan tergesa, ia mencari sosok Antika yang tak ada dimana-mana. Alfi lantas nekat membuka pintu kamar kakak pertamanya. Pintu tidak terkunci, Alfi mengintip dam segera bernapas lega saat melihat Antika tengah duduk di atas sajadah. Ia baru akan melangkah masuk saat sosok Antika yang ada di tengah kamar berdiri dengan gerakan yang patah-patah. Mukena yang ia kenakan juga terlihat aneh karena berwarna hitam. "Mbak Tika?" panggil Alfi. "Hm," jawab sosok itu dengan suara serak. Alfi bisa segera tau jika itu bukanlah kakaknya. Ia akan lari, namun kakinya terasa berat. Seolah ada yang menahannya untuk tetap berdiri disitu. Sosok di dalam kamar mulai menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tangannya terangkat, lantas kakinya menghentak ke lantai. Bau busuk menyeruak, Alfi melotot karena aroma itu benar-benar terasa menyiksa indra penciumannya. Tangannya masih memegang gagang pintu. Ia tak
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (11) ****Andaru hanya menatap lurus ke depan, sedang disebelahnya Muliani duduk sambil membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sejak siuman, lelaki itu tak bicara sama sekali. "Kuatkan imanmu, Le. Kamu jangan pernah berpikiran untuk meng-habisi nyawamu sendiri. Kasihanilah Ibumu ini, Nak," ucap Muliani setelah menyelesaikan bacaannya. Ia meletakkan Al-Qur’an di atas tangan Andaru. Lelaki itu bergeming. "Wida, Ibu mau membeli sarapan. Siapa tau adikmu nggak akan suka makanan dari rumah sakit. Temani dia, ya?" pinta Muliani. Widara beringsut dari tempat tidur yang kosong, dalam ruangan kelas tiga itu tak ada pasien lain selain adiknya. "Ibu duduk saja, biar Wida yang pergi.""Tidak usah. Ibu ingin menghirup udara segar. Temani Andaru." sergahnya. Widara hanya mengangguk, ia duduk di kursi yang tadi ditempati oleh sang Ibu. Sepeninggal Muliani, kedua kakak-beradik itu sama-sama terdiam. Andaru masih setia menatap tembok putih polos yang ada dihadapann
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (14) ****Rasa dendam itu berubah menjadi benci yang teramat sangat hingga membuat Antika menjadi obyek kemarahan. Apapun yang ia lakukan terlihat menyebalkan di mata Denok. Ia semakin meradang saat Antika justru tersenyum meski Denok memperlakukannya dengan tidak baik. Ia tidak suka pada Antika yang selalu mengkhawatirkannya, ia tak suka ketika Antika yang selalu berusaha melindungi dan bersikeras menjadi kakak yang baik untuk dirinya. Ia muak saat teman-temannya mengatakan jika dirinya beruntung sebab memiliki kakak sebaik hati Antika. Dunia seakaan hanya berpusat pada Antika seorang. Semua orang menyukai Antika, dan menjadikannya panutan. Hal terakhir yang tak Denok sukai adalah ketidakmampuannya menyaingi dan mengalahkan sosok kakaknya sendiri. Ia ingat betul, semua itu diawali dengan kembalinya Antika saat dirinya berumur 8 tahun. Saat itu, Antika memang tak diasuh oleh Ibunya melainkan oleh seorang perempuan yang ia kenal sebagai Tante Mustika.
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (15) ****Mobil Danu berhenti di bahu jalan, ia tampak bingung sebab tak mungkin memaksakan kendaraannya untuk masuk ke dalam hutan. Denok sendiri yang duduk di sebelahnya menghela napas berulang kali. Ia menatap layar telepon genggam dan jalan bergantian. "Ini yakin titiknya disini?" tanya Danu memastikan. Denok mengangguk, tempat ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh perangkat penunjuk jalan. Danu keluar dan memastikan keadaan sekitar. Ia rasa sangat tidak aman memarkirkan mobil di tempat terbuka seperti itu. Gadis itu kembali menggerutu dan mulai menyumpahi Risma sebab sudah membohonginya. Ketika ia akan menelepon Risma, matanya terbelalak karena di luar muncul seorang perempuan tua yang tengah memperhatikannya. Danu yang tadi memperhatikan jalan ikut terkejut melihat seorang perempuan tua tengah menempelkan wajah pada jendela mobil. Denok beringsut dan keluar dari pintu mobil yang lain. Ia berdiri dekat dengan Danu, tangannya memegang erat len
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (20) ****"A--ah, ka-mu ngapain, Fi?" tanya Denok terbata. Ia benar-benar terkejut hingga bingung harus mengatakan apa. Rasanya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah tengah melakukan kejahatan. Alfi sendiri tetap diam, namun Denok bisa menangkap kilat amarah di mata adiknya. "Kamu mau pakai kamar mandi? Maaf, ya, Mbak lama." kali ini Denok segera pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan duduk ke atas tempat tidurnya. Beruntung Tini telah lebih kuat sehingga ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput jenazah Ningsih. Hanya ada Denok dan Alfi di rumah, karena orang tuanya dan saudara yang lain juga ikut ke rumah sakit. Jenazah Ningsih akan segera dimakamkan hari ini juga, mengingat kondisi tubuhnya yang tak utuh lagi. "Duh, tadi Alfi dengar nggak, ya?" tanyanya bermonolog.Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan gadis itu. Ia menerka-nerka apa sang adik menguping pembicaraannya dengan Danu. "Nok, kamu su
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (19) ****Alfi menyeka air mata dengan lengan bajunya, saat menengadahkan kepala ia bisa melihat sosok Denok yang berdiri mematung di ambang pintu. Kakak keduanya itu tampak ketakutan, sedang bibirnya terbuka sedikit. Ia beringsut dan mengubah posisinya. Tampaknya tak ada yang memperhatikan Denok, semua sibuk dengan perasaan masing-masing. Awan kelabu masih betah menaungi rumah keluarga Darsinah. Denok sendiri tak bisa bergerak ketika saling menatap dengan sosok Tini dan juga sosok ‘lain’ yang muncul di belakangnya. Perasaan takut yang tadi hanya ada dalam benaknya, seolah menjadi nyata sebab kejadian-kejadian yang telah terjadi di sekitarnya. Danu. Ya, dia harus menghubungi Danu. Satu-satunya orang yang membantu Denok menjalankan aksi bej4t terhadap Antika. "Kamu kenapa, Nok?" Gadis itu akhirnya bisa menggerakkan anggota tubuhnya saat salah satu tetangga dekat menepuk bahu Denok. Ia menoleh dan mendapati Bu Diman, tetangga sebelah rumah menatapny
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (18) ****Alfi melajukan motornya dengan tatapan kosong. Aroma amis seolah melekat di indra penciumannya. Beruntung meski dalam keadaan syok berat, ia sampai dengan selamat ke rumahnya. Hendro adalah orang pertama yang bertemu dengan Alfi, ia sedikit heran melihat wajah keponakannya tampak begitu pucat. "Lho, cepat amat kamu baliknya, Fi? Lik Ningsih sudah sampai rumah?" tanyanya sambil meletakkan piring yang isinya telah dimakan habis. Mendengar nama Ningsih, membuat pemuda itu kembali lemas. Ia jatuh terduduk hingga membuat Hendro panik. Dengan cepat, lelaki itu membantu Alfi sambil memanggil nama Rahman berulang kali. Alfi yang akan dipapah masuk ke dalam rumah berhenti dsn ternyata muntah-muntah di teras. Apa yang terjadi segera membuat Rahman khawatir. Perasaannya kembali gelisah. "Ada apa, Le? Kamu kenapa?" tanya lelaki itu tak sabar. Alfi menutup mulutnya, matanya terasa berkunang-kunang. "Lik Ningsih ...," belum sempat menyelesaikan ucapa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (17) ****Waktu terasa lamban bagi Andaru, lelaki itu sejak tadi gelisah. Sedikit-sedikit ia mengubah posisi tidurnya hingga membuat Muliani penasaran karena melihat sikap putranya. "Aku mau pulang ke rumah Tika," ucapnya saat Muliani menatapnya. Muliani menghela napas panjang, "Tapi kondisi kamu masih belum stabil, Le."Andaru menggigit bibir bawahnya, ia yakin pasti hal ini sengaja dilakukan supaya siapapun yang ingin menghabisi keluarga Antika bisa melancarkan aksinya tanpa gangguan apapun. "Ndaru sudah baik-baik saja, Bu. Biarkan Ndaru pulang hari ini." mohonnya sekali lagi. Widara hanya diam sambil memainkan jari, ia duduk di pojok dan malas menanggapi adiknya. Setelah perdebatan mereka, Widara bisa merasakan jika adiknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Lehermu--""Selain leher ini, tubuh Ndaru benar-benar sehat, Bu. Andaru janji tidak akan melakukan hal gil4 lagi. Percayalah," ujarnya berusaha membuat Muliani memberikan satu kepercayaa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (16) ****Tini tiba-tiba mengendurkan tangannya dan jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Denok masih dalam posisi terlentang sambil menangis tersedu. Nur yang masuk sambil membawa setumpuk selimut terkejut bukan main. Ia berteriak sehingga seluruh isi rumah heboh karenanya. Rahman lebih dulu masuk, dan segera membopong Denok untuk dibaringkan ke atas kasur. "Ada apa lagi ini, Ya Allah?" tanya lelaki itu. Darsinah masuk dan menatap Tini yang masih tidak sadar, ia segera mendekati Denok yang menutup wajahnya sendiri. Cepat Darsinah mendekati anak keduanya. "Ada apa, Nak? Katakan pada Ibu." Denok terus menangis, Darsinah menarik tangan Denok dan melihat bekas kemerahan pada leher putrinya. Matanya melotot. Amarahnya memuncak. Dengan satu tarikan ia memeluk Denok begitu erat. "Tidak apa-apa, Ibu akan berada disini, Nduk. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu." lirih Darsinah. Orang-orang mulai kelelahan menangani kejadian aneh yang terjadi di rumah Ant
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (15) ****Mobil Danu berhenti di bahu jalan, ia tampak bingung sebab tak mungkin memaksakan kendaraannya untuk masuk ke dalam hutan. Denok sendiri yang duduk di sebelahnya menghela napas berulang kali. Ia menatap layar telepon genggam dan jalan bergantian. "Ini yakin titiknya disini?" tanya Danu memastikan. Denok mengangguk, tempat ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh perangkat penunjuk jalan. Danu keluar dan memastikan keadaan sekitar. Ia rasa sangat tidak aman memarkirkan mobil di tempat terbuka seperti itu. Gadis itu kembali menggerutu dan mulai menyumpahi Risma sebab sudah membohonginya. Ketika ia akan menelepon Risma, matanya terbelalak karena di luar muncul seorang perempuan tua yang tengah memperhatikannya. Danu yang tadi memperhatikan jalan ikut terkejut melihat seorang perempuan tua tengah menempelkan wajah pada jendela mobil. Denok beringsut dan keluar dari pintu mobil yang lain. Ia berdiri dekat dengan Danu, tangannya memegang erat len
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (14) ****Rasa dendam itu berubah menjadi benci yang teramat sangat hingga membuat Antika menjadi obyek kemarahan. Apapun yang ia lakukan terlihat menyebalkan di mata Denok. Ia semakin meradang saat Antika justru tersenyum meski Denok memperlakukannya dengan tidak baik. Ia tidak suka pada Antika yang selalu mengkhawatirkannya, ia tak suka ketika Antika yang selalu berusaha melindungi dan bersikeras menjadi kakak yang baik untuk dirinya. Ia muak saat teman-temannya mengatakan jika dirinya beruntung sebab memiliki kakak sebaik hati Antika. Dunia seakaan hanya berpusat pada Antika seorang. Semua orang menyukai Antika, dan menjadikannya panutan. Hal terakhir yang tak Denok sukai adalah ketidakmampuannya menyaingi dan mengalahkan sosok kakaknya sendiri. Ia ingat betul, semua itu diawali dengan kembalinya Antika saat dirinya berumur 8 tahun. Saat itu, Antika memang tak diasuh oleh Ibunya melainkan oleh seorang perempuan yang ia kenal sebagai Tante Mustika.
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u