Share

Bab 3

Setelah kematian Sarah, Desa Lingsir terlihat sangat sepi. Setelah menghadiri acara tahlilan, para warga akan langsung pulang ke rumah mereka masing-masing.

Mereka memutuskan mengunci pintu dan jendela lebih awal, mengurung diri di dalam rumah. Tampaknya orang-orang sudah bisa merasakan suasana yang sangat berbeda di Desa malam ini. Suasana yang begitu dingin sunyi dan mencekam.

"Bude, terima kasih banyak, Bude sudah mau membantu Mbak Sarah. Jika tidak ada Bude, aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa!" lirih Nabila menekuk Bude Lastri.

Dirinya benar-benar sangat rapuh saat ini. Kesedihan masih menggelayut dalam hatinya. Beruntung, Bude Lastri memutuskan untuk menginap di rumah Nabila sampai acara tahlilan selesai. Jadi, Nabila tidak terlalu kesepian.

"Jangan sungkan, Nabila. Ini sudah menjadi kewajiban Bude sebagai keluarga kamu. Jika buka bude, siapa lagi yang akan membantu!" jawab Bude Lastri mengelus lengan Nabila lembut.

"Ya sudah, ini sudah malam, kamu tidur sana!"

"Bude mau tidur bareng aku!" ajak Nabila, tak enak lada Bude Lastri jika tidur sendirian.

"Tidak apa-apa, biar Bude tidur di kamar ibumu. Sekalian, Bude ingin mengenangnya. Bude rindu!" jawab Bude Lastri dengan mata yang menerawang ke atas.

Nabila menatap sendu budenya. Ucapan Bude Lastri juga mengingatkan Nabila padaa sang Ibu yang baru saja meninggal satu tahun yang lalu.

"Ya sudah bude, kalau gitu aku ke kamar dulu. Budek kalau butuh apa-apa, panggil aku!"

Bude Lastri menganggukkan kepalanya. Nabila beranjak menuju kamarnya, Bude Lastri pun pergi menuju kamar adiknya yang sudah meninggal.

Hujan deras disertai petir yang saling menyambar--mengguyur desa malam ini. Hembusan angin masuk ke celah-celah jendela.

Udara dingin mampu menebus sendi-sendi tulang. Suara burung hantu diluar mampu memekakkan telinga. Nabila segera naik ke atas ranjang, merekatkan selimutnya. Ia mulai memejamkan matanya karena rasa kantuk dan lelah bercampur menjadi satu.

Tek! Tek! Tek!

Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam, Nabila mengucek matanya. Kantuk masih terasa, namun suara berisik dari arah dapur membuat tidurnya terganggu.

Ia mencoba melamatkan pendengarannya. Suara itu semakin terdengar nyaring seperti ada seseorang yang sedang memasak di sana. Dahi Nabila berkerut penasaran.

Hingga tak terasa kakinya melangkah keluar dari kamar.

"Bude, Bude Lastri!" panggil Nabila pada budenya karena hanya ada mereka berdua di rumah itu. Jika bukan dirinya yang ada di dapur, sudah bisa dipastikan itu adalah Bude Lastri, pikir Nabila.

"Bude, Bude lagi di dapur!" Nabila kembali memanggil dengan kaki yang terus melangkah pelan. Namun, untuk kedua kalinya, tak ada sahutan di sana.

"Kok, Bude tidak menjawab panggilanku. Aapa jangan-jangan itu maling?" gumam Nabila mulai curiga, takut jika penjahat yang masuk ke dalam rumahnya.

Dengan hati-hati, Nabila terus melangkah menuju ke arah dapur. Matanya membelalak saat melihat seorang wanita berkebaya putih dengan rambut panjang sedang berdiri membelakanginya, seperti sedang memasak.

"S-siapa itu? Sedang apa di rumahku? Jangan-jangan itu maling!" monolognya semakin waspada. Karena ia yakin jika itu bukanlah budenya.

Nabila melirik ke arah kaki wanita tersebut yang tampak menapak ke bawah. Nabila pun berasumsi jika wanita itu adalah manusia biasa, yang mungkin berniat buruk di rumahnya.

Wanita tersebut terus saja mengaduk-aduk penggorengan yang ada di depannya. Entah apa yang sedang ia masak, yang jelas suaranya begitu nyaring. Heningnya malam membuat suara itu semakin terdengar jelas di telinga.

Nabila menelisik penampilan wanita itu kembali. Matanya sangat familiar dengan bentuk tubuh dan baju yang dipakainya.

"Kenapa pakaiannya mirip dengan pakaian Mbak Sarah saat temukan di sungai."

Nabila yakin karena saat para warga itu menggotong jenazah sang Kakak ke rumah, Sarah memang memakai kebaya, meskipun warna kebaya itu sudah tidak beraturan. Nabila masih mengingatnya.

"Astagfirullahalladzim! A-apa itu, Mbak, Mbak Sarah!" cicit Nabila membekap mulutnya tak percaya. Entah kenapa firasatnya tak meleset.

Nabila bersiap untuk mengintai kembali. Namun, saat Nabila tampak fokus, wanita itu menoleh kesamping hingga Nabila buru-buru bersembunyi. Wajahnya tidak terlihat, hanya rambut panjangnya yang tampak menjuntai.

"Ya Allah, hampir saja," gumam Nabila bernapas lega.

Saat Nabila keluar dari persembunyiannya, wanita itu tidak ada di sana. Dia sudah menghilang. Keadaan dapur pun tampak bersih, tidak seperti tadi, sedikit berserakan.

"Kemana wanita tadi?"

"Aku yakin tadi di sini ada wanita yang sedang masak! Tapi kenapa sekarang tidak ada!"

Nabila mulai mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dapur. Memang tidak ada siapapun di sana. Apakah tadi hanya halusinasinya saja? Tetapi, ia yakin jika ia tak salah lihat dan tak berhalusinasi.

"Ap mungkin itu hanya perasaanku saja."

Merasa tak ada siapapun di sana, Nabila pun membalikkan tubuh hendak kembali ke kamarnya.

Baru saja beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan suara pintu dapur yang digedor dengan kencang.

"Siapa itu!"

Brak! Brak! Brak!

Suara itu semakin kencang dan terdesak layaknya seseorang yang tidak sabar ingin segera masuk.

Mata Nabila memindai. Tangannya terulur memegang slot pintu , bingung antara dibuka atau tidak.

Brak! Brak! Brak!

Suara gedoran itu semakin kencang. Karena penasaran, akhirnya tangan Nabila bergerak menggeser slot pintu.

Saat pintu itu mulai dibuka, hembusan angin dan bau bunga melati langsung menyapu indra penciumannya.

"Hmm, bau melati!"

Hidung Nabila mulai mengendus. Bau itu membuat bulu kuduknya berdiri. Apalagi suasana di luar sangat gelap dan sunyi, menambah kesan horor di desa Lingsir.

"Huek! Huek!"

Tak hanya bau bunga melati, kini tiba-tiba saja bau busuk menyeruak hingga membuat Nabila mual-mual.

Bau itu semakin lama semakin tajam. Bahkan, baunya sudah bercampur menjadi satu.

"Kenapa seperti bau jenazah!" lirih Nabila bergidik ngeri.

"APA JENAZAHNYA SEPERTI INI?"

Deg!

Sontak saja tubuh Nabila menegang mendengar suara yang menyahut tepat belakangnya.

Bibir Nabila bergetar hebat. Jantungnya terus berdegup kejang. Perlahan tapi pasti, Nabila mulai membalikkan tubuhnya. Seketika matanya terbelalak saat melihat sosok menyeramkan tengah berdiri sambil menyeringai dengan kepala miring ke arah kiri.

"HIHIHI!"

"AAARGHHHH!"

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status