Kokok ayam terdengar bersahutan, pertanda subuh telah menjelang. Perlahan Bu Lastri membuka mata. Ia menguap sebentar sembari beringsut duduk.
Bude Lastri terbangun dari tidurnya. Ia berjalan pelan menuju ke dapur, hendak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. "Nabila sudah bangun belum, ya?" gumam Bude Lastri mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi, dan dia memilih untuk melihat Nabila di kamarnya. Tok! Tok! Tok! "Nabila, Nduk!" panggil Bude Lastri mengetuk pintu kamar Nabila. Tapi tak ada sahutan di sana. Pintu juga tak kunjung terbuka. "Apa Nabila masih tidur ya?" gumamnya lagi. "Yo wiss lah, aku ke pasar sendiri saja. Mungkin Nabila kelelahan!" Niatnya Bude Lastri memang ingin mengajak Nabila ke pasar untuk membeli kebutuhan tahlilan malam ini. Tetapi, tampaknya Nabila masih tertidur jadi Bu Lastri pun berbalik untuk segera ke kamar mandi. Langkah kaki Bude Lastri tiba-tiba terhenti kala mendapati sesosok tubuh yang ia kenali dari pakaian yang dikenakan, tengah berbaring miring menghadap pintu dapur yang terbuka lebar. "Nabila, ya Allah Nduk," pekik Bude Lastri mempercepat langkah saat mendapati jika tubuh yang tergeletak di lantai dapur itu adalah keponakannya. Sebuah jeritan nyaring pun akhirnya lolos dari mulutnya bersama rasa panik, takut jika sesuatu terjadi pada Nabila. Dengan cepat Bude Lastri berlari mendekat. "Nabila, bangun Nduk! Nabila!" ucap Bude Lastri menepuk pelan pipi keponakannya. "Bude," panggilnya dengan suara lemah. Nabila mengerjapkan matanya. Kepalanya terasa pusing sekali, ia memaksakan diri untuk bangkit dan menyenderkan punggungnya di dinding dapur. "Syukurlah kamu akhirnya bangun!" "Tunggu di sini, ya," ujarnya memerintah, lalu tanpa sepatah katapun terucap segera menjauh, diikuti tatap heran Nabila. Selang beberapa menit, wanita itu kembali dengan segelas air putih. "Minumlah!" Bude Lastri berjongkok, sambil menyerahkan air tersebut, yang segera diterima Nabila dengan baik. "Kamu kenapa, Nduk? Kok, tiduran depan pintu? Mana pintunya tidak ditutup lagi. Bikin Bude khawatir saja." "Aku tidak tidur, Bude. Tapi, aku—" Mata Nabila terbelalak kala dirinya teringat kembali peristiwa mencekam tadi malam. Sosok hantu yang menyeringai tajam membuat bulu kuduk Nabila kembali berdiri. Sumpah demi apapun, baru kali ini Nabila melihat hantu semenyeramkan itu. "Bude!" Nabila bahkan refleks memegangi kedua lengan budenya dengan raut wajah pucat pasi hingga membuat Bude Lastri kebingungan. "Kamu kenapa, Bil? Apa yang terjadi?" "Bude—" Suara Nabila terdengar bergetar, keringat dingin mengucur membasahi kening, turun hingga dagu. Tatapannya juga nanar dengan bening kristal mulai menggumpal, siap terjun bebas. "Kenapa? Kamu kenapa?" Bude Lastri mengusap lembut punggung keponakannya, setelah menariknya masuk ke dalam pelukan. Bertepatan dengan itu, tangis Nabila pun pecah. Ia sesenggukan menahan rasa sakit yang menghantam dadanya. Sedangkan, Bude Lastri semakin tidak mengerti. Namun, ia memilih bungkam sembari menunggu Nabila selesai mengeluarkan semua kesedihannya. "Sekarang cerita sama Bude, kenapa kamu bisa tertidur di depan pintu? Dan apa yang buat kamu menangis?" desaknya sambil membantu Nabila berdiri. Keduanya lantas berjalan bersisian menuju kursi di ruang tamu. "Pelan-pelan," tegurnya saat melihat Nabila sedikit oleng. Nabila menarik napasnya dalam-dalam. Ia harus menceritakan ini pada Bude Lastri. "Bude, aku melihat hantu tadi malam. A-apa mungkin itu Mbak Sarah, Bude! Soalnya pakaiannya mirip Mbak Sarah. Dia memakai kebaya putih, tapi wajahnya menyeramkan." Bibir Nabila gemetar, ucapannya terbata-bata. Ia berharap jika asumsinya itu salah. Nabila tentu tidak ingin kakaknya menjadi arwah gentayangan, meskipun ia sadar jika kematian sang Kakak itu sangat tidak wajar. Dan mitosnya jika seseorang meninggal dalam keadaan tidak wajar, maka arwahnya tidak tenang. "Astaghfirullahaladzim, Nduk. Kamu ini bicara apa? Itu tidak mungkin terjadi. Sarah gadis yang baik, dia tidak mungkin menjadi arwah gentayangan," jawab Bude Lastri seakan tidak percaya. "Tapi Bude. Bukankah jika seseorang meninggal secara tidak wajar, arwahnya akan gentayangan." "Hust, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kita doakan saja semoga Kakak kamu tenang di alam sana. Dan para pembunuh itu segera tertangkap." Bude Lastri mencoba menghibur Nabila agar tidak terus berpikiran buruk. Tentang para pelaku yang belum ditemukan sampai saat ini, masih dalam pantauan polisi. Keluarga jelas sangat berharap mereka segera mendapatkan ganjarannya. "Semoga saja seperti itu Bude. Karena aku juga tidak mau Mbak Sarah menjadi tidak tenang!" lirih Nabila sedih, lantas ia menceritakan seluruh peristiwa mengerikan tadi malam, tanpa dikurang atau ditambahi sedikitpun. Bude Lastri tak henti-hentinya mengelus dada. Ia membekap mulutnya sendiri, apa mungkin itu memang Sarah? Meninggal tidak wajar kemungkinan besar arwahnya tidak tenang. "Astaghfirullah!" Bude Lastri mengusap dadanya, merasa miris juga sedih tapi dia tetap menenangkan Nabila agar gadis itu tidak terpaku pada kejadian semalam. "Bude," panggil Nabila lirih, masih sedih ketika mengingat jika sekarang tidak memiliki Kak lagi. Bude Lastri tampak diam. Entah apa yang dia pikirkan, Nabila sulit untuk menebaknya. Meski begitu, ia yakin jika budenya juga sedih. Karena mereka adalah saudara. "Bude!" Nabila kembali memanggil sambil menggoyangkan pelan lengan kanan budenya, membuat wanita itu tersentak kaget dan sedikit gelagapan. "Bude kenapa melamun?" tanya Nabila heran. "Ah, Bude tidak apa-apa. Bude hanya ingat sama Sarah. Bude tidak menyangka jika Sarah sudah tidak ada." Bu Lastri menyahut cepat, matanya menatap sendu Nabila. "Aku juga ingat Mbak Sarah Bude. Aku pasti akan kesepian setelah acara tahlilan selesai. Apalagi Bude pasti harus pulang." Nabila menundukkan kepalanya. Bude Lastri mengelus lagi punggung Nabila lembut. "Kamu tidak akan kesepian, Nduk! Kamu bisa ikut bersama Bude, tinggal bersama Nina!" seru Bude Lastri meyakinkannya. Nina adalah anak Bude Lastri satu-satunya. Nina tidak bisa hadir karena dia ada urusan. Nabila memakluminya, lagipula hadirnya Bude Lastri, sudah cukup membantu banyak untuk keluarganya. "Terima kasih banyak, Bude! Bude sangat baik!" Nabila menekuk Bude Lastri erat. Bude Lastri sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Meski mereka jarang bertemu karena berbeda Desa, tapi Nabila sangat menyayanginya dan mempercayainya. "Sama-sama, Nduk!" "Bude, nanti siang aku ijin ke kantor polisi lagi untuk mencari kabar, tentang pencarian pelaku pembunuhan Mbak Sarah. Aku mau mereka mendapatkan imbalan yang setimpal. Dan mereka juga harus ...." Ucapan Nabila terhenti, kala mendengar suara gedoran keras dari luar. "Siapa yang dateng pagi-pagi seperti ini," ucap Nabila menatap budenya heran. "Bude juga tidak tahu, Bil. Sepertinya gedoran itu berasal dari pintu depan," tukas Bude Lastri, sambil mengusap punggung Nabila, memberikan ketentraman. "Apa itu Bu RT?" tanya Nabila mengingat jika Bu RT mengatakan akan membantu menyiapkan acara tahlilan. "Tapi ini masih lagi, tidak mungkin Bu RT datang sepagi ini?" lanjutnya meras heran dan tak yakin. "Ya sudah, Bude mau lihat dulu siapa yang datang. Siapa tahu memang benar Bu RT," Bu Lastri bergegas bangkit, hendak mengayunkan langkah. "Aku ikut, Bude!" ucap Nabila melangkahkan kakinya mengekor Bude Lastri dari belakang. Baru saja pintu dibuka, dua orang laki-laki tak diundang, yang mereka kenal dengan baik, datang dengan sesuatu yang mengejutkan mereka berdua. "Asep!" Bude Lastri menegur, heran. "Udin, ada apa? Kok, pagi-pagi sudah datang bertamu dan bikin heboh?" Matanya memindai keduanya bergantian, begitupun dengan Nabila. "Gawat! Gawat, Bude Lastri, Neng Nabila." Asep terlihat menggebu-gebu, tubuhnya bahkan terlihat bergetar karena panik. "Gawat kenapa?" Bukan Bu Lastri yang bertanya, justru Nabila lah yang melontarkan pertanyaan. Pasalnya raut wajah Udin dan Asep saat ini tampak sedang memendam sesuatu. Sepertinya hal yang akan mereka bicarakan itu adalah hal penting sehingga membuat Nabila penasaran. "Itu Neng Nabila, itu ...." cicit Asep memilin sarung yang masih berada di tubuhnya. Udin dan Asep baru saja selesai melakukan ronda malam. Namun, kedatangan mereka membuat Nabila dan Bude Lastri kebingungan. "Tenang dulu, coba jawab pelan-pelan," titah Bude Lastri menenangkan keduanya. "Begini Bude Lastri, Neng Nabila ... Tadi malam para warga di buat heboh karena melihat Neng Sarah jadi hantu dan meneror Desa kita!" "APA? MBAK SARAH JADI HANTU?""Bude, jangan-jangan benar yang dikatakan bang Udin dan bang Asep itu kalau arwah Mbak Sarah tidak tenang!" Hati Nabila merasa sakit mendengar berita yang disampaikan Udin dan Asep tadi pagi.Meski sedikit banyaknya dia percaya karena Sarah yang meninggal secara tidak wajar. Belum lagi sosok menyeramkan yang ia temui tadi malam di depan pintu, pakaiannya mengingatkan Nabila pada Sarah."Kasian sekali Mbak Sarah!" batin Nabila pilu. Tidak menyangka jika nasib naas harus menghampiri sang Kakak yang semasa hidup sangat begitu baik dan tidak memiliki musuh. Dan yang membuat Nabila miris adalah, sampai saat ini calon suami Sarah belum menunjukkan batang hidungnya. Bolehkah Nabila curiga padanya?Mengingat jika sebelum kejadian itu, Sarah pergi bersama Andi hingga dinyatakan hilang sampai ditemukan meninggal dunia."Ya Allah Nduk jangan percaya yang seperti itu. Bude yakin jika berita itu tidak benar. Pokoknya kamu berdoa sama yang maha kuasa, agar Sarah tenang di alam sana."Bude Lastri m
Malam ini suhu udara sedang naik, angin berhembus kencang dan juga disertai mendung yang sejak sore tadi sudah terlihat jelas di langit senja. Suasana di desa Lingsir mulai tampak gelap dan sepi. Nabila, gadis itu tengah sibuk merapikan sisi ranjangnya, tangannya bergerak lincah menyusun bantal agar ia merasakan nyaman saat akan tidur malam nanti. Srek! Srek! Srek! Suara berisik diluar sukses membuat jemari Nabila terhenti dari gerakannya ketika ia mendengar dengan sangat jelas seolah ada yang sedang menyapu halaman diluar rumah. Kening Nabila mengerut tipis, "Siapa yang nyapu malam-malam?" saat Nabila mengintip dari balik tirai gorden kamarnya. Tanpa ia sadari, kakinya terus melangkah keluar dari kamar. Suasana yang hening dan sunyi membuat Nabila terus meraih handle pintu dan membukanya perlahan. Didepan sana, dihalaman rumah terlihat seorang wanita sedang menyapu dedaunan. Wanita itu berdiri membelakangi Nabila, hingga yang terlihat hanya rambut hitamnya yang me
"Nabila, ya Allah, Nduk!" teriak Bude Lastri, Kakak dari almarhum Ibu Sarah dan Nabila yang langsung menghampiri sang keponakan. "Mbak Sarah, Mbak, siapa yang sudah melakukan ini sama Mbak. Siapa?" jerit Nabila di pelukan Bude Lastri. Tak peduli berapa banyak orang di sana. Yang jelas, hati Nabila begitu sakit kala mendapati kondisi sang Kakak yang mengenaskan. Saat di temukan, tubuh Sarah sudah membusuk dan sedikit mengembung. Wajahnya yang cantik menguap entah kemana berganti dengan wajah yang penuh luka. Tak hanya di wajah, di sekujur tubuhnya pun banyak luka. Bahkan di temukan sebuah pisau menancap di milik Sarah. Yang jelas, kejadian ini cukup menggemparkan seluruh Desa. Nabila membekap mulutnya dan bahkan air matanya terus saja mengalir deras. Bahkan beberapa kali ia memukul dadanya karena tak sanggup menahan kesedihan yang seperti hendak menarik nyawanya. "Sabar ya, Nduk, sing iklhas. Sarah pasti sedih kalau liat kamu seperti ini!" ucap Bu Lastri ikut menangis. "Tapi,
Setelah kematian Sarah, Desa Lingsir terlihat sangat sepi. Setelah menghadiri acara tahlilan, para warga akan langsung pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka memutuskan mengunci pintu dan jendela lebih awal, mengurung diri di dalam rumah. Tampaknya orang-orang sudah bisa merasakan suasana yang sangat berbeda di Desa malam ini. Suasana yang begitu dingin sunyi dan mencekam. "Bude, terima kasih banyak, Bude sudah mau membantu Mbak Sarah. Jika tidak ada Bude, aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa!" lirih Nabila menekuk Bude Lastri.Dirinya benar-benar sangat rapuh saat ini. Kesedihan masih menggelayut dalam hatinya. Beruntung, Bude Lastri memutuskan untuk menginap di rumah Nabila sampai acara tahlilan selesai. Jadi, Nabila tidak terlalu kesepian."Jangan sungkan, Nabila. Ini sudah menjadi kewajiban Bude sebagai keluarga kamu. Jika buka bude, siapa lagi yang akan membantu!" jawab Bude Lastri mengelus lengan Nabila lembut."Ya sudah, ini sudah malam, kamu tidur sana!" "