"Are you okay?" lirih Loui. Akhirnya ia kembali bersuara. Menyuarakan beberapa hal yang sengaja ditahannya selama beberapa saat. "Cause you're the one who needed space, Malia." imbuh Loui lirih.
Tanpa mengatakan apapun, Malia kembali tersenyum. Diusapnya kedua sisi muka Loui lembut. Meski ragu, Loui memberanikan diri mengusap punggung tangan Malia sembari memejamkan mata –merasakan perasaan yang Malia coba tumpahkan dalam sentuhannya."I miss you, Loui." lirih Malia. Ia ikut memejamkan matanya, merasakan sentuhan Loui yang terasa begitu lembut dan... Menenangkan. "I miss you so bad." lanjut Malia, tak kalah lirih dari sebelumnya.Loui menggeleng. "Aku bukan orang yang tepat untuk kau rindukan, Malia." sahut Loui.Giliran Malia menggeleng. "Tanpa perlu kuucapkan, saat ini, kau tahu bahwa aku sangat merindukanmu, Loui." bisiknya.Satu langkah, dua langkah, Malia mendekat –menghapus jarak antara dirinya dan Loui. Lalu, tiga detik berikutnLeona menyelesaikan makan malamnya setelah Malia dan Loui beranjak lebih dulu. Setelah berpamitan pada semua orang, ia bergegas kembali kamarnya –mengambil ponsel, juga jaket denim kesayangannya.Ia pun melesat menuju hutan, lantas memilih tinggal di depan kabin, tempat ia biasa menghabiskan waktunya bersama Ash.Ia segera menggelengkan kepala saat ingatannya tentang Ash kembali muncul. Di mana ia dan Ash saling mencumbu di depan Irina juga Damien."Sial!" umpat Leona. "Kenapa aku tak bisa melupakan kejadian hari itu?"Ia menyapu pandangannya ke sekitar kabin, lalu mendongak –memberikan seluruh atensinya pada sabit yang bersinar terang di atas sana."Hey! Kenapa kau selalu muncul di saat seperti ini?" protes Leona. Seolah tengah memarahi anak kecil yang begitu mengganggu. Ia kembali menurunkan pandangannya, lalu kembali menyisir keadaan sekitarnya.Gadis itu menghela napas gusarnya saat netranya menemukan sosok lain selain dirinya di sana.
Di kediaman Keluarga ArgentMalia masih setia memunggungi Loui bahkan ketika Loui secara terang-terangan memeluknya dari belakang."Malia?" panggil Loui."Ya...?" jawab Malia malas."Ada yang ingin kutanyakan,""Tanya saja."Loui menarik napas panjang sebelum akhirnya bertanya. "Apa yang Irina katakan padamu malam itu?" tanya Loui terus terang.Malia mengendikkan bahunya, lalu menjawab, "Entahlah. Aku lupa." Malia terang-terangan berbohong.Kalimatnya berhasil mengundang tawa Loui. "Malia, aku tidak ingin membaca isi kepalamu sembarangan." jelas Loui. "Itu sebabnya aku bertanya."Malia mendesah pasrah. Lima detik berikutnya ia memberanikan diri berbalik setelah berhasil melepaskan tangan Loui yang melingkari pinggangnya. Ia mendongak, menatap Loui sendu."Irina adalah mantan kekasihmu. Dan ia akan kembali membawamu bersamanya. Itu saja." jelas Malia seadanya.Loui menggeleng lantas mengulas senyum asimetris, membuat bulu roma
"Selamat pagi, Bibi Erin." sapa Leona saat ia berhasil memijakkan kedua kakinya di anak tangga terakhir menuju dapur.Erin yang kala itu tengah sibuk meletakkan beberapa piring di atas meja pun menoleh –menghentikan kegiatannya, lantas membalas senyum hangat Leona."Oh? Hai, Leona?" balas Erin ramah.Tanpa merasa canggung, Leona segera membantu Erin menata meja makan serta menjajakan beberapa macam menu makanan untuk sarapan."Apa kau bermalam?" tanya Erin to the point.Leona spontan mengangguk, lalu menjawab, "Aku tidur di sofa. Dan kami tidak melakukan apapun. Percayalah." Leona memperjelas keadaan sebenarnya.Erin menggeleng lalu terkekeh. "Tak perlu dijelaskan, Leona." katanya. "Biar itu menjadi urusan dan tanggung jawab kalian berdua," ujar Erin santai.Leona tersenyum simpul. "Percayalah. Kami tidak melakukan apapun." jelas Leona lagi.Erin mengangguk pasrah sembari menahan tawanya. "Baiklah... Baiklah. Aku percaya." jawab Erin sea
Mempermainkan mood semua orang, sepertinya menjadi hobi baru bagi Leona. Sebab, di sepersekian detik berikutnya, ia berlari –turun ke lapangan dan menghambur ke dalam pelukan Ash."I can't be your sunshine, cause i'm your lion!" seru Leona lantang. Lalu ia tersenyum saat manik ambernya bertemu milik Ash.Keduanya pun berpelukan. Para gadis kompak membubarkan diri, sementara para pria menyoraki bahkan memberikan tepuk tangan mereka untuk Ash. Termasuk Gabe dan Archie.Namun, tiba-tiba salah seorang pemain dari team lawan menghampiri mereka. Ia melepas penuput kepalanya saat berhasil memijakkan kedua kakinya di hadapan Ash dan Leona.Dengan gerakan patah-patah, keduanya menoleh. Tidak terkejut, mereka hanya tak menunjukkan ekspresi apapun saat pria berambut ikal itu menginterupsi kemesraan mereka."Ah. Ternyata kau, Damien." gumam Leona dengan anggukkan kecil.Baik Leona maupun Ash, keduanya sudah sama-sama tahu, bahwa Damien memang membaur menjadi
Sepertinya, semesta memang sedang ingin bermain-main dengan Leona. Kemana pun ia pergi, kemana pun ia berusaha sembunyi, Damien Skarsgard pasti selalu menemukan jalan juga cara untuk menemukannya –mengganggunya, bahkan berusaha keras mendapatkannya, bagaimana pun caranya. Tak peduli meski harus melenyapkan seluruh manusia yang ada di muka bumi.Terlukanya Ash merupakan peringatan awal yang diberikan Damien padanya. Leona hanya miliknya. Tak ada yang boleh memilikinya bahkan bersamanya. Gertakan-gertakan kecil yang Damien berikan pada Ash dan Leona merupakan sebagian dari beberapa peringatan kecil yang telah dan akan Damien berikan. Jika Leona dan Ash paham, sebaiknya mereka waspada.Sayangnya, sepaham apapun Leona terhadap keadaan yang tengah ia hadapi di depan mata, meski ia merasa bersalah karenanya, ia tak bisa menjauh meski ia memang ingin menjauh. Sebab, bagaimana pun buruknya keadaan, Ash akan selalu menggenggam Leona erat, meski Leona menolak.Hari itu, s
Bukan rahasia lagi. Saat malam meninggi, rindu menjadi semakin tak terkendali. Sayangnya, sabit selalu bersinar dengan terangnya, seolah ingin mengingatkan, bahwa keindahan ini tampak tak utuh. Hanya separuh yang bercahaya. Sisanya, tenggelam dalam kegelapan malam, direngkuh erat oleh sisi lain yang tak ingin merelakan seluruhnya bersinar terang.***Malam itu, setelah menyelesaikan segala macam tugas kuliahnya, Malia memilih duduk santai di balkon kamarnya, menikmati langit yang tampak begitu bersih. Tak ada awan, tak ada bintang. Hanya sabit yang tampak bersinar terang. Sendirian, tanpa siapapun menemani. Seperti dirinya saat ini."Aku mencintainya, lebih dari yang ia tahu." monolog Malia.Ia mengembuskan napasnya perlahan, memandangi kepulan asap tipis yang keluar dari mulutnya. Bukan musim dingin, bahkan kini berada di penghujung musim semi. Tapi, udara malam itu, terasa seperti udara pada pergantian musim dingin ke musim semi."Atau... Sebenarnya, i
Setelah menemui putranya diam-diam, Rosalie kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk, dan dada yang terasa sesak. Ia menghambur ke dalam pelukan Stefan yang kala itu tengah asyik membaca.Stefan melepas kacamatanya, bahkan meletakkan kembali bukunya ke atas side table di sebelah kirinya. Dipeluknya Rosalie erat."Apa Loui sudah membaik?" Stefan memberi pertanyaan pembuka. Ia tahu, sang istri tengah mengkhawatirkan putra sulung mereka yang sudah satu minggu mengurung diri di gedung belakang tempat tinggal mereka.Rosalie menggeleng pelan, lalu menjawab, "Dia... Sepertinya memburuk, sayang." lirih Rosalie. "Tapi dia bertingkah sok kuat setiap kali aku bertanya tentang keadaannya." keluh Rosalie.Stefan terkekeh pelan. "Jangan pernah bertanya seperti itu padanya, sayang. Jelas dia akan selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tidak membutuhkan bantuan apapun dari kita." jelas Stefan panjang lebar.Rosalie mendesah pasrah. "Anak itu... Selalu sok kua
Dengan mata membola, Luca menyuarakan rasa penasarannya. "Jadi, Loui harus benar-benar menghisap darahnya?" Sekali lagi, Leona memukul tengkuk Luca spontan. Bisa-bisanya adiknya bertanya sepolos itu. Jika Malia mendengarnya, gadis itu akan salah paham bahkan salah kaprah. Bisa-bisa, ia menyerahkan dirinya begitu saja pada Loui."Awh! Kenapa kau memukulku lagi, Leona?" Luca bersungut-sungut kesal."Pertanyaanmu itu terlalu gegabah, Luca!" seru Leona."Apa yang salah dengan pertanyaanku?" tanya Luca datar.Sungguh, Luca memang tidak paham dengan ucapannya. Entah memang tidak paham, atau, ia memang menolak paham? Entahlah. Siapa yang tahu?Leona mendesah pasrah. Menyerah dengan tingkah adiknya yang satu itu. Terpaksa, ia harus menjelaskan semuanya sejelas mungkin, agar tak ada kesalah pahaman antara dirinya, Luca, bahkan Malia jika gadis itu mendengar percakapan itu tanpa sepengetahuan mereka."Jadi, bagaimana?" tanya Luca penasaran."Loui tidak