Kini Jelita merasa lega. Plong. Satu kalimat yang sudah ia pendam selama semingguan ini kini berhasil lolos dari bibir tipisnya.
Namun entah kenapa saat ucapan itu lolos, justru Jelita kini merasa takut sendiri. Degdegan. Gemetar.
“Are you kidding me?” sebuah pertanyaan di seberang telepon membuat hati Jelita semakin deg-degan. Apakah hal yang dilakukannya kini sudah benar atau tidak. Tapi, Jelita yakin yang dilakukan ini sudah tepat.
“Apa lo selingkuh? Emang cowok mana yang bisa membuat lo tega berpaling, Ta?”
Mendengar tuduhan yang dilontarkan Matheo barusan membuat hatinya sakit. Hancur. Dan sebelum menjawab pertanyaan dari Matheo, kini lelaki itu sudah melontarkan berbagai carut-marut kepadanya.
“Gue nggak nyangka seorang Lita bisa selingkuh. Gue tahu lo lagi dekat sama Bagus, dan lo tentunya tahu juga kalau Bagus dulu suka sama lo. Tapi nggak begini caranya dong. Lo kan cewek gue, Ta. Lo harus tahu posisi lo di mana sekarang!”
“Mat …,” suara Jelita langsung bergetar hebat dituduh selingkuh. Padahal alasan ia memutuskan dan mengakhiri ini karena; sikap, sifat—Dari lelaki itu sendiri.
“Udahlah, Ta. Gue enggak mau putus sampai kapanpun. Lo itu milik gue selamanya. SE-LA-MA-NYA.” Sengaja Matheo menekan disetiap kata itu untuk memperjelas jika keinginan Jelita tidak akan pernah ia setujui. “Lo capek, jadi mendingan istirahat dulu. Nanti gue telepon lagi kalau keadaan lo udah tenang.”
Baru akan menjawab tiba-tiba panggilan telepon itu terputus begitu saja yang membuat Jelita langsung mengatupkan bibirnya rapat.
Rasa sakit yang didera pun kini semakin ternganga ketika mengetahui sikap egois Matheo barusan. Entah kenapa Matheo yang dulu ia kenal kini sangat berubah drastis. Sikapnya menjadi sangat mudah marah sekaligus egois.
Tak bisa berbuat apa-apa saat ini membuat Jelita hanya menangis saja untuk meluapkan segala kekesalan di dalam hati. Perasaannya lelah—Jelita mencoba menangis sepuas-puasnya untuk melonggarkan segala kesesakan di dada.
“Lo egois. Egois banget. Gue benci sama lo. Tapi gue juga sayang.” Sekesal apapun yang Jelita rasakan kepada Matheo, tetap saja rasa sayang itu mengalahkan rasa benci dan kecewa yang dialami—seperti saat ini—Jelita hanya bisa menangis dan memaki kepada benda mati di sekitarnya saja.
Dan, untung saja kamar kos yang dihuni Jelita kebanyakan penghuninya anak-anak kuliah semua yang memang gampang gegana saat ada masalah dengan kekasihnya. Jadi hal seperti yang Jelita lakukan merupakan hal biasa yang mereka dengar.
Terlalu lama menangis membuat mata Jelita terpejam perlahan hingga tak sadar jika dia sudah mulai terlelap dan mengarungi alam bawah sadarnya.
***
Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Sepanjang mata kuliah pun pikiran Matheo terus berkelana kepada sosok gadisnya. Kenapa bisa tiba-tiba gadisnya meminta putus dengan sangat begitu gampang dan mudahnya. Memang hantu mana yang telah merasuki gadisnya sampai berani melontarkan kata-kata keramat itu.
“Kau sedang memikirkan apa? Aku perhatikan kau melamun terus menerus,” bisik Jessie—gadis yang duduk dan terus menempel kepada Matheo.
“Lita.”
“Kekasihmu?”
“Hm.”
“Kau bertengkar dengannya?” tanya Jessie, penasaran.
“Hm.”
Entah kenapa mendengar hubungan relationship Matheo dengan kekasihnya yang sedang tidak baik membuat Jessie tersenyum senang. Dengan keahlian yang dimiliki pun akhirnya Jessie langsung menatap Matheo dengan pandangan yang sangat sedih.
“Pasti kau sangat tersiksa dengan hubungan ini.” Wajah Jessie cemberut kasihan dan tersenyum manis saat Matheo menoleh ke arahnya.
Tak direspon pun membuat Jessie mencebik kesal. Terlebih Matheo hanya menoleh dan kembali menatap ke depan kelas dengan bibir yang masih saja terkatup rapat.
Tak lama kemudian suara bel pun terdengar nyaring yang membuat sang dosen segera mengakhiri mata kuliahnya. Matheo langsung berdiri untuk segera bergegas pergi namun tangan Jessie menghentikan pergerakannya.
“Kau ingin ke mana?” tanya Jessie.
“Pulang.”
“Are you seriously?” tampak Jessie tak percaya mendengar perkataan Matheo. Pasalnya lelaki itu suka menghabiskan waktu bersama teman-teman jika jam kuliah selesai. Entah menghabiskan di tempat hiburan atau di salah satu apartemen untuk sekadar nonton sekaligus minum.
Matheo mengangguk.
Jessie mendesah kecewa. Ia tahu jika Matheo seperti sedang tak ingin diganggu hari ini. Jessie penasaran dengan sosok Lita itu. Secantik dan seseksi apa dia dengan dirinya. Bahkan Jessie kini tersenyum miring seakan meremehkan gadis bernama Lita itu.
Lain hal dengan Matheo yang keluar kelas dengan tatapan fokus ke depan untuk menuju parkiran—dimana ada mobilnya di sana. Matheo segera memasuki mobilnya dan memutar kunci hingga suara mesin mobil itu terdengar. Kakinya segera menginjak pedal gas hingga arah jarum spidometer itu langsung menukik begitu tajam.
Suara decitan dan gesekan ban dengan aspal pun langsung menggerum sempurna. Mobil sport yang dikendarai kini sudah mulai membelah jalanan kota Los Angeles.
***
Sesaat sampai apartemen, Matheo langsung menelepon Rendi—sahabatnya yang sengaja ia percaya untuk mengawasi Jelita—Di Indonesia sana.
“Jadi Bagus sama Lita sering pergi bareng?” mendengar itu membuat Matheo langsung mengesah dalam.
“Hm, kalau gue perhatiin kayaknya mereka mulai saling suka.”
Matheo langsung berdecih. Mendengkus. Ternyata dugaan dan firasatnya jika Bagus masih menyukai Jelita itu memang benar adanya.
“Ren, gue minta tolong banget sama lo. Awasi mereka terus jangan sampai berbuat lebih.”
“Pasti, Mat. Btw, emang di sana enggak ada cewek cakep?” selesai bertanya Rendi langsung terkekeh sendiri dengan begitu geli. Apalagi tubuh cewek-cewek bule itu bisa membuat horni mendadak bukan? Gimanapun Rendi laki-laki normal. “Kenalin satu, Mat,” tambahnya dibarengi suara kekehan yang sangat begitu renyah.
“Itu gampang, udah dulu kalau begitu, gue banyak urusan.”
“Oke, Mat. Pokoknya lo tenang aja selama ada gue dijamin aman. Gue tetap dukung lo,” cetus Rendi, “segara putus biar lo kembali sama Shelka,” lanjutnya dalam hati.
Selesai telepon Rendi, dan mendengar kedekatan Jelita dengan Bagus membuat hatinya kian semakin panas. Terbakar.
“Jadi ini yang lo mau, Gus? Teman makan teman?” Matheo berdecih seakan jijik kepada persahabatan dirinya dengan Bagus yang sudah terjalin lama itu.
Merasa pusing. Bingung. Bimbang. Akhirnya Matheo memutuskan untuk menelepon Jessie. Bagaimanapun sikap Jessie sangat baik kepadanya—terlebih selalu ada di saat ia membutuhkan—seperti sekarang.
Selesai menelepon, Matheo langsung berjalan ke kamar dan menuju ke arah almari untuk berganti kaus. Sesekali Matheo tersenyum miring saat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Matheo sudah bertekad tidak akan menjadi lemah soal cinta. Ia juga sudah berjanji akan menjaga. Menggenggam. Mempertahankan. Apapun yang dimiliki saat ini—termasuk Jelita—kekasihnya.
Merasa cukup ia langsung segera keluar apartemen untuk menjemput Jessie yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah kafe yang berada di kawasan kota.
Selama perjalanan pun memori wajah Jelita dan senyum gadisnya itu terus berputar-putar di awang-awang. Matheo tersenyum tipis mengingat cara gadisnya merajuk dulu. Perasaan kangen pun langsung timbul begitu saja. Rasanya ingin; Memeluk, mendekap, mencium—gadisnya.
Tak membutuhkan waktu lama perjalanan Matheo sampai di kafe yang terdapat Jessie beserta teman-temannya. Matheo segera turun mobil dan menghampiri gadis itu yang sedang tertawa bahagia.
“Hai,” sapa Jessie, senang.
Matheo hanya tersenyum tipis, dan Jessie segera memperkenalkan Matheo dengan teman-temannya itu.
Matheo pun langsung menyambut teman-teman Jessie dengan sangat senang. Ia bahkan ikut bergabung duduk dengan mereka.
Kini terdapat dua laki-laki dan dua perempuan di meja ini. Tak lama salah satu teman dari Jessie mengajak mereka pergi jalan ke salah satu tempat karaoke ternama di kawasan kota.
Merasa sedang jenuh dan butuh hiburan pun dengan cepat pula Matheo mengiyakan ajakan teman dari Jessie itu.
“Aku tahu kalau kau akan menghubungiku,” ceplos Jessie, “aku pastikan akan membuatmu bahagia hari ini,” tambahnya dengan senyum merekah. Tangannya bahkan tak sungkan untuk bergelendot di lengan Matheo saat berjalan keluar kafe menuju parkiran.
“Thanks you, Jess. You’re always there for me,” balas Matheo, membuat hati Jessie melambung tinggi.
Jakarta, Indonesia.Setelah waktu malamnya dibuat untuk menangis, kini Jelita tampak lebih tenang saat duduk bersama Prita yang kini sedang galau karena akan dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Ternyata yang mengalami masalah hidup yang terasa berat ini ternyata bukan dirinya saja melainkan semua orang—termasuk Prita.“Sumpah, ya, nggak habis pikir sama Bokap yang jodohin gue sama sugar Daddy,” adu Prita, mengesah.Jelita yang mendengar cerita Prita pun langsung merasa kasihan sendiri. Tak lupa tangannya menepuk pundak Prita pelan sebagai wujud kalau ia akan selalu ada di saat Prita membutuhkan.“Gue nggak mau kawin, Ta. Tolongin gue …,” rengek Prita.Mereka berdua pun langsung berpelukan. Lebih tepatnya Jelita memeluk Prita yang sedang bimbang dengan masa depannya.Sapuan lembut tangan Jelita mampu membuat perasaan Prita mulai tenang. “Emang udah ketemu sama calon suami lo?”Prita langs
Jakarta, Indonesia.Jelita merasa syok saat banyak akun yang men-tag namanya di kolom komentar instagram Matheo. Merasa penasaran pun membuat Jelita membuka itu. Hatinya langsung berdenyut nyeri melihat postingan yang diunggah oleh Matheo. Dia—ciuman dengan seorang perempuan di sana. Jelita langsung menangis dan menutup akun instagramnya.“Ta, meja nomor 14 cappucinno late 1,” teriak teman kerja Jelita.Tak ingin diketahui oleh orang lain membuat Jelita buru-buru memasukan ponselnya di kantong celemek. Ia pun segera membuat pesanan untuk meja nomor 14 itu.“Lita! Astaga!” pekik salah satu rekannya. “Lo lagi kenapa, sih? Itu meluber airnya,” serunya dengan kesal dan segera mengambil alih pekerjaan Jelita."Maaf, maaf," lirih Jelita tak enak.Merasa tidak konsen bekerja membuat Jelita langsung berjalan mundur. Ia pun segera pergi menuju ke belakang bangunan kafe yang sepi. Jelita merogoh sakunya dan me
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Satu minggu kemudian.Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.“Halo.”“Ren.”“Ada apa, Mat? Tumben sering t
Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m
Terpaksa Jelita semalam berjanji kepada Bagus untuk tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga Matheo. Meski sejujurnya di dalam lubuk hati Jelita merasa tidak nyaman dengan permintaan Bagus yang satu ini.Meski bagaimanapun ia ingin menjalin tali silaturahmi dengan Matheo meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Tapi, nampaknya Bagus mulai merasakan cemburu dan itu hal yang lumrah juga wajar.“Lo kenapa ngelamun aja dari tadi? Kurang jatah semalam, uh?” ledek Prita, menyenggol lengan Jelita yang tampak melamun saja sejak datang ke kampus.“Cih! Apaan, sih.”“Ta, lihat deh itu ayang beb datang ke sini.” Prita kembali menyenggol lengan Jelita—memberitahukan kepada sahabatnya jika Bagus tengah berjalan menuju ke arahnya mereka duduk.Jelita menoleh sekilas dan kembali fokus menatap ke depan sana. Hal ini justru membuat Prita merasa heran juga jengah sendiri.“Lo lagi berantem?” tebak Prita, menduga-duga.“Enggak.”“Terus?”“Gapapa kok.”“Gapapa tapi muka lo galau gitu anjir!”“Gu
Melihat Jelita tampak penasaran membuat Bagus justru terkekeh kecil. Apalagi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan.“Aku cuma mau minta kalau mulai detik ini panggilan kita jangan pakai lo-gue, tapi jadi aku-kamu aja, gimana? Kayaknya lebih enak didengar buat orang yang pacaran seperti kita.”Merasa sudah berpikir kotor membuat Jelita malu sendiri. Padahal ia berpikir jika Bagus akan meminta ciuman atau tidur bersama. Tapi ternyata hanya ingin meminta perubahan panggilan saja.Jelita pun dengan malu-malu menjawab permintaan Bagus sambil mengangguk kecil. Bagus yang melihat respon Jelita seperti itu tentu saja membuat hatinya senang.“Makasih banyak sayang,” ucap Bagus, ingin memeluk Jelita. Sedangkan Jelita yang diingin dipeluk merasa kaget sendiri. “Hehehe, maaf, kelepasan.”Merasa tidak enak karena saking senangnya membuat Bagus tidak bisa mengontrol diri. Laki-laki itu pun menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya karena menahan rasa malu.Namun, hal yang tidak pernah diduga sam
Sudah beberapa hari ini Matheo memilih mengurungkan diri di dalam kamarnya. Bahkan laki-laki itu sudah tidak masuk kuliah karena merasa galau melihat serta mendengar sendiri dari mulut Jelita jika perempuan itu sudah berpacaran dengan Bagus.“Apa kau tidak bosan terus-terusan seperti itu?” tanya Mikaila, menatap jengah Matheo yang masih saja terbaring di atas kasur. “Tadi Daddy-mu telepon,” lanjutnya memberitahukan.Matheo sendiri masih tetap diam melamun. Kedua bola matanya tidak bosan-bosan menatap ke atas langit-langit sana.“Katanya dia sudah bertemu dengan Lita-mu itu,” tambah Mikaila, lagi.Sontak hal ini membuat Matheo langsung bereaksi keras. Matheo yang sejak tadi terlentang mendadak bangun duduk menatap ke arah daun pintu kamar.“Daddy menemui Lita?” Matheo mengerutkan kening bingung karena tumben-tumbenan sekali daddy-nya sampai ikut campur urusan kisah asmaranya ini. Apa semua ini bentuk dari rasa peduli daddy karena ia galau terus-terusan seperti ini? Semoga saja daddy me