Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.
Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.
Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”
Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.
Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.
“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.
Merasa seluruh tubuhnya sakit, Jessie segera bangun dan menatap Matheo sebal. Andai saja Jessie bisa berbahasa Indonesia sudah pasti akan menghubungi perempuan bernama Jelita itu untuk melupakan Matheo selama-lamanya.
“Ta, kita masih bersama, kan? Bukannya kita sudah berjanji akan bersama terus sampai kapanpun? Terus lo tahu sendiri kalau gue pengin banyak anak dari lo.”
Jessie yang mendengar semua rancauan Matheo hanya diam saja. Pasalnya Matheo menggunakan bahasa Indonesia yang tidak ia tahu artinya apa. Menyebalkan.
“Matheo,” seru Jessie lantang.
Hebatnya Matheo membuka mata dan disambut tubuh Jessie yang menjulang tinggi di depannya. Bibirnya tersenyum lebar. Bahkan Matheo tengah bersusah payah untuk bangun dari posisi tidurnya.
“Ta, lo ke sini?” katanya—lain hal dengan Jessie yang mengerut bingung dengan ucapan Matheo.
Tanpa diduga, Matheo langsung memeluk Jessie erat bahkan mencium rakus bibir perempuan itu.
“Ta, gue kangen banget sama lo. Sumpah gue kangen sampai sering mimpiin lo.”
Jessie merasa kesusahan melepaskan ciuman Matheo saat ini karena laki-laki itu begitu menggebu-gebu saat menciumnya. Bukan tidak suka dicium. Tapi, Jessie butuh ponsel untuk memotret momen ini agar bisa dipamerkan kepada teman-teman kampusnya besok.
“Ah … Math, are you doing?” suara Jessie bahkan sudah menyerupai desahan karena cumbuan yang diberikan oleh Matheo membuatnya meremang kesekujur tubuh. Matheo memberikan hisapan ke lehernya dan itu membuat Jessie suka.
***
Jakarta, Indonesia.
Satu Minggu Kemudian.
Tepat di hari minggu ini Jelita pergi ke gereja katedral untuk melaksanakan ibadah. Ia berdoa di dalam hati agar diberi kekuatan oleh Tuhan Yesus.
Jelita meyakini apa pun yang terjadi kepadanya kemarin akan ada hikmah setelah ini. Jelita bahkan tidak segan-segan menangis di hadapan Tuhan. Jelita meminta kehidupan yang terbaik untuk dirinya.
Rasa pedih dan sakit hatinya pasti untuk membuat pribadinya agar lebih kuat lagi ke depan.
Selesai beribadah, Jelita keluar gereja dan tersenyum melihat sesosok laki-laki yang sudah menunggunya di parkiran.
“Maaf lama, Gus.”
“Gapapa.”
“Habis ini kita mau kemana?” tanya Jelita.
“Makan soto di dekat Monas situ mau nggak?”
Jelita langsung mengangguk cepat. Ia pun tersenyum senang karena di masa sulitnya kemarin Bagus dan Prita selalu ada untuknya. Mereka berdua bahkan sangat telaten saat merawat Jelita yang tengah sakit hingga sembuh seperti sekarang ini.
Jelita benar-benar bersukur karena memiliki dua teman yang selalu ada di saat dukanya. Bagi Jelita itu sudah cukup membuatnya bahagia.
“Nih, dipake. Ngeri kena tilang polisi,” ujar Bagus sambil terkekeh geli. Lain hal dengan Jelita yang menerima helm dengan mengerucutkan bibir.
Mereka berdua akhirnya pergi dari gereja menuju ke salah satu warung soto di Jakarta Pusat. Bahkan seminggu belakangan hubungan Jelita dan Bagus semakin dekat.
Jelita yang awalnya malu dan risih akhirnya mau menerima perhatian yang diberikan Bagus. Entah kenapa hati Jelita terasa sangat senang dengan perlakuan Bagus yang selalu manis dan menghargai dirinya.
Sampai di warung soto, mereka langsung masuk dan duduk di bangku plastik berwarna merah.
“Mau makan soto apa, Ta?” tanya Bagus.
“Jujur aja pergi sama lo bikin cepat gendut. Diajak makan mulu,” dumel Jelita. Namun, ia juga tersenyum senang. “Tapi thanks, ya, Gus,” tambahnya.
“Gunanya teman emang begini, kan? Menolong anak kos-kosan kayak lo buat makan,” ledek Bagus, terkekeh kecil.
Jelita yang mendengar itu langsung melempar tisu gulung ke depan Bagus. Bibirnya mengerucut sebal.
“Ucapan lo benar, tapi menohok,” balas Jelita.
“Yaudah mau pesan apa? Gue enggak mau lo sakit lagi kayak kemarin. Kebanyakan absen kerja entar dipecat Gilang gimana?”
Jelita langsung mendesah panjang. Ia memang sudah bolos kerja lumayan lama. Tapikan ia juga sudah beri kabar Gilang jika dirinya sakit.
“Gue soto babat aja deh.”
Bagus mengangguk paham. Dia pun akhirnya memesan dua porsi soto babat dan es teh manis. Sambil menunggu pesanan jadi, Bagus selalu menatap wajah Jelita lekat-lekat yang membuat perempuan itu langsung salah tingkah.
“Apaan, sih, Gus. Ngelihatin gue jangan gitu, ah.”
Entah kenapa Jelita merasa deg-degan jika Bagus sudah menatap wajahnya dengan begitu serius seperti tadi. Seperti ada yang beda dari tatapan laki-laki itu.
“Kenapa? Gue hanya sedang menikmati pemandangan yang sangat indah di depan mata.”
Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita langsung blusing. Bahkan rasanya sangat panas. Sebuah kata-kata sederhana yang mampu membuat hatinya langsung berdesir.
“Apaan, sih, Gus.” Jelita langsung memalingkan wajah ke samping karena tidak kuat ditatap lama-lama oleh Bagus.
“Hadap sini. Kenapa lo malahan lihatin kaleng kerupuk.”
Mendengar itu membuat Jelita semakin salah tingkah. Ia pun langsung menoleh kembali dan menatap ke depan hingga matanya bersirobok dengan netra mata laki-laki itu.
Sedang serius bersitatap, tiba-tiba pelayan warung soto itu datang yang membuat keduanya segera menoleh dan tersenyum salah tingkah.
Jelita segera menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Makasih,” ujar Jelita saat sebuah mangkok disajikan di depannya.
“Mari makan!” seru Bagus yang langsung menyantap soto. Jelita yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan konyol laki-laki itu.
Untuk menetralisir rasa gugupnya, Jelita pun langsung ikut makan soto dengan fokus.
“Gue kemarin lihat Prita berantem sama Rendi kenapa, ya?” tanya Bagus, penasaran. Pasalnya kemarin di halaman universitas ia melihat Prita langsung menonjok Rendi hingga membuat keramaian. Bagus ingin menghampiri namun ada mata kuliah yang sangat penting saat itu.
Jelita yang tahu pun hanya memejamkan matanya kuat bahkan menarik napas panjang. Masih tidak menyangka jika Rendi akan melakukan itu semua kepadanya dan Matheo.
“Apa ini ada hubungannya sama Matheo?” tebak Bagus, tepat sasaran.
Jelita pun mengangguk sebagai jawaban.
Bagus langsung meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya mendadak hilang. Dia segera menyandarkan tubuhnya di kursi plastik sambil memejamkan mata. “Apa ini ada hubungannya soal putusnya lo sama Matheo?” tanya Bagus, memastikan.
Jelita mengangguk kembali.
“Shit!” umpat Bagus kesal. Ia sudah curiga dengan Rendi yang selalu telepon menanyakan keberadaannya bahkan sangat mendukung kedekatan dirinya dengan Jelita. “Gue harus kasih pelajaran ke dia.”
“Jangan, Gus.” Jelita langsung mencegah. Bagaimanapun ia tidak mau ada keributan lagi setelah ini. Apalagi hubungan dengan Matheo memang sudah berakhir sekitar satu minggu lalu. “Gue udah iklas. Mungkin gue emang enggak berjodoh sama dia.”
“Tapi, Ta ….”
Jelita menggeleng—menyiratkan agar Bagus tidak usah ikut campur soal Rendi.
“Kenapa dia begitu, sih, motifnya apa coba.” Bagus masih kesal dengan semua ini. Rasa-rasanya ingin menghajar Rendi sampai babak belur.
Jelita langsung menerawang kejadian satu minggu belakang. Di mana Prita berusaha keras mencari bukti kenapa Matheo bertindak kasar kepadanya.
“Jadi ceritanya begini.” Jelita membuang napas kasar terlebih dulu sebelum menceritakan semuanya kepada Bagus.
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Saat ini Jelita tengah difokuskan dengan pembukaan kafe baru di kawasan Kemang. Jelita yang mendapat kepercayaan dari Gilang tidak ingin mengecewakan laki-laki itu sedikit pun meski dulunya mereka berdua pernah menjalin kedekatan.Jelita tampak sibuk membantu membuat minuman di counter depan. Karena ia tidak menyangka akan serame ini pengunjung yang datang.Di saat sedang membuat kopi expresso matanya terkejut dengan kedatangan Sasha yang memasuki kafe, dan memilih duduk di meja paling pojokan yang terhalang pilar. Jelita pun segera menyelesaikan dan menyuruh pelayan untuk mengantar ke nomor meja yang memesannya. Jelita langsung segera berjalan menuju ke arah Sasha yang tampak tersenyum semringah.“Sha, kamu sendirian aja ke sini?” tanya Jelita saat sampai di depan meja Sasha.Gadis itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. “Tadi ke Dharmawangsa, dan tanya orang sana kalau Kak Lita dipindah ke sini.”Jelita terseny
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Matheo kini tengah asyik bersama teman-temannya. Terlebih statusnya yang jomlo membuat dia menjadi sangat tidak karuan. Urakan. Bebas.Yang dulunya tidak suka merokok kini Matheo mulai mengenal benda sialan itu. Dan, dia kini tengah asyik merokok sambil memegang bir kaleng.Cup.“Aku mau kau selalu bahagia seperti ini babe.” Suara serak nan seksi itu begitu menggoda hatinya. Matheo yang laki-laki normal pun merasa bergairan mendengar suara serak-serak basah yang membuatnya langsung on.“Shit!” umpatnya. Tangan Matheo langsung mematikan batang rokok itu di asbak yang memang tersedia di meja. Mata sayunya menatap perempuan yang selalu berada di kehidupannya ini. Matheo sudah tidak peduli dengan mantan-nya yang berada di Indonesia. Matheo butuh bahagia saat ini.Dan, berakhirlah sudah Matheo mencium Jessie dengan begitu menggebu-gebu. Matheo mencium perempuan itu karena mer
Hari ini seperti biasa seperti hari-hari kemarin kalau Jelita akan dijemput oleh Bagus jika pulang bekerja. Bibir ranum perempuan itu tersenyum lebar saat melihat Bagus sudah berada di parkiran—menunggunya.“Udah lama?” tanya Jelita, basa basi.“Lima belas menitan yang lalu lah kurang lebihnya.”“Hehehe, sorry, ya, tadi rame banget, Gus.”“Santai aja kali, Ta.”Bagus langsung menyodorkan helm ke arah Jelita yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senang hati.Kini mereka berdua mulai membelah jalanan kota Jakarta yang selalu ramai meski sudah larut sekalipun.“Lo udah makan?”Jelita menggeleng cepat.“Makan dulu yuk. Ada penjual nasi kucing yang katanya enak banget gitu.”Jelita langsung terkekeh dan menabok helm milik Bagus. “Lo mah kalau masalah makanan kayaknya paling juara deh.”“Maklum pecinta kuliner,
Jelita merasa ragu dan bimbang saat ingin mengangkat panggilan telepon dari nomor tidak dikenal itu. Perasaannya mendadak campur aduk. Padahal selama ini Jelita tidak pernah berurusan dengan yang namanya pinjaman online atau sejenisnya. Semisal iya pun rasanya tidak etis menelepon di tengah malam seperti ini.Dengan degupan hati yang begitu kencang, Jelita mulai menyapu tombol hijau ke samping dan segera menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Ha-halo,” sapa Jelita, lembut.“Hai, Ta. Gimana kabar lo?”Mata Jelita langsung membola begitu sempurna kala mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Suara itu—suara yang pernah membuatnya bahagia sekaligus sakit hati dalam waktu yang bersamaan—dia Matheo—suara yang dulu selalu Jelita rindukan, namun kini sangat ia hindari.“Ma-mamat?”“Iya, ini gue. Bersyukur lo masih ingat suara gue.”Jelita masih bingung harus
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m
Terpaksa Jelita semalam berjanji kepada Bagus untuk tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga Matheo. Meski sejujurnya di dalam lubuk hati Jelita merasa tidak nyaman dengan permintaan Bagus yang satu ini.Meski bagaimanapun ia ingin menjalin tali silaturahmi dengan Matheo meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Tapi, nampaknya Bagus mulai merasakan cemburu dan itu hal yang lumrah juga wajar.“Lo kenapa ngelamun aja dari tadi? Kurang jatah semalam, uh?” ledek Prita, menyenggol lengan Jelita yang tampak melamun saja sejak datang ke kampus.“Cih! Apaan, sih.”“Ta, lihat deh itu ayang beb datang ke sini.” Prita kembali menyenggol lengan Jelita—memberitahukan kepada sahabatnya jika Bagus tengah berjalan menuju ke arahnya mereka duduk.Jelita menoleh sekilas dan kembali fokus menatap ke depan sana. Hal ini justru membuat Prita merasa heran juga jengah sendiri.“Lo lagi berantem?” tebak Prita, menduga-duga.“Enggak.”“Terus?”“Gapapa kok.”“Gapapa tapi muka lo galau gitu anjir!”“Gu
Melihat Jelita tampak penasaran membuat Bagus justru terkekeh kecil. Apalagi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan.“Aku cuma mau minta kalau mulai detik ini panggilan kita jangan pakai lo-gue, tapi jadi aku-kamu aja, gimana? Kayaknya lebih enak didengar buat orang yang pacaran seperti kita.”Merasa sudah berpikir kotor membuat Jelita malu sendiri. Padahal ia berpikir jika Bagus akan meminta ciuman atau tidur bersama. Tapi ternyata hanya ingin meminta perubahan panggilan saja.Jelita pun dengan malu-malu menjawab permintaan Bagus sambil mengangguk kecil. Bagus yang melihat respon Jelita seperti itu tentu saja membuat hatinya senang.“Makasih banyak sayang,” ucap Bagus, ingin memeluk Jelita. Sedangkan Jelita yang diingin dipeluk merasa kaget sendiri. “Hehehe, maaf, kelepasan.”Merasa tidak enak karena saking senangnya membuat Bagus tidak bisa mengontrol diri. Laki-laki itu pun menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya karena menahan rasa malu.Namun, hal yang tidak pernah diduga sam
Sudah beberapa hari ini Matheo memilih mengurungkan diri di dalam kamarnya. Bahkan laki-laki itu sudah tidak masuk kuliah karena merasa galau melihat serta mendengar sendiri dari mulut Jelita jika perempuan itu sudah berpacaran dengan Bagus.“Apa kau tidak bosan terus-terusan seperti itu?” tanya Mikaila, menatap jengah Matheo yang masih saja terbaring di atas kasur. “Tadi Daddy-mu telepon,” lanjutnya memberitahukan.Matheo sendiri masih tetap diam melamun. Kedua bola matanya tidak bosan-bosan menatap ke atas langit-langit sana.“Katanya dia sudah bertemu dengan Lita-mu itu,” tambah Mikaila, lagi.Sontak hal ini membuat Matheo langsung bereaksi keras. Matheo yang sejak tadi terlentang mendadak bangun duduk menatap ke arah daun pintu kamar.“Daddy menemui Lita?” Matheo mengerutkan kening bingung karena tumben-tumbenan sekali daddy-nya sampai ikut campur urusan kisah asmaranya ini. Apa semua ini bentuk dari rasa peduli daddy karena ia galau terus-terusan seperti ini? Semoga saja daddy me