Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Matheo kini tengah asyik bersama teman-temannya. Terlebih statusnya yang jomlo membuat dia menjadi sangat tidak karuan. Urakan. Bebas.
Yang dulunya tidak suka merokok kini Matheo mulai mengenal benda sialan itu. Dan, dia kini tengah asyik merokok sambil memegang bir kaleng.
Cup.
“Aku mau kau selalu bahagia seperti ini babe.” Suara serak nan seksi itu begitu menggoda hatinya. Matheo yang laki-laki normal pun merasa bergairan mendengar suara serak-serak basah yang membuatnya langsung on.
“Shit!” umpatnya. Tangan Matheo langsung mematikan batang rokok itu di asbak yang memang tersedia di meja. Mata sayunya menatap perempuan yang selalu berada di kehidupannya ini. Matheo sudah tidak peduli dengan mantan-nya yang berada di Indonesia. Matheo butuh bahagia saat ini.
Dan, berakhirlah sudah Matheo mencium Jessie dengan begitu menggebu-gebu. Matheo mencium perempuan itu karena mer
Hari ini seperti biasa seperti hari-hari kemarin kalau Jelita akan dijemput oleh Bagus jika pulang bekerja. Bibir ranum perempuan itu tersenyum lebar saat melihat Bagus sudah berada di parkiran—menunggunya.“Udah lama?” tanya Jelita, basa basi.“Lima belas menitan yang lalu lah kurang lebihnya.”“Hehehe, sorry, ya, tadi rame banget, Gus.”“Santai aja kali, Ta.”Bagus langsung menyodorkan helm ke arah Jelita yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senang hati.Kini mereka berdua mulai membelah jalanan kota Jakarta yang selalu ramai meski sudah larut sekalipun.“Lo udah makan?”Jelita menggeleng cepat.“Makan dulu yuk. Ada penjual nasi kucing yang katanya enak banget gitu.”Jelita langsung terkekeh dan menabok helm milik Bagus. “Lo mah kalau masalah makanan kayaknya paling juara deh.”“Maklum pecinta kuliner,
Jelita merasa ragu dan bimbang saat ingin mengangkat panggilan telepon dari nomor tidak dikenal itu. Perasaannya mendadak campur aduk. Padahal selama ini Jelita tidak pernah berurusan dengan yang namanya pinjaman online atau sejenisnya. Semisal iya pun rasanya tidak etis menelepon di tengah malam seperti ini.Dengan degupan hati yang begitu kencang, Jelita mulai menyapu tombol hijau ke samping dan segera menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Ha-halo,” sapa Jelita, lembut.“Hai, Ta. Gimana kabar lo?”Mata Jelita langsung membola begitu sempurna kala mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Suara itu—suara yang pernah membuatnya bahagia sekaligus sakit hati dalam waktu yang bersamaan—dia Matheo—suara yang dulu selalu Jelita rindukan, namun kini sangat ia hindari.“Ma-mamat?”“Iya, ini gue. Bersyukur lo masih ingat suara gue.”Jelita masih bingung harus
Merasa bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Matheo soal perasaannya, kini Jelita mengambil jalan tengah. Mematikan telepon dengan cepat.Baru saja ia bernapas lega karena panggilan itu sudah tidak tersambung lagi dengan Matheo. Tiba-tiba ponselnya bergetar yang menandakan adanya pesan chat masuk.[Sesuai ucapan gue tadi. Kalau lo matiin teleponnya tandanya kita balikan!] Read.Jelita hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalas ataupun menjawab. Ia benar-benar merasa lelah menghadapi sikap Matheo yang gampang sekali berubah.[Chat gue bukan koran, Ta.] Read.[Enggak jawab lo utang ciuman sama gue] Read.Merasa ancaman yang dikirimkan oleh Matheo makin ngawur saja membuat Jelita terpaksa membalas chat itu dengan perasaan yang sangat kesal.[Lo maunya apa, sih, Mat?][Gue maunya lo.][Sinting.]Buru-buru Jelita mematikan ponselnya agar Matheo tidak bisa mengganggunya. Rasa kantuk dan lelah pun kini tergantik
Jessie langsung tersenyum semringah kala melihat Matheo sangat begitu antusias atas ide yang akan ia berikan nanti. Semoga saja laki-laki itu akan menyetujui idenya.Kini Jessie sengaja menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Matheo. Tak lupa juga ia mencondongkan kepalanya agar lebih dekat dengan telinga laki-laki itu. Jessie bahkan sudah menyiapkan suaranya yang begitu seksi agar Matheo merasa tergoda.Sebelum mengucapkan usulan idenya, Jessie tersenyum senang bisa sedekat dan seintim ini dengan Matheo. “Aku sarankan kau memanasi Jelita dengan tidur denganku. Dengan begitu kau akan tahu reaksi dia masih menyukaimu atau tidak. Jika dia tampak biasa saja itu tandanya—““Kau gila, Jess!” potong Matheo cepat. Ide yang diberikan oleh Jessie sangatlah gila menurutnya. Kalau ia sampai tidur dengan perempuan lain itu sama saja bunuh diri. Yang ada Jelita akan semakin membencinya nanti. “Ini semua pasti hanya akal-akalanmu
Seperti yang sudah dijanjikan waktu di kantin jika sepulang kuliah mereka—Bagus, Prita, Jelita—akan nonton bersama hari ini di Senayan City.Mengingat Bagus yang selalu menggunakan sepeda motor membuat Prita mengeluh jika ayahnya sudah menelepon untuk segera pulang karena ada acara keluarga dadakan.“Aduh sorry banget guys, bokap gue telepon buat cepet-cepet balik,” kata Prita dengan ekspresi tidak enak kepada Bagus dan Jelita.“Yaudah nontonnya kapan-kapan aja kalau gitu,” sahut Jelita menanggapi.“Oh enggak-enggak. Kalian berdua harus tetap nonton sesuai rencana tadi siang. Ini bokap gue ganggu aja deh,” gerutu Prita berpura-pura kesal.Tampak ekspresi kebimbangan di raut wajah Jelita. Perempuan itu bahkan merasa tidak enak jika harus nonton berdua dengan Bagus. Status yang dilontarkan Matheo saat di pesan chat membuatnya masih terngiang-ngiang di kepalanya.“Lo enggak keberatan, kan, G
Jelita kini menangis tersendu-sendu. Ia bahkan tidak memedulikan jika sudah menjadi pusat perhatian para pengunjung mall.Dengan berlari sekencang mungkin, Jelita terus mencari pintu keluar yang menurutnya sangat sulit ditemukan jika dalam keadaan kacau seperti ini. Pasalnya, Jelita sudah sering mendatangi mall ini, namun saat ini ia merasa bingung sendiri hingga tanpa sadar ia menabrak beberapa orang saat berlari barusan.Hiks … hiks … hiks.Saat matanya menemukan pintu keluar mall, Jelita segera menambah laju larinya. Ia bahkan segera menyetop taksi untuk menghindari Bagus.Jelita saat sudah berada di dalam taksi pun tidak henti-hentinya menangis. Ia langsung teringat dengan Bagus yang sudah tega mencuri ciuman pertamanya itu. Bahkan, selama pacaran dengan Matheo, ia belum pernah berciuman sama sekali karena ingin melakukannya nanti setelah resmi menjadi istri. Namun, semua itu sangat sia-sia saat ini. Bibirnya sudah tidak lagi virgin.
Hari ini Jelita tengah menghindari Bagus mulai dari berangkat lebih pagi ke kampus, dan kini ia tengah mendesah kecewa kala melihat laki-laki itu justru tengah berdiri di depan kelasnya.“Duh! Ngapain, sih, Bagus berdiri di sana. Kalau orang-orang tahu permasalahannya bisa malu, dan diketawain,” gumam Jelita yang merasa ketar-ketir sendiri saat melihat Bagus sudah berdiri depan kelasnya.Mata Jelita langsung melotot begitu sempurna kala melihat Prita yang datang dengan wajah celingukan seperti mencari sesuatu. Namun, suara cemprengnya membuat Jelita mengumpat dalam hati karena niat menghindar dari Bagus langsung gagal total.“Itu Lita, Gus,” teriaknya kencang. “Woy, Ta! Ngapain lo berdiri di situ?”Jelita langsung mendengkus kesal saat melihat wajah tanpa dosanya Prita itu—yang tengah tersenyum lebar bahkan terkekeh.“Kampret tuh kecebong satu,” umpat Jelita dalam hati.Merasa sudah ketah
Jakarta, Indonesia.Selesai mengikuti kelas, Jelita merasa bimbang dan takut sendiri untuk keluar. Hal ini mengundang atensi dari Prita yang memang duduk di sebelahnya.“Kenapa lo?” tanya Prita, sibuk memasukkan laptop miliknya ke dalam tas.“Takut,” jawab Jelita, lirih. Wajahnya bahkan sangat memelas.“Bagus?” tebak Prita, tepat sasaran.“Hm.”Prita juga bingung harus memberikan nasihat apa karena setiap orang juga akan merasa canggung jika habis melakukan ciuman dengan teman.“Terus lo mau tinggal aja di kelas gitu?” tanya Prita sambil meledek. “Bentar lagi bakalan dipakai lagi ini kelas,” tambahnya memberitahu.Jelita mendengkus kasar karena mau tidak mau harus menghadapi Bagus. Jujur saja saat ini mentalnya belum kuat menatap Bagus. Pikirannya teringat akan adegan ciuman di bioskop tadi malam. Apalagi Jelita baru merasakan yang namanya ciuman.Sa
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m
Terpaksa Jelita semalam berjanji kepada Bagus untuk tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga Matheo. Meski sejujurnya di dalam lubuk hati Jelita merasa tidak nyaman dengan permintaan Bagus yang satu ini.Meski bagaimanapun ia ingin menjalin tali silaturahmi dengan Matheo meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Tapi, nampaknya Bagus mulai merasakan cemburu dan itu hal yang lumrah juga wajar.“Lo kenapa ngelamun aja dari tadi? Kurang jatah semalam, uh?” ledek Prita, menyenggol lengan Jelita yang tampak melamun saja sejak datang ke kampus.“Cih! Apaan, sih.”“Ta, lihat deh itu ayang beb datang ke sini.” Prita kembali menyenggol lengan Jelita—memberitahukan kepada sahabatnya jika Bagus tengah berjalan menuju ke arahnya mereka duduk.Jelita menoleh sekilas dan kembali fokus menatap ke depan sana. Hal ini justru membuat Prita merasa heran juga jengah sendiri.“Lo lagi berantem?” tebak Prita, menduga-duga.“Enggak.”“Terus?”“Gapapa kok.”“Gapapa tapi muka lo galau gitu anjir!”“Gu
Melihat Jelita tampak penasaran membuat Bagus justru terkekeh kecil. Apalagi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan.“Aku cuma mau minta kalau mulai detik ini panggilan kita jangan pakai lo-gue, tapi jadi aku-kamu aja, gimana? Kayaknya lebih enak didengar buat orang yang pacaran seperti kita.”Merasa sudah berpikir kotor membuat Jelita malu sendiri. Padahal ia berpikir jika Bagus akan meminta ciuman atau tidur bersama. Tapi ternyata hanya ingin meminta perubahan panggilan saja.Jelita pun dengan malu-malu menjawab permintaan Bagus sambil mengangguk kecil. Bagus yang melihat respon Jelita seperti itu tentu saja membuat hatinya senang.“Makasih banyak sayang,” ucap Bagus, ingin memeluk Jelita. Sedangkan Jelita yang diingin dipeluk merasa kaget sendiri. “Hehehe, maaf, kelepasan.”Merasa tidak enak karena saking senangnya membuat Bagus tidak bisa mengontrol diri. Laki-laki itu pun menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya karena menahan rasa malu.Namun, hal yang tidak pernah diduga sam
Sudah beberapa hari ini Matheo memilih mengurungkan diri di dalam kamarnya. Bahkan laki-laki itu sudah tidak masuk kuliah karena merasa galau melihat serta mendengar sendiri dari mulut Jelita jika perempuan itu sudah berpacaran dengan Bagus.“Apa kau tidak bosan terus-terusan seperti itu?” tanya Mikaila, menatap jengah Matheo yang masih saja terbaring di atas kasur. “Tadi Daddy-mu telepon,” lanjutnya memberitahukan.Matheo sendiri masih tetap diam melamun. Kedua bola matanya tidak bosan-bosan menatap ke atas langit-langit sana.“Katanya dia sudah bertemu dengan Lita-mu itu,” tambah Mikaila, lagi.Sontak hal ini membuat Matheo langsung bereaksi keras. Matheo yang sejak tadi terlentang mendadak bangun duduk menatap ke arah daun pintu kamar.“Daddy menemui Lita?” Matheo mengerutkan kening bingung karena tumben-tumbenan sekali daddy-nya sampai ikut campur urusan kisah asmaranya ini. Apa semua ini bentuk dari rasa peduli daddy karena ia galau terus-terusan seperti ini? Semoga saja daddy me